Share

Bab. 5

Pov. Pras

***

Keberanian Aini dibalik wajah polosnya membuat darah lelakiku ikut tertantang.

Aku tak menyangka, di balik penampilannya yang jauh lebih tertutup dari Dewi ternyata Aini menyimpan sesuatu sungguh berbahaya bagi seorang lelaki.

Ah, aku rasa Aini sengaja memancing seekor kucing dengan ikan segar.

Dan aku, ...

Terpancing.

"Laki-laki bisa beristri dua, Mas."

Aini semakin berani saja. Bahkan ia tak segan menyentuh jemari atau sekadar memukul lengan atau pundakku.

Bahkan aku yang terbuai sensasi keberaniannya seolah mulai lupa dengan kekesalanku padanya di awal-awal ia datang dulu.

"Kenapa sudah jarang ke rumah?"

"Nggak kuat cemburunya, Mas."

"Cemburu?"

"Ya. Aku cemburu kalau lihat Dewi nyender di dada kamu. Aku kan juga pengen."

"Haha. Ada-ada aja kamu."

Namun tak ayal wajahku memerah.

Baru kali ini ada perempuan yang membuatku salah tingkah.

Bahkan aku pun mulai berani, mengkhianati sedikit-sedikit kesetiaan dan kemesraan antar aku dan Dewi.

"Kok aku haid lagi, Mas?"

Dewi sudah tersedu saja di atas pembaringan kami.

"Nggak apa-apa. Belum rejekinya."

Bahkan panggilang sayang untuk Dewi sudah begitu jarang kusebutkan.

Tangisannya sore itu bahkan tak membuat lengan kokohku memeluknya seperti biasa.

Ini seperti rasa hambar.

Mungkin benar kata Aini. Aku sudah begitu merindukan tangiasan bayi di rumahku.

Lihatlah, bahkan semua keluh kesahku tak lagi kusampaikan pada Dewi.

Tapi kini Aini menjadi pendengar setiaku.

Kesibukan Dewi di akhir tahun membuatnya harus lembur hingga larut dan berhari-hari.

Dan itu semakin membuatku kesepian.

Sementara Aini di sana semakin gencar juga memberi perhatian padaku.

Dewi bahkan tak tahu bila aku dan Aini sering bertukar pesan.

Kebiasaan Dewi yang tak pernah mengecek ponselku membuatku semakin bebas berpetualang bersama Aini di aplikasi _chat_ ponsel kami.

Banyak hal yang berubah padaku dan Aini.

Dia sudah sangat jarang datang. Tak juga basa basi menanyakan kabar Dewi.

Pun dengan Dewi tak pernah bercerita tentang Aini atau bertanya-tanya mengapa kawannya itu tak datang.

Pun aku sekarang lebih sibuk dengan ponselku dibanding sibuk mengerjai Dewi lewat sentuhan mesra keromantisan kami.

Tentu Aini sudah jarang datang. Sebab diam-diam akulah yang biasa mengunjungi kostnya dan mengajaknya keluar. Sekedar makan atau nonton selepas kami pulang bekerja.

Tentu Dewi tak protes mengapa aku terlambat pulang. Sebab ia tahu suaminya sedang lembur.

Proyek di batas kota yang menjadi pekerjaan besar di kantorku menjadi alasanku sering lembur.

Memang lembur tapi tidak tiap hari.

Namun aku selalu terlambat pulang.

"Mas kangen."

Dewi mendekatiku malam itu. Mungkin dia sudah terlalu rindu sebab dua minggu ini aku benar-benar lembur untuk menyelesaikan laporan-laporan proyek kantor tempatku bekerja.

"Capek, Wi."

"Ya udah. Mas istirahatlah," katanya pasrah. Lalu memberiku kecupan sebelum terlelap.

Dan ternyata bukan hanya Dewi yang kangen padaku.

Tapi juga Aini. Bahkan kalimat kangen yang ia kirimkan lewat pesan suara membuatku lebih peduli juga merindukan rasa kangen Aini.

"Mas, kapan kita nikah. Kangen tapi nggak bisa ngapa-ngapain."

Raut sedih Aini membuatku gemas siang itu.

Rasa kangen kami berdua membuatku nekat menjemputnya di jam istirahat siang. Bukan ke kostan atau ke rumah makan terdekat.

Tapi kubawa ia ke rumahku siang itu. Aku pede saja membawa Aini ke rumah dimana aku dan Dewi dulu berjanji untuk saling setia.

Siang-siang begini Dewi masih di kantor dan dia tak pernah pulang siang.

"Kalau nikah siri mau?"

Aku berlutut di hadapan sahabat istriku. Kumainkan ujung jilbabnya yang terlihat semakin pendek. Bahkan penampilan Aini sekarang banyak berubah. Selain sudah jarang menggunakan gamis, celana jeans warna hitam seperti yang kerap Dewi gunakan juga Aini gunakan siang itu.

"Mau, Mas. Insya Allah aku akan kasi kamu anak, Mas. Tapi aku nggak ingin berdosa."

Air mata yang menggenang di pelupuk mata Aini membuatku tak tahan untuk tak memeluknya.

Kupikir dia akan mendorong dan menolakku.

Ternyata Aini membalasku.

Bahkan pelukan itu lebih erat yang Dewi berikan semalam.

Hampir saja pertahananku roboh siang itu. Andai tak kulihat Dewi tergesa membuka pintu pagar dan membuatku dan Aini terburu melepaskan diri dengan sedikit panik.

"Mas, Aini. Sedang bikin apa kalian?"

"Tadi saya ikut mas Pras, Wi. Sudah lama nggak ketemu kamu. Aku rindu juga."

Aini yang gegas menjawab. Sebab aku sudah melipir ke belakang mengambil air minum untuk membasahi tenggorokanku dan menenangkan debaran jantungku.

"Oh. Iya kamu lama nggak datang. Duduk dulu ya, aku ke toilet dulu. Sakit perut!"

Dewi berlari kedalam kamar dan menutup dengan cepat. Bahkan ia tak sempat menyapaku.

"Habis makan apa dia kok bisa sakit perut siang-siang begini."

Aku membatin sendiri.

Saat Dewi masuk kedalam kamar. Gegas Aini mendatangiku lagi di ruang tengah.

Memeluk lagi dan berbisik pelan.

"Aman, Mas."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri g sensitif dan peka dg perubahan syami. terlalu abai dan tolol krn terlalu percaya diri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status