Aku melangkah tanpa semangat menuju tempat bekerja setelah lolos dari ruangan Bu Siska. Rasanya, kaki ini langsung kehilangan tenaga ketika tadi wanita itu berkata, "Gaji kamu tetap saya potong! Dan kamu nggak boleh ambil izin lagi setelah ini!"Tuhan ... bagaimana jika suatu saat aku memang tak bisa masuk kerja? Tak hanya karena harus mengantar Bapak, tapi karena sebab yang lainnya juga. Bukankah selalu ada saja hal mendadak yang tidak bisa kita tinggal?Separah ini pekerjaanku. Gaji yang bisa dibilang kecil, lembur pun hanya dibayar murah yang kurasa tak sesuai. Belum lagi, Bu Siska memang tak bisa ramah para karyawan.Bisa kutebak, orang-orang bertahan di pabrik roti ini karena tak memiliki pilihan pekerjaan. Bukan karena betah berada di bawah kuasa bos besar yang entah siapa.Ya, kami tahu nama pemilik pabrik. Namun, tidak dengan wajahnya. Sejak awal pabrik ini berdiri 5 tahun lalu, kami langsung diarahkan oleh Bu Siska yang katanya diberi mandat untuk memegang kuasa."Rin, kamu k
Aku dan Bapak kompak menoleh sembari mengernyit heran saat mendengar Bu Wati meneriaki nama Janu. Ya, mungkin maksudnya Dokter Januar. Terbukti, pria itu langsung keluar lagi dari dalam mobil begitu mendengar suara Bu Wati."Sepertinya mereka saling mengenal," gumam Bapak yang masih bisa kudengar. Kualihkan perhatian pada Bapak yang masih duduk di atas sofa dengan pandangan yang keluar. "Rindu anter ke kamar dulu, yuk, Pak! Habis ini Rindu mau ke pabrik," ucapku.Ya, meski sudah sangat terlambat, aku tetap harus datang ke pabrik agar bos besar tak lebih marah. Setidaknya, dia masih bersedia membiarkanku bekerja di sana. Itu saja sudah cukup untuk sekarang."Sana, kamu berangkat saja. Bapak bisa sendiri," sahut Bapak sembari memberiku senyuman khasnya.Baiklah, karena tak ingin berlama-lama, aku pun gegas pamit pada Bapak."Bapak doakan, semoga kamu nggak terkena masalah karena ini, ya, Nak.""Aamiin."Harapanku juga sama. Datang ke pabrik seperti biasa, tak ada drama marah-marah. Nam
Kuhembuskan napas lega setelah berhasil buang air kecil. Kini, aku sudah merasa nyaman kembali.Merasa tak ada lagi kepentingan di dalam toilet, gegas kulangkahkan kaki ini untuk keluar. Sedikit kubungkukan badan saat melewati orang yang sedang berada dalam antrean.Huh, untung saja saat aku akan masuk, di depan toilet tidak mengantre seperti sekarang. Bayangkan jika aku harus menunggu seperti ini juga tadi, pasti tak tahan sekali.Kufokuskan pandangan ke depan sembari berjalan. Namun, tiba-tiba alisku mengernyit heran melihat dokter yang tadi tak sengaja kutabrak seperti tengah mencari sesuatu.Merasa penasaran, aku pun membawa kaki ini melangkah lebih dekat lagi."Maaf, Dok. Saya lihat Dokter sedang mencari sesuatu. Ada yang bisa saya bantu?" Kutawarkan bantuan, takut dia memang membutuhkan.Sesama manusia harus saling menolong, kan? Meskipun kita tak saling mengenal."Oh, ini, Mbak. Name tag saya hilang. Sepertinya jatuh di sini," jawabnya sambil melirikku sedikit.Seketika perasaa
Sungguh, aku tak menyangka Mas Dimas tiba-tiba datang ke rumah. Untuk apa? Namun, sepertinya otakku sedikit terganggu hingga lupa jika pria ini adalah calon suami mbakku. Bebas saja jika dia ingin berkunjung kapan pun, kan? Tapi, tadi aku dengar dia ingin mengantar Bapak berobat. Apa tak salah?"Biar aku saja yang antar Bapak, Mas," tolakku sembari menatap pria bertubuh tinggi itu untuk beberapa detik. "Biar Mas saja, Rin. Mas memang nggak kerja hari ini."Hem, pantas saja Mas Dimas datang mengenakan pakaian santai, bukan seragam kerja seperti biasa. Jika begitu, rasanya tidak salah kalau aku menitipkan Bapak. Toh, Bapak juga calon orang tua Mas Dimas, kan? Aku jadi bisa tetap berangkat ke pabrik hari ini."Emh, baik—""Nggak bisa, Mas!"Ucapanku harus terpotong kala Mbak Zita dengan cepat menyela. Mbakku itu mendekat dengan penampilan yang sudah rapih. Sepertinya akan pergi."Kita udah janjian buat pergi, Mas. Jadi, kamu harus pergi sama aku!"Hah, kali ini aku tahu jika kedatangan
Aroma sedap dari kwetiau goreng tak membuatku makan dengan lahap. Rasanya memang sama, sangat lezat. Namun, ada satu hal yang hilang sekarang.Kebahagiaan.Ya, jika dulu aku selalu semangat tiap kali Mas Dimas memberi kwetiau seperti ini, maka tidak dengan sekarang. Jika dulu aku akan langsung memakannya hingga habis, maka sekarang tidak.Bahkan, sudah satu jam berlalu sejak aku mulai memasukkan kwetiau goreng ini pada mulut, belum habis lima puluh persen pun. Selera makanku hilang, rasa lapar pun ikut pergi bersama pria yang masih kucintai.Entah aku yang bodoh atau memang cinta yang buatku buta. Aku ... masih mencintainya. Hingga sepanjang makan dengan gerakan perlahan, kenangan-kenangan indah dulu kembali berputar di kepala.Sore itu sepulang dari pabrik, Mas Dimas mengajakku ke sebuah warung yang cukup jauh. Hampir di luar kampung. Namun, karena Mas Dimas membawa motor, aku pun setuju.Sesampainya di sana, aku benar-benar dijamu oleh Mas Dimas. Pria itu memesan satu porsi kwetiau
"RINDU!"Pekikan Ibu membuat rasa lelahku setelah bekerja seharian makin bertambah. Kuayunkan kaki menuju wanita yang sudah menatap tajam padaku di ambang pintu itu."Assalamualaikum, Bu."Aku tak menghiraukan pekikan Ibu tadi. Tangan ini terulur untuk menyalami, tapi malah ditepis. Buka hanya itu. Sejurus kemudian, Ibu menarik kasar tanganku memasuki rumah."Aws ... sakit, Bu!" Aku berusaha melepaskan cekalan Ibu yang cukup kuat hingga tanganku terasa sakit. Namun, wanita tua itu seolah menulikan pendengaran. Ia terus menyeretku hingga sampai di kamar Mbak Zita.Seketika isi kepalaku dipenuhi tanya, ada apa? Kenapa aku dibawa ke kamar Mbak Zita?Bruk!Tubuhku dihempaskan dengan kuat hingga menimbulkan bunyi. Sebelah lenganku terasa sakit karena mengenai lemari.Aku mendongak pada Ibu yang masih setia memberikan tatapan tajam. Lalu beralih pada Mbak Zita yang sedang menangis sesenggukan. "Ada apa ini, Bu?" tanyaku tak mengerti.Bukannya menjawab, Ibu malah memekik sembari menarik ji