Share

Bab. 4

Pov. Pras

***

Awalnya aku cukup terganggu dengan kehadiran Aini.

Kalau dilihat-lihat teman Dewi itu seperti wanita nelangsa yang membawa beban hati.

Kedatangannya yang minta dibantu mencarikan pekerjaan, membuatku sedikit prihatin sekaligus jengkel.

Prihatin sebab dia seorang janda yang hidup sendiri, tapi juga membuatku jengkel sebab di hari sabtu dan minggu ia kerap datang mengganggu waktu kebersamaanku dengan Dewi.

Tinggal hanya berdua saja, membuatku bebas melakukan kemesraan bersama istriku dimana saja.

"Eh kok malah kebablasan sih, Mas?"

Terngiang saat Dewi protes atas kemesraan yang kupinta di depan tv malah membuat kami berakhir dengan mandi wajib setelahnya.

Dimana saja Dewi akan pasrah pada setiap inginku.

Dan sabtu minggu adalah waktu khusus untuk kami bermesraan.

Sebab dua hari itu adalah hari libur kami. Walau kadang-kadang di akhir bulan Dewi kadang lembur untuk menyiapkan laporan di kantornya.

Aku dan Dewi saling mencintai begitu dalam dan sedikit menggebu.

Dua tahun pernikahan kami dan belum dikaruniai anak membuat kemesraan kami semakin bertambah.

Pelukan dan kecupan kapan saja kulayangkan padanya. Begitu juga dengan Dewi.

Namun, sejak seringnya Aini datang bertamu membuat Dewi tak bisa seleluasa dulu.

Kalau aku? Nekat saja. Bahkan pernah kusengaja memeluk Dewi saat Aini datang bertamu. Entah perempuan itu melihat kemesraan kami atau tidak.

Kalau pun dia melihat, baguslah. Agar dia cepat pulang.

Aku benar-benar risih dengan kehadiran Aini yang terlalu sering datang bertamu.

"Mas, udah malem ini hujan juga. Tolong anterin Aini pulang. Kasihan dia."

Dewi masuk ke kamar dan membangunkanku yang sudah hampir terlelap.

"Siapa suruh bertamu di rumah orang sampai selarut ini. Nggak tahu diri banget."

Aku menggerutu, sebab siang tadi perempuan itu sudah datang. Alasan sepi di kamar kostnya membuatnya datang dan ikut makan siang sekaligus makan malam bersama kami.

Bahkan sepanjang makan siang tadi ia aktif menanyakan makanan kesukaan aku dan Dewi.

"Kasihan, Mas."

Dewi memelukku. Membujuk agar aku bangkit dari pembaringan dan bersedia mengantar kawannya pulang.

Memang akhirnya aku bangun dan bersedia mengantarkan Aini pulang.

Namun Dewi kukerjai dulu cukup lama barulah aku keluar kamar.

"Kamu nakal banget sih, Mas. Kasihan Aini menunggu!" sungut Dewi setelah kuobrak abrik pakaiannya tadi.

"Biarin! siapa suruh datang mengganggu."

Aku tak mau kalah. Bahkan ini sangat terpaksa kulakukan. Mengantar wanita lain di malam-malam begini.

"Taksinya belum datang, ya?"

"Belum, Mas. Mungkin karna hujan deras."

Aini seperti memang sengaja berharap untuk di antar.

Bahkan wajahnya begitu memelas.

Kupalingkan wajah agar tak menatap lama netra yang seolah sengaja menatap ke arahku.

"Ayo, biar mas Pras yang anter. Jangan sampai kemalaman. Mas Pras besok kerja pagi. Kamu juga, kan?"

"Ya. Kalau gitu aku pamit ya. Maaf merepotkan mas Pras, Wi."

"Ya mau di apalagi taksinya nggak datang. Nggak mungkin juga kamu nginap kan?"

Suara Dewi jelas sekali kalau kesalnya sama denganku.

Lalu kulajukan mobil, membelah malam di tengah gemuruh hujan yang curah begitu deras.

"Enak ya jadi Dewi, Mas."

"Maksudnya?"

Aini membuka percakapan di tengah suasanan dingin dan hening di antara kami.

"Ya, punya suami yang sayang dan setia seperti mas Pras."

"Kami saling mencintai!"

"Sangat beruntung. Tak seperti aku. Pernah punya suami tapi hanya siksa lahir batin yang kudapat."

"Mudah-mudahan nanti ada jodoh yang baik. Gimana kamu kerasan nggak, kerja di koperasi itu?"

"Alhamdulillah kerasan, Mas. Gajian bulan kemarin aku kirimin buat ibu di kampung. Beliau sudah sakit-sakitan dan tinggal sendiri."

"Kenapa nggak tinggal di kampung saja biar bareng ibu kamu?"

"Disana susah cari kerjanya, Mas. Lagian mantan suamiku juga tinggal tak jauh dari daerahku, dia sering datang mengganggu."

Lalu mengalirlah semua cerita kehidupan yang sedikit memilukan dari wanita berjilbab ini.

Ah tentang jilbab ini. Aku sungguh berharap Dewi akan memakainya suatu hari nanti.

"Kenapa Dewi nggak disuruh pakai jilbab, Mas. Itu tanggung jawab mas lho!"

"Dia belum siap katanya."

"Wajib bagi wanita berhijab, Mas. Jangan-jangan kalian belum punya anak karna nunggu Dewi berhijab dulu."

Benar juga kata Aini. Sudah beberapa kali kupinta pada Dewi untuk menutup kepala jika keluar rumah. Namun alasan belum siap dan shalat yang masih bolong-bolong membuat Dewi belum mengenakan jilbab.

"Mas,"

Aku memalingkan wajah. Menatap Aini yang memanggil namaku sambil menyentuh pergelenganku.

Berani sekali dia.

"Ada apa?"

"Aku suka sama, Mas Pras. Aku bisa memberimu anak, Mas!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status