Share

BAB 8

Penulis: Rahma Amma
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-25 10:06:06

Empat hari telah berlalu dan saat ini Ivan menyandarkan dirinya di dinding dengan menatap beberapa paket yang saat ini ada di rumahnya. 

“Hampir tiga puluh juta belanjaan Nanda, untuk apa barang sebanyak ini? Pemborosan!” ucap Ivan kesal setengah mati. 

“Tak apa, aku hanya perlu membuatnya pulang. Setelah itu, semuanya aman kembali, bukan? Anggap saja aku sedang menabung saat ini dan akan memetik hasilnya nanti,” lanjutnya lagi berusaha menenangkan diri. Ya! Ivan adalah Ivan dia tetap saja memikirkan kesenangan dan keuntungannya sendiri. 

[Yank, aku sayang banget sama kamu. Kamu tahu nggak? Sudah empat, barangku yang kujual untuk membayar belanjaanmu, bahkan jika semua barang harus kujual, aku tak apa! Aku ikhlas, asal kamu mau pulang dan kembali bersamaku.]

Ivan mengirimkan pesan itu dengan rayuan yang ia kira pasti akan membuat Nanda luluh, biar bagaimanapun, Ivan masih sangat membutuhkannya. 

“Walaupun fisiknya tak cantik, dan tubuhnya gempal, tapi dia sangat berharga untukku. Jadi, aku tak akan pernah melepaskannya,” ucap Ivan lagi dengan senyum liciknya.

Dering ponsel membuat Ivan kembali mengambil Ponsel yang baru saja diletakkannya. 

[Bu Rendi.]

Tumben, pemilik toko menelepon.

"Assalamualaikum, Bu. Apa kabar?"

"Waalaikumussalam, Alhamdulillah. Baik, Mas Ivan. Kabar Mas Ivan, dan Mbak Nanda bagaimana?"

"Alhamdulillah, kami juga baik, Bu. Ada apa ya?"

"Gini, Mas Ivan, saya mau nanya pembayaran sewa toko kapan diselesaikan ya? Karena ini sudah lewat dua minggu," ucapnya, membuatku tertegun. Bukannya Nanda, sudah memperpanjang sewa toko untuk satu tahun ke depan?

"Emm, maaf, Bu. Bukannya Istri saya sudah memperpanjang sewa toko untuk satu tahun ke depan ya?" tanya Ivan, ia berusaha sesopan mungkin.

Toko itu disewa tepat setelah satu minggu pernikahan Ivan dan Nanda, dengan modal dari Nanda akhirnya toko itu di renovasi menjadi toko Distro yang terlihat sangat mewah. Sewanya juga dibayar oleh Nanda tiap tiga bulan, dan sudah masuk empat kali pembayaran selama satu tahun.

Ingatan Ivan berputar cepat kembali pada saat ia menemani Nanda untuk menghadiri acara kantor Nanda di luar kota. 

"Mas, Bu Rendi, telepon dia minta tokonya dibayar satu tahun," ucap Nanda, dua bulan yang lalu saat mereka masih baik-baik saja.

"Ya sudah, Yank. Bayar aja!" jawab Ivan, seperti biasanya. Keuangan mereka memang dipegang Nanda, karena itu memang uangnya, tapi setiap ada pengeluaran, Nanda selalu izin ke Ivan, apa pun itu. Sebaliknya lelaki bergelar suami Nanda itu malah yang kadang belanja dulu baru izin. Tapi bagi Ivan, itu adalah hal yang sangat wajar karena Ivan merasa kalau ia adalah kepala rumah tangga.

"Iya, Mas Ivan, bulan kemarin Mbak Nanda cuma bayar satu bulan sewa aja, katanya tunggu uang dari Mas Ivan dulu, baru nanti sisa sebelas bulannya dibayar," lanjut Bu Rendi, lagi.

Tak mampu Ivan berkata apa pun lagi, kenapa Nanda tak mengatakan apapun padanya tentang semua ini. 

‘Padahal uang ditabungannya masih banyak, apa alasannya tak membayarkan sewa tokoku?’ geram Ivan dalam hati. 

"Mas Ivan .... " Ivan akhirnya tersadar kembali bahwa telepon masih terhubung.

"Ya, Bu," jawabnya sedikit gugup karena bingung sebenarnya harus mengatakan apa.

"Jadi, gimana, Mas?" tanya Bu Rendi, lagi.

"Saya, telepon Istri dulu ya Bu, nanti saya kabarin Ibu," jawabnya ramah, setelah berbasa-basi sebentar akhirnya telepon terputus.

Ivan segera menghubungi Nanda, dan ini sudah panggilan ketiga, tapi tetap tak ada jawaban.

"Nanda ini kenapa? Semakin hari semakin melunjak!" Ivan merasa emosinya terus-terusan dipancing oleh Istrinya itu. 

“Apa sebenarnya maunya?” ucap Ivan setengah berteriak karena marah. 

****

[Paket sedang dalam perjalanan menuju lokasi anda]

Senyumku melebar saat melihat notifikasi yang masuk di aplikasi berbelanjaku.

Ini adalah hari keempat setelah dia menyanggupi semua inginku, setelah kuhitung-hitung sudah dua puluh delapan juta paketku yang dia bayarkan. Apa sudah cukup untuk menganggapnya berubah? Tentu saja belum! Aku amat sangat yakin, tiap lembar uang yang dikeluarkannya diikuti dengan ketidak ikhlasan dalam niatnya.

"Aku pengen kamu balik ke rumah," ucapnya padaku, berkali-kali, entah di telepon, ataupun di Pesan mesra yang ia kirimkan padaku tiap hari.

Tapi, aku bergeming. Tetap di sini, di rumah orang tuaku. Bukan karena aku tak merasa ketulusan dalam usahanya, namun karena aku tahu, lelaki seperti Mas Ivan, tak akan pernah berubah. Salahku! Ya, memang salahku! aku menerima lamarannya karena cinta, aku bahkan membantunya dalam keperluan pernikahan kami, setengah dari uang resepsi adalah uangku yang diakuinya sebagai miliknya. Saat itu aku diam, aku masih berpikir untuk menjaga martabatnya sebagai seorang suami, hingga akhirnya Rina mengatakan sesuatu padaku.

"Aku tak berniat ikut campur masalah rumah tanggamu, Nan. Namun sebaik-baiknya seorang suami, adalah dia yang lebih mementingkan kebutuhan Istri dari pada kepentingan dirinya sendiri."

Perkataan Rina sahabatku, membuatku tersadar akan banyak hal, perlahan pikiranku melayang. Kembali mengingat apa yang sudah diberikan oleh Mas Ivan padaku selama setahun ini. Semakin jauh aku berpikir, semakin aku sadar, bahwa tak ada sesuatu yang spesial untukku darinya. Bahkan, selama ini selalu aku yang memberinya sesuatu, uangku pun dipakainya tanpa izin.

Beberapa hari yang lalu, sebelum aku memutuskan pergi dari rumah, aku menghubungi Tina, karyawan toko yang bekerja di bagian kasir Toko Mas Ivan, aku menanyakan tentang pendapatan suamiku itu, tentu saja dengan berakting kalau semua antara kami baik-baik saja, aku berbohong seolah tahu semuanya dan ingin memastikan apakah Mas Ivan jujur padaku selama ini, dan seketika darahku mendidih mendengar jawabnya.

"Haha, Mbak Nanda bercanda kan? Mana mungkin lelaki sebaik Mas Ivan berbohong Mbak, terlebih Mas Ivan itu sangat cinta sama Mbak Nanda," ucapnya sembari tertawa kecil, kata-kata yang membuatku melayang pada awalnya.

"Ngomong-ngomong masalah toko, kalau toko yang di sini pendapatan masih seperti biasa Mbak, cuma toko cabang di Jl. Antasari kota, lebih ramai dan keuntungannya sudah lebih dari penghasilan di sini," lanjutnya lagi, ibarat sedang melayang kini aku dihempaskan dengan kuat, hingga dada ini terasa sesak dan sulit bernafas.

"Toko cabang?" tanyaku, berusaha mengontrol emosi agar tak ketahuan bahwa aku memang tak tahu apa-apa.

"Iya Mbak, bukannya Mbak sering ke sana ya? Soalnya Mas Ivan, lebih sering di sana, katanya karena Mbak ada di sana," jawabnya, membuatku merasa sangat bodoh.

Selama ini, aku memang jarang bahkan bisa dihitung hanya beberapa kali saja ke toko Mas Ivan, aku mempercayakan segalanya padanya, karena kupikir, seburuk apapun sikapnya padaku, tapi setidaknya dia punya setia yang mampu kubanggakan. Tapi nyatanya? Dia berbohong! Dia berkhianat!

Mungkin Bunda berpikir, kepulanganku hanya sekedar karena masalah rumah tangga yang kecil. Ya! Jika itu hanya masalah keuangan, aku masih bisa menutupi dan menahannya! Namun, ketidakjujuran dan pengkhianatan ini, amat sangat tak mampu kuterima.

Aku meminta Tina, untuk mengabariku saat Mas Ivan pergi ke Toko Cabang, dan saat Tina mengabariku, bergegas aku ke sana untuk mencari tahu dan membuktikannya.

Dan benar saja, Mas Ivan sedang berada di sebuah Toko yang lumayan besar. Bahkan ada empat karyawan di sana, dan yang menyakitkan adalah adanya seorang wanita yang terlihat sangat cantik dengan pakaian modis, berambut lurus, dan senyum menawan sedang duduk di samping Mas Ivan, tangan Mas Ivan bertengger di Pinggangnya.

Aku melihat foto yang diambil Tetra dengan senyum miris, Suamiku yang nampak lugu ternyata sangat licik! Kata-kata manis dan cintanya padaku ternyata hanya topeng untuk menutupi segala kebohongannya selama ini. Yang paling kusesali adalah kenapa aku bisa tak tahu semua ini selama ini? Aku terlalu sibuk bekerja, menghabiskan waktu di kantor dan melayaninya ketika di rumah, sampai tak tahu bahwa aku sudah menjadi boneka suamiku sendiri.

'Sungguh amat sangat bodoh, kamu, Nanda!' batinku, memaki diri sendiri.

Layar ponsel terus menyala, menandakan ada telepon masuk. Tapi tak berniat sama sekali aku mengangkatnya. Aku ingin tahu, apa lagi yang diinginkannya dariku? Tapi sebelum dia bermain, aku yang akan memulainya terlebih dahulu. Lalu, perlahan kita akan lihat, siapa yang jadi pemenangnya.

[Angkat teleponku.]

Kuulas senyum manis, dan mempersiapkan diri untuk mengangkat panggilan video dari lelaki yang menganggapku bodoh selama ini.

"Kita mulai sekarang, Mas," ucapku, bersemangat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • AKU BUKAN ATM BERJALANMU, MAS!    BAB 18

    [Mbak, Mas Ivan lagi ada di sini, kayanya kecurigaan kita emang bener deh, Mbak, kalau dari apa yang aku lihat, kayanya Mas Ivan memang ada main sama si Irma.] Dengan mantap Inara mengirim pesan kepada kakak ipar yang disayanginya, tentu saja tak hanya sekedar kalimat, ia juga mengirimkan sebuah video berdurasi lima belas detik di mana Ivan dan Irma sedang duduk berhadapan di meja makan sambil tertawa lepas bersama. Nanda yang baru saja selesai mandi tersenyum miring melihat Video yang dikirimkan adik iparnya itu, pantas saja Ivan tak membalas pesan yang dikirimkannya sejak beberapa jam tadi rupanya lelaki itu sedang asik dengan selingkuhannya. Memilih tak membalas pesan Inara, Nanda dengan sigap bersiap, ia memakai sedikit make up dan memakai baju santai lalu dengan cepat memesan taksi online, ya tujuannya adalah ke rumah mertuanya. ‘Sepertinya bakalan seru!’ ucapnya dalam hati. Sepanjang perjalanan pikiran Nanda sedikit berkecamuk, ia merasa lelah dengan semua keadaan yang pals

  • AKU BUKAN ATM BERJALANMU, MAS!    BAB 17

    Tiga hari berlalu dengan rutinitas biasa, berusaha baik-baik saja walaupun sebenarnya retak di mana-mana. Nanda sudah pulang ke rumah dan Ivan berlaku sebagai suami pada umumnya, berangkat pagi ke toko dan pulang sore. “Assalamualaikum,” ucap Ivan masuk ke dalam rumah dan mendapati istrinya sedang asik-asikan nonton drakor sambil makan kue kering dengan lahapnya. “Waalaikumussalam, udah pulang ya, Mas?” sahut Nanda sembari mendekati suaminya itu, mengambil tangan dan mengecupnya singkat. “Enak banget ya kamu, di rumah seharian nggak ngapa-ngapain cuma ngedrakor aja sambil nyemil,” sindir Ivan, entah kenapa moodnya hari ini jelek, selain karena toko tak seramai biasanya juga karena Irma merengek dan lumayan menguras tenaga untuk membujuknya. “Loh? Terus aku harus ngapain? Kan aku mau bantu kamu ke toko tapi kamu nggak izinin, kamu bilang aku cukup di rumah aja doain kamu! Lagian ya Mas, yang kamu liat aku ngedrakor sama nyemil ini pas akunya aja lagi istirahat, sebelumnya aku nggak

  • AKU BUKAN ATM BERJALANMU, MAS!    BAB 16

    “Ma, kayanya Irma mau pulang aja ke kampung,” ucap gadis sok polos itu dengan raut wajah disedih-sedihkan. “Lah, kenapa Sayang? Memangnya ada masalah di sana?” tanya Diana kaget. “Nggak ada sih, Ma, cuma Irma ngerasa nggak enak aja di sini apalagi Inara ….” Ia berhenti sejenak, menghapus air mata yang sebenarnya memang tak pernah turun, Irma mulai memainkan perannya sebagai ratu drama. “Kenapa sama Nara?” tanya Diana mulai terdengar tak enak. “Inara kayanya nggak suka aku di sini, Ma!” lanjutnya lagi, kini gerakan tangannya dipercepat seolah air mata turun dengan banyak. “Kamu ngomong apa sih? Nggak mungkin lah Nara kaya gitu, orang dia yang ajak dan bawa ke sini, lagian ada alasan apa Nara nggak suka kamu disini?” jawab Diana tertawa kecil. “Nara ngira Irma sama Mas Ivan ada apa-apa, Ma,” sahut Irma, ia mulai sesenggukan dan jelas itu dibuat-buatnya. “Maksudnya?” Kembali Diana teralihkan dan kini sesuatu yang dianggapnya hanya lelucon menjadi topik yang cukup serius. “Kamu ke

  • AKU BUKAN ATM BERJALANMU, MAS!    BAB 15

    Tak sadar karena lelah dengan apa yang kurasakan, ternyata aku tertidur, dan satu jam hampir berlalu. Kudengar sudah tak ada suara berdebat dari luar. ‘Apa Mama sudah pulang?’ batinku. Baru saja hendak membuka pintu, samar aku mendengar seperti ada suara tapi sangat jauh, sepertinya dari depan, dan aku membuka pintu sangat pelan. Kulihat Mas Ivan membuka pintu hanya sedikit saja, ia terlihat sedang berbicara dengan seseorang dari luar, aku penasaran dan langsung keluar. “Siapa Mas?” tanyaku yang ternyata membuatnya sangat terkejut, dan tentu saja ekspresinya itu membuatku curiga. “Orang salah alamat!” jawabnya terlihat salah tingkah. “Oh ya? Nyari siapa dia?” tanyaku lagi, kali ini aku berniat keluar melihat secara langsung tapi alangkah terkejutnya lagi aku ketika tubuhku ditarik dan masuk dalam pelukan Mas Ivan. “Maaf,” lirihnya, membuatku terpaku sejenak. Tak ada perasaan nyaman seperti dulu saat pelukan dari lelaki ini adalah tempatku berpulang dan merasa aman, kali ini se

  • AKU BUKAN ATM BERJALANMU, MAS!    BAB 14

    Irma seorang gadis desa yang terlihat lugu dan sederhana, namun pepatah jangan melihat buku dari sampulnya saja itu berlaku pada gadis ini, nyatanya keluguan diluar tak sesuai dengan kelicikan yang sudah mendarah daging di dalam dirinya. Otak cerdas yang dianugerahkan Tuhan untuknya malah ia jadikan sebagai pencipta ide-ide jahat yang mengalirkan pundi-pundi uang ke rekeningnya dan kehidupannya selama ini, dengan bermodalkan kisah sedih keluarga yang kurang mampu, kuliah dari beasiswa, dan orang tua yang sudah ringkih dan tak mampu mencari uang lagi menjadikannya sebagai pusat perhatian semua orang termasuk Inara dan keluarganya yang kini sudah masuk ke dalam perangkapnya. Tapi apa mungkin waktu seminggu mampu mendekatkan seorang lelaki dengan gadis yang baru saja dikenalnya, bahkan kini mereka terlihat seperti pasangan kekasih yang dimabuk cinta. Tentu saja tidak! Enam bulan yang lalu saat Ivan sedang mengunjungi Inara di kota dimana adik perempuannya itu sedang menimba ilmu di saat

  • AKU BUKAN ATM BERJALANMU, MAS!    BAB 13

    “Assalamualaikum, Bun,” ucap Nanda dengan lembut setelah telepon tersambung. “Waalaikumussalam, kenapa Sayang?” tanya Bunda Nanda tak kalah lembut dan penuh kasih dari putri kesayangannya. “Bun, sekarang Nanda lagi ada di rumah Nanda, ini Nanda sama Mas Ivan lagi ada masalah yang kayanya butuh Bunda di sini,” ucap Nanda serius, membuat Ivan dan Diana saling berpandangan dan tanpa pikir panjang Ivan menarik paksa ponsel Nanda dan mengambil alih telepon, ia kira istrinya itu hanya membentak dan mengancam saja tapi ternyata Nanda tak main-main telepon benar-benar tersambung dan suara lembut di seberang sana membuat jantung Ivan berdebar kencang. “Masalah apa, Nan? Kok ….” “Assalamualaikum Bunda, ini Ivan, maaf ya Bun ngagetin Bunda, Nanda lagi PMS jadi agak sensitif sampai nelepon Bunda padahal kami cuma lagi debat kecil biasa, Bun, hehehe,” potong Ivan cepat, ia berusaha berbicara dengan sesantai mungkin agar tidak membuat ibu mertuanya itu curiga kalau mereka memang sedang sangat t

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status