|Mbak Wita, bakda maghrib ada acara nggak? Kalau nggak ada, aku mau traktir kamu di Cafe Berliana Jalan Delima 26, nanti aku antar jemput. Kalau Mbak Wita sibuk, bisanya kapan? Biar aku yang nyusun waktu buat Mbak| Sebuah pesan dari Mbak Ulya masuk ke ponsel. Aku membacanya melalui notifikasi. Bakda maghrib? Sepertinya nggak ada acara, lagipula malam minggu begini memang biasanya kugunakan untuk bersantai bersama Zahra di depan tivi. Malas ke mana-mana karena biasanya jalanan macet setiap weekend tiba."Ra, tante Ulya mau traktir kita makan di cafe habis maghrib, Zahra mau?" tanyaku pada gadis kecilku itu yang masih sibuk mengikat tali di rambutnya. "Apa, Bu? Kita mau ditraktir tante Ulya lagi, ya? Horeeeee! Zahra mau, Bu." Gadisku berteriak sembari tepuk tangan kegirangan.Dia bahkan memutar-mutarkan badannya seperti balerina saking senangnya. Mungkin tak hanya senang ditraktir, tapi senang juga diajak jalan-jalan. Jarang aku ajak dia jalan malam-malam begitu. Kasihan dia kalau nai
"Aku akan menjelaskan tentang masa lalu kita, Wita. Aku hanya ingin mengungkapkan semuanya agar kuta sama-sama lega. Tak ada lagi prasangka macam-macam. Jikalaupun nanti kamu nggak percaya, tak apa. Yang penting aku sudah mengatakan yang sejujurnya," ucap laki-laki itu lagi. Entah mengapa hatiku kembali berdebar saat dia mengucapkan kata masa lalu kita. Nyeri dan perih itu kembali menjalar dalam dada.Masa lalu yang membuat hidupku semakin nelangsa, sebab ibu dan bapak pun merasakan dampaknya. Mereka dihina bahkan sempat dikucilkan beberapa tetangga.Aku baru sadar, Mbak Ulya dan Mas Hanan pasti sudah merencanakan pertemuan ini sebelumnya. Mereka bersekongkol. "Kamu mau mendengarkan ceritaku, kan, Wit? Kalau misal nggak mau, aku akan pergi sekarang," ucap Mas Hanan dengan sedikit kebingungan. Mungkin dia merasa nggak enak hati karena aku diam saja sedari tadi. Laki-laki itu beranjak dari kursinya lalu membalikkan badan. Baru beberapa langkah sudah kucegah. "Kalau memang ada yang p
"Assalamu'alaikum, Wita. Gimana kabarnya?" Suara Mbak Ningsih terdengar begitu riang. Dia anak sulung Bik Sarah masih saudara cukup dekat dengan mantan suami. Sejak delapan tahunan menikah dengan Mas Aris, hanya Mbak Ningsih lah yang selalu membelaku di depan keluarga besar. Dia seolah menjadi pahlawan di setiap kesempatan. "Wa'alaikumsalam, Mbak. Alhamdulillah baik, Zahra juga. Mbak Ningsih dan keluarga apa kabar? Tumben banget ini nelepon," balasku kemudian. Mbak Ningsih tertawa kecil. Seperti biasanya dia memang murah senyum dan ramah. "Tumben banget emang, Wit. Kamu tahu sendiri lah, sejak sakit stroke itu Mbak jarang pegang ponsel," balasnya kemudian. Aku kembali membayangkan bagaimana wajah dan senyum Mbak Ningsih detik ini."Sejak cerai sama Aris, kamu jarang nongol lagi di sekitar sini loh, Wit. Mbak kadang kangen sama kamu dan Zahra tapi sayangnya nggak diizinkan ke mana-mana kalau tanpa pengantar. Kamu juga sudah nggak pernah main ke rumah. Sibuk, ya?" Mbak Ningsih kembal
|Kamu ngapain ke rumah Mbak Ningsih sama Pak Hanan? Kamu beneran sudah nerima cinta dia, Wit?|Pesan dari Mas Aris 31 menit lalu baru kubuka. Ternyata, ada beberapa pesan yang masuk ke aplikasi hijauku itu. |Apa Pak Hanan sudah melamar kamu, Wit? Kamu menerimanya nggak?|10 menit kemudian dia kembali mengirimkan pesan. Entah mengapa dia terlihat cukup resah dengan kehadiranku di acara Mbak Ningsih kemarin.|Balas dong, Wit. Kenapa nggak mau balas? Apa Zahra mau menerima Pak Hanan dengan baik? Apa dia senang jika Pak Hanan datang?|10 menit lalu dia kembali mengirimkan pesan. |Wita! Kamu lupa caranya ngetik atau emang amnesia sama huruf? Kenapa nggak balas padahal online?| |Bener-bener kamu ya, Wit! Apa Pak Hanan serius sama kamu?| Pesan 2 menit yang lalu. Sepertinya orang itu memang rada konslet. Heran! Masih saja sibuk mengganggu hidupku padahal dulu dia sendiri yang mencampakkanku. Begitu rupanya jalannya kehidupan, kita akan merasa kehilangan jika dia sudah tak bisa lagi digeng
Pov : Aris Pikiranku akhir-akhir ini benar-benar kacau. Wita seolah sengaja menjaga jarak dan tak mau memberiku kesempatan kedua meski sudah berulang kali kumeminta. Bahkan aku juga sudah membujuk Zahra agar mau merayu ibunya untuk sekadar bertemu denganku, namun tetap saja gagal. Sepertinya Wita memang sudah tak mengharapkanku lagi. Di kantor, aku mulai tak fokus kerja. Sering kali melakukan kesalahan bahkan yang paling parah kemarin. Aku sampai ditegur Pak Hanan gara-gara kebanyakan melamun, memikirkan masalah ini. Aku seolah sudah kehabisan akal untuk merayu Wita lagi. Tapi aku tak akan menyerah. Sampai kapan pun aku nggak rela jika Wita kembali pada Pak Hanan. Aku nggak rela! "Kesampingkan masalah hati saat masih di kantor. Persoalan hati yang galau, jangan sampai mengganggu pekerjaan. Jangan dicampur aduk supaya tak sering melakukan kesalahan," ucap Pak Hanan kemarin saat aku dipanggil ke ruang kerjanya. Aku hanya menunduk dan mengiyakan. Tak banyak kata apalagi alasan. "K
Pov : Hanan"Aku mencintaimu, Wita. Jangan tanyakan mengapa, karena ia hadir begitu saja dalam hati tanpa pernah kuminta apalagi kupaksa," ucapku saat itu pada gadis sederhana dengan hijab merah mudanya. Aku bertemu dengannya beberapa kali di toko buku langganan.Mendengar ungkapan hatiku, bukannya kaget lantas menerima, dia justru tertawa. Sepertinya geli sendiri sampai kulihat dia geleng-geleng kepala lalu meninggalkanku begitu saja. "Aku sudah membayarnya," ucapku pada gadis itu saat dia menyerahkan buku yang dia bawa ke kasir. Sang kasir pun tahu maksudku setelah kukedipkan mata padanya. Aku terbiasa ke toko ini, jadi mereka cukup hafal dan tahu siapa aku."Buat apa dibayarin? Aku nggak minta bahkan kita nggak saling kenal, kan?" tanyanya serius. "Mungkin kamu nggak kenal aku, tapi aku cukup kenal kamu," balasku dengan senyum lebar. Dia makin tak mengerti, terbukti kedua alisnya mengerut karena penasaran. "Namamu Wita. Rumah samping masjid Nurul Huda Jalan Flamboyan 4 tak jauh
|Wit, pulang dulu ya. Ada yang ingin bapak dan ibu bicarakan. Tapi nggak bisa via telepon. Lagipula, sejak kamu bercerai dengan Aris, kamu belum pulang. Ibu dan Bapak kangen sama Zahra juga, sudah hampir tujuh bulan kalian nggak mudik ke Solo. Meski tiap bulan kamu kirim uang, tapi ibu dan bapak butuh kamu. Pulang, ya ... kami menunggumu| Pesan ibu tiga hari yang lalu sengaja belum aku balas. Sengaja ingin membuat kejutan pada ibu dan bapak dengan tiba-tiba nongol di depan pintu.Mereka pasti sangat senang dengan kedatanganku dan cucu kesayangannya hari ini. Aku dan Zahra yang memang jarang pulang membuat rindu mereka semakin membara. Aku pun sama.Kulihat anak gadisku itu yang masih terlelap cukup nyenyak, meski kini aku dan dia masih berada di dalam bus yang akan mengantar kami ke Solo. Tanah kelahiran dengan sejuta kenangan.Teringat kembali senyum dan tawa renyah bapak ibu. Bayangan tentang keromantisan mereka kembali menghiasi pelupuk mata.Membayangkannya saja sebahagia ini, ap
Pov : Yuli "Mas, aku sudah minta maaf sama kamu bahkan sama ibu dan adikmu, tapi kenapa kamu masih melanjutkan perceraian ini? Apa masih kurang banyak permintaan maafku? Aku harus berbuat apa biar kamu mau memaafkanku dan menghentikan perceraian ini, Mas?" tanyaku pada Mas Danu yang terdiam di sofa ruang tengah sembari memangku Annisa. Dia hanya melirikku sekilas lalu menghela napas."Aku janji akan berusaha menjadi istri dan menantu yang baik, Mas. Aku juga akan berusaha menjadi ipar yang baik. Kumohon jangan perpanjang masalah ini ya, Mas," ucapku dengan wajah memohon agar Mas Danu mau menghentikan kasus cerai ini."Cukup, Yul. Bukankah selama ini kamu sudah sering berjanji untuk menjadi istri yang baik? Tapi apa nyatanya? Nol besar," ucap Mas Danu kemudian. Tangisku kembali keras terdengar. Aku tahu jika selama ini memang sering cekcok dengan Mas Danu soal keuangan. Mungkin memang aku yang terlalu banyak menuntut.Sebelum menikah aku sudah berjuang untuk keluarga, karena itulah s