______
"Siapa, kau!" Bara kaget saat mendapati seorang Nenek-nenek tengah berada di kamarnya terduduk di kursi rias. Menatap cermin.
"Aa ... aku ... Istrimu, Mas." Wanita yang tampak delapan puluh tahunan itu berbalik dari cermin.
Sontak wajah Bara berkerut. Heran.
"Kau, bukan Istriku!" Bara mendekati wanita itu dari ambang pintu kamar yang baru dibukanya.
"Mas ... Aku Lily istrimu," ucap wanita itu parau sembari menitikkan air mata.
"Kau bukan Liyana!" Kini Bara semakin marah. Lantas saja ia merasa risih pada sosok wanita asing itu.
Apalagi Wanita paruh baya yang mengaku sebagai Istrinya. Jelas beda! wanita yang baru di ijab olehnya tadi pagi sangat cantik dan masih muda.
"Aku Liyana, Mas!" Dia masih bersih kukuh. Mengaku bahwa dirinya Liyana.
"Tidak, kau bukan istriku!" teriak Bara kali ini sembari menggelengkan kepalanya.
Wanita paruh baya itu hanya bisa menangis. Dan terus berucap bahwa dia adalah istrinya.
Namun, Bara terus menolak. Merasa tidak terima.
"Jangan bercanda! Di mana istri saya?" tanya Bara lagi pada sosok wanita itu
Kini wanita itu bersimpuh dan memegang kakinya.
"Aku tidak bercanda, ini aku Liyana, mas. Istrimu," balasnya sambil menangis.
"Bohong, kau bukan istriku! Katakan di mana dia sekarang?" teriak Bara lagi yang sesekali melihat ke bawah di mana ada sosok nenek itu yang tengah memegang kakinya.
"A ... Aku istrimu, Mas. Liyana," ucap wanita paruh baya itu kekeh.
Sementara Bara menyeret wanita yang memakai kebaya pengantin itu keluar dari kamar. Dan mengusir dari rumah mewah yang baru dibelinya.
"Pergi!"
Bara mendorong tubuh wanita paruh baya itu ke aspal. Lalu dirinya membanting pintu.
Berjalan cepat menginjak kotak per kotak lantai. Dia pun mulai duduk di ranjang berukuran king size putih yang bertaburan mawar merah.
Bara tak menyangka bahwa malam pertamanya akan strategis ini. Siapa Nenek itu? Dan kemana Istrinya? Apa benar ucapan Laksmi kala itu. Bahwa Liyana tak mencintainya.
Tetapi pernikahan ini ada karena dasar suka saling suka. Lalu ... apa mungkin Liyana memang terpaksa menjalankan janji Suci ini karena kedua orangtuanya yang haus akan harta.
Omongan Laksmi kala itu terus terputar dibenaknya. Masa Istrinya tega melakukan hal ini. Apa benar jika ia kabur dari rumah dan mengganti posisinya dengan Nenek tua itu!
Bara mulai frustasi! Yang ia bisa lakukan hanya terdiam merenungi kejadian ini. Sambil mengacak-ngacak rambut hitamnya. Merasa jengkel.
'Liyana, dimana kamu!'
'Sungguh, tak punya hati! Kemana kamu liyana. Apa benar bahwa omongan Laksmi tentangmu? atau apa mungkin bahwa Nenek tua itu adalah Liyana?'
Bara bergumam sendiri, sembari masih duduk di atas ranjang. Ia masih menatap sekeliling, kamar ini sungguh mewah nan indah. Namun, sayang, semua keindahan seakan sirna! kala ia mendapatkan suatu kejadian yang aneh baru saja.
Dia terus saja memikirkan semuanya. Dan bertanya-tanya kemana sosok wanita cantik yang baru ia nikahi.
Bara mulai frustasi! Yang ia bisa lakukan hanya memutar roda di otaknya agar bisa melaju untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Ia terus saja berpikir lalu mengacak-ngacak rambut hitamnya lagi dan mulai semakin frustasi. Kepalanya seakan berasap sekarang.
"Liyana, dimana kamu!" Bara terus saja meneriaki nama itu. Tangannya mengepal di udara. Ia sangat marah dan ingin membogem siapa saja jika ada di hadapannya kali ini. Namun, hanya ranjang putih yang ia duduki itu yang kini jadi sasaran tinju dari tangannya.
🥀
Sementara diluar wanita itu menangkupkan kedua tangan dibadan. Memeluk dirinya sendiri. Semilir angin malam sangat dingin. Ditambah kebaya putih yang menerawang sungguh membuat tulang belulang merinding.
Berjalan ditengah-tengah jalan tanpa kendaraan. Sepi. Hanya ditemani rintikan air hujan yang mulai turun ke bumi. Tangisan terus saja keluar dari sudut mata dan terasa di pipinya yang keriput.
Kemana sekarang harus pergi? Sementara semuanya pasti tak akan mengakui jika dirinya Liyana putri tunggal dari keluarganya sendiri.
Rasanya tak ada jalan untuknya keluar dari semua permasalahan.
Ia terus saja berjalan hingga ada di pinggir trotoar kota. Hanya lampu jalanan yang menerangi dan sorot lampu dari lalu lalang mobil di jalan. Beriringan dengan bunyi klakson yang memekakkan telinga.
'Kemana sekarang?'
Ia bergumam sendiri. Tak mungkin jika ia kembali lagi ke rumah mewah itu. Sedangkan baru saja beberapa menit yang lalu ia di seret keluar oleh lelaki tampan itu. Ternyata, ketampanan paras tak sama dengan apa yang ada di dalamnya. Pikir wanita itu.
"Mau, kemana? Biar aku bantu," ucap seseorang yang baru saja berdiri di samping dan memegang tangannya.
Wanita itu merasa kaget akan ulah cowok muda di sampingnya. Ia tak membalas sepatah kata pun. Hanya memperhatikan cowok dari atas sampai bawah.
Cowok itu lumayan tampan, memakai kaos putih di balut jaket jeans yang senada dengan celananya juga. Jeans cargo. Tak lupa tas ikut tersampir di bahu kanannya dan juga topi hitam yang ia pakai di rambutnya yang terbelah dua. Walau malam-malam begini ia cukup rupawan seperti oppa Korea.
"Nenek mau nyebrang, 'kan?" tanyanya lagi kini
"Biar sekalian, lagi pula saya juga mau nyebrang," ucapnya lagi sembari tersenyum dan menatap ke arahnya.
Wanita itu hanya mengangguk. Seakan setuju akan ucapan lelaki muda itu. Karena memang ia tak pandai untuk menyebrang jalan.
Cowok itu pun merekatkan pegangan tangan. Sembari tangan sebelahnya ia rentangkan agar kecepatan mobil berkurang.
Ia mulai celingak-celinguk ke arah jalan dan mereka pun berjalan menyebrangi jalanan kota yang walaupun malam-malam begini masih saja ramai. Bahkan mobil mulai merayap dan macet dari arah kiri dan kanan.
Setiba di jalan, ia melepaskan pegangan tangannya.
"Nenek, mau kemana malam-malam begini?" tanyanya kembali
Namun, tak ada balasan darinya.
"Nenek, gak usah takut aku bukan orang jahat kok. Lebih baik kita duduk dulu di sana. Itu ada warung," saran lelaki itu lagi sembari menunjuk ke arah warung angkringan yang berada di sisi jalan.
Tanpa menunggu persetujuan dari Wanita itu. Ia membawanya dan mulai memesankan makanan.
Cowok itu heran, kenapa nenek itu memakai gaun pengantin bahkan tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Apa mungkin nenek ini tengah mengalami sesuatu hal yang berat dan membuatnya shock?
Dan Wanita paruh baya itu pun juga
heran mengapa ada orang yang tiba-tiba baik? Apa mungkin dia adalah orang jahat yang tengah menyamar.
Mereka sama-sama menaruh rasa penasaran dan curiga. Namun, memilih lebih mengabaikannya.
Takk terasa mereka terus saja saling berpandangan satu sama lain. Hingga makanan yang telah dipesan diantarkan ke meja.
____Mereka terus saja berpandangan. Hingga dua mangkuk mie tersaji di atas meja yang baru di antarkan oleh lelaki bertubuh tambun. "Silahkan, dek, nek," ucapnya sembari menaruh mangkuk di atas meja yang membuyarkan lamunan mereka. "Iya, mas," balas cowok itu."Oh yah ... Nenek dari mana? Atau mau ke mana? Kalau mau, biar saya antarkan?" tawar cowok itu lagi "Nenek gak usah takut, aku gak gigit kok," ungkapnya lagi sembari terkekeh. Namun, wanita itu diam saja seakan tak ada yang lucu. Membuat cowok itu kini merasa canggung. Lalu, tiba-tiba saja wanita paruh baya itu memberikan selembar kertas."Nenek, mau pergi ke sini? Nanti saya antarkan. Sekarang kita makan dulu yah," tawarnya lagi. Karena jujur saja ia sudah lapar. Cacing-cacing di perutnya seakan sedang melakukan pargoy dan berdemo sedari tadi, di tambah keadaan yang masih hujan membuat ia seakan mati kutu karena kelaparan. Sesudah makan, cowok muda itu pun mengantarkan nenek yang baru di temuinya ke alamat yang ia berikan.
____"Apa, kamu mau menikah dengan Tuan Bara?" Rusman sontak berdiri dari kursi yang terbuat dari bambu berwarna coklat."I ... iya, Pak," ucap Lily sembari menunduk.Sedangkan Fatimah hanya bisa menenangkan suaminya. Ikut berdiri lalu menyuruh lagi duduk."Tapi ... Ly, kamu itu harus sadar diri, strata kita berbeda dengan Tuan Bara. Dia itu ningrat turunan darah biru." Rusman meneguk secangkir kopi yang diberikan oleh Fatimah."Lily cinta pak sama Mas Bara." Entah, kenapa mendengar ucapan anaknya hati Rusman semakin kalut. Dia cukup sadar diri bahwa orang terpandang seperti keluarga Danendra akan malu berbesan dengan keluarganya. "Cinta, omong kosong!" Rusmana berdecih.Semilir angin yang begitu sejuk. Entah, kenapa sekarang rasanya tak ada. Hawa seakan panas. Hati Lily seakan menjerit sakit. Ia tak pernah mendengar Bapak marah, biasanya Bapak selalu menuruti kemauannya. Entah, kenapa kali ini berbeda.Suasana sekarang menjadi hening, tak ada percakapan diantara mereka. Kemudian sos
Bara benar-benar sangat kesal bagaimana wanita ini bisa tahu bahwa dia ada di sini.Sebenarnya, Bara sengaja keluar dari rumah untuk pergi ke kantor. Tapi, entah kenapa keadaan yang tengah menimpanya membuat ia stress dan melajukan mobil dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membawanya ke tempat ini. Tempat di mana ia dan Lily bertemu. Selama ini Bara di kenal dengan sosok cowok cool dan tak banyak bicara. Orang-orang juga senggan terhadapnya. Tapi, tiba-tiba saja ia bertemu dengan wanita random seperti Lily. Walaupun kata orang gadis itu lugu dan polos. Justru itulah yang membuat ia berbeda dengan wanita lain."Maaf, Tuan. Saya tak sengaja," ucap seseorang yang baru menyenggol tubuhnya secara tiba-tiba, hingga ia masuk ke dalam lumpur. Karena jalanan di kebun teh ini sangat becek sehabis hujan tadi malam. Tak lupa, keranjang bambu berisikan daun-daun teh tiba-tiba terbang lalu jatuh, tepat pada kepalanya masuk ke dalam keranjang teh itu." Aduh, apa ini! Bisa lihat-lihat gak sih!" te
Bara terus saja mencari di mana sosok nenek-nenek yang ia lihat di kamarnya itu. Namun, sudah beberapa kilo meter ia tempuh, gunung yang ia daki bahkan lautan yah ia sebrangi tak kunjung ia temui.Mulai dari jalanan sekitar rumahnya, di bawah kerikil dan batu. Bahkan atas pohon juga ia naiki. Yang ada hanya wanita berdaster putih dengan rambut yang acak-acakan dan terjulur panjang, yang menutupi wajahnya tengah duduk di sana. Sembari tertawa cekikikan lalu menangis.Merasa lelah, Bara pun memutuskan untuk kembali ke rumahnya.Saat, ia baru saja masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Tiba-tiba suara bell berbunyi bersamaan dengan ketukan pintu dari luar.Bara pun kembali memutar badannya untuk membuka pintu dan menghampiri siapa orang yang malam-malam begini berkunjung ke rumahnya. Apa jangan-jangan wanita di atas pohon tadi? Seketika bulu kuduknya merinding."Assalamu'alaikum," ucap suara dari luar sana. Pertanda mungkin itu bukan makhluk jadi-jadian.Bara pun dengan cepat membuka pi
"Apa ada yang sakit?" tanya Abara kini sembari melihat ke arah Nenek tua itu, yang sudah ia baringkan di atas kasurnya."Tentu saja, sepertinya pinggangku ini terkilir," ucapan wanita paruh baya itu membuat Bara geleng-geleng kepala. Dimana-mana harusnya kaki yang terkilir ini malah pinggang"Boleh minta bantuan lagi?" ucap lagi nenek itu"Apa?" "Bolehkah jika kau membantu untuk mengoleskan balsem ke pinggangku?" pintanya. Sontak membuat Bara bergidik ngeri."Saya gak jago ngurut dan cukup gak suka sama aroma balsem," terang Bara kini menolak membuat Nenek itu agak sedikit kecewa"Bara, ayolah. Aku kan istrimu, tak seharus-""Stop! Jangan mengaku anda istri saya," potong Bara kini. Akhirnya, ia buru-buru mengambil balsem di nakas dekat kasur. Ia pikir mungkin itu milik nenek itu.Dari pada lama-lama berdebat kusir, mending ia cepat-cepat mengabulkan permintaan nenek di hadapannya ini."Sebelah mana yang sakit?" tanyanya dengan acuh."Sebelah sini," balas nenek sembari membuka sedikit
Abara berjalan menuju kamar mandi sambil tetap membayangkan wajah sang nenek yang mengaku sebagai istrinya. Ia merasa kesal dan ingin segera mencari solusi.Setelah mandi, Abara sarapan dan memutuskan untuk berangkat ke kantor. Di dalam mobil, dia memikirkan rencana untuk mencari pembantu rumah tangga."Ini adalah solusi terbaik," katanya pada dirinya sendiri. "Dengan begitu, aku bisa menghindari nenek itu."*Sesampainya di kantor, Abara langsung menemui sekretarisnya, Lestari.“Lestari, aku butuh bantuanmu,” kata Abara. "Saya ingin mencari pembantu rumah tangga. Bisakah Anda membantu saya mencarikannya?"Lestari mengangguk. “Tentu saja, Tuan. Saya akan mencari beberapa kandidat yang cocok.”Setelah menerima perintah,Lestaripun segera memberitahu beberapa rekannya dan membuat loker di media sosial untuk mencari asisten Bara. Dan tak butuh waktu lama, banyak orang yang menghubungi dan melamar melalui chat pada nomor yang ia lampirkan.Ketika dirasa sudah menemukan beberapa yang tepat,
Nenek tua itu mengetuk pintu kamar Abara dengan keras. "Abara, jangan tidur dengan orang lain! Aku adalah istrimu!"Abara merasa kesal. "Nenek, berhenti! Aku sudah bilang kamu tidak bisa mengontrol hidupku."Bayu berdiri dan berjalan ke arah pintu kamar dan membukanya. "Nenek, saya hanya membantu Pak Abara. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Nenek itu memandang Bayu dengan dendam. "Kamu pikir kamu bisa menggantikan aku? Aku tidak akan membiarkannya!"Bayu tetap tenang. "Nenek, saya hanya membantu Pak Abara. Saya tidak memiliki niat lain."Abara mencoba menenangkan. "Nenek, jangan salah paham. Bayu hanya asisten saya."Wanita paruh baya itu tidak percaya. "Aku tidak percaya! Aku melihat cara Bayu memandangmu. Aku tahu dia menyukaimu!"Bayu terkejut. "Saya? Menyukai Pak Abara? Tidak mungkin!"Abara merasa tidak nyaman dengan tuduhan wanita tua itu. "Nenek, berhenti! Kamu salah paham. Bayu hanya membantu saya."Nenek semakin marah. "Aku tidak salah paham! Aku lihat cara kamu memandangn
Abara keluar dari kamar mandi dan melihat wajah Bayu merah padam. "Bayu, apa salahnya? Kamu terlihat tidak enak badan," tanya Abara dengan khawatir.Bayu berusaha menyembunyikan perasaannya. "Tidak apa-apa, Pak Abara. Aku hanya... kepanasan saja."Abara mendekati Bayu dan bertanya, "Kamu yakin tidak ada yang lain?""Tidak, pak."Abara semakin mendekat ke arah Bayu, matanya menatap dalam. "Bayu, aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Ceritakanlah."Bayu tergagap, berusaha menyembunyikan sesuatu di dalam dirinya. "T-tidak ada apa-apa, Pak Abara."Abara memegang bahu Bayu. "Bayu, aku percaya kamu. Ceritakanlah apa yang sebenarnya terjadi."Abara menatap mata Bayu dengan lembut, mencari kejujuran di balik pandangan Bayu. Bayu merasa terjebak, tidak bisa menghindari tatapan Abara.Jantung Bayu seakan berdegup kencang, merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Dia tidak bisa menyangkal lagi sesuatu yang ingin ia katakan pada Abara.Seorang wanita paruh baya itu datang secara tiba-tiba
Liyana berdiri membeku di balik dinding batu taman. Nafasnya tercekat saat mendengar gumaman terakhir Sapphire yang menusuk seperti jarum dingin ke tulang belakangnya.> “Aku tahu kamu dengar semuanya, Bayu, UPS salah, Lily.”Sapphire kemudian berbalik dan melangkah anggun menuju rumah, meninggalkan jejak ancaman halus yang masih menggantung di udara.Liyana mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Jantungnya berdentam kencang, tapi bukan karena takut. Ini bukan hanya soal rahasia yang terbongkar—ini soal Bara. Tentang bagaimana wanita lain mencoba memutar balik kepercayaannya.Ia tahu Sapphire bukan sekadar datang sebagai “mantan”. Perempuan itu licin, penuh strategi. Dan barusan, dia meletakkan bom psikologis di hati Bara.Liyana buru-buru masuk ke kamarnya, duduk di tepi ranjang sambil memijit pelipis. Ia harus bertindak. Tapi dengan cara yang tak sembrono.Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan di pintu kamarnya.Tok. Tok. Tok.Suara itu berat. Ia langsung tahu.“Lily,” panggi
Langit mulai berwarna jingga ketika Bara melangkah keluar dari kamarnya. Kepalanya masih dipenuhi tanya, hatinya masih digelayuti rasa ragu. Bayu—atau siapa pun dia sebenarnya—semakin membuat pikirannya tak tenang. Tapi belum sempat ia menarik napas panjang, seseorang menghampirinya dari arah taman samping rumah.“Sapphire?” Bara sedikit terkejut melihat wanita itu muncul tanpa pemberitahuan.Sapphire mengenakan gaun biru muda yang jatuh lembut, kontras dengan rambut hitamnya yang dikuncir rapi. Tatapannya hangat, tapi ada sesuatu di balik senyumannya yang tak bisa Bara baca."Kenapa kamu tak menghampiriku? dan mengabaikan pesan," ungkapnya kini“Aku tahu kamu sedang kacau. Makanya aku datang. Aku... mau jujur,” ucap Sapphire pelan, suaranya mengambang di udara sore itu.Bara mengernyit. “Jujur tentang apa?”Sapphire menarik napas dalam, lalu melangkah lebih dekat. “Aku minta maaf, Bara. Aku... sudah tahu sejak awal siapa Bayu sebenarnya. Tapi aku diam. Aku... aku disuruh Ryven buat m
Di sudut rumah, malam itu sunyi. Bara duduk di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya yang terbingkai di rak kayu. Foto itu kini terasa asing. Dua wanita—satu di rumahnya kini mengaku Liyana, satu lagi adalah Bayu yang ia pikir asisten, tapi ternyata juga Liyana.Bara menutup mata. Pusing. Perasaannya campur aduk.“Kenapa semua orang menipu saya?” bisiknya lirih.Malam semakin larut. Udara dingin menyusup di antara sela-sela jendela kamar, namun hati Bara lebih beku dari cuaca. Ia masih duduk termenung di kursi kerjanya, memandangi surat perceraian yang belum ia tanda tangani.Tangannya menggenggam pena, tapi matanya kosong. Setiap kali ia menatap nama “Liyana” di lembar itu, dadanya seperti diremas. Ia benci. Tapi juga... rindu. Ia kecewa, namun juga merasa hangat saat mengingat semua hari-hari bersama Bayu—atau Liyana, sekarang. Ia bahkan tak bisa menyebutnya dengan pasti."Kenapa kamu harus jadi Bayu?" gumamnya lirih.Tak lama kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu kamar Ba
Pagi itu, matahari enggan menyinari kamar Bara. Tirai masih tertutup rapat, dan udara di dalam kamar terasa pengap, seperti hatinya yang sesak oleh berbagai perasaan yang bertumpuk.Bara masih duduk di meja kerjanya. Matanya menatap satu berkas di hadapannya — berkas pengajuan cerai.Tangannya menggenggam pulpen, namun tak kunjung menorehkan tanda tangan di atas kertas itu. Di luar, terdengar suara burung berkicau, seolah mengejek kebimbangannya.“Kenapa kamu gak pergi aja, Lily?” gumamnya pelan. “Kenapa kamu harus bikin semuanya serumit ini?”Kata-katanya dingin, tapi suaranya bergetar. Ia bukan benar-benar marah... lebih tepatnya, kecewa. Terluka. Tertusuk oleh harapan yang sempat ia pupuk diam-diam sejak Liyana — atau Lily — kembali hadir di hidupnya sebagai Bayu.“Lily...” Bara memejamkan mata, menyebut nama itu dengan berat. “Kamu tahu enggak... saat kamu ngelap keringat saya waktu saya demam... saya ngerasa damai. Saya pikir, Bayu i
Malam itu Bayu (Liyana) berdiri ragu di depan pintu kamar Bara. Ia sudah berkali-kali mengangkat tangan untuk mengetuk, tapi akhirnya kembali ragu. Namun malam ini, ia sudah tak tahan lagi. Ia butuh kejelasan. Butuh berbicara. Butuh menjelaskan. Walau tidak semuanya. Kamu harus kuat, Liyana, bisiknya dalam hati. Dengan satu tarikan napas panjang, akhirnya ia mengetuk pintu. Tok. Tok. Beberapa detik sunyi. Lalu suara langkah pelan terdengar mendekat. Pintu terbuka. Bara berdiri di ambang, hanya menatap sebentar, lalu berbalik badan dan kembali masuk tanpa mempersilakan. Tapi Bayu (Liyana) menganggap itu sebagai isyarat untuk masuk. Ia melangkah perlahan, menutup pintu di belakangnya. Keduanya kini berada dalam satu ruangan yang hening. Suasana tegang merayap seperti kabut. “Ada apa?” tanya Bara tanpa menoleh. Suaranya datar. Bayu (Liyana) mengecap bibirnya yang kering. “Aku... aku mau bicara, Mas.” Bara duduk di kursi dekat meja, menyilangkan tangan. “Kalau ini s
Bayu (Liyana) duduk di atas ranjang sempit dengan mata kosong menatap langit-langit. Hatinya berat. Ia baru saja kehilangan Bara untuk kedua kalinya, dan kali ini lebih menyakitkan karena pria itu sendiri yang berpaling darinya."Dia pikir aku selingkuh..." bisiknya getir. "Dengan Ryven pula..."Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Rasanya ingin menjerit, tapi suara itu hanya terkurung di tenggorokan.Sementara itu, Bara duduk diam di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya dengan Liyana yang masih terpajang di rak. Tangannya mengepal."Kenapa kau kembali hanya untuk menghancurkan aku lagi, Liyana?" batinnya. Ia ingin marah, ingin menghapus foto itu, ingin melupakan segalanya—tapi wajah Liyana terus mengganggunya. Kenangan mereka dulu pun berkelebat tak henti.Bara menghempaskan diri ke kursi, frustrasi. Ia tidak tahu harus percaya siapa. Nenek yang mengaku Liyana, atau Bayu yang jelas-jelas berbohong? Tapi wajah Bayu saat bicara dengannya... entah kenapa selalu seperti Liyana.
---Di Vila DanendraSudah tiga hari Bara tidak menyapa Bayu. Bahkan tak menatapnya. Seolah keberadaannya transparan. Padahal biasanya, sekalipun mereka tak banyak bicara, ada tatapan… ada kesadaran bahwa mereka saling hadir.Bayu duduk di pinggir ranjang kecil di kamar tamu yang kini jadi tempat tidurnya. Wig-nya ia simpan rapi di dalam laci, dan rambut aslinya terurai, mulai tumbuh tak rapi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin—mata Liyana menatap balik dari balik wajah Bayu."Apa aku harus menyerah...?" bisiknya lirih.Namun bayangan orangtuanya yang masih dalam cengkeraman Gustur membuatnya menggertakkan gigi. "Belum. Aku belum boleh pergi sebelum kebenaran terungkap."Ia keluar menuju dapur, berpura-pura mencari air. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Bara di balkon atas, berdiri sendiri, memandang langit malam.Bayu menatap punggung itu lama. Hatinya sakit. Ingin mendekat, tapi takut ditolak.Sementara itu...Di BalkonBara menghela napas panjang. Wajahnya keras, tapi matany
Malam Hari – Ruang Tengah Rumah DanendraLangkah Bayu—atau Liyana—bergetar pelan saat menuruni tangga. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia sudah bersiap. Sudah menyusun kata-kata di kepala, berkali-kali. Malam ini, ia ingin mengakhiri semua kebohongan dan mengatakan yang sebenarnya pada Bara.Namun, ketika ia sampai di ruang tengah... Bara tak ada di sana. Yang ada hanya keheningan. Bahkan aroma kopi kesukaan Bara pun tak tercium. Aneh. Biasanya pria itu akan duduk membaca atau diam menatap api perapian.“Pak Bara?” panggilnya pelan.Tak ada jawaban.Dengan hati-hati, Bayu melangkah ke arah kamar Bara. Pintu sedikit terbuka. Ia mendorongnya perlahan dan menemukan Bara sedang duduk sendiri di ranjang, memunggunginya.“Pak...”Bara tidak menoleh. Bahunya tegang. Sunyi.Bayu menegakkan tubuh, mencoba tetap tenang. “Saya ingin bicara sesuatu... penting.”Bara masih diam. Hanya suara angin malam dari jendela yang terbuka sedikit mengisi keheningan.Bayu melangkah maju. “Saya... saya tahu se
Kamar Bayu – Malam HariBayu bangkit dari duduknya begitu melihat Bara berdiri di ambang pintu. Namun, tatapan Bara yang dingin dan penuh tekanan membuat langkahnya tertahan. Tidak ada senyum. Tidak ada basa-basi. Hanya tatapan penuh kecurigaan dan luka.Bara masuk tanpa permisi, menutup pintu perlahan di belakangnya.“Kamu kenal Ryven?” suaranya datar, tapi tajam.Bayu terdiam sejenak. “Saya... iya.”“Sejak kapan kamu kenal dia?”“Sudah lama, Pak. Tapi bukan berarti saya ada hubungan khusus dengan dia—”“Jangan bohong.” Bara memotong cepat, matanya memicing. “Aku lihat kamu berbicara dengannya di taman. Aku lihat kamu... membuka wig itu.”Bayu membeku. Tubuhnya terasa dingin.“Aku lihat kamu, Bayu—atau siapa pun kamu sebenarnya. Dan yang paling membuatku muak…” Bara menunduk sebentar, menarik napas panjang seolah menahan letupan amarah. “Kau… adalah Liyana.”Sunyi.Dada Bayu bergemuruh. Matanya berkaca-kaca. Ia ingin sekali menjelaskan segalanya, tapi kata-kata tak keluar.“Selama in