Share

AKU BELUM MATI, MAS!
AKU BELUM MATI, MAS!
Penulis: Ariesa Yudistira

Mereka mengira aku sudah mati

Aku perlahan membuka mata ketika mencium bau bensin yang menyengat. Kupegang kepalaku terasa seperti baru saja dihantam oleh martil. Bisa kurasakan darah merembes dari balik jilbab yang kupakai. Seketika aku ingat baru saja mobilku kehilangan kendali dan terjatuh ke dalam jurang.

Aku mengangkat tubuhku yang terasa amat nyeri. Kulihat Wati, rekan kantorku, tak sadarkan diri dengan darah mengalir dari kepala dan hidungnya.

"Wati! Wati!" aku menggoncang tubuhnya yang sudah tidak bergerak.

Bau bensin semakin menyengat. Kalau aku tidak segera keluar, mobil ini bisa meledak. Aku menarik tubuhku keluar dari kaca depan mobil yang pecah, tanpa mempedulikan kulit tubuhku yang robek karena tergores pecahan. Aku harus hidup, itu yang pertama kali kupikirkan.

Dengan susah payah akhirnya aku berhasil menyeret tubuhku keluar dari mobil. Tapi sudah terlambat. Percikan api terlihat dari sudut mobil yang ringsek itu, dan menyembur tepat ke wajahku.

Aku menjerit kesakitan karena merasakan mukaku terbakar. Insting bertahan hidupku terus memaksaku merangkak. Aku menyeret tubuhku sebisa mungkin meninggalkan mobil itu, diantara rerumputan yang basah di dasar jurang.

BLAAARRR!!!

Bumi tempatku menopang tubuh bergetar hebat. Pandanganku semakin merabun karena panas dan perih yang teramat sangat di muka dan sekujur tubuhku, tapi masih bisa kulihat mobil itu meledak dan terbakar, bersama dengan Wati di dalamnya. Napasku semakin melemah, dan akhirnya aku terbaring lemas di antara rimbunnya rerumputan.

Bayangan wajah suamiku yang sedang bercumbu dengan wanita lain memasuki otakku lagi. Apa sekarang aku sedang sekarat?

Ya Allah, selamatkan aku!

Aku harus hidup!

Aku harus hidup!

Aku tidak mau mati seperti ini!

.

.

.

"Selamat ya, atas pernikahan kalian?" semua tamu undangan menyalami kami satu persatu.

Aku tersenyum sambil bergelayut dengan mesra di lengan Mas Ridho, suamiku. Papa mendekati kami, sambil menepuk pundak menantunya.

"Kamu sudah resmi jadi menantu Papa. Papa bisa dengan tenang menyerahkan seluruh aset perusahaan padamu," ucap Papa pada Mas Ridho.

Mas Ridho tersenyum, seraya merangkulku.

"Saya berjanji akan menjaga Ara dengan seluruh jiwa saya, Pa," ucapnya.

Malam itu kulihat Mas Ridho mengganti pakaiannya dan bersiap untuk pergi.

"Kamu mau ke mana, Mas?" tanyaku.

"Maaf, tiba-tiba ada panggilan pekerjaan," jawabnya sambil memakai sepatunya.

"Di malam pernikahan kita?"

Mas Ridho memegang pundakku.

"Maaf ya, Dek. Ritual kita malam ini harus tertunda dulu," ucapnya sambil berlalu pergi tanpa menunggu jawabanku.

Aku hanya bisa pasrah, tanpa bisa berkata apapun. Semalaman aku tidak bisa tidur, hanya menunggu Mas Ridho yang tak kunjung pulang. Hingga tiba-tiba gawaiku berdering. Aku mengambil dan memeriksanya. Pesan masuk dari nomer yang tak dikenal.

Jantungku berdegup kencang ketika melihat video yang dikirim orang itu. Kulihat suamiku bergumul dengan seorang wanita, yang tak bisa kulihat dengan jelas wajahnya. Dengan tubuh gemetar aku cepat-cepat menelpon Wati, asisten pribadi yang sangat kupercayai, yang tinggal berdekatan dengan rumah kami.

"Ada apa, Non?" tanyanya begitu sampai ke rumahku.

Aku menunjukkan video itu padanya, dengan masih shock.

"Astaghfirullah!" Wati langsung memejamkan mata melihat video itu.

Aku seketika mencengkeram tangannya.

"Antarkan aku mencari Mas Ridho! Aku harus mencarinya!" ucapku histeris.

Mobil meluncur dengan kencang menembus kegelapan malam, membawaku dengan Wati di dalamnya. Yang kupikirkan hanya menemukan Mas Ridho secepatnya. Ketika melewati jalanan yang berkelok, aku seketika menginjak rem. Tak berfungsi. Kuinjak berkali kali. Tetap tak berfungsi.

Astaghfirullah, remnya blong! Baru saja aku menyadari apa yang terjadi mobil sudah menabrak pagar yang ada di sisi jurang dan langsung meluncur ke bawah. Aku dan Wati hanya bisa menjerit sesaat sebelum tubuh kami terhempas ke dasar jurang bersama mobil yang kami naiki.

.

.

.

Aku perlahan membuka mata, dan menyadari diriku sudah berada di ruangan serba putih. Aku meraba wajahku yang tebal karena tertutup perban. Suara berita di televisi membuatku menoleh ke arahnya.

"Kecelakaan maut yang telah menewaskan putri tunggal keluarga Hermawan, masih menyisakan duka yang mendalam pada keluarga besar pengusaha kaya raya tersebut."

Kulihat semua orang menangis, termasuk Mas Ridho. Mereka semua menangisiku, menangisi kematianku! Tidak, aku masih hidup! Yang kalian kuburkan itu Wati, bukan aku!

Aku mencoba bangun, tapi tubuhku teramat sakit jika digerakkan. Tiba-tiba terdengar suara hendel pintu terbuka. Seseorang berpakaian serba putih masuk ke dalam.

"Kau sudah siuman rupanya," ucap dokter berwajah tampan itu seraya tersenyum.

"Syukurlah ada warga menemukanmu di dasar jurang itu, dan langsung membawamu ke sini."

"Ini ... Di mana?" tanyaku lirih.

"Ini klinik di pedalaman kampung. Kebetulan aku mengabdi di kampung ini," ucap dokter itu lagi. "Perkenalkan, namaku Lutfi."

Aku hanya bisa menatap pria itu.

"Aku Ara ... Tiara Hermawan."

Dokter Lutfi tersentak, lalu seketika menoleh pada berita di televisi. Tanganku bergerak mencengkeram lengan Dokter Lutfi. Dokter Lutfi menatapku dengan mata membulat.

"Katakan padaku, Dokter. Apa wajahku bisa kembali normal?"

Dokter Lutfi tak langsung menjawab. Dia tampak menelan ludah.

"Aku bisa membawamu ke rumah sakit untuk melakukan operasi pembedahan wajah. Tapi untuk mengembalikannya seperti wajahmu yang sebelumnya, aku rasa itu sulit," jawabnya dengan suara berat.

Tanganku seketika melemas. Ya Allah, bagaimana ini? Bagaimana orang tuaku bisa mengenaliku jika wajahku berubah? Bagaimana ini?

Dokter Lutfi mendekatiku, lalu menatapku.

"Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi. Aku akan membantumu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status