Share

Tuduhan Dona

Dona langsung mendelik, hidungnya mengkerut, beberapa kali dia melayangkan tatapan tidak suka pada Yuni.

"Sejak kapan kamu berani melawan Ibu, Ramdani?" sentak Dona sambil tersenyum sinis. "Pasti si Yuni main dukun, biar kamu berani bersikap seperti itu."

Dona sengaja melayangkan sebuah tuduhan tidak mendasar pada Yuni. Sengaja dia melakukan ini, tentunya agar Ramdani percaya lagi padanya, karena bagaimanapun itu, Ramdani adalah satu-satunya orang paling penting di hidupnya.

Kalau saja Ramdani dikuasi oleh Yuni, Dona pasti tidak akan bisa hidup mewah, Ramdani pasti akan memberikan uang padanya hanya seadanya saja.

Dona tidak ingin, kalau sampai hal itu terjadi, bisa-bisa kebiasaan hidup mewahnya tidak bisa dia rasakan kembali.

Kalau saja hal itu sampai terjadi, Yuni adalah orang pertama yang akan Dona lenyapkan. Karena memang, gara-gara Yuni semuanya hilang.

"Astagfirullah, Nyonya Yuni tidak mungkin melakukan hal itu, istighfar."

Dona mendorong kursi meja makan, dia langsung melangkah ke hadapan Mbok Darmi yang sedang menggendong Rion.

"Halah, so suci kamu, Darmi! Saya tahu, kamu itu kaki tangannya Yuni." Dona menarik satu sudut bibirnya ke atas, ketika menatap Mbok Darmi yang terbelalak. "Pantas saja, kamu membela dia mati-matian, ternyata ada udang di balik batu."

"Ibu, jangan menuduh Yuni yang tidak-tidak!" bela Ramdani. Kemudian menoleh, menatap Mbok Darmi yang masih menggendong Rion. "Mbok, tolong bawa Rion, baringkan di tempat tidur."

"Baik, Tuan."

Sebelum pergi, beberapa kali Mbok Darmi melirik Yuni, seolah-olah memberikan isyarat padanya agar mau iku dengannya.

Hanya saja, sayangnya Yuni tidak melihat hal tersebut, dia hanya terpaku di tempat, seperti patung.

"Kenapa diam, Yuni! Semua yang aku katakan benar adanya, 'kan?!" 

Dona begitu senang ketika melihat Yuni terdiam, karena dengan begitu, Ramdani akan ragu dengan semua yang Yuni katakan nanti.

Perlahan Yuni mendongak, menatap Dona dengan tajam sampai membuatnya bergidik ngeri.

Yuni sudah seperti orang yang begitu di kuasai oleh dendam, sorot matanya begitu tajam, seperti sebuah singa yang siap mengoyak daging mangsa yang ada di hadapannya. 

Dona nampak menelan ludah susah payah, kalau sudah seperti ini, dia takut juga. Mana dia belum menikmati sebagai hidupnya dengan foya-foya.

"Bagaimana aku bisa pergi ke dukun, kalau semua uangnya pun Ibu yang pegang," ucap Yuni dengan sedingin es, sorot matanya masih sama. "Apa jangan-jangan, justru Ibu yang melakukan hal itu?"

Mendengar tuduhan Yuni, tentu saja Dona tidak terima, dia langsung melangkah dengan cepat, hendak melayangkan tangannya, tetapi justru Ramdani menghalangi lebih dulu.

"Ibu, apa-apa ini!" 

"Ramdani, kenapa kamu malah menghalangi, Ibu!" hardik Dona, dia tidak terima dengan apa yang anaknya itu lakukan. "Dia sudah menuduh Ibu melakukan hal yang tidak-tidak."

"Tapi, ini juga gara-gara, Ibu! Ibu yang pertama kali menuduhnya, pantas saja Yuni tidak terima."

Yuni hanya tersenyum tipis, ketika mendengar pertengkaran antara anak dan Ibu tersebut, dia sama sekali tidak berkeinginan untuk memisahkan keduanya.

Justru Yuni senang, karena pada akhirnya kedua orang tersebut berbeda pendapat dan berakhir pada sebuah pertengkaran.

"Ada apa ini?"

Sontak, ketika orang tersebut langsung menoleh, menatap ke sumber suara, di mana Monika tengah terbelalak, begitupun dengan pria yang ada di sampingnya.

"Ini gara-gara Kakak iparmu, Monika. Dia menuduh Ibu yang tidak-tidak."

Dona sengaja mengadukan hal ini pada anak bungsunya, dia yakin Monika akan lebih memarahi Yuni, karena sekarang Ramdani sudah tidak berada di pihaknya.

"Ah, begitu. Tidak enak bertengkar seperti itu, Ibu aku akan mengenalkanmu pada kekasih baruku."

Dona membuka mulutnya lebar-lebar ketika melihat reaksi Monika. Dia terus bertanya-tanya, kenapa anak bungsunya itu bersikap begitu berbeda.

"Ayo, Bu!" sambung Monika sambil menarik Dona menuju ruang tamu.

Sementara itu, Ramdani dan Yuni masih mematung di tempat masing-masing. Beberapa kali Ramdani melirik ke arah Yuni, memastikan jika istrinya baik-baik saja.

"Sayang, maafin soal Ibu beberapa--"

"Tumben kamu belain aku," potong Yuni. 

Tatapan matanya begitu berbeda, tidak seperti biasanya, membuat Ramdani kesulitan mengartikannya.

"Sayang, kamu istriku, aku berhak untuk membela kamu."

Yuni memalingkan wajah, senyum sinis sempat terbit di bibirnya selama beberapa saat.

"Kenapa tiba-tiba seperti ini? Apa kamu berubah hanya karena tidak ingin bercerai denganku, bukan karena kewajibanmu, 'kan?"

"Yuni, maafkan, Mas." Tiba-tiba Ramdani meraih tangan Yuni, mengenggamnya dengan erat. "Mas, akan bersikap lebih adil padamu lagi, Sayang. Tolong, jangan pikirkan hal ini lagi, kasian anak yang ada di dalam kandunganmu."

"Untuk apa? Kamu sudah sering berkata seperti itu padaku."

Yuni ingat betul, bagaimana suaminya itu, dia kadang bersikap lembut pada hari ini, kemudian esok harinya akan berubah kembali.

Semua itu tidak lain karena pengaruh Ibunya sendiri, suaminya mudah sekali dipengaruhi oleh orang lain, sehingga sering sekali mengabaikannya.

"Yuni, aku minta maaf. A-aku benar-benar akan--"

"Stop, Mas! Aku muak denganmu, aku sudah berjanji pada diriku sendiri, kalau anak ini lahir, aku akan bercerai denganmu. Tolong, jangan berpura-pura baik hanya karena kamu tidak ingin bercerai denganku!"

Ramdani terpejam ketika mendengar ucapan Yuni yang rasanya lebih jauh lebih tajam dari pedang, tubuhnya lemas seketika, seperti lunglai tak bertulang.

Yuni yang biasanya terdiam, tidak banyak bicara, sekarang malah berkata seperti itu.

Jujur saja, kata-kata Yuni barusan melukai jauh ke dalam relung hatinya, seperti ada sesuatu yang mengoyak tubuhnya, lalu menaburkan garam diatasnya. Rasanya jauh lebih menyakitkan.

Namun, harusnya Ramdani sadar, kalau semua yang Yuni katakan padanya beberapa waktu lalu tidaklah ada apa-apanya.. 

Dibandingkan dengan rasa sakit yang dia torehkan pada Yuni selama ini.

"Yuni, apa tidak ada pintu maaf bagiku?"

Yuni yang sudah menghempaskan tangan Ramdani, hendak melangkah menjauhinya, lantas menoleh, menatap Ramdani tanpa ekspresi apapun.

"Percuma, kamu selalu menyia-nyiakannya, seolah-olah aku bisa memberimu pintu maaf setiap waktu."

Deg!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status