Ibu dan Bapak akhirnya sampai di Jakarta, Rony tampak cukup kelelahan karena tak ada yang gantiin menyetir. Sementara kegiatan ngecraft memang kustop dulu. Orderan yang masuk pun sudah aku selesaikan sebelum mudik ke Solo enam hari lalu. Rony bersama bapak memilih tidur di kontrakan sebelah menggunakan kasur lantai, sementara ibu tidur bersamaku dan Zahra di kontrakan utama. Gegas kukirimkan pesan pada Bang Baim untuk mengantar lima porsi bakso dan es buahnya. Meski di jalan sudah mampir makan, tapi saat ini mereka pasti sudah lapar lagi. Bakso dan es buah lumayan seger buat mengisi perut siang bolong begini. Kami sampai kontrakan pukul sebelas siang karena Rony memang sering istirahat sebentar di pom bensin untuk sekadar melepas lelah. Maklum, dia menyetir sendirian karena memang nggak ada pengganti."Hallo, Wit. Bapak dan Ibu ikut ke Jakarta, ya?" tanya Mas Aris dari seberang. Entah darimana dia tahu kalau ibu dan bapak ikut serta ke Jakarta hari ini. Aku yakin Mas Aris akan cari
Aku siap-siap mengantar Zahra ke sekolah karena hari ini dia ada tes harian. Nggak boleh telat, apalagi tes di jam pertama. Gegas kukeluarkan motor dari dalam kontrakan. Zahra pun buru-buru mengenakan jilbab putihnya lalu keluar rumah sudah dengan seragam dan tas lengkap. Dia memang sudah cukup mandiri di usianya kini. Jika aku masih sibuk di dapur atau packing orderan pun, anak gadisku itu ikut membantu. Beberes rumah yang dia bisa atau memintaku untuk menggunakan tenaganya. Aku sangat bersyukur memiliki Zahra yang begitu pengertian. Tak banyak mengeluh tentang keadaan, cekatan dan dia juga bukan anak yang manja. Apapun yang dia minta selalu berusaha kupenuhi, hanya saja jika belum mampu dia mau menahan keinginannya. Mau menabung sedikit demi sedikit sampai cukup untuk membeli barang yang diinginkannya. Dia anak yang cukup sabar dibandingkan dengan anak lain seusianya. "Kunci sekalian, Ra," ucapku pada anak gadisku itu. Dia pun mengangguk pelan. "Ini kuncinya, Bu. Zahra masukka
Kulihat malaikat tanpa sayapku itu terbaring lemah di pembaringan. Banyak perban di sana-sini, selang infus pun tertancap di tangannya. Bapak mengedipkan matanya ke arahku. Duka itu menggantung di wajahnya yang menua. "Pak ... bagaimana keadaan bapak sekarang? Bapak harus sembuh, ya?" Aku terisak di sampingnya. Mencium punggung tangannya yang mengeriput. Kedua mata itu pun berkaca-kaca melihatku begitu berduka. Ya Allah ... aku benar-benar takut kehilangan bapak. Aku takut bapak pergi sebelum aku bisa mewujudkan semua impian-impiannya. Panjangkan lah umurnya, agar dia bisa menjadi wali dan menyaksikan hari bahagiaku nanti. Seperti yang dia inginkan selama ini. "Zahra mana?" Lirih kudengar suara bapak menanyakan cucu kesayangannya. "Di Jakarta sama Mbak Mayang, Pak. Kasihan dia kalau diajak ke sini," ucapku lirih. Kuseka bulir bening yang menetes di kedua pipinya yang mengeriput. "Rony baik-baik saja, kan? Kasihan dia," tanya bapak lagi. Aku pun kembali menyeka air mata yang meniti
Hari keenam di rumah sakit, Bapak sudah mulai membaik dan diizinkan pindah ke ruang perawatan untuk pemulihan, Rony pun sudah membaik namun belum dipindah ke ruang rawat. Dia masih di ruang ICU. Kata Dokter, jika hari ini makin membaik InsyaAllah besok juga akan dipindah ke ruang rawat. Sejak keputusan Bapak untuk menikahkanku dengan Rony lima hari lalu, tak ada obrolan lagi tentang itu. Bahkan Pakde Samsul dan Budhe Nur pun belum memberikan keputusan apa pun. Mereka bilang, keputusan ada di tangan Rony. Biar dia yang menjawab, iya atau tidak. Sementara Mas Hanan masih tetap mengurus semua keperluan Bapak, tanpa pernah memaksaku menjawab apa jawaban istikharahku selama ini. Ya ... semua diam seolah tak terjadi apa-apa dan tak ada pembahasan apa-apa sebelumnya. "Bagaimana jawaban Pakde Samsul, Wit?" tanya Bapak di sela-sela sarapan paginya. Aku menyuapi Bapak dengan menu bubur ayam. "Belum ada jawaban, Pak. Pakde Samsul masih sibuk mengurus Rony, lagipula Pakde bilang semua kepu
Pagi yang cerah. Mentari pagi menyinari bumi. Hangat. Kuhembuskan napas lega setelah melewati perjalanan panjang yang menengangkan. Sejak kemarin sore, Mas Hanan menginap di rumah pakde Samsul. Mereka ingin menjamu dengan makanan 'ndeso' katanya. Betapa bahagianya aku melihat keikhlasan dua lelaki itu. Mereka tak ada yang memaksakan kehendak. Menerima segala keputusan yang ada dengan lapang dada, saling merangkul dan melayangkan doa untuk kebaikan bersama.Indahnya dunia seandainya masing-masing orang memiliki keikhlasan dan tak bersikap memaksa seperti mereka. "Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari luar. Ibu yang masih sibuk di dapur gegas menjawab salam dan keluar menuju pintu. "Wa'alaikumsalam. MasyaAllah Zahra ikut ke rumah Mbah Putri?" Ibu terdengar begitu girang. Ibuku yang menua dengan daster dan hijab simpelnya. Hijab yang warnanya sudah memudar, tapi masih terus dipakainya. Kadang ada luka yang menganga di dalam sana, betapa selama ini aku kurang memperhatikan ibuku.
"Gimana kabarnya, Ul?" tanya Rony dengan senyum lebarnya. "Baik, Ron. Kamu sendiri apa kabar? Sudah lama nggak ketemu, ya," ucap Mbak Ulya kemudian. Mereka saling melempar senyum."Iya sudah enam tahunan, kan? Sejak aku pergi ke Korea lost contact kita," ucap Rony lagi. Rony memang kerja di Korea sekitar lima tahunan, kontrak pertama tiga tahun lantas ada perpanjangan kurang lebih dua tahun. Baru pulang sampai sekarang. Bapak bilang mulai membuka usaha kuliner dan bengkel. Tapi aku masih heran dan bingung, kenapa mereka bisa saling kenal? Dimana bertemunya dan kapan? Apa sebelum Rony pergi ke Korea? Iya, saat dia kerja di Jakarta untuk modal kerja di Korea itu? "Bener banget kurang lebih enam tahunan. Ohya kamu nggak tahu kan kalau bos kita dulu itu papanya Pak Hanan?" Rony tampak kaget mendengar cerita dari Mbak Ulya. Dua insan beda kelamin itu pun menoleh ke arah Mas Hanan yang sudah duduk santai di sofa. "Benarkah? Wah, ternyata dunia itu berasa sempit, ya?" Mbak Ulya mengang
Pagi-pagi kuantar Zahra ke sekolah. Hari ini minggu terakhir masuk sekolah karena besok libur. Rencananya bakda maghrib nanti, Mas Hanan akan menjemputku dan Zahra. Dia ingin memperkenalkan kami dengan papa da adiknya, untuk mempererat hubungan keluarga, katanya. Setelah sampai halaman sekolah, kuantar Zahra masuk kelas. Gegas kulangkahkan kaki menuju ruang guru untuk bertemu dengan wali kelasnya, sekadar menanyakan perkembangan Zahra di sekolah. Apalagi kemarin aku tinggal seminggu lebih di kampung halaman. "Zahra Alhamdulillah perkembangan belajar dan nilai-nilainya bagus, Bu Wita. Dia juga sekarang jauh lebih ceria dan bersemangat di setiap pelajaran. Waktu istirahat juga digunakan untuk bermain dengan teman-temannya. Tapi-- "Tapi kenapa, Bu? Ada yang salah dengan Zahra?" tanyaku penasaran. "Soal Annisa, Bu. Sekarang dia justru lebih sering murung di kelas. Nilai-nilainya juga turun drastis, sering nggak masuk juga dengan alasan sakit. Saya sudah berusaha menghubungi orang tu
Bakda maghrib, Mas Hanan menjemput ke kontrakan. Aku dan Zahra pun segera menaiki mobilnya karena waktu sudah hampir setengah tujuh malam. Zahra duduk santai sembari menikmati pemandangan dari jok belakang, sementara aku duduk di depan samping Mas Hanan. "Suka nggak gamisnya?" tanya Mas Hanan. Dia menatapku beberapa detik lalu kembali fokus ke stirnya. Gamis yang aku dan Zahra pakai malam ini memang pemberian Mas Hanan. Ulya yang menyerahkannya kemarin. Meski berulang kali kutolak, nyatanya dia tetap meletakkan gamis couple ini di atas etalase. Gamis berwarna hijau tosca yang cantik. "Gamis segini cantiknya masak nggak suka? Jelas suka, cuma lain kali nggak usah ya, Mas. Lagipula, ini kelihatan mahalnya," ucapku lagi. Mas Hanan hanya tersenyum tipis."Buat kamu dan Zahra nggak ada kata mahal." Aku pun menoleh. "Pinter banget jawabnya," balasku kemudian. Lagi-lagi dia kembali terkekeh. Setelah sampai halaman rumah Mas Hanan, aku meminta Zahra untuk turun dari mobil perlahan. Rumah