Share

Bab 6

Part 6

Aku bukan tipe orang yang cepat emosian. Meluapkan kekesalan dengan teriak-teriak. Bagiku, jika hal itu masih bisa diselesaikan dengan bicara baik-baik, maka tidak perlu adu mulut. Maka, kuputuskan untuk meredam kesal karena bagaimanapun sedang ada acara yang berlangsung untuk selamatan calon bayi.

Namun, tetap saja, hati rasanya tidak tenang. Apalagi, Mas Fahmi belum pulang sampai detik ini. Menunggu saat yang tepat dan sepi untuk berbicara empat mata dengan Dewi, rasanya susah sekali. Tamu datang silih berganti. Mereka umumnya teman Ibu yang mengembalikan sumbangan. Seperti itulah adat di tempat kami.

Kamar kututup rapat. Aku benar-benar sudah gelisah karena hampir zuhur, Mas Fahmi tidak kunjung datang. Tiba-tiba, terlintas dalam benak, kenapa aku tidak membawa Dewi masuk ke kamar saja. Lalu, kaki ini melangkah keluar mencari keberadaan Dewi. Kenapa dia, bukan Mbak Santi yang kucari? Karena usia kami seumuran. Aku merasa lebih leluasa jika berbicara dengan dia.

“Wi,” panggilku. Sebisa mungkin emosi dan gelisah ku redam. Namun, tetap saja suaraku bergetar karena apa yang kurasa di dalam dada.

“Ya, Mbak,” jawabnya sambil meletakkan baskom.

“Ikut aku sebentar ke kamar,” ajakku.

Dewi menurut. Aku langsung menutup pintu dan menguncinya begitu adik bungsu Mas Fahmi sudah ada di dalam kamar.

“Dimana Mas Fahmi? Kenapa sampai saat belum datang dan nomornya tidak aktif?” tanyaku menginterogasi. Napasku sudah naik turun.

“Aku tidak tahu, Mbak,” jawab Dewi.

“Wi, siapa yang membeli jajan-jajan yang dibawa kemari?” aku menatapnya tajam.

“Mbak Hanum ….”

“Aku sudah mendengar percakapan kalian tadi. Jawab yang jujur, Wi! Siapa yang membelikan Mas Fahmi jajan? Kamu tahu? Mas Fahmi meminta uang dariku untuk acara tujuh bulanan. Dia bilang Ibu yang akan mengurus semuanya. Tapi tadi kamu bilang kalau Mas Fahmi semalam tidak ada di rumah kalian?” Dewi terlihat pucat. Seperti menyesali perkataan yang disampaikannya saat di teras.

“Mbak, aku tidak tahu sama sekali. Maaf, Mbak, aku tidak tahu jika Mbak Hanum mendengarnya tadi,” kata Dewi ketakutan.

“Jika aku tidak mendengarnya, berarti kamu akan menyembunyikan hal ini? Atau, banyak hal lagi yang kalian sembunyikan, Wi?”

“Mbak, apa maksudnya?” tanya Dewi semakin ketakutan.

“Dewi, jawab jujur! Apa Mas Fahmi punya perempuan lain selain aku?” Aku langsung bertanya pada inti kecurigaan.

“Mbak Hanum bilang apa sih, Mbak? Mbak, Mbak Hanum istri Mas Fahmi bukan? Mbak Hanum yang dinikahi Mas Fahmi dan setelah menikah dengan Mbak Hanum, Mas Fahmi ada hal-hal aneh apa tidak? Mbak, jika Mbak Hanum ke rumahku, tidak ada apa-apa yang terjadi ‘kan? Maksudnya, apa Mbak menemui hal-hal yang aneh?” Meski terlihat ketakutan, Dewi bisa berkata lancar.

“Kalau begitu, dimana mas mu sekarang?”

“Aku tidak tahu, Mbak. Tadi bilang mau antar bahan.”

Aku terdiam sesaat.

“Mbak, tenangkan hati dan pikiran! Aku tahu, Mbak Hanum sedang emosi. Tapi, ini sedang ada acara besar. Tidak baik kalau Mbak Hanum marah-marah. Tentang makanan yang dibawa Mas Fahmi, aku juga tidak tahu dari mana. Nanti, aku akan mencari tahu. Kalau sudah tahu, aku pasti memberitahu Mbak Hanum. Mbak, kami semua menerima Mbak Hanum. Menyayangi Mbak Hanum, jadi tidak mungkin kami akan menyakiti Mbak … Sabar, ya? Kalau Mbak Hanum seperti ini, kasihan dedek bayinya. Dia sedang diselameti. Tenang, aku pasti bantu cari tahu ….” Dewi berjanji dan terdengar sungguh-sungguh. “Aku juga nanti akan marahi Mas Fahmi karena cepat datang kesini. Istirahat ya, Mbak! Aku akan keluar takut anakku menangis,” ujar Dewi sambil mengusap pelan punggungku.

Apa yang dikatakan Dewi ada benarnya juga. Aku harus tenang setidaknya sampai acara selesai.

Tak lama setelah Dewi keluar, Mas Fahmi datang dan masuk kamar. Diikuti adik bungsunya.

“Ini Mbak Hanum. Mas kemana saja sih? Ini acara penting. Mas malah pergi. Kasihan Mbak Hanum. Dah, temani dia di sini,” ujar Dewi kesal pada Mas Fahmi.

“Aku tadi antar kain. Tapi orangnya sedang keluar rumah jadi harus menunggu agak lama,”

“Ya sudah. Mas gak usah keluar. Di sini saja! Nanti malah disalahkan orang banyak,” ujar Dewi. Dia lalu pamit keluar.

“Mana uangnya kalau tadi antar kain?” tanyaku sudah tidak tahan.

“Ya Allah, Hanum! Uangnya tentu saja mau buat belanja lagi.”

“Setidaknya kamu dapat untung, ‘kan?”

“Buat beli bensin, Hanum. Bukankah sekarang kamu melarangku untuk jualan lagi? Jadi, aku tidak punya penghasilan lain.”

“Kalau kamu pergi buat mengantar dagangan, terus untungnya hanya cukup buat beli bensin, kenapa harus keluar? Meninggalkan acara penting untuk calon anak kita.” Aku terus mencecarnya.

“Hanum! Jika aku tidak mengantar pesanan yang cuma sedikit ini, dia akan lari pada pedagang lain. Aku harus mempertahankan pelangganku.” Entah benar atau salah yang dikatakan Mas Fahmi, tapi aku salut, dia bisa menjawab semua pertanyaanku meski terlihat sudah tersudutkan.

“Siapa yang belanja jajan yang dibawa kesini tadi? Bukan ibu kamu, ‘kan? Bukan juga saudara-saudara perempuan kamu. Lalu siapa? Kenapa kamu minta uang sama aku katanya mau dikasih ke ibu kamu nyatanya enggak?” Aku ingin berteriak, tapi sadar kalau banyak orang di luar. Terkadang, lantunan ayat suci yang dibacakan oleh hafidz Qur’an, sedikit meredakan emosi.

Bayiku menendang-nendang di dalam sana. Seolah tahu, ibunya sedang tidak baik-baik saja.

“Dan kenapa semalam kamu tidak pulang?” Belum dijawab pertanyaan yang tadi, Aku sudah bertanya lagi.

Mas Fahmi menunduk. Entah sedih, atau kesal. Aku sudah bersiap menunggu jawaban. Menanti sebuah kejujuran. Ah, apakah dia sudah jujur? Ataukah dia sedang berbohong? Apa aku saja yang terlalu sensitif?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status