Gustur Danendra duduk di kursi kepala meja, dengan Sapphire duduk di sebelahnya. Nenek Liyana duduk di seberang mereka, dengan mata yang masih memandang Bara."Bara, aku ingin berbicara dengan kamu tentang sesuatu yang penting," kata Gustur Danendra dengan nada yang serius.Bara memandang ayahnya dengan mata yang penuh pertanyaan. "Apa itu, Ayah?" tanya Bara dengan nada yang ragu-ragu.Gustur Danendra memandang Bara dengan mata yang keras. "Aku telah memutuskan untuk menikahkan kamu dengan Sapphire," kata Gustur Danendra dengan nada yang dingin.Bara terkejut dan merasa seperti dipukul oleh petir. Dia tidak percaya apa yang ayahnya terus katakan. "Tidak, Ayah! Sudah kubilang Kamu tidak bisa menikahiku dengan dia!" teriak Bara dengan nada yang keras.Bara merasa muak ketika ayahnya terus berbicara tentang pernikahan dengan Sapphire. Dia tidak ingin mendengar lagi tentang hal itu, tapi ayahnya terus memaksakan keinginannya."Ayah, aku tidak ingin mendengar lagi tentang hal itu," kata Ba
Bara memutuskan untuk pergi ke kantor di temani Bayu dan dia juga mengajak Nenek Liyana. Tentu saja Bayu yang baru datang ke tempat makan kaget mendengarnya.Bayu terkejut ketika Bara mengajak Nenek Liyana untuk pergi ke kantor bersama mereka. "Pak Bara, apa yang kamu lakukan? Nenek Liyana tidak bisa pergi ke kantor!" kata Bayu dengan nada yang terkejut.Bara tersenyum dengan santai. "Kenapa tidak? Nenek Liyana bisa pergi ke kantor bersama kita. Selain itu, aku ingin dia melihat bagaimana aku bekerja," kata Bara dengan nada yang santai.Bayu memandang Bara dengan mata yang tidak percaya. "Bara, kamu tidak bisa membawa nenek Liyana ke kantor! Apa yang akan orang lain pikirkan?" tanya Bayu dengan nada yang khawatir.Nenek Liyana tersenyum dengan lembut. "Bayu, jangan khawatir. Aku ingin melihat bagaimana Bara bekerja. Selain itu, aku ingin menghabiskan waktu bersama suamiku," kata Nenek Liyana dengan nada yang lembut.Bayu memandang Nenek Liyana dengan mata yang tidak percaya. "Tapi..
Sapphire berjalan menuju Bara dengan langkah yang cepat dan marah. "Bara, aku tidak bisa percaya bahwa kamu melakukan ini kepada aku!" teriak Sapphire dengan nada yang marah.Bara memandang Sapphire dengan mata yang tenang. "Sapphire, aku sudah bilang bahwa aku tidak ingin menikah dengan kamu. Aku tidak bisa memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan," kata Bara dengan nada yang santai.Sapphire memandang Bara dengan mata yang berapi. "Kamu tidak bisa melakukan ini kepada aku! Aku sudah memberikan segalanya untuk kamu, dan kamu tidak bisa membalasnya dengan cara yang sama?" teriak Sapphire dengan nada yang marah.Bara memandang Sapphire dengan mata yang lembut. "Sapphire, aku tidak bisa memaksakan diri untuk mencintai kamu. Aku hanya bisa mencintai orang yang aku cintai, dan itu bukan kamu," kata Bara dengan nada yang santai.Sapphire memandang Bara dengan mata yang terkejut dan marah. Dia tidak bisa percaya bahwa Bara bisa mengucapkan kata-kata yang begitu pedas
Setelah mereka berempat berbicara dan berbagi perasaan, mereka memutuskan untuk melanjutkan hari mereka dengan melakukan sesuatu yang menyenangkan. Bayu menyarankan mereka untuk pergi ke taman dan menikmati udara segar.Sapphire, yang sebelumnya terlihat sedih, sekarang tersenyum dan setuju dengan saran Bayu. "Ya, aku ingin pergi ke taman!" kata Sapphire dengan nada yang ceria.Bara dan Nenek Liyana juga setuju dan mereka berempat berangkat ke taman. Di taman, mereka berjalan-jalan, menikmati udara segar, dan berbicara tentang hal-hal yang menyenangkan.Saat mereka berjalan, Bara tiba-tiba berhenti dan memandang Sapphire dengan mata yang serius. "Sapphire, aku ingin bertanya sesuatu kepada kamu," kata Bara dengan nada yang serius.Sapphire memandang Bara dengan mata yang penasaran. "Apa itu, Bara?" tanya Sapphire dengan nada yang santai.Bara mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Sapphire, apakah kamu mau menjadi teman baikku?" tanya Bara dengan nada yang serius.Sapphire me
Ketika Bayu dan Nenek Liyana sedang berbicara di ruang tengah, terlihat lelaki tampan itu baru pulang dan Bara langsung memasuki kamar, dia langsung menuju ke tempat tidur dan melemparkan dirinya ke atas kasur. Nenek Liyana mengikutinya dan masuk ke dalam kamar, namun Bara memohon untuk kali ini dia ingin tidur sendiri. Nenek Liyana menyetujui dan membiarkan Bara sendirian. Sekarang nenek Liyana mencoba agar menjadi sosok yang lemah lembut serta penurut dan tidak tantrum lagi agar Bara semakin percaya bahwa dia adalah Liyana istrinya. Ia pun membuatkan Bara sendirian untuk menenangkan diri.Namun, ketika Bayu masuk ke dalam kamar untuk mengambil pakaiannya, dia melihat Bara sedang tertidur dan mengigau. Bara menyebut nama Liyana dan rindu padanya. Bayu melihat itu merasa sedih dan khawatir. Dia mendekati Bara dan merasakan suhu tubuhnya. Ternyata Bara demam dan sedang sakit."Aku akan mengompresmu, Bara," kata Bayu pelan-pelan.Bayu mengambil handuk kecil dan merendamnya dalam air din
Bayu merasa bahagia dan sedih pada saat yang sama. Dia bahagia karena Bara akhirnya mengenali dirinya dan mengungkapkan perasaannya walaupun dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar. Tapi dia juga sedih karena dia tahu bahwa dia harus menyembunyikan identitasnya sebagai Liyana untuk melindungi Bara dari bahaya.Bara terus menatap Bayu dengan mata yang lembut dan penuh harapan. "Liyana, aku rindu kamu," kata Bara lagi dengan suara yang lembut.Bayu tidak bisa menahan dirinya lagi. Dia merasa bahwa dia harus memberitahu Bara tentang identitasnya yang sebenarnya. Tapi dia juga tahu bahwa dia harus berhati-hati agar tidak membahayakan Bara."Aku... aku juga rindu kamu, Bara," kata Bayu dengan suara yang lembut dan tidak pasti.Bara menatap Bayu dengan mata yang lembut dan penuh harapan. "Liyana, apa yang terjadi dengan kamu?" tanya Bara dengan suara yang lembut.Bayu merasa sedih dan khawatir. Dia tidak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan Bara karena dia terlalu takut untuk sekarang. Dia
Bara memutuskan untuk tidak membangunkan Bayu, dan dia membiarkan Bayu terus tidur. Dia sendiri berusaha untuk mengingat kembali apa yang terjadi waktu semalam, dan dia berharap bahwa dia bisa mengingat sesuatu yang penting.Sementara itu, Bayu masih tertidur, tidak sadar bahwa Bara sudah terbangun dan memandangnya dengan lembut. Bayu masih memeluk Bara dengan lembut, dan dia masih memiliki senyum lembut di wajahnya.Bara memandang Bayu dengan lebih teliti, dan dia merasa bahwa dia merasa pernah bertemu Bayu sebelumnya dengan waktu yang cukup lama. Dia ingin mengingat, namun entah bagaimana ia bisa lupa. Tetapi dia ingin membuat Bayu merasa aman tanpa tersakiti. Bara tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu, tapi dia tahu bahwa dia merasa memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Bayu.Tanpa mempedulikan lagi, Bara memutuskan untuk bangun dari tempat tidur dan melakukan beberapa kegiatan untuk membuat dirinya menjadi lebih nyaman. Dia berjalan ke dapur untuk membuat sarapan, dan dia j
Bara memandang Bayu dengan kebingungan dan penasaran. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," kata Bara dengan suara yang sedikit ragu.Bayu memandang Bara dengan mata yang penuh ketenangan. "Aku akan selalu ada di sampingmu, Bara. Apa pun yang terjadi, aku akan membantumu," kata Bayu dengan suara yang lembut.Bara tersenyum dan memandang Bayu dengan mata yang penuh rasa harapan. "Terima kasih, Bayu. Aku sangat beruntung memiliki kamu sebagai asisten sekaligus teman," kata Bara dengan suara yang lembut.Tiba-tiba, telepon di meja kerja Bara berdering lagi. Bara mengangkat telepon dan menjawab. "Halo?""Aku sudah mengirimkan alamat dan waktu pertemuan ke kamu melalui SMS. Tolong jangan lupa untuk datang," suara di seberang telepon mengatakan sebelum menutup telepon.Bara memandang Bayu dengan kebingungan dan penasaran. "Aku harus pergi ke pertemuan itu," kata Bara dengan suara yang sedikit ragu.Bayu memandang Bara dengan rasa cemas. "Aku akan pergi bersamamu, Bara. Aku tidak ingi
Liyana menutup jendela dengan hati-hati. Tirai ditarik, bukan untuk menghalangi cahaya, tapi untuk memutus pandangan dari dunia luar—dari mata-mata yang bisa saja dikirim Sapphire atau Gustur.Langkahnya ringan menuju meja kecil di sudut kamar. Ia menarik laci dan mengeluarkan ponsel cadangan. Ponsel itu tidak terhubung dengan jaringan utama rumah Danendra, dan hanya digunakan untuk satu hal: menghubungi penyelidik kepercayaannya.Kode Aman: L-52 diaktifkan.Liyana mengetik pesan cepat ke seseorang bernama “Titik Bening”:> “Sapphire tahu identitasku. Minta tolong cari hubungan dia dengan Gustur. Jangan lacak dari rumah ini. Prioritaskan nama ‘Arta Kencana’—pernah dengar dia sebut diam-diam.”Pesan terkirim.Liyana menghela napas. Ia tahu langkah selanjutnya bukan hanya bertahan, tapi menyerang balik.Karena Sapphire telah menunjukkan wajah aslinya, artinya Liyana tak perlu lagi pura-pura ramah jika harus bertemu.Lalu, pikirannya melayang pada Bara.Laki-laki itu... pria yang dulu ha
Liyana berdiri membeku di balik dinding batu taman. Nafasnya tercekat saat mendengar gumaman terakhir Sapphire yang menusuk seperti jarum dingin ke tulang belakangnya.> “Aku tahu kamu dengar semuanya, Bayu, UPS salah, Lily.”Sapphire kemudian berbalik dan melangkah anggun menuju rumah, meninggalkan jejak ancaman halus yang masih menggantung di udara.Liyana mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Jantungnya berdentam kencang, tapi bukan karena takut. Ini bukan hanya soal rahasia yang terbongkar—ini soal Bara. Tentang bagaimana wanita lain mencoba memutar balik kepercayaannya.Ia tahu Sapphire bukan sekadar datang sebagai “mantan”. Perempuan itu licin, penuh strategi. Dan barusan, dia meletakkan bom psikologis di hati Bara.Liyana buru-buru masuk ke kamarnya, duduk di tepi ranjang sambil memijit pelipis. Ia harus bertindak. Tapi dengan cara yang tak sembrono.Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan di pintu kamarnya.Tok. Tok. Tok.Suara itu berat. Ia langsung tahu.“Lily,” panggi
Langit mulai berwarna jingga ketika Bara melangkah keluar dari kamarnya. Kepalanya masih dipenuhi tanya, hatinya masih digelayuti rasa ragu. Bayu—atau siapa pun dia sebenarnya—semakin membuat pikirannya tak tenang. Tapi belum sempat ia menarik napas panjang, seseorang menghampirinya dari arah taman samping rumah.“Sapphire?” Bara sedikit terkejut melihat wanita itu muncul tanpa pemberitahuan.Sapphire mengenakan gaun biru muda yang jatuh lembut, kontras dengan rambut hitamnya yang dikuncir rapi. Tatapannya hangat, tapi ada sesuatu di balik senyumannya yang tak bisa Bara baca."Kenapa kamu tak menghampiriku? dan mengabaikan pesan," ungkapnya kini“Aku tahu kamu sedang kacau. Makanya aku datang. Aku... mau jujur,” ucap Sapphire pelan, suaranya mengambang di udara sore itu.Bara mengernyit. “Jujur tentang apa?”Sapphire menarik napas dalam, lalu melangkah lebih dekat. “Aku minta maaf, Bara. Aku... sudah tahu sejak awal siapa Bayu sebenarnya. Tapi aku diam. Aku... aku disuruh Ryven buat m
Di sudut rumah, malam itu sunyi. Bara duduk di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya yang terbingkai di rak kayu. Foto itu kini terasa asing. Dua wanita—satu di rumahnya kini mengaku Liyana, satu lagi adalah Bayu yang ia pikir asisten, tapi ternyata juga Liyana.Bara menutup mata. Pusing. Perasaannya campur aduk.“Kenapa semua orang menipu saya?” bisiknya lirih.Malam semakin larut. Udara dingin menyusup di antara sela-sela jendela kamar, namun hati Bara lebih beku dari cuaca. Ia masih duduk termenung di kursi kerjanya, memandangi surat perceraian yang belum ia tanda tangani.Tangannya menggenggam pena, tapi matanya kosong. Setiap kali ia menatap nama “Liyana” di lembar itu, dadanya seperti diremas. Ia benci. Tapi juga... rindu. Ia kecewa, namun juga merasa hangat saat mengingat semua hari-hari bersama Bayu—atau Liyana, sekarang. Ia bahkan tak bisa menyebutnya dengan pasti."Kenapa kamu harus jadi Bayu?" gumamnya lirih.Tak lama kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu kamar Ba
Pagi itu, matahari enggan menyinari kamar Bara. Tirai masih tertutup rapat, dan udara di dalam kamar terasa pengap, seperti hatinya yang sesak oleh berbagai perasaan yang bertumpuk.Bara masih duduk di meja kerjanya. Matanya menatap satu berkas di hadapannya — berkas pengajuan cerai.Tangannya menggenggam pulpen, namun tak kunjung menorehkan tanda tangan di atas kertas itu. Di luar, terdengar suara burung berkicau, seolah mengejek kebimbangannya.“Kenapa kamu gak pergi aja, Lily?” gumamnya pelan. “Kenapa kamu harus bikin semuanya serumit ini?”Kata-katanya dingin, tapi suaranya bergetar. Ia bukan benar-benar marah... lebih tepatnya, kecewa. Terluka. Tertusuk oleh harapan yang sempat ia pupuk diam-diam sejak Liyana — atau Lily — kembali hadir di hidupnya sebagai Bayu.“Lily...” Bara memejamkan mata, menyebut nama itu dengan berat. “Kamu tahu enggak... saat kamu ngelap keringat saya waktu saya demam... saya ngerasa damai. Saya pikir, Bayu i
Malam itu Bayu (Liyana) berdiri ragu di depan pintu kamar Bara. Ia sudah berkali-kali mengangkat tangan untuk mengetuk, tapi akhirnya kembali ragu. Namun malam ini, ia sudah tak tahan lagi. Ia butuh kejelasan. Butuh berbicara. Butuh menjelaskan. Walau tidak semuanya. Kamu harus kuat, Liyana, bisiknya dalam hati. Dengan satu tarikan napas panjang, akhirnya ia mengetuk pintu. Tok. Tok. Beberapa detik sunyi. Lalu suara langkah pelan terdengar mendekat. Pintu terbuka. Bara berdiri di ambang, hanya menatap sebentar, lalu berbalik badan dan kembali masuk tanpa mempersilakan. Tapi Bayu (Liyana) menganggap itu sebagai isyarat untuk masuk. Ia melangkah perlahan, menutup pintu di belakangnya. Keduanya kini berada dalam satu ruangan yang hening. Suasana tegang merayap seperti kabut. “Ada apa?” tanya Bara tanpa menoleh. Suaranya datar. Bayu (Liyana) mengecap bibirnya yang kering. “Aku... aku mau bicara, Mas.” Bara duduk di kursi dekat meja, menyilangkan tangan. “Kalau ini s
Bayu (Liyana) duduk di atas ranjang sempit dengan mata kosong menatap langit-langit. Hatinya berat. Ia baru saja kehilangan Bara untuk kedua kalinya, dan kali ini lebih menyakitkan karena pria itu sendiri yang berpaling darinya."Dia pikir aku selingkuh..." bisiknya getir. "Dengan Ryven pula..."Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya ingin menjerit, tapi suara itu hanya terkurung di tenggorokan.Sementara itu, Bara duduk diam di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya dengan Liyana yang masih terpajang di rak. Tangannya mengepal."Kenapa kau kembali hanya untuk menghancurkan aku lagi, Liyana?" batinnya. Ia ingin marah, ingin menghapus foto itu, ingin melupakan segalanya—tapi wajah Liyana terus mengganggunya. Kenangan mereka dulu pun berkelebat tak henti.Bara menghempaskan diri ke kursi, frustrasi. Ia tidak tahu harus percaya siapa. Nenek yang mengaku Liyana, atau Bayu yang jelas-jelas berbohong? Tapi wajah Bayu saat bicara dengannya... entah kenapa selalu seperti Liyana.
---Di Vila DanendraSudah tiga hari Bara tidak menyapa Bayu. Bahkan tak menatapnya. Seolah keberadaannya transparan. Padahal biasanya, sekalipun mereka tak banyak bicara, ada tatapan… ada kesadaran bahwa mereka saling hadir.Bayu duduk di pinggir ranjang kecil di kamar tamu yang kini jadi tempat tidurnya. Wig-nya ia simpan rapi di dalam laci, dan rambut aslinya terurai, mulai tumbuh tak rapi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—mata Liyana menatap balik dari balik wajah Bayu."Apa aku harus menyerah...?" bisiknya lirih.Namun bayangan orangtuanya yang masih dalam cengkeraman Gustur membuatnya menggertakkan gigi. "Belum. Aku belum boleh pergi sebelum kebenaran terungkap."Ia keluar menuju dapur, berpura-pura mencari air. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Bara di balkon atas, berdiri sendiri, memandang langit malam.Bayu menatap punggung itu lama. Hatinya sakit. Ingin mendekat, tapi takut ditolak.Sementara itu...Di BalkonBara menghela napas panjang. Wajahnya keras, tapi matany
Malam Hari – Ruang Tengah Rumah DanendraLangkah Bayu—atau Liyana—bergetar pelan saat menuruni tangga. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia sudah bersiap. Sudah menyusun kata-kata di kepala, berkali-kali. Malam ini, ia ingin mengakhiri semua kebohongan dan mengatakan yang sebenarnya pada Bara.Namun, ketika ia sampai di ruang tengah... Bara tak ada di sana. Yang ada hanya keheningan. Bahkan aroma kopi kesukaan Bara pun tak tercium. Aneh. Biasanya pria itu akan duduk membaca atau diam menatap api perapian.“Pak Bara?” panggilnya pelan.Tak ada jawaban.Dengan hati-hati, Bayu melangkah ke arah kamar Bara. Pintu sedikit terbuka. Ia mendorongnya perlahan dan menemukan Bara sedang duduk sendiri di ranjang, memunggunginya.“Pak...”Bara tidak menoleh. Bahunya tegang. Sunyi.Bayu menegakkan tubuh, mencoba tetap tenang. “Saya ingin bicara sesuatu... penting.”Bara masih diam. Hanya suara angin malam dari jendela yang terbuka sedikit mengisi keheningan.Bayu melangkah maju. “Saya... saya tahu se