Pov. Pras
***Keberanian Aini dibalik wajah polosnya membuat darah lelakiku ikut tertantang.Aku tak menyangka, di balik penampilannya yang jauh lebih tertutup dari Dewi ternyata Aini menyimpan sesuatu sungguh berbahaya bagi seorang lelaki.Ah, aku rasa Aini sengaja memancing seekor kucing dengan ikan segar.Dan aku, ...Terpancing."Laki-laki bisa beristri dua, Mas."Aini semakin berani saja. Bahkan ia tak segan menyentuh jemari atau sekadar memukul lengan atau pundakku.Bahkan aku yang terbuai sensasi keberaniannya seolah mulai lupa dengan kekesalanku padanya di awal-awal ia datang dulu."Kenapa sudah jarang ke rumah?""Nggak kuat cemburunya, Mas.""Cemburu?""Ya. Aku cemburu kalau lihat Dewi nyender di dada kamu. Aku kan juga pengen.""Haha. Ada-ada aja kamu."Namun tak ayal wajahku memerah.Baru kali ini ada perempuan yang membuatku salah tingkah.Bahkan aku pun mulai berani, mengkhianati sedikit-sedikit kesetiaan dan kemesraan antar aku dan Dewi."Kok aku haid lagi, Mas?"Dewi sudah tersedu saja di atas pembaringan kami."Nggak apa-apa. Belum rejekinya."Bahkan panggilang sayang untuk Dewi sudah begitu jarang kusebutkan.Tangisannya sore itu bahkan tak membuat lengan kokohku memeluknya seperti biasa.Ini seperti rasa hambar.Mungkin benar kata Aini. Aku sudah begitu merindukan tangiasan bayi di rumahku.Lihatlah, bahkan semua keluh kesahku tak lagi kusampaikan pada Dewi.Tapi kini Aini menjadi pendengar setiaku.Kesibukan Dewi di akhir tahun membuatnya harus lembur hingga larut dan berhari-hari.Dan itu semakin membuatku kesepian.Sementara Aini di sana semakin gencar juga memberi perhatian padaku.Dewi bahkan tak tahu bila aku dan Aini sering bertukar pesan.Kebiasaan Dewi yang tak pernah mengecek ponselku membuatku semakin bebas berpetualang bersama Aini di aplikasi _chat_ ponsel kami.Banyak hal yang berubah padaku dan Aini.Dia sudah sangat jarang datang. Tak juga basa basi menanyakan kabar Dewi.Pun dengan Dewi tak pernah bercerita tentang Aini atau bertanya-tanya mengapa kawannya itu tak datang.Pun aku sekarang lebih sibuk dengan ponselku dibanding sibuk mengerjai Dewi lewat sentuhan mesra keromantisan kami.Tentu Aini sudah jarang datang. Sebab diam-diam akulah yang biasa mengunjungi kostnya dan mengajaknya keluar. Sekedar makan atau nonton selepas kami pulang bekerja.Tentu Dewi tak protes mengapa aku terlambat pulang. Sebab ia tahu suaminya sedang lembur.Proyek di batas kota yang menjadi pekerjaan besar di kantorku menjadi alasanku sering lembur.Memang lembur tapi tidak tiap hari.Namun aku selalu terlambat pulang."Mas kangen."Dewi mendekatiku malam itu. Mungkin dia sudah terlalu rindu sebab dua minggu ini aku benar-benar lembur untuk menyelesaikan laporan-laporan proyek kantor tempatku bekerja."Capek, Wi.""Ya udah. Mas istirahatlah," katanya pasrah. Lalu memberiku kecupan sebelum terlelap.Dan ternyata bukan hanya Dewi yang kangen padaku.Tapi juga Aini. Bahkan kalimat kangen yang ia kirimkan lewat pesan suara membuatku lebih peduli juga merindukan rasa kangen Aini."Mas, kapan kita nikah. Kangen tapi nggak bisa ngapa-ngapain."Raut sedih Aini membuatku gemas siang itu.Rasa kangen kami berdua membuatku nekat menjemputnya di jam istirahat siang. Bukan ke kostan atau ke rumah makan terdekat.Tapi kubawa ia ke rumahku siang itu. Aku pede saja membawa Aini ke rumah dimana aku dan Dewi dulu berjanji untuk saling setia.Siang-siang begini Dewi masih di kantor dan dia tak pernah pulang siang."Kalau nikah siri mau?"Aku berlutut di hadapan sahabat istriku. Kumainkan ujung jilbabnya yang terlihat semakin pendek. Bahkan penampilan Aini sekarang banyak berubah. Selain sudah jarang menggunakan gamis, celana jeans warna hitam seperti yang kerap Dewi gunakan juga Aini gunakan siang itu."Mau, Mas. Insya Allah aku akan kasi kamu anak, Mas. Tapi aku nggak ingin berdosa."Air mata yang menggenang di pelupuk mata Aini membuatku tak tahan untuk tak memeluknya.Kupikir dia akan mendorong dan menolakku.Ternyata Aini membalasku.Bahkan pelukan itu lebih erat yang Dewi berikan semalam.Hampir saja pertahananku roboh siang itu. Andai tak kulihat Dewi tergesa membuka pintu pagar dan membuatku dan Aini terburu melepaskan diri dengan sedikit panik."Mas, Aini. Sedang bikin apa kalian?""Tadi saya ikut mas Pras, Wi. Sudah lama nggak ketemu kamu. Aku rindu juga."Aini yang gegas menjawab. Sebab aku sudah melipir ke belakang mengambil air minum untuk membasahi tenggorokanku dan menenangkan debaran jantungku."Oh. Iya kamu lama nggak datang. Duduk dulu ya, aku ke toilet dulu. Sakit perut!"Dewi berlari kedalam kamar dan menutup dengan cepat. Bahkan ia tak sempat menyapaku."Habis makan apa dia kok bisa sakit perut siang-siang begini."Aku membatin sendiri.Saat Dewi masuk kedalam kamar. Gegas Aini mendatangiku lagi di ruang tengah.Memeluk lagi dan berbisik pelan."Aman, Mas."Hujan di luar semakin deras, membasahi genting tua rumah ini. Winda berdiri di hadapan Gavin dengan wajah memerah karena amarah yang tertahan. Matanya berkilat penuh luka.Jemarinya menyentuh layar, memutar video yang Winda maksud. Suara itu... suara dirinya sendiri yang sedang mengigau dalam tidur.“Kania …, Kania, … maafkan aku, Kania.”Gavin terpaku. Tubuhnya kaku mendengar betapa pilunya ia menyebut nama almarhum istrinya. Suara yang penuh sesal, penuh rindu, namun tak pantas diucapkan ketika ada Winda di sisinya.“Apa ini, Winda?” Gavin berusaha mempertahankan kendali, tapi nada suaranya bergetar jelas disesaki oleh rasa bersalah.“Ini yang aku dengar hampir setiap malam, Mas,” balas Winda dingin. “Dan lebih parahnya lagi, Mas pernah...” Winda menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata.“Pernah apa?” Gavin mendesak.Winda mengalihkan pandangan, tapi bibirnya meluncurkan kebenaran yang menghantam Gavin tanpa ampun. “Mas pernah menyebut nama Kania saat kita.
Gemuruh di langit semakin nyaring, hujan kini turun dengan deras. Gavin duduk di kursi makan. Sendok di tangan kirinya mengetuk-ngetuk piring, tanda pikirannya sedang tidak fokus. Uap dari mie instan di hadapannya mengepul, tetapi selera makannya sudah lebih dulu lenyap, terkalahkan oleh perasaan jengah yang tiba-tiba menyeruak di dada.Ada yang Gavin tak lihat, tapi itu terjadi. Sama halnya saat Kania dulu tak melihat apa-apa yang dilakukannya bersama Aline di belakang istri pertamanya itu.Bahkan Kania sudah pergi pada alam yang berbeda. Namun, rasa sakitnya masih terngiang pada semesta yang memberi balas.Namun, Gavin mungkin tak sadari itu, seperti tak sadarnya dulu saat terlena dalam bara zina yang ditawarkan oleh selingkuhnannya.Lelaki bermata tajam ini menatap jendela yang mengembun oleh hujan. Matanya terasa berat, seperti menanggung beban dari kenangan-kenangan yang kini melintas tanpa diundang. Kania. Nama itu terlintas begitu saja. Istrinya yang dulu. Almarhumah yang dia
Kilas Hidup yang Kedua**Seberapa kuat Gavin melangkah sendiri di antara umurnya yang masih ingin ditemani. Seberapa kuat ia menahan diri dalam sesalan, tapi hidup memang terus berjalan dan lelaki empat puluh delapan tahun ini memang butuh teman.Usia yang makin banyak, benar-benar membuatnya tak hanya bisa menyesali kesalahannya di masa lalu. Gavin butuh kawan. Bukan hanya sekadar tentang pelampiasan hasratnya di atas ranjang, tapi ia butuhkan kawan berbagi cerita.Rasanya waktu terus meneror kesendiriannya. Seolah masa inginkan ada kehidupan kedua yang harus ia jalani setelah kehidupan menyakitkan telah ia berikan untuk Kania di masa lalu.Tok! Tok!“Masuk!”Hujan turun rintik-rintik di sore itu, membawa aroma tanah basah yang menusuk hidung. Di rumah peninggalan orang tua Gavin, bayangan masa lalu terasa begitu pekat. Ruang tamu yang dipenuhi perabotan mulai menuai menjadi saksi bisu kesepian seorang pria yang pernah melakukan kesalahan fatal di masa lalu. Seorang wanita yang ma
Dua minggu sudah berlalu sejak pertemuan tak terduga antara Gavin dan Kania. Juga pertemuannya dengan pak RT yang dating menyampaikan keluhan warga akan pembayaran tanah yang belum selesai. Gavin bahkan tak menyangka bila ruko yang dibelinya ada hubungannya dengan Doni. Mantan suami Hera yang diam-diam juga menjalin affair Bersama wanita yang pernah menjadi kekasih gelapnya. Bahkan ungkapan pertanyaannya pada Winda hari itu seolah angin lalu yang sudah terlupakan. Gavin pun sekarang lebih banyak menghabiskan waktu sebagai sopir taksi online daripada mengunjungi tokonya. Laporan penjualan oli akan ia terima lewat emailnya. Winda sudah sangat cekatan mengirim laporan melalui email. Sementara untuk pembelian, Gavin akan langsung menelpon supplier oli yang telah menjadi langganannya. Pembayaran pun dilakukan melalui transfer. Tak ada yang tahu balasan takdir apa yang akan diterima setelah melakukan kesalahan-kesalahan di masa lalu. Bertaubat mungkin sudah dilakukan, tapi balas
"Sudah dua tahun kamu hidup sendiri, apa nggak ada niatan untuk kamu buka hati, Nia?" "Luka yang lama rasanya susah betul sembuhnya, aku takut mengulang cerita yang akan memberikan rasa sakit di ujungnya, Ta." Kania tahu kemana arah pembicaraan Sita. Ini bukan kali pertama ibu satu anak ini menyampaikan makna tersurat tentang perasaan seseorang padanya. "Mas Daksa itu suka sama kamu, ibunya juga berharap kamu ada perasaan yang sama." Kania tersenyum miris setipis mungkin. Sebagai Perempuan dewasa, Kania juga tahu tentang perasaan pria itu.Mas Daksa pria yang baik, hanya saja Kania rasanya masih takut memulai hubungan yang baru, apalagi statusnya hanya sebagai pembantu di rumah pria itu.Ada kenangan yang membekas dan mungkin tak mampu dihapus waktu. Kenangan akan statusnya Bersama Gavin.“Aku ini orang susah, Ta. Aku hanya pekerja di rumah orang tua mas Daksa.”“Nggak ada masalah. Problemnya dimana. Mas Daksa serius ingin membangun rumah tangga. Dia juga pernah gagal,
"Tanah ini pembayarannya belum diselesaikan, Pak Gavin." Seorang pria tua berpeci yang sedari tadi menunggu Gavin, langsung membeberkan inti persoalan yang menyebabkan beliau harus datang menemui pemilik ruko ini. Rupanya beliau ketua RT di daerah ini. "Gimana maksudnya, Pak? Saya juga tidak tahu menahu dengan pembayaran tanah yang bapak maksud." Gavin tentu menerima dengan baik tamu yang tak diharapkan kehadirannya siang ini. Belum lagi tadi pertemuan tak sengaja antara dirinya dan Kania membuat perasaannya jelas terusik. "Pihak developer belum menyelesaikan pembayaran tanah ini, Pak. Dan warga tidak mau tahu, mereka meminta saya untuk menemui pemilik ruko satu persatu." "Tapi saya sudah membayar lunas pembelian ruko ini, Pak. Entah dengan yang lainnya." Raut wajah pak RT terlihat cemas. Lelaki berkacamata ini menarik napas panjang lalu menghembuskan dengan berat. "Pak Gavin bukan pemilik ruko yang pertama yang saya datangi, tapi jawaban mereka ham