Part 7
“Hanum, jangan membatasi gerakku, tolong! Aku ini lelaki. Apakah setiap usahaku untuk mencari rezeki harus aku ceritakan sama kamu? Aku malu, Hanum. Aku malu sampai meminta uang pada kamu untuk acara mitoni ini. Makanya, semalam aku berusaha mencari bantuan kemanapun. Mencari usaha baru pada teman-teman. Aku hanya bisa menggunakan waktu malam tadi karena kamu sudah mengijinkan aku untuk keluar. Kamu mau tahu aku dimana? Baiklah. Aku akan menelpon temanku. Kamu bicara sama dia, ya? Kamu tanya semalam aku ada dimana.”
Mas Fahmi mengeluarkan ponsel dan menelpon seseorang. Aku masih belum melarangnya. Aku ingin tahu, apa dia berkata jujur tentang keberadaannya tadi malam.
Telepon tersambung. Mas Fahmi berbicara pada orang yang ditelpon. “Tolong katakana pada istriku, Hanum, kalua semalam aku ke rumahmu untuk membahas bisnis baru,” katanya lalu menyerahkan ponsel padauk.
Aku langsung menerimanya dan orang itu menjelaskan jika Mas Fahmi semalam ada di sana. Bersama orang itu juga istrinya.
“Yang berbelanja, istri temanku itu. Aku tidak ada waktu untuk ke rumah Ibu semalam, Hanum. Jadi, aku mohon, percayalah ….” Mas Fahmi memegang kedua pundakku lalu menangis. “Aku malu menjadi lelaki yang tidak berguna. Aku malu menjadi beban untuk kamu yang sudah sukses. Doakan aku, Hanum, aku bisa sukses seperti kamu. Sehingga tidak perlu lagi aku keluar malam, di rumah orang untuk mencari sekeping rupiah.” Tubuh Mas Fahmi luluh dengan memegang kedua kakiku.
Ya Allah, apa ini? Kenapa dia seperti ini? Apakah aku yang sudah bersalah, ataukah dia sedang bersandiwara?
Cukup lama kami berada dalam posisi masing-masing. Aku berdiri, Mas Fahmi bersimpuh di atas lantai. Hingga akhirnya, aku berkata, “Bangunlah, Mas! Jangan duduk di sana. Bangunlah!” kataku lagi.
“Aku tidak akan bangun jika kamu tidak mempercayaiku lagi, Hanum. Kamu curiga. Aku tahu itu. Aku harus membuktikan dengan cara apa? Kamu sudah kusuruh bicara sama temanku. Atau, kamu mau kesana? Gak papa. Kita kesana besok kalau sudah selesai acara. Asalkan kamu jangan menghina dia, ya? Dia bukan berada seperti kamu.”
Aku berpikir jika perkataan Mas Fahmi justru menyudutkanku. “Kapan aku pernah menghina orang hanya karena keadaan rumahnya?” tanyaku tidak suka. “Sudah, bangunlah! Temui tamu yang ada di luar! Kamu sudah sangat terlambat datang kesini.”
“Kamu sudah mencurigaiku, Hanum. Aku bingung meyakinkan kamu dengan cara apa. Jika dengan aku merendah seperti ini pun kamu tidak percaya, aku tidak tahu lagi.”
“Bangunlah! Kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Jika memang aku bersalah, suatu hari nanti pasti aku akan menyadarinya dan menemukan titik kesalahanku. Sebaliknya, jika kamu yang bersalah, akan ada juga sebuah bukti yang dating sendiri, menunjukkannya padaku,” ucapku lalu keluar kamar.
Sempat merasa kasihan saat dia mengatakan mencari uang di malam hari. Namun, kata-katanya yang mengatakan aku menghina rumah yang buruk, itulah yang membuat aku marah kembali.
Acara berlangsung sebagaimana mestinya. Aku dan Dewi, sesekali saling pandang. Tatapannya dalam sekali terhadapku. Sementara Mbak Santi, sesekali juga melihatku. Sepertinya ia sudah tahu apa yang terjadi dari Dewi.
“Kita pulang,” ajaknya saat semua tamu sudah pergi. Malam sudah menjelang waktu Isya.
“Tidak. Aku akan menginap di sini. Sudah malam, tidak baik untuk wanita hamil sepertiku. Jika kamu mau pergi, pergi saja, Mas! Aku tidak akan melarangmu dan kamu tidak perlu juga membuat sebuah alasan ingin mencari barang dagangan.” Sindiran halus kuberi.
Mas Fahmi tidak beranjak. Ia malah berbaring di Kasur. “Baiklah, kita tidur di sini,” ucapnya.
Apakah harus dengan cara membebaskanmu seperti ini, agar kamu tahu bahwa aku sangat membutuhkan perhatian kamu? Kataku dalam hati saat menatap tubuhnya sudah tidak bergerak lagi.
Ransel Mas Fahmi teronggok di lantai. Karena sibuknya acara menjadikanku belum sempat membereskan kamar. Aku mengambil benda itu dari lantai. Posisinya terbalik dan aku tidak menyadarinya.
Saat mengangkatnya, sesuatu terjatuh dari sana.
Kresek ….
Bunyi sebuah plastik jatuh. Ternyata isinya hanya itu.
Aku memungutnya dan hendak memasukkan ke dalam ransel kembali. Tanganku terasa empuk saat memegang plastik tersebut. Sebagai perempuan, rasanya aku bisa menebak isi di dalamnya. Tiba-tiba saja, jantungku berdegup kencang. Dorongan dalam hati meminta untuk membuka.
Sebuah bra dan celana dalam milik wanita. Mendadak jantungku berpacu lebih cepat. Aku melihat benda itu secara bergantian dengan suamiku. Benda yang jelas-jelas bukan ukuranku karena aku sedang hamil.
Deru napas memburu dengan cepat. Rasa-rasanya, Mas Fahmi nanti tidak akan mengelak lagi. Dia punya selingkuhan. Itu pasti.
Tangis bayi membuatku membuka mata perlahan. Meski terasa berat, aku memaksakan diri untuk bangkit. “Aww,” pekikku saat menyadari perutku sakit. “Jangan bangun! Kamu habis dioperasi.” Sayup terdengar seseorang menjawab. Itu suara Bapak. Kepalaku pusing, bumi seakan berputar karena terkena gempa. Pikiran melayang seperti aku terbang di atas taman bunga. Aku berpikir apakah aku akan mati? Lalu aku kembali lupa. Saat terbangun lagi, keadaan sudah lebih baik. Ternyata apa yang kurasakan tadi hanyalah efek bius. “Mas Fahmi mana, Pak?” tanyaku saat melihat bapak duduk di samping ranjang. “Fahmi belum datang,” jawab bapak dengan mata berkaca-kaca. Aku hanya bisa menunduk sedih, ingat kalau sejak pertama kontraksi, Mas Fahmi tidak mendampingi. Selama menikah beberapa bulan dengannya, aku hanya didatangi ke rumah kontrakan berapa hari sekali saja. Sering menjalani kehamilan seorang diri tanpa ada suami yang mendampingi, membuatku merasa kalau pernikahan dengan Mas Fahmi tidak membuat ap
Part 45Pagi itu, Rahmi kembali sehabis membeli sayuran pada tukang sayur keliling. Wajahnya nampak kemarahan yang menyala-nyala.“Kamu kenapa?” tanya Herman saat istrinya sampai di rumah.“Orang-orang menggunjing Ema, Pak,” jawabnya.Herman yang berada di depan mesin jahit menghentikan aktivitas kerjanya. “Apa kita mengalah saja, menemui Fahmi ke rumahnya dan meminta pertanggungjawaban darinya?” ucapnya pelan. Ada rasa tidak ikhlas yang melanda hati saat mengucap kalimat demikian.Rahmi diam di tempat duduknya. “Tidak ada pilihan lain, Pak. Kita tidak bisa membiarkan Ema menanggung semuanya sendiri. Bagaimanapun, anak yang dikandungnya butuh seorang ayah,” katanya seolah setuju dengan apa yang diusulkan oleh Herman.Ema sudah berkali-keli menghubungi Fahmi. Akan tetapi, pria itu sama
Part 44Plak!Sebuah tamparan keras mengenai pipi Ema saat ia baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu. Tubuhnya terhuyung hampir jatuh. Untung saja satu tangannya dengan sigap memegang tembok sebagai tempat bertumpu. Satu tangan yang lain memegang pipi yang terasa panas.“Dari mana saja kamu, anak nakal?” tanya ayahnya dengan wajah yang merah padam penuh kemarahan.“Ema, apa yang kamu lakukan berhari-hari ini? Kemana kamu pergi?” tanya ibunya tidak sedikitpun berminat menolong anak perempuannya yang terlihat kesakitan menahan tangis.“Kalau aku pergi, apa kalian akan peduli?” Alih-alih menjawab pertanyaan dari orang tuanya, Ema malah balik bertanya dengan suara yang sedikit tinggi. Pertanyaan yang seolah menyudutkan orang tua yang sedari dulu tidak pernah menyetujui hubungannya dengan Fahmi.“Kalau beg
Part 43 (Ekstra Part 1)POV HANUMTidak mudah menjalani hari setelah bercerai dengan Mas Fahmi. Kenangan indah, kenangan buruk, datang silih berganti menorehkan sejuta luka. Aku selalu mengatakan pada saudara-saudaraku jika hati ini bahagia dan lega dengan keputusan yang telah kuambil.Namun, tentu saja aku berbohong.Hati wanita mana yang tidak sakit bila harus mengalami kenyataan pahit menjadi seorang selir? Ibarat sebuah sayatan pisau di tubuh yang menancap dalam, tentu saja tidak bisa sembuh dengan seketika. Butuh waktu yang lama, butuh obat yang banyak untuk bisa sembuh, meski setelahnya tetap saja menorehkan bekas.Bak sebuah sayatan tadi, ketika sembuh tetap ada bekas lukanya bukan?Cinta tidak akan hilang begitu saja dalam sekejap, meski orang yang kita cintai telah berbuat hal yang menyakitkan.Perceraian tentu juga
Part 42 (ENDING)Wahyu dan adik-adiknya pulang dengan tangan kosong. Sejak naik mobil dari rumah Hanum, mereka saling diam."Berarti, sudah tidak ada harapan kah bagi mereka untuk bersama? Rasanya aku sangat tidak rela jika Mbak Hanum keluar dari anggota keluarga kita," ujar Dewi memecah keheningan.Santi yang duduk di samping Wahyu, hanya menatap pepohonan di luar yang sekarang berjalan melewatinya."Ya mau bagaimana lagi, Hanum sudah tidak mau bersama kembali dengan Fahmi," sahut Wahyu pasrah."Padahal, Mas Fahmi sedikit terangkat harga dirinya karena menikah dengan Mbak Hanum. Aku seperti tidak rela jika posisi Mbak Hanum digantikan oleh Mbak Ema," kata Dewi lagi.Semua kembali terdiam karena larut dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang mau jika Hanum bercerai dengan Fahmi. Namun, bagaimanapun juga, lelaki
Part 41Wahyu dan adik-adiknya pulang dengan tangan kosong. Sejak naik mobil dari rumah Hanum, mereka saling diam."Berarti, sudah tidak ada harapan kah bagi mereka untuk bersama? Rasanya aku sangat tidak rela jika Mbak Hanum keluar dari anggota keluarga kita," ujar Dewi memecah keheningan.Santi yang duduk di samping Wahyu, hanya menatap pepohonan di luar yang sekarang berjalan melewatinya."Ya mau bagaimana lagi, Hanum sudah tidak mau bersama kembali dengan Fahmi," sahut Wahyu pasrah."Padahal, Mas Fahmi sedikit terangkat harga dirinya karena menikah dengan Mbak Hanum. Aku seperti tidak rela jika posisi Mbak Hanum digantikan oleh Mbak Ema," kata Dewi lagi.Semua kembali terdiam karena larut dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang mau jika Hanum bercerai dengan Fahmi. Namun, bagaimanapun juga, lelaki itu telah bersalah. Siapapun yang berad