____
"Apa, kamu mau menikah dengan Tuan Bara?" Rusman sontak berdiri dari kursi yang terbuat dari bambu berwarna coklat.
"I ... iya, Pak," ucap Lily sembari menunduk.
Sedangkan Fatimah hanya bisa menenangkan suaminya. Ikut berdiri lalu menyuruh lagi duduk.
"Tapi ... Ly, kamu itu harus sadar diri, strata kita berbeda dengan Tuan Bara. Dia itu ningrat turunan darah biru." Rusman meneguk secangkir kopi yang diberikan oleh Fatimah.
"Lily cinta pak sama Mas Bara." Entah, kenapa mendengar ucapan anaknya hati Rusman semakin kalut. Dia cukup sadar diri bahwa orang terpandang seperti keluarga Danendra akan malu berbesan dengan keluarganya.
"Cinta, omong kosong!" Rusmana berdecih.
Semilir angin yang begitu sejuk. Entah, kenapa sekarang rasanya tak ada. Hawa seakan panas. Hati Lily seakan menjerit sakit. Ia tak pernah mendengar Bapak marah, biasanya Bapak selalu menuruti kemauannya. Entah, kenapa kali ini berbeda.
Suasana sekarang menjadi hening, tak ada percakapan diantara mereka. Kemudian sosok lelaki tampan beralmameter jas hitam tiba-tiba memasuki ambang pintu yang terbuka.
Sontak Rusman yang melirik ke arah sepatu hitam yang cukup mengkilap itu bangun dari lamunan dan berdiri.
"Tu ... tuan Bara?" Rusman masih tak percaya bahwa orang terpandang turunan Danendra memasuki gubuk reyot miliknya.
"Hmmm ...." Bara hanya mengangguk sambil melirik ke sebelah Lily yang sedang duduk dikursi.
"Silahkan duduk Tuan," kata Fatimah. Ia pun bergegas pergi ke dapur untuk mengambil air minum.
Bara melihat ke sekeliling rumah yang cukup sederhana. Dinding yang terbuat dari bilik kayu, pas foto yang terpajang dekat televisi kecil, ada satu lemari yang cukup besar disekat untuk pergi ke arah dapur dan dua pintu mungkin menuju kamar.
Sementara sarang laba-laba nampak dibiarkan pada sudut penjuru atap atau memang tak terlihat hingga keluarga ini lupa membersihkan.
Lalu ia pum duduk pada kursi yang membelakangi jendela. Sedangkan Lily pindah ke sebelah Bapak.
"Maaf, sebenarnya, ada perlu apa yah Tuan Bara kemari?" Rusman mulai pembicaraan. Munculah Ibu dengan dua cangkir teh lalu di pindahkan dari nampan ke atas meja.
"Saya kemari ada sesuatu hal penting," jawab Bara lugas.
"Apa, itu Tuan?"
"Saya akan menikahi Lily." Ucapan Bara seakan membuat mulut Rusman tersedak. Ia kaget tak percaya.
"Tapi ... Tuan?"
"Maaf, saya tak bisa berlama-lama atau mengulang perkataan. Jika Lily mau satu bulan lagi kita akan menikah, semua akan diatur."
"Lily mau Tuan," ucap Lily sambil mengangguk-angguk. Wajahnya kian berseri. Membuat Rusman semakin tercengang. Ia masih memikirkan soal keluarga Bara.
"Tapi ... nak, Bara." Belum Rusman berbicara. Bara menepuk tiga kali tangannya lalu munculah beberapa asisten lelaki berseragam hitam.
Membawa segala macam-macam parsel. Hingga rumah Lily penuh dibuatnya. Kemudian satu cincin permata biru dirogoh dari saku lelaki berparas tampan itu dan disematkan pada jari manis Lily. Pertanda mereka sudah lamaran.
Tanpa basa basi lagi, Bara pun pergi dari rumah Rusman. Meninggalkan mereka yang masih tak percaya atas kehadiran sosok konglomerat itu. Rasanya kini Lily benar-benar mimpi.
🍁
Satu bulan berlalu, sesuai janjinya Abara Danendra telah mempersiapkan dan mengatur semuanya, dari mulai rancangan demi rancangan. Hingga terselenggara pesta pernikahan yang cukup mewah.
Walaupun sebelumnya, ia harus adu mulut dengan Gustur Danendra sang Ayah. Dan akhirnya, berhasil Bara membuat Ia tak berkutik. Pasalnya Bara anak semata wayang.
Gustur kalah telak tak ingin membuat hidup anaknya frustasi hanya karena masalah hati. Toh, pikir Gustur nanti juga ia bisa menyusun rencana supaya Bara bisa meninggalkan wanita kampung itu.
"Saya, terima nikahnya Liyana Sarah Binti Rusman Rusmana dibayar Emas seberat 100 gram serta uang tunai dan alat sholat, di bayar kontan!" Bara mengucap ijab dengan lantang.
"Bagaimana para saksi Sah?"
"Sah ...."
Kemudian beberapa suara mulai menyusul terdengar seantero gedung yang banyak dihadiri oleh para pejabat tinggi dan orang-orang terpandang.
Kini akhirnya mimpi menjadikan Gadis cantik kelahiran tanah pasundan tercapai. Bara benar-benar bahagia apalagi Lily sangat tak percaya.
Dikecupnya kening wanita bergaun putih itu.
🍁
Waktu berlalu, seakan jam berputar lebih cepat. Padahal Lily masih ingin bisa merasakan jadi sosok ratu satu hari itu.
Lily menatap wajahnya di cermin, Nampak cantik. Bagaimana tidak! Orang MUAnya saja perias aktris. Namun, apa ini. Saat sedang membersihkan wajahnya. Tiba-tiba ia melihat wajah yang mengeriput semakin lama ia menatap pada cermin seperti terlihat sosok nenek-nenek.
Lily begitu syok dan kaget! Apa yang telah terjadi. Sementara suara dari arah pintu yang baru dibuka membuat ia semakin panik.
"Siapa, kau?" Kini suaminya berdiri dihadapan. Lily mencoba menjelaskan.
"Aku ... Istrimu, Mas," ucapannya tak digubris.
"Bohong, kau bukan Istriku!" Belum memperjelas perkataannya tubuh Lily di bawa dan di hempaskan dari rumah. Nahas, suaminya malah mengusir dihari malam pertamanya. Seharusnya malam ini mereka tengah meneguk secangkir cinta dalam mahligai yang sudah terikat dalam janji suci yang nyata.
Tapi sayang, malam ini begitu kelabu. berjalan sendirian di jalanan sepi. Tak ada secercah sinar rembulan hanya sorotan lampu dan gerimis yang menaburkan rindu.
Lalu kemudian dia berjalan di trotoar jalan raya kota dan bertemu cowok aneh di tengah lalu lalang kendaraan.
*
"Begitulah ceritanya, Ris. Aku juga bingung mengapa wajahku mendadak jadi nenek-nenek." Buliran bening kini mulai menerobos dari sudut netranya.
Risa pun memeluk tubuh sahabat sewaktu di Kampungnya itu.
"Sabar, yah Ly. Aku akan membantumu," ucap Risa. Pipinya pun basah tak terasa air matanya ikut keluar merasa terhanyut oleh cerita sahabatnya.
Risa berjanji akan membantu Lily untuk mengungkap semua masalah dan mungkin misteri yang sedang ditimpanya itu.
"Lalu, bagaimana selanjutnya. Aku bingung?" ucap lagi wanita yang mengaku sebagai Lily itu
"Kamu tenang dulu yah, semua pasti akan ada jalan keluarnya kok," balas lagi Risa mencoba menenangkan sembari memegang jemari nenek yang mengaku sebagai temannya itu.
🥀
Asap rokok bertebaran di mana-mana. Udara yang semula asri dan sejuk kini tercemar.
Terus saja mengepul dari mulut lelaki tampan yang kini tengah duduk di atas mobil miliknya yang terparkir di atas tebing.
Ia tengah melamun sembari menatap ke arah bawah. Yang di mana terdapat hamparan kebun teh yang hijau dan memanjakan mata. Walaupun kini manik matanya tertutup oleh kacamata hitam yang ia tengah kenakan.
"Selamat atas pernikahanmu, Bar?" ucap suara wanita yang mengagetkan lamunannya.
Ia melihat ke arah suara yang berada di
samping. Ternyata itu Laksmi.
Ia heran dari mana wanita itu bisa tahu bahwa ia tengah ada di sini? Bara sangat kesal. Seakan kehadiran sosok wanita dihapadannya selalu mengacaukan ketentraman yang ia miliki.
---Sapphire – Senyuman BeracunLangkah kaki Sapphire kembali ke kamarnya terasa ringan, tapi bukan karena bahagia. Itu ringan seperti helai bulu yang terbakar—sepi, namun menyimpan bara panas yang siap menyambar.Ia menutup pintu perlahan, lalu mendekati meja riasnya. Di cermin, ia melihat wajah cantik yang selama ini ia andalkan untuk menundukkan banyak laki-laki. Tapi untuk pertama kalinya, wajah itu terasa... tidak cukup.“Lily.”Nama itu terus terngiang. Panggilan penuh kelembutan yang keluar dari mulut Bara. Bukan “Bayu”, bukan “asisten”—tapi Lily. Penuh perasaan.Sapphire menyentuh bibirnya sendiri. Senyum tipis tercetak, namun matanya menajam.“Aku kalah karena aku terlalu sabar,” gumamnya. “Sekarang, waktunya aku main di arena yang sebenarnya.”Ia membuka laci dan menarik sebuah map biru tua. Di dalamnya, ada beberapa dokumen rahasia hasil penyelidikan pribadinya, termasuk fotokopi akta kelahiran seseorang bernama Liyana Sarah dan sebuah surat tugas investigasi dari lembaga m
Liyana menutup jendela dengan hati-hati. Tirai ditarik, bukan untuk menghalangi cahaya, tapi untuk memutus pandangan dari dunia luar—dari mata-mata yang bisa saja dikirim Sapphire atau Gustur.Langkahnya ringan menuju meja kecil di sudut kamar. Ia menarik laci dan mengeluarkan ponsel cadangan. Ponsel itu tidak terhubung dengan jaringan utama rumah Danendra, dan hanya digunakan untuk satu hal: menghubungi penyelidik kepercayaannya.Kode Aman: L-52 diaktifkan.Liyana mengetik pesan cepat ke seseorang bernama “Titik Bening”:> “Sapphire tahu identitasku. Minta tolong cari hubungan dia dengan Gustur. Jangan lacak dari rumah ini. Prioritaskan nama ‘Arta Kencana’—pernah dengar dia sebut diam-diam.”Pesan terkirim.Liyana menghela napas. Ia tahu langkah selanjutnya bukan hanya bertahan, tapi menyerang balik.Karena Sapphire telah menunjukkan wajah aslinya, artinya Liyana tak perlu lagi pura-pura ramah jika harus bertemu.Lalu, pikirannya melayang pada Bara.Laki-laki itu... pria yang dulu ha
Liyana berdiri membeku di balik dinding batu taman. Nafasnya tercekat saat mendengar gumaman terakhir Sapphire yang menusuk seperti jarum dingin ke tulang belakangnya.> “Aku tahu kamu dengar semuanya, Bayu, UPS salah, Lily.”Sapphire kemudian berbalik dan melangkah anggun menuju rumah, meninggalkan jejak ancaman halus yang masih menggantung di udara.Liyana mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Jantungnya berdentam kencang, tapi bukan karena takut. Ini bukan hanya soal rahasia yang terbongkar—ini soal Bara. Tentang bagaimana wanita lain mencoba memutar balik kepercayaannya.Ia tahu Sapphire bukan sekadar datang sebagai “mantan”. Perempuan itu licin, penuh strategi. Dan barusan, dia meletakkan bom psikologis di hati Bara.Liyana buru-buru masuk ke kamarnya, duduk di tepi ranjang sambil memijit pelipis. Ia harus bertindak. Tapi dengan cara yang tak sembrono.Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan di pintu kamarnya.Tok. Tok. Tok.Suara itu berat. Ia langsung tahu.“Lily,” panggi
Langit mulai berwarna jingga ketika Bara melangkah keluar dari kamarnya. Kepalanya masih dipenuhi tanya, hatinya masih digelayuti rasa ragu. Bayu—atau siapa pun dia sebenarnya—semakin membuat pikirannya tak tenang. Tapi belum sempat ia menarik napas panjang, seseorang menghampirinya dari arah taman samping rumah.“Sapphire?” Bara sedikit terkejut melihat wanita itu muncul tanpa pemberitahuan.Sapphire mengenakan gaun biru muda yang jatuh lembut, kontras dengan rambut hitamnya yang dikuncir rapi. Tatapannya hangat, tapi ada sesuatu di balik senyumannya yang tak bisa Bara baca."Kenapa kamu tak menghampiriku? dan mengabaikan pesan," ungkapnya kini“Aku tahu kamu sedang kacau. Makanya aku datang. Aku... mau jujur,” ucap Sapphire pelan, suaranya mengambang di udara sore itu.Bara mengernyit. “Jujur tentang apa?”Sapphire menarik napas dalam, lalu melangkah lebih dekat. “Aku minta maaf, Bara. Aku... sudah tahu sejak awal siapa Bayu sebenarnya. Tapi aku diam. Aku... aku disuruh Ryven buat m
Di sudut rumah, malam itu sunyi. Bara duduk di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya yang terbingkai di rak kayu. Foto itu kini terasa asing. Dua wanita—satu di rumahnya kini mengaku Liyana, satu lagi adalah Bayu yang ia pikir asisten, tapi ternyata juga Liyana.Bara menutup mata. Pusing. Perasaannya campur aduk.“Kenapa semua orang menipu saya?” bisiknya lirih.Malam semakin larut. Udara dingin menyusup di antara sela-sela jendela kamar, namun hati Bara lebih beku dari cuaca. Ia masih duduk termenung di kursi kerjanya, memandangi surat perceraian yang belum ia tanda tangani.Tangannya menggenggam pena, tapi matanya kosong. Setiap kali ia menatap nama “Liyana” di lembar itu, dadanya seperti diremas. Ia benci. Tapi juga... rindu. Ia kecewa, namun juga merasa hangat saat mengingat semua hari-hari bersama Bayu—atau Liyana, sekarang. Ia bahkan tak bisa menyebutnya dengan pasti."Kenapa kamu harus jadi Bayu?" gumamnya lirih.Tak lama kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu kamar Ba
Pagi itu, matahari enggan menyinari kamar Bara. Tirai masih tertutup rapat, dan udara di dalam kamar terasa pengap, seperti hatinya yang sesak oleh berbagai perasaan yang bertumpuk.Bara masih duduk di meja kerjanya. Matanya menatap satu berkas di hadapannya — berkas pengajuan cerai.Tangannya menggenggam pulpen, namun tak kunjung menorehkan tanda tangan di atas kertas itu. Di luar, terdengar suara burung berkicau, seolah mengejek kebimbangannya.“Kenapa kamu gak pergi aja, Lily?” gumamnya pelan. “Kenapa kamu harus bikin semuanya serumit ini?”Kata-katanya dingin, tapi suaranya bergetar. Ia bukan benar-benar marah... lebih tepatnya, kecewa. Terluka. Tertusuk oleh harapan yang sempat ia pupuk diam-diam sejak Liyana — atau Lily — kembali hadir di hidupnya sebagai Bayu.“Lily...” Bara memejamkan mata, menyebut nama itu dengan berat. “Kamu tahu enggak... saat kamu ngelap keringat saya waktu saya demam... saya ngerasa damai. Saya pikir, Bayu i