“Ma, kayanya Irma mau pulang aja ke kampung,” ucap gadis sok polos itu dengan raut wajah disedih-sedihkan. “Lah, kenapa Sayang? Memangnya ada masalah di sana?” tanya Diana kaget. “Nggak ada sih, Ma, cuma Irma ngerasa nggak enak aja di sini apalagi Inara ….” Ia berhenti sejenak, menghapus air mata yang sebenarnya memang tak pernah turun, Irma mulai memainkan perannya sebagai ratu drama. “Kenapa sama Nara?” tanya Diana mulai terdengar tak enak. “Inara kayanya nggak suka aku di sini, Ma!” lanjutnya lagi, kini gerakan tangannya dipercepat seolah air mata turun dengan banyak. “Kamu ngomong apa sih? Nggak mungkin lah Nara kaya gitu, orang dia yang ajak dan bawa ke sini, lagian ada alasan apa Nara nggak suka kamu disini?” jawab Diana tertawa kecil. “Nara ngira Irma sama Mas Ivan ada apa-apa, Ma,” sahut Irma, ia mulai sesenggukan dan jelas itu dibuat-buatnya. “Maksudnya?” Kembali Diana teralihkan dan kini sesuatu yang dianggapnya hanya lelucon menjadi topik yang cukup serius. “Kamu ke
Tak sadar karena lelah dengan apa yang kurasakan, ternyata aku tertidur, dan satu jam hampir berlalu. Kudengar sudah tak ada suara berdebat dari luar. ‘Apa Mama sudah pulang?’ batinku. Baru saja hendak membuka pintu, samar aku mendengar seperti ada suara tapi sangat jauh, sepertinya dari depan, dan aku membuka pintu sangat pelan. Kulihat Mas Ivan membuka pintu hanya sedikit saja, ia terlihat sedang berbicara dengan seseorang dari luar, aku penasaran dan langsung keluar. “Siapa Mas?” tanyaku yang ternyata membuatnya sangat terkejut, dan tentu saja ekspresinya itu membuatku curiga. “Orang salah alamat!” jawabnya terlihat salah tingkah. “Oh ya? Nyari siapa dia?” tanyaku lagi, kali ini aku berniat keluar melihat secara langsung tapi alangkah terkejutnya lagi aku ketika tubuhku ditarik dan masuk dalam pelukan Mas Ivan. “Maaf,” lirihnya, membuatku terpaku sejenak. Tak ada perasaan nyaman seperti dulu saat pelukan dari lelaki ini adalah tempatku berpulang dan merasa aman, kali ini se
Irma seorang gadis desa yang terlihat lugu dan sederhana, namun pepatah jangan melihat buku dari sampulnya saja itu berlaku pada gadis ini, nyatanya keluguan diluar tak sesuai dengan kelicikan yang sudah mendarah daging di dalam dirinya. Otak cerdas yang dianugerahkan Tuhan untuknya malah ia jadikan sebagai pencipta ide-ide jahat yang mengalirkan pundi-pundi uang ke rekeningnya dan kehidupannya selama ini, dengan bermodalkan kisah sedih keluarga yang kurang mampu, kuliah dari beasiswa, dan orang tua yang sudah ringkih dan tak mampu mencari uang lagi menjadikannya sebagai pusat perhatian semua orang termasuk Inara dan keluarganya yang kini sudah masuk ke dalam perangkapnya. Tapi apa mungkin waktu seminggu mampu mendekatkan seorang lelaki dengan gadis yang baru saja dikenalnya, bahkan kini mereka terlihat seperti pasangan kekasih yang dimabuk cinta. Tentu saja tidak! Enam bulan yang lalu saat Ivan sedang mengunjungi Inara di kota dimana adik perempuannya itu sedang menimba ilmu di saat
“Assalamualaikum, Bun,” ucap Nanda dengan lembut setelah telepon tersambung. “Waalaikumussalam, kenapa Sayang?” tanya Bunda Nanda tak kalah lembut dan penuh kasih dari putri kesayangannya. “Bun, sekarang Nanda lagi ada di rumah Nanda, ini Nanda sama Mas Ivan lagi ada masalah yang kayanya butuh Bunda di sini,” ucap Nanda serius, membuat Ivan dan Diana saling berpandangan dan tanpa pikir panjang Ivan menarik paksa ponsel Nanda dan mengambil alih telepon, ia kira istrinya itu hanya membentak dan mengancam saja tapi ternyata Nanda tak main-main telepon benar-benar tersambung dan suara lembut di seberang sana membuat jantung Ivan berdebar kencang. “Masalah apa, Nan? Kok ….” “Assalamualaikum Bunda, ini Ivan, maaf ya Bun ngagetin Bunda, Nanda lagi PMS jadi agak sensitif sampai nelepon Bunda padahal kami cuma lagi debat kecil biasa, Bun, hehehe,” potong Ivan cepat, ia berusaha berbicara dengan sesantai mungkin agar tidak membuat ibu mertuanya itu curiga kalau mereka memang sedang sangat t
Sudah dua hari semenjak pertemuan Nanda dan Inara dan selama dua hari pula ia memutuskan untuk tidak menghubungi suaminya sama sekali dan anehnya Ivan yang beberapa hari lalu selalu mengirimkan pesan romantis, mengajaknya pulang, membujuknya dengan rayuan kini nampak acuh, makin memuncaklah akhirnya kecurigaan Nanda dan hari ini ia memutuskan untuk pulang, ia akan menemui Ivan di rumah mereka yang sudah satu minggu ini ia tinggalkan. Sunyi dan kembali keanehan terjadi rumah yang biasanya akan berantakan jika ditinggal oleh Nanda kini terlihat rapi dan jelas sangat terlihat kalau rumah ini dibersihkan setiap hari, tak ada debu bahkan piring-piring tersusun dengan rapi di raknya. “Masa iya Mas Ivan yang beresin semuanya?” ucap Nanda pelan. Ia berjalan masuk menuju kamar sebelum matanya menangkap beberapa paket yang masih tergeletak begitu saja di dekat pintu masuk rumah. Kamar pun tak jauh berbeda, semua terlihat rapi dan terdengar suara gemiricik air dari kamar mandi. “Oh, dia lag
Sesuai janji kini Inara dan Nanda bertemu, setelah melepas rindu sejenak dengan berpelukan, kini mereka duduk berhadapan di sebuah cafe tak jauh dari perumahan Inara. “Mbak ….” Baru saja Inara hendak membuka kata, tapi Nanda sudah menggeleng dan menggenggam tangannya. “Kamu nggak perlu merasa bersalah ke Mbak, Mbak tau kalau kamu nggak pernah punya niat ke Mbak, alasan Mbak ngajak kamu ketemuan cuma mau nanya siapa temanmu yang kamu bawa ke rumah? Dan ada hubungan apa dia sama Mas Ivan?” potong Nanda sebelum Inara membuka obrolan mereka, kepekaan Nanda jelas saja sangat kuat, ia tahu kalau adik iparnya itu pasti mengira Nanda akan marah atau menuduhnya yang tidak-tidak padahal sama sekali tak terlintas dipikiran Nanda sedikitpun untuk melakukan hal itu. Inara menjelaskan semuanya, dari memberitahu Kakak iparnya itu nama Irma, dan alasan kenapa ia sampai membawa Irma ikut ke rumah, ia juga mengatakan kegelisahannya tentang sikap Irma dan Ivan yang baginya tak biasa, bahkan berkali-