Dona langsung mendelik, hidungnya mengkerut, beberapa kali dia melayangkan tatapan tidak suka pada Yuni.
"Sejak kapan kamu berani melawan Ibu, Ramdani?" sentak Dona sambil tersenyum sinis. "Pasti si Yuni main dukun, biar kamu berani bersikap seperti itu."
Dona sengaja melayangkan sebuah tuduhan tidak mendasar pada Yuni. Sengaja dia melakukan ini, tentunya agar Ramdani percaya lagi padanya, karena bagaimanapun itu, Ramdani adalah satu-satunya orang paling penting di hidupnya.
Kalau saja Ramdani dikuasi oleh Yuni, Dona pasti tidak akan bisa hidup mewah, Ramdani pasti akan memberikan uang padanya hanya seadanya saja.
Dona tidak ingin, kalau sampai hal itu terjadi, bisa-bisa kebiasaan hidup mewahnya tidak bisa dia rasakan kembali.
Kalau saja hal itu sampai terjadi, Yuni adalah orang pertama yang akan Dona lenyapkan. Karena memang, gara-gara Yuni semuanya hilang.
"Astagfirullah, Nyonya Yuni tidak mungkin melakukan hal itu, istighfar."
Dona mendorong kursi meja makan, dia langsung melangkah ke hadapan Mbok Darmi yang sedang menggendong Rion.
"Halah, so suci kamu, Darmi! Saya tahu, kamu itu kaki tangannya Yuni." Dona menarik satu sudut bibirnya ke atas, ketika menatap Mbok Darmi yang terbelalak. "Pantas saja, kamu membela dia mati-matian, ternyata ada udang di balik batu."
"Ibu, jangan menuduh Yuni yang tidak-tidak!" bela Ramdani. Kemudian menoleh, menatap Mbok Darmi yang masih menggendong Rion. "Mbok, tolong bawa Rion, baringkan di tempat tidur."
"Baik, Tuan."
Sebelum pergi, beberapa kali Mbok Darmi melirik Yuni, seolah-olah memberikan isyarat padanya agar mau iku dengannya.
Hanya saja, sayangnya Yuni tidak melihat hal tersebut, dia hanya terpaku di tempat, seperti patung.
"Kenapa diam, Yuni! Semua yang aku katakan benar adanya, 'kan?!"
Dona begitu senang ketika melihat Yuni terdiam, karena dengan begitu, Ramdani akan ragu dengan semua yang Yuni katakan nanti.
Perlahan Yuni mendongak, menatap Dona dengan tajam sampai membuatnya bergidik ngeri.
Yuni sudah seperti orang yang begitu di kuasai oleh dendam, sorot matanya begitu tajam, seperti sebuah singa yang siap mengoyak daging mangsa yang ada di hadapannya.
Dona nampak menelan ludah susah payah, kalau sudah seperti ini, dia takut juga. Mana dia belum menikmati sebagai hidupnya dengan foya-foya.
"Bagaimana aku bisa pergi ke dukun, kalau semua uangnya pun Ibu yang pegang," ucap Yuni dengan sedingin es, sorot matanya masih sama. "Apa jangan-jangan, justru Ibu yang melakukan hal itu?"
Mendengar tuduhan Yuni, tentu saja Dona tidak terima, dia langsung melangkah dengan cepat, hendak melayangkan tangannya, tetapi justru Ramdani menghalangi lebih dulu.
"Ibu, apa-apa ini!"
"Ramdani, kenapa kamu malah menghalangi, Ibu!" hardik Dona, dia tidak terima dengan apa yang anaknya itu lakukan. "Dia sudah menuduh Ibu melakukan hal yang tidak-tidak."
"Tapi, ini juga gara-gara, Ibu! Ibu yang pertama kali menuduhnya, pantas saja Yuni tidak terima."
Yuni hanya tersenyum tipis, ketika mendengar pertengkaran antara anak dan Ibu tersebut, dia sama sekali tidak berkeinginan untuk memisahkan keduanya.
Justru Yuni senang, karena pada akhirnya kedua orang tersebut berbeda pendapat dan berakhir pada sebuah pertengkaran.
"Ada apa ini?"
Sontak, ketika orang tersebut langsung menoleh, menatap ke sumber suara, di mana Monika tengah terbelalak, begitupun dengan pria yang ada di sampingnya.
"Ini gara-gara Kakak iparmu, Monika. Dia menuduh Ibu yang tidak-tidak."
Dona sengaja mengadukan hal ini pada anak bungsunya, dia yakin Monika akan lebih memarahi Yuni, karena sekarang Ramdani sudah tidak berada di pihaknya.
"Ah, begitu. Tidak enak bertengkar seperti itu, Ibu aku akan mengenalkanmu pada kekasih baruku."
Dona membuka mulutnya lebar-lebar ketika melihat reaksi Monika. Dia terus bertanya-tanya, kenapa anak bungsunya itu bersikap begitu berbeda.
"Ayo, Bu!" sambung Monika sambil menarik Dona menuju ruang tamu.
Sementara itu, Ramdani dan Yuni masih mematung di tempat masing-masing. Beberapa kali Ramdani melirik ke arah Yuni, memastikan jika istrinya baik-baik saja.
"Sayang, maafin soal Ibu beberapa--"
"Tumben kamu belain aku," potong Yuni.
Tatapan matanya begitu berbeda, tidak seperti biasanya, membuat Ramdani kesulitan mengartikannya.
"Sayang, kamu istriku, aku berhak untuk membela kamu."
Yuni memalingkan wajah, senyum sinis sempat terbit di bibirnya selama beberapa saat.
"Kenapa tiba-tiba seperti ini? Apa kamu berubah hanya karena tidak ingin bercerai denganku, bukan karena kewajibanmu, 'kan?"
"Yuni, maafkan, Mas." Tiba-tiba Ramdani meraih tangan Yuni, mengenggamnya dengan erat. "Mas, akan bersikap lebih adil padamu lagi, Sayang. Tolong, jangan pikirkan hal ini lagi, kasian anak yang ada di dalam kandunganmu."
"Untuk apa? Kamu sudah sering berkata seperti itu padaku."
Yuni ingat betul, bagaimana suaminya itu, dia kadang bersikap lembut pada hari ini, kemudian esok harinya akan berubah kembali.
Semua itu tidak lain karena pengaruh Ibunya sendiri, suaminya mudah sekali dipengaruhi oleh orang lain, sehingga sering sekali mengabaikannya.
"Yuni, aku minta maaf. A-aku benar-benar akan--"
"Stop, Mas! Aku muak denganmu, aku sudah berjanji pada diriku sendiri, kalau anak ini lahir, aku akan bercerai denganmu. Tolong, jangan berpura-pura baik hanya karena kamu tidak ingin bercerai denganku!"
Ramdani terpejam ketika mendengar ucapan Yuni yang rasanya lebih jauh lebih tajam dari pedang, tubuhnya lemas seketika, seperti lunglai tak bertulang.
Yuni yang biasanya terdiam, tidak banyak bicara, sekarang malah berkata seperti itu.
Jujur saja, kata-kata Yuni barusan melukai jauh ke dalam relung hatinya, seperti ada sesuatu yang mengoyak tubuhnya, lalu menaburkan garam diatasnya. Rasanya jauh lebih menyakitkan.
Namun, harusnya Ramdani sadar, kalau semua yang Yuni katakan padanya beberapa waktu lalu tidaklah ada apa-apanya..
Dibandingkan dengan rasa sakit yang dia torehkan pada Yuni selama ini.
"Yuni, apa tidak ada pintu maaf bagiku?"
Yuni yang sudah menghempaskan tangan Ramdani, hendak melangkah menjauhinya, lantas menoleh, menatap Ramdani tanpa ekspresi apapun.
"Percuma, kamu selalu menyia-nyiakannya, seolah-olah aku bisa memberimu pintu maaf setiap waktu."
Deg!
Akhirnya Ramdani bisa menghela napas lega, kala pekerjaannya yang akhir-akhir ini begitu menumpuk, bisa selesai juga hanya dalam hitungan hari.Bahkan, Ramdani sampai rela kehilangan hari liburnya, demi bisa menyelesaikan semua pekerjaannya.Ramdani berambisi untuk bisa menjadi yang terbaik, sehingga dia bisa saja naik jabatan kapan saja. Soalnya beberapa waktu lalu, bosnya pernah bilang, akan menaikan jabatan seseorang yang bekerja dengan cukup baik.Maka dari situlah, Ramdani mulai memiliki keinginan untuk bisa menjadi yang terbaik diantara teman-teman yang lainnya, sekaligus memperlihatkan jati dirinya yang sebenarnya."Wah, udah selesai, nih, Pak!" sahut Anto--salah satu rekan kerja Ramdani yang cukup dekat dengannya.Ramdani yang tengah memejamkan mata sambil bersandar pada kursi, lantas mengangguk pelan."Iya, nih, udah selesai.""Wih, enak banget!"Tanpa diduga-duga, Anto langs
"Jangan asal bicara kalian, aku dan Pak Dandy sama sekali tidak berselingkuh!" hardik Yuni dengan kedua bola mata membulat sempurna.Dona menyeringai, dia menatap sebuah foto hasil jepretannya yang cukup bagus tersebut.Bila foto tersebut di kirimkan pada Ramdani, Dona yakin kalau anak laki-lakinya itu akan murka dan sedikit meragukan ketulusan hati Yuni.Terlebih lagi, mungkin hubungan keduanya akan kembali renggang, sehingga niat buruk yang selama ini Dona susun, akan bisa berjalan dengan lancarDona tidak sabar membayangkan, di saat Yuni dan Ramdani berpisah untuk selamanya, sehingga Dona bisa menikahkan anaknya dengan Sarah--perempuan yang cukup kaya raya."Asal bicara katamu? Jelas-jelas aku melihat perselingkuhan kalian di depan mata kepalaku sendiri.""Bu, aku tidak berselingkuh! Pak Dandy datang untuk menengok anakku. Apa Ibu tidak bisa me
Sebenarnya Yuni ingin sekali menolak keinginan Dandy untuk datang ke rumahnya, hanya saja dia merasa tidak enak.Masa ada orang yang menengok anaknya, dia malah menolaknya hanya karena alasan tidak nyaman.Jadi, mau tidak mau, Yuni pun mengiyakan permintaan Dandy, meskipun dia belum sempat memberitahu suaminya.[Baik, Pak.][Terima kasih, Bu. Kalau boleh tahu, apa ada yang sedang Ibu inginkan?]Sengaja Yuni tidak membalas pesan Dandy, dia takut kalau terus berhubungan dengan pria itu, justru akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.Maka dari itu, Yuni lebih memilih untuk mematikan jaringan data dan menyimpan gawainya ke dalam saku celana.***Sore hari sudah tiba, kala itu Yuni tengah berada di luar rumah, dia tengah bermain bersama kedua orang anaknya, lebih tepatnya memperhatikan Rion yang tengah belajar membawa
Entah bagaimana jadinya, tetapi semenjak saat itu, Ibu mertua Yuni jadi sering bertukar kabar dengan Sarah.Anehnya lagi, perempuan bernama Sarah itu malah meresponnya dengan baik, seperti hari ini, di mana ketika Yuni baru saja pulang dari rumah tetangganya, mengecek usaha yang selama ini dia dan ibu-ibu lainnya kembangkan.Perempuan itu sudah berada di rumahnya sambil mengobrol dengan Ibunya. Sementara itu, Yuni belum tahu bagaimana kabar Monika.Namun, yang pasti Yuni yakin, kalau Monika tidak tinggal seorang diri di luar sana, pasti dia tinggal bersama seseorang atau mungkin menyewa tempat yang lebih nyaman."Yuni, tolong ambilkan cemilan dan minuman, kebetulan tadi Mbok Darmi sudah Ibu suruh beli sayuran dan buah-buahan."Dona langsung memerintahkan kepada Yuni, ketika melihat batang hidung perempuan itu muncul di hadapannya."Bu, aku baru saja pul
Yuni sempat terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk pelan.Ramdani sedikit khawatir dengan Yuni, takut istrinya itu berpikir yang tidak-tidak. Apalagi ketika melihat reaksi Yuni yang tidak bisa Ramdani baca sedikitpun.Membuat Ramdani semakin panik saja. Bahkan, dia sampai mengigit bibir bawahnya dengan cukup keras dengan pandangan yang tidak bisa lepas dari Yuni."Ah, hanya mantan saja! Itu hanya masa lalu saja, tidak ada yang perlu aku khawatirkan."Yuni tersenyum lebar, kemudian menghampiri Ramdani, memeluk tangan suaminya dengan erat.Di saat itu, arah pandangan Dona langsung mengikuti Yuni, kedua bola matanya membulat."Aku tidak cemburu, aku yakin Mas Ramdani setia denganku," sambung Yuni.Melihat reaksi istrinya yang begitu menggemaskan, Ramdani langsung mengusap puncak kepala Yuni, kemudian mendaratkan kecu
Ketika sudah dekat dengan rumah, Titi segera mengucurkan beberapa tetes air ke matanya, dia hendak kembali berakting di hadapan Ramdani dan Yuni.Setelah itu, dia segera membuang botol berukuran kecil itu ke selokan. Sebelum itu, Dona sempat memastikan ke sekeliling, takut ada orang yang memergoki aksinya."Ya ampun, Bu Dona, kenapa nangis?"Dona langsung tersenyum tipis, kala melihat dua orang ibu-ibu menghampiri dirinya.Sudah saatnya Dona melancarkan aksinya, kalau dia akan berpura-pura bersedih, mengenai Monika yang pergi dari rumah."Monika, Bu." Dona terisak, kemudian luruh ke lantai, membuat kedua orang ibu-ibu itu begitu panik."Ya ampun, kenapa dengan Monika, Bu?""Monika, pergi dari rumah, Bu. Dia tidak ingin pulang lagi, saya tidak tahu dia akan pergi ke mana."Kedua ibu-ibu melayangkan tatapan sendu pada D