Masuk“Aku mau kamu pulang," ucapku, membuat Mas Ivan pasti heran dan kembali menatapku.
"Kenapa aku harus pulang?" tanyanya bingung.
"Kamu harus membuktikan, kalau kamu memang akan melakukan apapun untukku. Kuberi waktu satu minggu, dan apa pun yang nantinya kuminta kamu lakukan atau berikan, kamu harus mampu! Tak ada alasan, apalagi sampai penolakan!" jawabku tegas, membuatnya terlihat kikuk.
Entah apa yang ada dipikiran Mas Ivan, kini ia diam sejenak, dan hening sesaat diantara kami hanya suara TV yang mendominasi.
"Oke, tapi ada syaratnya" jawabnya, kutatap ia kesal, jelas saja aku tak terima dengan apa yang ucapkan barusan.
"Kenapa, kamu yang kasih aku syarat?" tanyaku kesal.
"Karena ini syarat yang penting!" jawabnya terlihat serius.
"Apa?" tanyaku, kesal, ya itu yang kurasakan dan kini lebih memilih untuk mengalihkan pandangan dari lelaki yang dulu membuatku rela melakukan apapun ini.
"Apapun permintaanmu, aku akan coba dan berusaha memenuhi, kecuali satu hal, jangan pernah memintaku untuk menceraikanmu, karena itu tak akan pernah terjadi" ucapnya tegas.
Kutautkan kedua tanganku, lalu tersenyum ke arah Mas Ivan.
"Oke, syarat diterima. Tapi hasil akhir, aku yang nentuin. Kalau kamu nggak mampu mewujudkan semua inginku, kamu juga harus nerima apa pun konsekuensinya," jawabku serius, kali ini aku yang akan memegang kendali. Tak akan kubiarkan kesalahan yang sama kembali terulang dan selalu berulang.
***
Setelah berpamitan dengan Bundanya Nanda, Ivan pun pulang dengan lemah, sesaat membuka pintu mulai terasa sangat hampa dan kosong, bahkan perutnya pun tak lagi merasa lapar.
‘Apa ini yang dinamakan kesepian?’ batinnya sedih.
Menjelang malam, Ivan menunggu makanan yang ia pesan, karena tak bisa juga ia terus-terusan membiarkan perutnya kosong.
Ting.. tung..
Suara bel membuat Ivan harus memaksakan diri untuk bangun.
"Tumben cepat, baru sepuluh menit," tanyanya heran.
Saat Ivan membuka pintu, ternyata kurir datang mengantar sebuah paket besar.
"Paket Pak, atas nama Bu Ananda Aprilia," ucap lelaki berkulit putih, dengan senyumnya yang ramah.
"Oh iya, itu Istri saya," jawab Ivan setelah mendengar nama Nanda.
Ivan merima paket itu dengan senyuman ramah yang sama.
"Teri…."
"Totalnya lima juta dua ratus dua puluh dua ribu, Pak," ucapnya, membuat Ivan tak jadi mengucapkan terima kasih.
Ivan mengerutkan kening, lalu mengalihkan pandangan ke arah paket yang tertulis jelas bahwa barang pesanan berupa COD.
Tak ingin malu, Ivan memintanya menunggu lalu masuk mengambil tasnya, untung saja uangnya cashnya cukup, memang ia belum menyetorkan uang yang tadi ia bawa dari toko.
Ivan membayar paket itu dengan sedikit rasa tak ikhlas, lima jutanya melayang begitu saja.
'Belanja apa sih, Nanda?' Batinnya, kesal.
Setelah memastikan kurir pergi, Ivan bergegas mengambil Hp untuk menghubungi Nanda, namun sebuah pesan ternyata sudah lebih dahulu masuk darinya.
[Makasih ya Mas, paket itu adalah permintaan pertamaku.] Ivan membaca pesan itu dengan hati yang bergemuruh.
"Apa sebenarnya yang direncanakan oleh Nanda?" ucapnya kesal, ia menatap paket berukuran besar itu tanpa ada sedikitpun niat untuk menyentuh atau membukanya.
Ditengah kekesalannya notifikasi pesan kembali masuk ternyata dari Mamanya.
[Van, entar malam ke rumah, ada yang mama mau omongin.]
Pesan itu tak berniat sama sekali ia membalas, rasa kesalnya mendominasi terlebih ia ingat dengan jelas saat kemarin sebelum niatnya penuh mendatangi Nanda, ia sempat meminta tolong Mamanya menemani tapi wanita yang sudah melahirkannya itu menolak mentah-mentah.
“Untuk apa Mama ikut memohon dia supaya pulang sama kamu? Yang ada nanti dia tambah besar kepala! Udahla, Van! Biarin aja, entar juga dia pulang sendiri, kalau kamu yang datang kesana bujuk-bujukin dia yang ada nanti dia malah ngelunjak dan merasa menang,” ucap Diana berapi-api. Bukannya mencarikan solusi agar anak dan menantunya berdamai, ia malah menjadi bensin yang membuat api semakin besar, beruntung Ivan saat itu masih bisa berpikir dengan normal sehingga ia tak terhasut dengan mudah.
[Kalau kamu nggak datang, Mama coret kamu dari daftar pewaris.]
Pesan berikutnya membuat Ivan tak berkutik, mau tak mau dengan setengah hati ia membalas.
[Oke, Ma.]
Entah apa lagi yang akan terjadi nanti, sialnya matanya kembali melihat paket yang tadi diletakkannya asal di dekat pintu. Kembali rasa kesal membuatnya menendang ke sembarang arah.
***
Malam tiba dengan cepat, enggan Ivan melangkahkan kaki keluar rumah dan menjalankan mobilnya menuju rumah Mamanya yang memakan waktu lebih dari satu jam.
“Assalamualaikum,” ucapnya sembari masuk ke dalam rumah yang sudah ditinggalinya dari kecil hingga sebelum menikah.
“Waalaikumsalam,” jawab seseorang dari dalam, tapi Ivan tau benar itu bukan suara Mamanya, suara ini lebih muda dan lebih lembut. Ia menengok ke arah suara dan benar aja ada seorang wanita dengan rambut hitam sebahu memakai baju kaos putih dengan celana panjang kekinian berwarna cream.
“Eh, ini Mas Ivan, ya?” tanyanya sopan, sembari mendekat dan langsung mencium tangan Ivan, membuat lelaki itu diam mematung karena syok. Ketika sadar ia segera menarik tangannya yang masih ada dalam genggaman wanita muda itu.
“Maaf kamu siapa?” tanya Ivan, ia terlihat salah tingkah, karena jujur saja wanita itu terlihat sangat cantik dengan kulit putih dan bentuk tubuh yang berisi tapi bukan gemuk.
“Saya Irma, Mas, Saya ….”
“Nah, ini anaknya udah datang, ayo masuk, Van!” ucap Diana memotong perkenalan dari wanita muda yang tadi menyambutnya.
“Mas Ivan!” Kembali Ivan dikejutkan dengan suara lain, tapi suara ini jelas dikenalinya, suara yang ia rindukan..
Inara, adik bungsunya yang sudah lama tak pulang karena kuliah di luar kota.
“Kapan kamu balik, dek? Kok nggak ngabarin Mas Ivan?” tanyanya lembut sembari membalas pelukan dari adik kesayangannya itu.
“Kan surprise, Mas, kalau kasih tau duluan, nggak kejutan dong! Kenapa? Kangen banget ya sama aku?” tanyanya manja, sedang Ivan hanya membalas dengan mengacak rambut lurus adiknya, karena kembali fokusnya teralihkan pada wanita yang baru pertama kali dilihatnya tadi.
“Woy! Jangan jelalatan! Ku aduin ke Mbak Nanda loh nanti!” ancam Inara, ia tak bertanya kenapa Kakak iparnya itu tak datang, karena ia sangat tahu bagaimana hubungan antara Mamanya dan Nanda.
‘Kalau aku jadi Mbak Nanda juga aku nggak akan mau injak ini rumah,’ ucapnya ikut kesal dalam hati.
“Apaan sih, dek? Emang itu siapa?” Walaupun terdengar mengelak tapi tetap saja Ivan tak mampu menahan rasa penasarannya.
“Temenku, dia ke sini lagi cari kerja Mas, kasian deh, soalnya dia harus putus kuliahnya karena udah nggak bisa lanjut bayar,” jawab Inara dengan sedih. Irma sahabatnya satu universitas dan satu tempat kos, karena sudah sangat dekat dan Irma menceritakan semua kesulitannya sebagai sahabat ia tak mungkin tinggal diam, kepulangannya kali ini pun sebenarnya dengan rencana permintaan tolong agar Kakak atau Kakak iparnya bisa membantu sahabatnya itu.
“Terserah deh Nar, kerja apa aja! Jadi tukang sapu juga nggak apa-apa yang penting aku bisa dapat uang buat ngasih orang tuaku,” ucap Irma saat itu yang akhirnya membuat Inara mantap untuk membawanya ikut pulang dan mencari solusi di kampung halamannya. Tanpa ia sadari, solusi untuk sahabatnya itu adalah langkah bahaya yang akhirnya jadi bencana untuk rumah tangga Kakaknya sendiri.
[Mbak, Mas Ivan lagi ada di sini, kayanya kecurigaan kita emang bener deh, Mbak, kalau dari apa yang aku lihat, kayanya Mas Ivan memang ada main sama si Irma.] Dengan mantap Inara mengirim pesan kepada kakak ipar yang disayanginya, tentu saja tak hanya sekedar kalimat, ia juga mengirimkan sebuah video berdurasi lima belas detik di mana Ivan dan Irma sedang duduk berhadapan di meja makan sambil tertawa lepas bersama. Nanda yang baru saja selesai mandi tersenyum miring melihat Video yang dikirimkan adik iparnya itu, pantas saja Ivan tak membalas pesan yang dikirimkannya sejak beberapa jam tadi rupanya lelaki itu sedang asik dengan selingkuhannya. Memilih tak membalas pesan Inara, Nanda dengan sigap bersiap, ia memakai sedikit make up dan memakai baju santai lalu dengan cepat memesan taksi online, ya tujuannya adalah ke rumah mertuanya. ‘Sepertinya bakalan seru!’ ucapnya dalam hati. Sepanjang perjalanan pikiran Nanda sedikit berkecamuk, ia merasa lelah dengan semua keadaan yang pals
Tiga hari berlalu dengan rutinitas biasa, berusaha baik-baik saja walaupun sebenarnya retak di mana-mana. Nanda sudah pulang ke rumah dan Ivan berlaku sebagai suami pada umumnya, berangkat pagi ke toko dan pulang sore. “Assalamualaikum,” ucap Ivan masuk ke dalam rumah dan mendapati istrinya sedang asik-asikan nonton drakor sambil makan kue kering dengan lahapnya. “Waalaikumussalam, udah pulang ya, Mas?” sahut Nanda sembari mendekati suaminya itu, mengambil tangan dan mengecupnya singkat. “Enak banget ya kamu, di rumah seharian nggak ngapa-ngapain cuma ngedrakor aja sambil nyemil,” sindir Ivan, entah kenapa moodnya hari ini jelek, selain karena toko tak seramai biasanya juga karena Irma merengek dan lumayan menguras tenaga untuk membujuknya. “Loh? Terus aku harus ngapain? Kan aku mau bantu kamu ke toko tapi kamu nggak izinin, kamu bilang aku cukup di rumah aja doain kamu! Lagian ya Mas, yang kamu liat aku ngedrakor sama nyemil ini pas akunya aja lagi istirahat, sebelumnya aku nggak
“Ma, kayanya Irma mau pulang aja ke kampung,” ucap gadis sok polos itu dengan raut wajah disedih-sedihkan. “Lah, kenapa Sayang? Memangnya ada masalah di sana?” tanya Diana kaget. “Nggak ada sih, Ma, cuma Irma ngerasa nggak enak aja di sini apalagi Inara ….” Ia berhenti sejenak, menghapus air mata yang sebenarnya memang tak pernah turun, Irma mulai memainkan perannya sebagai ratu drama. “Kenapa sama Nara?” tanya Diana mulai terdengar tak enak. “Inara kayanya nggak suka aku di sini, Ma!” lanjutnya lagi, kini gerakan tangannya dipercepat seolah air mata turun dengan banyak. “Kamu ngomong apa sih? Nggak mungkin lah Nara kaya gitu, orang dia yang ajak dan bawa ke sini, lagian ada alasan apa Nara nggak suka kamu disini?” jawab Diana tertawa kecil. “Nara ngira Irma sama Mas Ivan ada apa-apa, Ma,” sahut Irma, ia mulai sesenggukan dan jelas itu dibuat-buatnya. “Maksudnya?” Kembali Diana teralihkan dan kini sesuatu yang dianggapnya hanya lelucon menjadi topik yang cukup serius. “Kamu ke
Tak sadar karena lelah dengan apa yang kurasakan, ternyata aku tertidur, dan satu jam hampir berlalu. Kudengar sudah tak ada suara berdebat dari luar. ‘Apa Mama sudah pulang?’ batinku. Baru saja hendak membuka pintu, samar aku mendengar seperti ada suara tapi sangat jauh, sepertinya dari depan, dan aku membuka pintu sangat pelan. Kulihat Mas Ivan membuka pintu hanya sedikit saja, ia terlihat sedang berbicara dengan seseorang dari luar, aku penasaran dan langsung keluar. “Siapa Mas?” tanyaku yang ternyata membuatnya sangat terkejut, dan tentu saja ekspresinya itu membuatku curiga. “Orang salah alamat!” jawabnya terlihat salah tingkah. “Oh ya? Nyari siapa dia?” tanyaku lagi, kali ini aku berniat keluar melihat secara langsung tapi alangkah terkejutnya lagi aku ketika tubuhku ditarik dan masuk dalam pelukan Mas Ivan. “Maaf,” lirihnya, membuatku terpaku sejenak. Tak ada perasaan nyaman seperti dulu saat pelukan dari lelaki ini adalah tempatku berpulang dan merasa aman, kali ini se
Irma seorang gadis desa yang terlihat lugu dan sederhana, namun pepatah jangan melihat buku dari sampulnya saja itu berlaku pada gadis ini, nyatanya keluguan diluar tak sesuai dengan kelicikan yang sudah mendarah daging di dalam dirinya. Otak cerdas yang dianugerahkan Tuhan untuknya malah ia jadikan sebagai pencipta ide-ide jahat yang mengalirkan pundi-pundi uang ke rekeningnya dan kehidupannya selama ini, dengan bermodalkan kisah sedih keluarga yang kurang mampu, kuliah dari beasiswa, dan orang tua yang sudah ringkih dan tak mampu mencari uang lagi menjadikannya sebagai pusat perhatian semua orang termasuk Inara dan keluarganya yang kini sudah masuk ke dalam perangkapnya. Tapi apa mungkin waktu seminggu mampu mendekatkan seorang lelaki dengan gadis yang baru saja dikenalnya, bahkan kini mereka terlihat seperti pasangan kekasih yang dimabuk cinta. Tentu saja tidak! Enam bulan yang lalu saat Ivan sedang mengunjungi Inara di kota dimana adik perempuannya itu sedang menimba ilmu di saat
“Assalamualaikum, Bun,” ucap Nanda dengan lembut setelah telepon tersambung. “Waalaikumussalam, kenapa Sayang?” tanya Bunda Nanda tak kalah lembut dan penuh kasih dari putri kesayangannya. “Bun, sekarang Nanda lagi ada di rumah Nanda, ini Nanda sama Mas Ivan lagi ada masalah yang kayanya butuh Bunda di sini,” ucap Nanda serius, membuat Ivan dan Diana saling berpandangan dan tanpa pikir panjang Ivan menarik paksa ponsel Nanda dan mengambil alih telepon, ia kira istrinya itu hanya membentak dan mengancam saja tapi ternyata Nanda tak main-main telepon benar-benar tersambung dan suara lembut di seberang sana membuat jantung Ivan berdebar kencang. “Masalah apa, Nan? Kok ….” “Assalamualaikum Bunda, ini Ivan, maaf ya Bun ngagetin Bunda, Nanda lagi PMS jadi agak sensitif sampai nelepon Bunda padahal kami cuma lagi debat kecil biasa, Bun, hehehe,” potong Ivan cepat, ia berusaha berbicara dengan sesantai mungkin agar tidak membuat ibu mertuanya itu curiga kalau mereka memang sedang sangat t







