Ketika langkah Tante Merly semakin mendekat, pelan-pelan aku mengambil gawaiku yang sejak awal sudah kumode hening. Aku secepat kilat menekan sebuah nomor.Gawai Evelin seketika berdering. Tante Merly menghentikan langkahnya."Siapa, Lin?" tanyanya pada putrinya."No-mer tak dikenal, Ma," suara Evelin terdengar gemetar.Mereka memang belum tahu nomerku. Satu-satunya yang tahu dalam keluarga ini hanya Mama. Setelah ini aku juga akan menggantinya. Langkah Tante Merly seketika menjauh, menuju ke arah puterinya."Biar kuangkat," ucap Tante Merly.Begitu Tante Merly mengangkatnya, aku mematikan telepon."Siapa, Ma?" tanya Evelin."Mungkin orang iseng," jawab Mamanya, lalu mematikan lampu kamar. "Sudah tidak ada siapa-siapa. Mama capek, mau tidur."Tante Merly pergi meninggalkan Evelin yang masih berdiri di tempatnya, sepertinya masih memeriksa gawainya. Aku seketika mengetik sebuah pesan dan mengirim ke gawainya.[ Evelin, tolong aku. Di bawah sini gelap ]Terkirim. Aku mulai menghitung be
Aku mengantarkan Mama masuk ke dalam kamarnya, lalu berjongkok di hadapannya. Kulihat butiran bening meluncur berkejaran di pipinya."Nyonya tidak apa-apa?" tanyaku dengan suara yang hampir tercekat.Mama mengusap air matanya, lalu menatapku sambil mencoba untuk tersenyum."Aku tidak apa-apa, Anna," jawabnya dengan sedikit tersendat. "Aku hanya merasa sendirian sekarang.""Kenapa Nyonya berpikiran seperti itu? Nyonya tidak sendirian," ucapku berusaha menghiburnya."Putriku sudah tiada. Satu-satunya orang yang berharga dalam hidupku sudah tiada," ucapnya lagi, dengan air mata kembali mengalir. "Aku sekarang benar-benar tidak punya siapa-siapa lagi.""Kenapa Nyonya bicara seperti itu? Nyonya masih punya keluarga ini," air mataku sudah tidak bisa terbendung lagi. Aku ikut menangis."Tidak, Anna. Kamu tidak mengerti. Aku hanya punya putriku saja. Lebih baik aku pergi. Aku ingin menyusul putriku.""Tidak, tidak Nyonya. Ara masih hidup,"ucapku, tak bisa menahan diri lagi. "Dia masih hidup."
Akhirnya hari itu tiba. Malam ini adalah hari di mana Evelin dan Mas Ridho akan mendapatkan jabatan dan hak waris atas saham milik Papa secara resmi. Inilah saat yang tepat aku bisa menghentikan semua itu dan membongkar semua kecurangan mereka."Apa malam ini Ara akan datang, Anna?" tanya Mama tampak gelisah, ketika aku merawatnya seperti biasa.Aku memperlihatkan senyumku meskipun di balik masker."Nyonya tenang saja. Malam ini dia pasti akan datang," jawabku."Syukurlah," Mama membuang napas lega, tapi bisa kurasakan hatinya masih bimbang.Setelah selesai membantu Mama membersihkan diri, aku mendorong kursi rodanya menuju ruang makan, dimana semua sudah berkumpul seperti biasa."Malam ini kalian bersiaplah. Papa sudah mempersiapkan semuanya," ucap Papa sambil menikmati sarapannya.Kulihat Mas Ridho dan Evelin saling berpandangan sesaat dan saling tersenyum."Aku mau Anna ikut bersamaku dalam acara itu," ucap Mama."Loh, dia kan cuma suster? Semua yang ada di acara itu orang-orang pe
Papa masih menatapku dengan membulatkan mata."Kau benar-benar Ara?" tanyanya."Aku Ara, Pa," jawabku. "Tentu Papa tidak lupa pada suara putrimu sendiri, kan?""Ba- bagaimana bisa?" tanyanya dengan suara bergetar.Aku menatap ke arah Tante Merly, Evelin dan Mas Ridho yang seketika tampak gelisah."Mereka yang sudah merencanakan kematianku! Mereka ingin membunuhku!" ucapku lantang sambil menunjuk ke arah mereka bertiga.Semua yang hadir dalam ruangan terdengar gaduh. Mereka tampak mempertanyakan apa yang baru saja kukatakan."Jangan sembarangan bicara kamu!" sahut Tante Merly yang seketika meradang."Aku punya bukti, dan akan kupastikan akan mengirim kalian bertiga ke penjara!" jawabku.Suasana kembali gaduh. Para tamu undangan saling beragumen satu dengan yang lain.Papa segera mengambil tindakan. Dia mengarahkan anak buahnya untuk menenangkan para tamu undangan. Evelin tiba-tiba turun dari panggung dan menarik tanganku meninggalkan ruangan itu, menerobos kerumunan orang. Aku yang sat
Aku ikut berlari mengejar tandu yang membawa Mama menuju ruang IGD. Pintu besar ruangan itupun akhirnya tertutup rapat begitu tandu masuk ke dalam. Aku hanya bisa terduduk lemas di luar ruangan, hanya bisa berdoa semoga Mama baik-baik saja. Papa dan Tante Merly duduk di kursi tunggu. Kami hanya diam sambil menunggu Dokter selesai menangani Mama.Waktu berlalu detik demi detik. Setelah lama menunggu, akhirnya Dokter Lutfi keluar dari dalam ruangan. Aku langsung berhambur ke arahnya dengan cemas."Bagaimana keadaan Mama, Dokter?" tanyaku padanya.Dokter Lutfi membuang napas berat, lalu menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan."Nyonya Ema sudah siuman, tapi kondisinya sangat lemah," jawab Dokter Lutfi. "Dia ingin bertemu denganmu."Tanpa pikir panjang aku langsung berlari masuk ke dalam. Kulihat Mama terbaring lemah dengan alat bantu pernapasan. Aku mendekatinya, dan serta merta mendekap tangannya."Mama," panggilku dengan suara tertahan. Aku tak sanggup melihat Mama seperti itu
"Kenapa kalian melibatkan Dokter Lutfi dalam masalah ini?" tanyaku menahan geram.Licik. Sungguh licik. Mereka sungguh iblis yang melakukan segala cara agar rencana mereka berjalan mulus."Tentu saja kami tidak ingin orang luar mengetahui masalah keluarga ini," jawab Tante Merly. "Semua demi nama baik keluarga.""Kalian licik!" ucapku."Semua terserah padamu, Ara. Semua keputusan ada di tanganmu," ucap Tante Merly sambil tersenyum sinis.Aku terdiam, mencoba untuk berpikir jernih."Sudah cukup!"Semua orang menatap ke arah pintu. Tampak Om Adam berjalan masuk dan mendekat pada kami. Papa seketika berdiri melihat kedatangan Om Adam."Sudah cukup kalian menyudutkan keponakanku!" ucapnya sambil seketika memasang badan di depanku."Memangnya kamu siapa?" tanya Tante Merly dengan senyum meremehkan. "Orang luar sepertimu tidak usah ikut campur pada urusan keluarga kami."Om Adam hanya menatap tajam pada Tante Merly."Orang luar? Lihat dirimu dulu sebelum berkata seenaknya," jawab Om Adam ya
Dokter Lutfi membiarkan pria yang menemuinya tadi pergi, lalu berdiri mematung seraya membuang napas. Setelah beberapa lama terdiam di sana, dia berbalik ke arah pintu. Dia tampak sedikit tersentak saat melihatku berdiri di sana.Dokter Lutfi membuang napas lagi, lalu berjalan ke arahku."Maaf ada sedikit masalah. Ayo kita makan lagi," ucapnya seraya mengajakku kembali masuk.Kami duduk kembali di atas tikar, lalu menikmati makanan kami lagi. Pikiranku berkecamuk. Aku urung menyuap, lalu melirik ke arah Dokter Lutfi yang masih menikmati makanannya."Dokter," panggilku lirih.Dokter Lutfi menghentikan makannya, lalu menatapku. Aku meletakkan sendok yang kupegang, lalu membalas tatapannya."Kau tidak bohong padaku, kan?" tanyaku lirih.Dokter Lutfi tampak tersentak, lalu menatapku dengan mata membulat."Katakan kalau Dokter tidak seperti orang-orang yang selama ini ternyata telah mengkhianatiku," ucapku lagi. "Katakan kalau Dokter tidak sedang membohongiku."Dokter Lutfi tampak terdiam,
"Tolonglah, San. Jangan putuskan kerja sama dengan perusahaan kami. Kami benar-benar membutuhkan bantuanmu," ucap Hermawan pada Hasan, rekan kerja sekaligus sahabat karibnya itu."Maaf, Wan. Aku sudah berusaha selama beberapa tahun ini, tapi bisnis kita tidak ada kemajuan sama sekali, malah cenderung menurun," jawab Hasan. "Kalau begini terus aku yang rugi, Wan.""Ayolah, San. Kita sudah membangun perusahaan besar ini bersama-sama dari nol. Kalau kamu mundur sekarang, aku bisa bangkrut. Masak kamu tega sih, San?"Hasan seketika terdiam. Mereka memang bersahabat sejak lama, dan membangun perusahaan besar itu bersama-sama. Tapi belakangan diperusahaan dia menemukan banyak sekali kejanggalan. Keuntungan yang mereka peroleh tak sesuai dengan kerja kerasnya selama ini. Dia tidak ingin curiga pada sahabatnya itu, tapi kenyataan berkata sebaliknya."San, please lah. Aku pasti akan segera menemukan orang yang melakukan kecurangan di perusahaan kita," ucap Hermawan meyakinkan Hasan lagi.Hasan