Share

Bab 7

AKAN KUBALAS KECURANGAN SUAMIKU

"Kenapa kamu lebih memilih berpisah denganku? Seandainya sedikit saja bisa mengerti dan mau menerima Indri jadi istri kedua. Semua akan baik-baik saja. Toh, kamu tetap menjadi istri pertama dan tidak merubah statusmu sebagai istriku. Sungguh keras kepala kamu, Ma."

"Keluar!" tegasku dengan nada yang begitu tinggi.

Suami macam apa kamu, Pa, dengan mudahnya bicara seperti itu tanpa memikirkan perasaanku sama sekali. Keterlaluan.

Berkali-kali aku mengetahui kebohonganmu, tapi belum pernah sekalipun kamu meminta maaf padaku. Justru kata-kata menyakitkan yang selalu kamu ucapkan.

"Mbak, segera kamu tutup pintunya!"

"Ta-tapi, Bu. Pak Ridwan masih ada di depan."

"Saya bilang, tutup pintunya!"

Aku pun langsung bergegas masuk ke dalam kamar.

"Mama," tiba-tiba panggilan bocah polos mengalihkan kepiluanku. Dia mendekatiku dengan senyum manisnya dan memberikan sebuah mainan.

"Ar-Arza, kamu ingin ngajakin Mama main ya, Nak?" tanyaku dengan segera mengusap air mata yang sudah membendung.

Apa kamu tahu, Nak, kalau saat ini perasaan Mama begitu sakit. Maafin Mama karena menyuruh papamu pergi dari rumah ini.

Kupangku dan kupeluk Arza dengan begitu erat sembari mengelus rambutnya.

Brem brem brem ....

Suara mobil yang tak asing bagiku terdengar berhenti di depan rumah.

Mobil Mas Ridwan? Tapi, kenapa baru terdengar sekarang?

Dengan menggendong Arza, aku membuka sedikit gorden jendela kamar dan melihat siapa yang datang mengendarai mobil Mas Ridwan.

Indri? Ternyata dia yang membawa mobil Mas Ridwan. Heh ... sudah kuduga. D*s*r perempuan matre.

Mas Ridwan langsung memasukkan koper-kopernya ke dalam mobil. Tak kulihat sedikitpun raut wajah yang menunjukkan kesedihan apalagi penyesalan.

Indri memang telah merubah segalanya tentang Mas Ridwan. Dia bukan lagi Mas Ridwan yang kukenal.

Kututup kembali gorden ketika mobil Mas Ridwan sudah tak terlihat lagi.

Dia sudah pergi. Benar-benar sudah pergi dengan perempuan itu.

Dulu, aku selalu menunggunya pulang. Tapi sekarang, aku telah menyuruhnya pergi dari rumah ini. Dan semua itu karena kesalahannya sendiri.

"Mas Ridwan ...," panggilku lirih.

Kutatap foto pernikahan yang masih terpajang di dinding kamar. Aku tidak ingin memikirkannya, tapi semua itu ternyata tidak mudah.

Aku pun tak mampu menahan tangis. Perasaan sedih, kecewa, dan marah, kini menjadi satu berkecamuk di dalam dada.

"Ayo Arin, tidak perlu meratapi laki-laki seperti dia!" ucapku untuk menguatkan diri sendiri.

Hemh ... aku harus mulai membiasakan diri tanpa kehadirannya. Lebih baik aku fokus pada diriku sendiri dan juga Arza.

"Bu Arin," panggil Mbak Jum dengan mengetuk pintu.

Aku pun segera beranjak dari dudukku dan membukakan pintu dengan masih menggendong Arza yang sudah terlelap tidur di pelukanku.

"Ada apa, Mbak? Kalau ada yang mencari saya, bilang saja sedang tidak bisa di ganggu, ya!"

"B-Bu Arin, apa benar Pak Ridwan dan Indri telah menikah?"

Sesaat aku menatap wajah Mbak Jum.

"Sebentar! Biar saya tidurkan Arza dulu, baru kita bicara soal ini."

Terlihat Mbak Jum mengangguk.

Hemh ... kutarik napas lelah, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan dari Mbak Jum.

"Kenapa Mbak Jum tidak tanya langsung dengan Indri? Apa Mbak Jum benar-benar tidak tahu soal hubungan mereka selama ini? Kalau saya lihat, Indri begitu dekat dengan Mbak Jum."

"Sa-saya tidak tahu, Bu. Benar-benar tidak tahu." jawab Mbak Jum dengan mengalihkan pandangannya dariku.

Kenapa sikap Mbak Jum jadi gugup seperti itu? Apa mungkin ... dia mengetahui sesuatu? Ah, apa-apaan aku ini. Mungkin saja Mbak Jum gugup karena merasa bersalah atas perbuatan keponakannya.

"Kalau mereka sudah menikah, berarti orang tuanya Indri pasti tahu 'kan Mbak? Terutama bapaknya, karena dia pasti jadi wali nikahnya Indri."

Sikap Mbak Jum terlihat semakin kelimpungan setelah mendengar ucapanku.

Drrttt drrttt drrttt ....

Belum sempat Mbak Jum menjawab pertanyaan dariku. Tiba-tiba terdengar suara getaran ponsel dari sakunya.

"Di angkat aja, Mbak! Siapa tahu penting."

Mbak Jum mengambil ponsel dengan tangan yang sedikit gemetar.

Kenapa aku merasa ada yang aneh dengan sikap Mbak Jum? Apa benar hanya perasaanku saja?

"B-Bu Arin, saya permisi keluar dulu, ya. Telepon dari kampung."

Mbak Jum pun bergegas keluar dari kamarku dengan buru-buru.

Aku semakin penasaran dengan sikapnya. Kuikuti dengan langkah pelan. Berharap mendapat jawaban atas rasa penasaranku tentang sikap Mbak Jum yang menurutku aneh.

Mbak Jum terlihat berjalan ke belakang tempat biasa menjemur pakaian. Dia seperti sedang memastikan situasi sebelum akhirnya mengangkat telepon.

"Sudah aku bilang 'kan. Jangan pernah telepon! Nanti kalau ketauan gimana?"

Ketauan? Maksudnya? Ucapan Mbak Jum membuat tanda tanya besar di pikiranku.

Tiba-tiba Mbak Jum menutup teleponnya begitu saja.

Dengan cepat aku pun langsung melangkahkan kaki kembali ke kamar.

"Mbak, Mbak Jum. Tolong buatkan saya teh!" panggilku dengan berpura-pura berdiri di depan pintu.

"Baik, Bu."

Tidak berapa lama, Mbak Jum datang dengan membawa secangkir teh untukku. Aku bersikap seperti biasa agar Mbak Jum tidak curiga kalau aku habis memantau dirinya.

"Terima kasih ya, Mbak." ucapku dengan berusaha mengulas senyum.

Aku akan mencari bukti untuk hal ini. Bisa saja kecurigaanku ini benar. Aku harus hati-hati. Mas Ridwan dan Indri, mereka sudah mengkhianatiku. Tidak menutup kemungkinan Mbak Jum pun akan seperti mereka.

***

Malam pertama tanpa melihat adanya Mas Ridwan di kamar ini. Aku duduk di pojokan sofa dengan memeluk kedua kakiku dan membenamkan kepala di atas tekukan lutut.

Hari ini begitu melelahkan. Sangat melelahkan. Tapi aku harus selalu kuat. Bagaimana aku bisa membalas rasa sakit hatiku kalau aku lemah.

Drrttt drrttt drrttt ....

Beberapa kali terdengar suara getaran ponsel yang membuatku akhirnya mengangkat kepala dan mendongakkan wajah ke arah meja yang tak jauh dari posisi dudukku seraya meraih ponsel.

Feby?

Ternyata banyak sekali panggilan masuk darinya. Dengan cepat aku mengangkat telepon darinya yang sudah beberapa kali menghubungiku.

"Ariin ... kamu ke mana aja, sih? dari tadi aku telepon ngga diangkat. Are you okay?"

Hemh ... kebiasaan Feby, langsung nerocos aja. Ngga ngucapin salam dulu.

"Assalamu'alaikum. Seperti yang sudah kamu tahu, aku tidak sedang baik-baik saja. Tapi akan berusaha untuk tetap baik-baik saja, Feb," jawabku dengan suara pelan.

"Hehehe ... Wa'alaikumsalam. Kamu yang sabar ya, Rin! Mas Ridwan pasti akan dapat balasan yang setimpal. Dia akan menyesal. Oh ya, Rin. A-aku, tadi lihat Mas Ridwan dengan Indri. Maaf. Tidak ada maksud menyakiti perasaanmu."

"Aku telah mengusir Mas Ridwan dari rumah ini, Feb. Dan sekarang dia tinggal bersama Indri," terangku dengan suara yang bergetar menahan rasa sakit di dada.

"Memang harus begitu, Rin. Biar dia tahu rasa. Kamu harus memberi pelajaran pada Mas Ridwan dan juga Indri!" jawab Feby terdengar emosi.

"Ada hal lain lagi yang sedang aku pikirkan, Feb. Ini soal Mbak Jum. Tapi aku tidak bisa menceritakannya lewat telepon."

"Mbak Jum? Oke ... kamu bisa menceritakannya besok. Sekarang kamu istirahat, lupakan semua masalah ini! Dan jadilah perempuan yang kuat! Assalamu'alaikum."

Tut tut tut ....

Belum sempat aku membalas salam, Feby sudah menutupnya. Orang itu ....

"Wa'alaikumsalam."

Makasih ya, Feb. Bagaimanapun, kamu adalah sahabat terbaikku.

Aku memang harus istirahat. Sudah cukup memikirkan Mas Ridwan ataupun Indri. Masalah ini sudah begitu menguras pikiranku.

Aku pun mencoba memejamkan mata untuk melupakan sejenak semuanya. Berharap hari esok dan seterusnya, kebahagiaan akan datang padaku.

Bersambung

Comments (2)
goodnovel comment avatar
omy happy
si lonte indri gak mati aja tuh
goodnovel comment avatar
Nurul Fajar
iklan GK bisa d buka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status