Bagian 9Akhirnya acara pun dimulai, dari kata sambutan yang di sampaikan oleh para panitia acara, hingga ke teori yang di sampaikan oleh seorang dokter kecantikan.Selanjutnya ke acara inti loba Rias Modern. Semua peserta saling berhadapan bersama modelnya masing-masing, ya aku duduk menghadap Kania yang siap me make over wajahku.“Kania, kamu yakin mau pakai modelnya aku?” tanyaku ragu.“Ya elah, kamu masih ragu aja, udah deh diem pokoknya kamu anteng aja diem, biar ku obrak abrik nih wajahmu,” jawab Kania penuh gurau. Terdengar aba-aba dari panitia, untuk memulai lomba.“Oke guys, gimana semua sudah siap dengan alat tempurnya?”“Siaaaap....” para peserta dengan semangatnya menjawab.“Oke, siapkan model kalian masing-masing, jangan sampai di lewatkan kesempatan ini, karena hadiah yang telah kami siapkan begitu wow! Untuk juara Satu akan mendapatkan uang sebesar Dua ratus juta rupiah, juara ke Dua mendapatkan uang sebesar Seratus Lima puluh juta rupiah, dan untuk pemenang
Bagian 10Saat itu, masih acara penampilan peserta yang lain, dan masih tersisa cukup banyak, sembari menunggu Kania mengajakku untuk makan dulu.“Kamu lapar nggak? Kita makan dulu yuk?” ajaknya.“Tapi acaranya?”“Ah sudahlah, masih lama. Kita menunggunya sambil ngisi perut. Ayok!’’ Kania menarik tanganku. Namun sebelumnya، aku diminta mengganti baju, setelah itu kami menuju tempat makan. Di kesempatan makan bersama itu, kami saling bertukar cerita tentang pengalaman hidup. Kania terlihat terkejut saat ku ceritakan kisah kehidupanku.“Apa? Jadi gadis sombong itu benar benar ponakan mu?”Aku mengangguk. “Sudahlah Ka, kejadiannya sudah berlalu, lagi pula aku sudah memaafkan dia dan mantan suamiku.’’“Kami yang sabar ya Tih, aku yakin kamu akan sukses di pekerjaan ini. Oya kamu mau gak gabung di salon dan butik aku? Sekaligus jadi model ku lagi?” “Kania, bukan aku menolak bantuan mu, tapi saat ini aku ingin membalas kebaikan Bu Neni padaku selama ini.”“Siapa Bu Neni?”“
BAGIAN 11Kami kembali ke tempat duduk semula, sembari menunggu pembagian hadiah. “Wiih, Ratih terbang ke Perancis Ka,” ucap Lili dengan wajah berbinar.“Iya, Li, beruntung sekali dia. Kita aja yang setiap tahun hadir ke acara ini belum pernah dapat kesempatan itu, lah dia, niatnya nonton doang, eh tau-tau nya dapat rejeki nomplok.”Kania dan Lili tertawa bahagia. Sungguh ini seperti mimpi indah untuk ku, aku sendiri pun tak pernah menduga akan berada di posisi ini. Aku tak mampu berkata-kata, Allhamdulillah... Allah memberiku jalan dengan pertemuan ini. Dari kejauhan aku melihat Helen datang menghampiri ku dengan nafas tersengal senggal, terlihat terburu-buru. “Bibi! Kalau mau menang jangan curang. Bisanya kalian main mistis.” Teriaknya dengan nada bicara menggebu-gebu.Kami bertiga menatap heran kedatangan Helen. Dengan cepat Kania pasang badan di hadapannya.“Hei, gadis sombong! Apa maksud kamu bicara seperti itu? Hah?”“Apa kalian pikir gue gak tau? Kalian memasang
BAGIAN 12Aku terhenyak mendengar permintaan anak lelaki ku. Ku tatap dia kembali, rasanya baru kemarin aku menggendongnya dan selalu menasehatinya, sekarang anak itu sudah bisa berpikir jauh lebih dewasa dari aku. “Kamu mau ibu pakai hijab Nak?” tanyaku kembali sembari membelai rambutnya. Hanif pun menganguk.“Wajah ibu cantik, tapi ibu harus menutup rambut ibu. Bu, kemauan ini bukan Hanif yang suruh. Tapi Allah yang menyuruh ibu menutup aurat.”Seketika aku tertunduk malu saat mendengarnya bicara seperti itu. Aku menganggukan kepala, meskipun belum ada niat untuk memakai hijab, namun aku harus mempertimbangkannya. Karena banyak tawaran kerja yang menuntut ku tak boleh memakai hijab.“Nak, ibu pulang dulu ya? Ibu Neni takutnya sudah ada di rumah. Kamu baik-baik ya disini.”Hanif mengangguk dan mencium tanganku. Sebelum berlalu meninggalkannya, Hanif kembali memanggil ku.“Ibu...”“Ya Nak?.”“Jangan khawatir kan tentang rizki Bu, Allah menggantinya jika ibu meninggal
Bagian 13Malam hari pun tiba, Pak Ridho benar saja meneleponku, aku tak tau apa yang akan dia bicarakan. Aku pikir dia akan membicarakan hal penting, tapi nyatanya kami hanya bicara hal hal yang ringan saja. “Ratih, aku tau banyak tentang kamu, Helen telah menceritakan semuanya.”Aku terkejut mendengar penjelasan Pak Ridho, sebenarnya apa yang telah Helen sampaikan tentang aku ke Pak Ridho?“Helen bilang apa Pak?”“Bilang semuanya, semuanya tentang kamu.”“Maaf pak. Helen hanya ponakan aku yang hanya tau sebagian kecil dari masalah ku, selebihnya dia tak tau apa-apa.”“Oh begitu ya? Sudahlah lupakan ya, hari ini dan hari esok adalah milikmu, kamu harus punya harapan, harapan untuk lebih baik.”“Iya Pak.”Waktu semakin cepat berlalu, pihak panitia meminta data diri untuk pengurusan visa , aku menyerahkannya dengan cepat. Hingga tak sabar aku menghitung hari demi harinya. Aku ingin tau bagaimana indahnya negara lain selain negara yang ku tempati ini, bagaimana menara Eiffel
Bagian 14“Hanif sakit?” tanya Pak Ridho dengan raut wajah panik.“Bukan Pak, tapi adiknya Hanif yang sakit.”“Bagaimana keadaannya sekarang?”“Masih di dalam Pak.”“Kamu yang sabar ya, insyaallah tidak akan terjadi hal buruk pada anakmu.”“Aamiin.”Pak Ridho menoleh ke arah Mas Adam yang sedari tadi memperhatikannya. “Maaf anda siapa?”tanya Mas Adam yang sedari tadi memperhatikan Pak Ridho. “Kenalkan, saya Ridho temannya Ratih.”Mas Adam menatap penampilan Pak Ridho dari atas sampai bawah.“Ooh.” Ia menanggapinya dingin.Tak ingin berlama -lama, aku bergegas menemui Rahma, Akhirnya, aku bisa berada di sampingnya suatu hal yang sangat menenangkan. Saat itu Rahma terlihat begitu lemah, matanya terpejam rapat, ia belum tersadar, aku tak bisa meninggalkannya. Tak terasa sudah tiga hari aku berada di rumah sakit menunggu Rahma, ada perubahan yang terlihat ia sudah bisa menggerakkan jemarinya, dan matanya yang mulai berkedip-kedip meskipun masih terlihat tertidur. Sampa
Bagian 15Penjelasan Rahma tentang susu itu membuktikan Helen melakukan kejahatannya terhadap dirinya. Aku ingin mengusut tuntas masalah ini, karena sekejam itu Helen akan mengorbankan nyawa anakku. Tapi apalah daya, aku tak memiliki bukti apapun, bahkan gelas susu pemberiannya ikut lenyap tak tersisa, Helen begitu apik menjalankan aksinya. Keadaan Rahma membaik, Ibu dan Mbak Yuli ikut menjenguk Rahma di rumah sakit. “Ratih, Ibu minta maaf, baru bisa menengok Rahma hari ini, kemarin ibu sakit kepala, bahkan untuk berdiri saja dunia ini rasanya muter-muter.”“Iya Bu, tidak apa-apa, yang terpenting Rahma sekarang sudah sehat lagi, ingat bu jangan terlalu lama menonton televisi, nanti vertigo ibu kambuh.”“Iya Ratih, akhir-akhir ini Ibu suka nonton film kesukaan ibu, jam tayangnya lumayan malam dan lama. Mungkin karena itu.”“Bisa jadi karena itu bu.”Mbak Yuli mendekati aku, seakan ada yang ingin ia sampaikan.“Ratih, Mbak mau tanya. Ko kamu bisa berubah seperti ini? Ngomong-n
Bagian 16“Oh, begitu ya Bu? Tidak Bu. Perasaan saya pada ayahnya anak-anak tidak ada yang spesial. Biasa saja.” Bu Neni melempar senyum padaku.Saat itu aku dilema, aku ingin dekat dengan anakku Rahma, tapi kalau mas Adam setiap hari menemuiku, rasanya aku tak nyaman juga. Ku tatap wajah mungil Rahma yang sedang bermain boneka seorang diri.“Rahma? Rahma betah di sini atau di rumah Ayah?”tanyaku sembari menatap mata bulatnya.“Disini sama ibu, Rahma mau di sini saja sama ibu.” “Oooh, kamu mau di sini ya?Anak itu menganggukan kepalanya dengan cepat.Bagaimana ini? Rahma pun merasa betah denganku, rasanya tak tega aku jika harus menyuruhnya kembali pada Ayahnya. Aku kembali bicara pada Bu Neni, meminta pendapatnya untuk jalan terbaik. “Saya mengerti perasaan mu Ratih, ya sudah nanti kalau Adam datang, bicara kan dengannya, agar dia tidak sering datang ke sini.”“Baik Bu. “Keesokan harinya, di siang hari menjelang sore,Terdengar bunyi klakson mobil Mas Adam. Saat a