AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU
"Kenapa kamu lebih memilih berpisah denganku? Seandainya sedikit saja bisa mengerti dan mau menerima Indri jadi istri kedua. Semua akan baik-baik saja. Toh, kamu tetap menjadi istri pertama dan tidak merubah statusmu sebagai istriku. Sungguh keras kepala kamu, Ma.""Keluar!" tegasku dengan nada yang begitu tinggi.Suami macam apa kamu, Pa, dengan mudahnya bicara seperti itu tanpa memikirkan perasaanku sama sekali. Keterlaluan.Berkali-kali aku mengetahui kebohonganmu, tapi belum pernah sekalipun kamu meminta maaf padaku. Justru kata-kata menyakitkan yang selalu kamu ucapkan."Mbak, segera kamu tutup pintunya!""Ta-tapi, Bu. Pak Ridwan masih ada di depan.""Saya bilang, tutup pintunya!"Aku pun langsung bergegas masuk ke dalam kamar."Mama," tiba-tiba panggilan bocah polos mengalihkan kepiluanku. Dia mendekatiku dengan senyum manisnya dan memberikan sebuah mainan."Ar-Arza, kamu ingin ngajakin Mama main ya, Nak?" tanyaku dengan segera mengusap air mata yang sudah membendung.Apa kamu tahu, Nak, kalau saat ini perasaan Mama begitu sakit. Maafin Mama karena menyuruh papamu pergi dari rumah ini.Kupangku dan kupeluk Arza dengan begitu erat sembari mengelus rambutnya.Brem brem brem ....Suara mobil yang tak asing bagiku terdengar berhenti di depan rumah.Mobil Mas Ridwan? Tapi, kenapa baru terdengar sekarang?Dengan menggendong Arza, aku membuka sedikit gorden jendela kamar dan melihat siapa yang datang mengendarai mobil Mas Ridwan.Indri? Ternyata dia yang membawa mobil Mas Ridwan. Heh ... sudah kuduga. D*s*r perempuan matre.Mas Ridwan langsung memasukkan koper-kopernya ke dalam mobil. Tak kulihat sedikitpun raut wajah yang menunjukkan kesedihan apalagi penyesalan.Indri memang telah merubah segalanya tentang Mas Ridwan. Dia bukan lagi Mas Ridwan yang kukenal.Kututup kembali gorden ketika mobil Mas Ridwan sudah tak terlihat lagi.Dia sudah pergi. Benar-benar sudah pergi dengan perempuan itu.Dulu, aku selalu menunggunya pulang. Tapi sekarang, aku telah menyuruhnya pergi dari rumah ini. Dan semua itu karena kesalahannya sendiri."Mas Ridwan ...," panggilku lirih.Kutatap foto pernikahan yang masih terpajang di dinding kamar. Aku tidak ingin memikirkannya, tapi semua itu ternyata tidak mudah.Aku pun tak mampu menahan tangis. Perasaan sedih, kecewa, dan marah, kini menjadi satu berkecamuk di dalam dada."Ayo Arin, tidak perlu meratapi laki-laki seperti dia!" ucapku untuk menguatkan diri sendiri.Hemh ... aku harus mulai membiasakan diri tanpa kehadirannya. Lebih baik aku fokus pada diriku sendiri dan juga Arza."Bu Arin," panggil Mbak Jum dengan mengetuk pintu.Aku pun segera beranjak dari dudukku dan membukakan pintu dengan masih menggendong Arza yang sudah terlelap tidur di pelukanku."Ada apa, Mbak? Kalau ada yang mencari saya, bilang saja sedang tidak bisa di ganggu, ya!""B-Bu Arin, apa benar Pak Ridwan dan Indri telah menikah?"Sesaat aku menatap wajah Mbak Jum."Sebentar! Biar saya tidurkan Arza dulu, baru kita bicara soal ini."Terlihat Mbak Jum mengangguk.Hemh ... kutarik napas lelah, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan dari Mbak Jum."Kenapa Mbak Jum tidak tanya langsung dengan Indri? Apa Mbak Jum benar-benar tidak tahu soal hubungan mereka selama ini? Kalau saya lihat, Indri begitu dekat dengan Mbak Jum.""Sa-saya tidak tahu, Bu. Benar-benar tidak tahu." jawab Mbak Jum dengan mengalihkan pandangannya dariku.Kenapa sikap Mbak Jum jadi gugup seperti itu? Apa mungkin ... dia mengetahui sesuatu? Ah, apa-apaan aku ini. Mungkin saja Mbak Jum gugup karena merasa bersalah atas perbuatan keponakannya."Kalau mereka sudah menikah, berarti orang tuanya Indri pasti tahu 'kan Mbak? Terutama bapaknya, karena dia pasti jadi wali nikahnya Indri."Sikap Mbak Jum terlihat semakin kelimpungan setelah mendengar ucapanku.Drrttt drrttt drrttt ....Belum sempat Mbak Jum menjawab pertanyaan dariku. Tiba-tiba terdengar suara getaran ponsel dari sakunya."Di angkat aja, Mbak! Siapa tahu penting."Mbak Jum mengambil ponsel dengan tangan yang sedikit gemetar.Kenapa aku merasa ada yang aneh dengan sikap Mbak Jum? Apa benar hanya perasaanku saja?"B-Bu Arin, saya permisi keluar dulu, ya. Telepon dari kampung."Mbak Jum pun bergegas keluar dari kamarku dengan buru-buru.Aku semakin penasaran dengan sikapnya. Kuikuti dengan langkah pelan. Berharap mendapat jawaban atas rasa penasaranku tentang sikap Mbak Jum yang menurutku aneh.Mbak Jum terlihat berjalan ke belakang tempat biasa menjemur pakaian. Dia seperti sedang memastikan situasi sebelum akhirnya mengangkat telepon."Sudah aku bilang 'kan. Jangan pernah telepon! Nanti kalau ketauan gimana?"Ketauan? Maksudnya? Ucapan Mbak Jum membuat tanda tanya besar di pikiranku.Tiba-tiba Mbak Jum menutup teleponnya begitu saja.Dengan cepat aku pun langsung melangkahkan kaki kembali ke kamar."Mbak, Mbak Jum. Tolong buatkan saya teh!" panggilku dengan berpura-pura berdiri di depan pintu."Baik, Bu."Tidak berapa lama, Mbak Jum datang dengan membawa secangkir teh untukku. Aku bersikap seperti biasa agar Mbak Jum tidak curiga kalau aku habis memantau dirinya."Terima kasih ya, Mbak." ucapku dengan berusaha mengulas senyum.Aku akan mencari bukti untuk hal ini. Bisa saja kecurigaanku ini benar. Aku harus hati-hati. Mas Ridwan dan Indri, mereka sudah mengkhianatiku. Tidak menutup kemungkinan Mbak Jum pun akan seperti mereka.***Malam pertama tanpa melihat adanya Mas Ridwan di kamar ini. Aku duduk di pojokan sofa dengan memeluk kedua kakiku dan membenamkan kepala di atas tekukan lutut.Hari ini begitu melelahkan. Sangat melelahkan. Tapi aku harus selalu kuat. Bagaimana aku bisa membalas rasa sakit hatiku kalau aku lemah.Drrttt drrttt drrttt ....Beberapa kali terdengar suara getaran ponsel yang membuatku akhirnya mengangkat kepala dan mendongakkan wajah ke arah meja yang tak jauh dari posisi dudukku seraya meraih ponsel.Feby?Ternyata banyak sekali panggilan masuk darinya. Dengan cepat aku mengangkat telepon darinya yang sudah beberapa kali menghubungiku."Ariin ... kamu ke mana aja, sih? dari tadi aku telepon ngga diangkat. Are you okay?"Hemh ... kebiasaan Feby, langsung nerocos aja. Ngga ngucapin salam dulu."Assalamu'alaikum. Seperti yang sudah kamu tahu, aku tidak sedang baik-baik saja. Tapi akan berusaha untuk tetap baik-baik saja, Feb," jawabku dengan suara pelan."Hehehe ... Wa'alaikumsalam. Kamu yang sabar ya, Rin! Mas Ridwan pasti akan dapat balasan yang setimpal. Dia akan menyesal. Oh ya, Rin. A-aku, tadi lihat Mas Ridwan dengan Indri. Maaf. Tidak ada maksud menyakiti perasaanmu.""Aku telah mengusir Mas Ridwan dari rumah ini, Feb. Dan sekarang dia tinggal bersama Indri," terangku dengan suara yang bergetar menahan rasa sakit di dada."Memang harus begitu, Rin. Biar dia tahu rasa. Kamu harus memberi pelajaran pada Mas Ridwan dan juga Indri!" jawab Feby terdengar emosi."Ada hal lain lagi yang sedang aku pikirkan, Feb. Ini soal Mbak Jum. Tapi aku tidak bisa menceritakannya lewat telepon.""Mbak Jum? Oke ... kamu bisa menceritakannya besok. Sekarang kamu istirahat, lupakan semua masalah ini! Dan jadilah perempuan yang kuat! Assalamu'alaikum."Tut tut tut ....Belum sempat aku membalas salam, Feby sudah menutupnya. Orang itu ...."Wa'alaikumsalam."Makasih ya, Feb. Bagaimanapun, kamu adalah sahabat terbaikku.Aku memang harus istirahat. Sudah cukup memikirkan Mas Ridwan ataupun Indri. Masalah ini sudah begitu menguras pikiranku.Aku pun mencoba memejamkan mata untuk melupakan sejenak semuanya. Berharap hari esok dan seterusnya, kebahagiaan akan datang padaku.BersambungAKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Apalagi ini, Ma? Setelah minta cerai, terus mengusirku dari rumah, dan sekarang kamu mengambil semua karyawan di toko ini," bentak Mas Ridwan di depan semua karyawan toko.Hah ... lagi-lagi harus ada drama di toko ini. Capek. Aku hanya terdiam tanpa menjawab sepatah katapun ucapan Mas Ridwan."Bu-bukan Bu Arin yang meminta. Tapi kami sendiri yang ingin bekerja dengan Bu Arin, Pak Ridwan." terang salah satu karyawan.Mas Ridwan terlihat begitu marah setelah mendengar jawaban tersebut."Kalian pikir, dengan satu toko yang dibagi menjadi dua, mampu menampung kalian semua?" jawab Mas Ridwan menatap satu per satu karyawan yang berderet di depannya.Rasain kamu, Pa. Bahkan karyawan saja enggan menjaga toko batikmu. Harusnya kamu bisa intropeksi, kenapa mereka semua lebih memilih bekerja denganku. "Kalian tidak perlu khawatir! Karena saya masih punya butik yang tak kalah besar dari toko ini. Nanti sebagian saya pindah ke sana. Kalian tidak keberatan 'kan?""
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Kamu yakin, Rin. Kalau Mbak Jum sebenarnya sudah mengetahui hubungan Mas Ridwan dan Indri dari awal?""Entahlah, Feb. Tapi aku merasa ada yang aneh dengan sikap Mbak Jum. Kemarin aku mengintai dia saat menerima telepon dari seseorang. Mbak Jum sampai harus ngumpet di belakang untuk bicara dengan penelepon tersebut. Apa yang dia ucapkan juga menjadi tanda tanya untukku."Aku dan Feby terdiam sejenak dengan saling menatap."Rin, kamu pasang CCTV aja di setiap sudut rumah. Biar kamu bisa memantau gerak-gerik Mbak Jum di rumah. Apalagi Arza 'kan diasuh Mbak Jum. Biar kamu bisa memantau Arza sekalian."Ide yang bagus, kenapa aku tidak kepikiran hal itu. Feby memang selalu cepat dalam mencari solusi. Kudekati Feby dan memeluknya begitu erat. Sahabat yang selalu memberi semangat saat diri ini rapuh."Arin, lepasiin ...! Sakit tahu. Lagian kita dilihatin banyak orang di cafe ini."Seketika langsung kulepaskan pelukanku dari Feby. "Terus. Bagaimana perceraian
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU Hari ini adalah awal mencari jawaban atas kecurigaanku terhadap Mbak Jum. Ide dari Feby untuk memasang CCTV sudah sukses. Sekarang aku akan lebih mudah memantau gerak-gerik Mbak Jum di rumah ini.Oh ya, aku sampai lupa kalau harus memberi laporan pada Feby. Segera kuambil ponsel untuk mengirim pesan padanya.[Sukses, Feb.][Oke.][Udah selesai belanjanya?][Aku udah selesai dari tadi, Rin. Belum ada laporan dari kamu, makanya aku ajak Mbak Jum muter-muter. Biar dia pusing. Ha ha ha ....]Dasar Feby, masih sempet-sempetnya bercanda. Sembari menunggu mereka pulang, aku menelepon salah satu karyawan kepercayaan di butik dan toko batik. Aku ingin mengontrol keadaan di sana karena hari ini aku tidak datang.Tin tin tin ....Terdengar suara klakson mobil. Itu pasti mereka. Aku pun segera keluar."Bu Arin, maaf belanjanya lama. Tadi sama Mbak Feby diajak muter-muter dulu," jelas Mbak Jum."Kamu tuh ya, Feb. Kebiasaan. Kalau udah belanja lupa waktu," ucapku
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Ayah dan Ibu lebih percaya dengan omongannya Mas Ridwan daripada Arin? Arin yang telah dikhianati Mas Ridwan. Dia menjalin hubungan dengan Indri, keponakan Mbak Jum. Dan mereka juga sudah menikah siri," jelasku dengan napas yang tersengal-sengal."Indri? Kamu salah, Rin. Mereka hanya teman, tidak lebih. Bukannya Indri karyawan kalian? Kenapa kamu berpikir sejauh itu?" jawab ibu masih tetap tidak percaya dengan penjelasanku. Sebenarnya apa yang telah Mas Ridwan dan Indri katakan pada orang tuaku? Sampai-sampai Ayah dan Ibu begitu percaya dengan mereka."Salah? Arin melihat dengan mata kepala Arin sendiri. Semua karyawan toko saksinya. Arin juga punya saksi kalau mereka sudah menikah siri. Tapi kalau Ayah dan Ibu memang tidak percaya dengan Arin, tidak apa-apa," jawabku langsung berlalu meninggalkan Ayah dan Ibu ke kamar dengan mengajak Arza.Ku'dudukkan Arza di atas kasur dan kuputarkan film kartun favorit dia. Langsung kuhempaskam tubuh ini di samping
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU Kuparkirkan mobil dan tetap berada di dalam. Kini mataku terarah pada dua orang yang sedang bergandengan mesra hendak masuk ke dalam toko. Mas Ridwan dan Indri. Aku tidak ingin Arza melihat papanya bersama perempuan lain. Arza memang masih kecil, tapi dia tidak boleh melihat kelakuan papanya yang memalukan seperti itu. Akan kubimbing dan kudidik Arza tumbuh menjadi anak yang baik. "Mama, ayo ulun, ayo!" Dengan ucapan polosnya, Arza mengajakku turun dari mobil."Iya, Nak, sebentar ya!" jawabku dengan melihat ke depan menunggu Mas Ridwan dan Indri benar-benar masuk."Ayo Arza, kita turun!" ajakku setelah melihat Mas Ridwan dan Indri masuk ke toko."Pagi, Bu," sapa beberapa karyawan dengan mengulas senyum."Pagi."Aku melihat renovasi toko sudah hampir selesai. Memang tidak butuh waktu lama, karena hanya merenovasi bagian tengah. Pembatas antara tokoku dengan toko Mas Ridwan."Din. Tolong kamu temani Arza sebentar!" pintaku dengan mendekatkan Arza pada
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU"Mas Ridwann ...," teriakku dengan menggedor pintu rumah kontrakan Indri.Klek Sosok perempuan yang tak asing bagiku keluar dari balik pintu.Mbak Jum? Ternyata sekarang dia tinggal dengan Mas Ridwan dan Indri? Heh ... tiga pengkhianat kumpul jadi satu. Tapi bukan itu yang menjadi urusanku saat ini."Mas Ridwan mana?" tanyaku langsung menyelonong masuk ke dalam."Arin, sabar!" panggil Feby dengan menarik tasku. "Sabar? Kamu memintaku untuk sabar, Feb? Mas Ridwan tiba-tiba mengambil Arza dari rumah Ibu." Feby pun kena sasaran atas kemarahanku pada Mas Ridwan."Ada apa ini?" tanya Mas Ridwan yang keluar dari balik gorden."Arza mana? Kenapa kamu bawa Arza dari rumah Ibu? Keterlaluan.""Arin ... Arin. Kamu tuh bisa ngga sih, ngga usah marah-marah! Arza itu anakku juga. Terus, apa salah kalau seorang Ayah mengajak anaknya sendiri?""Tergantung. Ayah seperti apa dulu? Aku ke sini bukan untuk bicara panjang lebar denganmu. Sekarang, Arza, mana?"Kesabarank
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU Setelah pulang dari rumah Dina, aku ingin ke tempat Ayah dan Ibu. Sedangkan Arza memang sengaja tidak kuajak. Alhamdulillah, dua hari tinggal di butik, Arza terlihat nyaman dan langsung akrab dengan karyawan di sana. Aku pun tidak khawatir saat meninggalkan Arza bersama mereka.Aku meminta salah satu karyawan di butik untuk fokus menjaga Arza selama kutinggal. Sambil mencari pengganti Mbak Jum.-----"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." terdengar jawaban salam dari Ibu. Raut wajah Ibu terlihat begitu kesal. Sepertinya Ibu masih marah denganku."Ayah mana, Bu?" Ibu tidak menjawab pertanyaan dariku, bahkan menatap pun enggan. "Ibu masih marah?" tanyaku lagi. "Arin ke sini untuk memberitahu Ayah dan Ibu, kalau sekarang Arin dan Arza tinggal di butik."Seketika Ibu langsung menatapku tajam."Kamu keluar dari rumah itu?""Iya, Bu. Arin memang mengosongkan rumah tersebut, karena Arin ingin membuktikan kalau tuduhan Mas Ridwan itu salah besar."Hahh ... t
AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKUAku berusaha untuk tetap tenang saat duduk di kursi sidang yang seumur hidup tak pernah kubayangkan sedikitpun.Pandanganku terus menatap ke depan dan tak ingin menoleh ke samping. Di mana ada Mas Ridwan yang duduk di sebelahku.Ketika sidang sudah dibuka oleh Hakim Ketua, perasaan deg-deg'an begitu terasa. Meskipun memang sudah mantap untuk bercerai dengan Mas Ridwan, tapi persidangan ini membuat perasaanku tiba-tiba begitu pilu. "Saudara Ridwan Setiawan, apakah anda tidak mempertimbangkan kembali keinginan anda untuk bercerai dengan saudari Arin Prameswati?"Sebuah pertanyaan dari Hakim Ketua yang ditujukan pada Mas Ridwan. Meskipun pandangan ke depan, tapi aku tahu kalau Mas Ridwan menoleh ke arahku sebelum akhirnya menjawab pertanyaan dari Hakim Ketua."Tidak Bapak Hakim, saya tetap pada pendirian saya untuk bercerai."Jawaban yang membuat perasaanku berkecamuk. Tapi memang inilah yang harus aku hadapi. Karena sudah menjadi pilihan."Lalu, bagaima