Bara benar-benar sangat kesal bagaimana wanita ini bisa tahu bahwa dia ada di sini.
Sebenarnya, Bara sengaja keluar dari rumah untuk pergi ke kantor. Tapi, entah kenapa keadaan yang tengah menimpanya membuat ia stress dan melajukan mobil dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membawanya ke tempat ini.
Tempat di mana ia dan Lily bertemu. Selama ini Bara di kenal dengan sosok cowok cool dan tak banyak bicara. Orang-orang juga senggan terhadapnya. Tapi, tiba-tiba saja ia bertemu dengan wanita random seperti Lily. Walaupun kata orang gadis itu lugu dan polos. Justru itulah yang membuat ia berbeda dengan wanita lain.
"Maaf, Tuan. Saya tak sengaja," ucap seseorang yang baru menyenggol tubuhnya secara tiba-tiba, hingga ia masuk ke dalam lumpur. Karena jalanan di kebun teh ini sangat becek sehabis hujan tadi malam. Tak lupa, keranjang bambu berisikan daun-daun teh tiba-tiba terbang lalu jatuh, tepat pada kepalanya masuk ke dalam keranjang teh itu.
" Aduh, apa ini! Bisa lihat-lihat gak sih!" teriak Bara. Masih fokus untuk mengeluarkan keranjang di kepalanya.
"Ma-af, tuan," ucap gadis itu sembari membantu untuk melepaskan keranjang itu dari kepala lelaki yang baru ia tabrak barusan.
"Makanya, lihat-lihat," teriak Bara naik pitam. Sembari membuka keranjang teh.
Namun, saat keranjang itu tak menghalangi lagi pemandangannya. Ia melihat sosok gadis cantik berkepang dua yang tengah jongkok di hadapannya. Ia malah terpesona.
"Tuan, tidak papah?" tanya gadis itu kembali yang membuat lamunannya buyar.
"Sa-saya-"
"Saya tidak apa-apa," balas lagi Bara sembari melempar keranjang itu ke sembarang arah. Alhasil, malah masuk ke dalam kepala orang yang tengah lewat.
"Hey, apakah dunia sedang mati lampu? Atau sudah malam! Di mana ini!" teriak orang lewat itu ngaco, berjalan sembari ingin membuka keranjang. Alhasil ia menabrak pohon.
Namun, mereka tak mempedulikan.
"Pasti sakit yah, tuan," ucap gadis itu terlihat panik sembari membereskan daun-daun teh yang kini menempel di jas yang lelaki itu kenakan.
"Mari saya bantu," ucap gadis itu lagi. Ia berdiri dan menyodorkan tangannya.
Bara masih melihat gadis itu dari bawah sampai atas. Ia sangat cantik walaupun hanya rok panjang dan kaos biru polos yang melekat di tubuhnya, tapi membuat Bara terpesona. Tak, lupa topi anyaman yang gadis itu pakai membuat ia seakan berbeda dari para petani pemetik kebun teh di sini.
"Ayok, tuan saya bantu berdiri," tawar gadis itu lagi. Sementara Bara masih diam terduduk di lumpur dan menatap gadis itu.
Bara pun mulai memegang tangan gadis yang di sodorkan padanya.
Namun, entah tubuh Bara yang berat dari dirinya dan Bara yang susah berdiri karena licin oleh lumpur, gadis itu malah hilang keseimbangan dan berujung jatuh pada pangkuan tubuh Bara.
Mereka pun kini saling menatap satu sama lain. Bara semakin terpesona pada mata bulat dengan kornea coklat itu. Gadis itu pun juga terpesona pada manik coklat biru milik Bara. Beserta tatapan elangnya membuat gadis itu juga seakan tersihir.
"Selamat, atas pernikahanmu, Bar." Namun, saat sedang mengingat kembali pertemuan ia dengan sang istri beberapa bulan yang lalu. Terdengar suara yang membuyarkan lamunannya.
Makanya ia sangat kesal atas kehadiran Laksmi di sini.
"Bar, bagaimana first nighnya? Berjalan lancar," ucap Laksmi sembari menyembunyikan senyumnya
First night apa? Justru semua tak berjalan indah. Ia malah melihat nenek-nenek bau balsem di dalam kamarnya.
Menyentuh Liyana pun tak sama sekali ia lakukan. Malam itu justru jadi malam pertama yang tragis bagi dirinya.
"Bar, kok diam saja? Oh ... Yah, kenapa kamu ada di sini? Kemana Liyana?" timpal lagi Laksmi kini
Bara mencoba menghirup udara segar di sekitar kebun teh ini. Ia mengisi rongga-rongga di dalam dadanya agar paru-parunya cukup tenang.
"Terimakasih atas ucapannya Laksmi. Liyana, ada di rumah. Saya sengaja datang ke sini karena memang ada kerjaan mendadak. Papih nyuruh saya untuk datang lagi ke sini. Dan yah ... Malam tadi menjadi momen yang sangat berharga bagi kami," balas lagi Bara datar
Laksmi kini yang sangat kesal. Merasa ada yang tak beres. Ia sangat cemburu mengapa harus temannya yang ia benci itu yang menikah dengan Tuan Bara? Padahal ia sudah sangat lama menyukai Bara bahkan sering menggodanya ketika Bara datang ke perkebunan ini.
"Yasudah, Laksmi saya mau kembali pulang, ada urusan mendadak," ucap lagi Bara acuh tak acuh sembari masuk ke dalam mobil dan mulai melanjutkan roda empat itu meninggalkan Laksmi sendiri di sana.
"Awas kamu Bara, lihat saja! kamu akan menyesal karena lebih memilih gadis kampungan itu!" teriak Laksmi sembari mengepal tangannya di udara merasa lebih baik dari Liyana. Padahal dia sendiri juga hanya gadis kampung, walaupun Bapaknya sebatas ketua RT tapi ia merasa bahwa derajatnya jauh berbeda dengan Liyana.
đ„đ„
Bara kembali melajukan mobil Lamborghini Gallardo Superleggeranya diatas kecepatan rata-rata. Niat hati ingin mencoba menentramkan hati makanya ia pergi ke sana. Tapi, justru malah membuat hatinya serasa terbakar kembali.
'Dimana kamu, Liyana?' ucap Bara kini sembari memukul stir mobilnya.
Ia terus melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata membelah jalanan hingga seseorang lewat dan tak sengaja ia tabrak.
Bara pun kaget dan turun dari mobilnya. Untungnya saja, orang itu tidak kenapa-kenapa. Hanya lecet saja karena ia hanya terserempet.
Untungnya orang itu memang dengan cepat menghindar dari mobil yang tengah dilajukan Bara.
"Apa kamu baik-baik saja," ucap Bara
Niat hati ia ingin bertanggung jawab atas kejadian barusan. Namun, orang itu malah pergi setelah menatap matanya.
Aneh, kenapa dengan orang itu? Tapi, entah kenapa sorot dari mata itu seakan membuat Bara mengingat seseorang.
"Kemana lelaki berbaju lusuh itu?" Bara bertanya sendiri. Merasa heran. Apa ia takut pada Bara. Lalu, ia pun pergi lagi mengemudikan mobilnya.
Selama di dalam mobil Bara terus saja masih memikirkan Liyana.
Bara menyesal telah mengusir sosok nenek yang ada di kamarnya. Benar atau bukan itu Liyana. Bukankah berdosa dia telah melakukan hal itu pada sosok orang tua, hingga mengusirnya dari rumah? Sama saja ia merasa anak yang durhaka dan tak punya sopan santun.
Ia merasa khilaf karena malam itu seakan terbakar bara api amarah.
Bara pun berinisiatif pergi lagi untuk mencari nenek-nenek yang ia usir dari rumahnya waktu itu. Siapa tahun dengan bantuan wanita tua itu bara pikir bisa menemukan keberadaan istrinya yang menghilang. Atau malah nenek itu adalah istrinya. Walaupun agak sedikit mustahil yah terpenting ia tak akan diam saja dan akan terus mencari istrinya.
---Sapphire â Senyuman BeracunLangkah kaki Sapphire kembali ke kamarnya terasa ringan, tapi bukan karena bahagia. Itu ringan seperti helai bulu yang terbakarâsepi, namun menyimpan bara panas yang siap menyambar.Ia menutup pintu perlahan, lalu mendekati meja riasnya. Di cermin, ia melihat wajah cantik yang selama ini ia andalkan untuk menundukkan banyak laki-laki. Tapi untuk pertama kalinya, wajah itu terasa... tidak cukup.âLily.âNama itu terus terngiang. Panggilan penuh kelembutan yang keluar dari mulut Bara. Bukan âBayuâ, bukan âasistenââtapi Lily. Penuh perasaan.Sapphire menyentuh bibirnya sendiri. Senyum tipis tercetak, namun matanya menajam.âAku kalah karena aku terlalu sabar,â gumamnya. âSekarang, waktunya aku main di arena yang sebenarnya.âIa membuka laci dan menarik sebuah map biru tua. Di dalamnya, ada beberapa dokumen rahasia hasil penyelidikan pribadinya, termasuk fotokopi akta kelahiran seseorang bernama Liyana Sarah dan sebuah surat tugas investigasi dari lembaga m
Liyana menutup jendela dengan hati-hati. Tirai ditarik, bukan untuk menghalangi cahaya, tapi untuk memutus pandangan dari dunia luarâdari mata-mata yang bisa saja dikirim Sapphire atau Gustur.Langkahnya ringan menuju meja kecil di sudut kamar. Ia menarik laci dan mengeluarkan ponsel cadangan. Ponsel itu tidak terhubung dengan jaringan utama rumah Danendra, dan hanya digunakan untuk satu hal: menghubungi penyelidik kepercayaannya.Kode Aman: L-52 diaktifkan.Liyana mengetik pesan cepat ke seseorang bernama âTitik Beningâ:> âSapphire tahu identitasku. Minta tolong cari hubungan dia dengan Gustur. Jangan lacak dari rumah ini. Prioritaskan nama âArta Kencanaââpernah dengar dia sebut diam-diam.âPesan terkirim.Liyana menghela napas. Ia tahu langkah selanjutnya bukan hanya bertahan, tapi menyerang balik.Karena Sapphire telah menunjukkan wajah aslinya, artinya Liyana tak perlu lagi pura-pura ramah jika harus bertemu.Lalu, pikirannya melayang pada Bara.Laki-laki itu... pria yang dulu ha
Liyana berdiri membeku di balik dinding batu taman. Nafasnya tercekat saat mendengar gumaman terakhir Sapphire yang menusuk seperti jarum dingin ke tulang belakangnya.> âAku tahu kamu dengar semuanya, Bayu, UPS salah, Lily.âSapphire kemudian berbalik dan melangkah anggun menuju rumah, meninggalkan jejak ancaman halus yang masih menggantung di udara.Liyana mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Jantungnya berdentam kencang, tapi bukan karena takut. Ini bukan hanya soal rahasia yang terbongkarâini soal Bara. Tentang bagaimana wanita lain mencoba memutar balik kepercayaannya.Ia tahu Sapphire bukan sekadar datang sebagai âmantanâ. Perempuan itu licin, penuh strategi. Dan barusan, dia meletakkan bom psikologis di hati Bara.Liyana buru-buru masuk ke kamarnya, duduk di tepi ranjang sambil memijit pelipis. Ia harus bertindak. Tapi dengan cara yang tak sembrono.Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan di pintu kamarnya.Tok. Tok. Tok.Suara itu berat. Ia langsung tahu.âLily,â panggi
Langit mulai berwarna jingga ketika Bara melangkah keluar dari kamarnya. Kepalanya masih dipenuhi tanya, hatinya masih digelayuti rasa ragu. Bayuâatau siapa pun dia sebenarnyaâsemakin membuat pikirannya tak tenang. Tapi belum sempat ia menarik napas panjang, seseorang menghampirinya dari arah taman samping rumah.âSapphire?â Bara sedikit terkejut melihat wanita itu muncul tanpa pemberitahuan.Sapphire mengenakan gaun biru muda yang jatuh lembut, kontras dengan rambut hitamnya yang dikuncir rapi. Tatapannya hangat, tapi ada sesuatu di balik senyumannya yang tak bisa Bara baca."Kenapa kamu tak menghampiriku? dan mengabaikan pesan," ungkapnya kiniâAku tahu kamu sedang kacau. Makanya aku datang. Aku... mau jujur,â ucap Sapphire pelan, suaranya mengambang di udara sore itu.Bara mengernyit. âJujur tentang apa?âSapphire menarik napas dalam, lalu melangkah lebih dekat. âAku minta maaf, Bara. Aku... sudah tahu sejak awal siapa Bayu sebenarnya. Tapi aku diam. Aku... aku disuruh Ryven buat m
Di sudut rumah, malam itu sunyi. Bara duduk di ruang kerjanya, menatap foto pernikahannya yang terbingkai di rak kayu. Foto itu kini terasa asing. Dua wanitaâsatu di rumahnya kini mengaku Liyana, satu lagi adalah Bayu yang ia pikir asisten, tapi ternyata juga Liyana.Bara menutup mata. Pusing. Perasaannya campur aduk.âKenapa semua orang menipu saya?â bisiknya lirih.Malam semakin larut. Udara dingin menyusup di antara sela-sela jendela kamar, namun hati Bara lebih beku dari cuaca. Ia masih duduk termenung di kursi kerjanya, memandangi surat perceraian yang belum ia tanda tangani.Tangannya menggenggam pena, tapi matanya kosong. Setiap kali ia menatap nama âLiyanaâ di lembar itu, dadanya seperti diremas. Ia benci. Tapi juga... rindu. Ia kecewa, namun juga merasa hangat saat mengingat semua hari-hari bersama Bayuâatau Liyana, sekarang. Ia bahkan tak bisa menyebutnya dengan pasti."Kenapa kamu harus jadi Bayu?" gumamnya lirih.Tak lama kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu kamar Ba
Pagi itu, matahari enggan menyinari kamar Bara. Tirai masih tertutup rapat, dan udara di dalam kamar terasa pengap, seperti hatinya yang sesak oleh berbagai perasaan yang bertumpuk.Bara masih duduk di meja kerjanya. Matanya menatap satu berkas di hadapannya â berkas pengajuan cerai.Tangannya menggenggam pulpen, namun tak kunjung menorehkan tanda tangan di atas kertas itu. Di luar, terdengar suara burung berkicau, seolah mengejek kebimbangannya.âKenapa kamu gak pergi aja, Lily?â gumamnya pelan. âKenapa kamu harus bikin semuanya serumit ini?âKata-katanya dingin, tapi suaranya bergetar. Ia bukan benar-benar marah... lebih tepatnya, kecewa. Terluka. Tertusuk oleh harapan yang sempat ia pupuk diam-diam sejak Liyana â atau Lily â kembali hadir di hidupnya sebagai Bayu.âLily...â Bara memejamkan mata, menyebut nama itu dengan berat. âKamu tahu enggak... saat kamu ngelap keringat saya waktu saya demam... saya ngerasa damai. Saya pikir, Bayu i