“Kuantar pulang, ya, Mbak.” Kini kami berdua sudah berjalan keluar dari area pemakaman umum.“Mbak tadi pakai motor Nilam, Ry.”Ia mengangguk mengerti.“Oiya, Mbak dan Khanza kapan pulang? Ibu sudah nanyain, katanya udah kangen kalian.”Aku memang masih menginap di rumah orangtuaku, setelah dijemput Nilam kemarin.“Mungkin besok aku minta antar Nilam, Ry.”“Enggak usah, Mbak. Nanti biar aku yang jemput Mbak Tania dan Khanza.”“Jangan, Ry. Kamu kan sibuk dengan perkerjaanmu. Biar Nilam yang antar.”Nilam adikku memang mahir menyetir mobil, tidak sepertiku yang hanya bisa mengendarai motor.“Pokoknya besok Fahry yang jemput, Mbak.”Aku tak menjawabnya lagi. Lalu kemudian kami berpisah, aku berjalan ke arah motorku sedangkan Fahry menuju ke arah mobilnya. Namun ternyata ia mengikutiku sepanjang jalan, aku bisa melihat dari spion motorku mobilnya terus mengiringiku dari belakang. Hingga tiba di depan rumahku dan menghentikan motorku. Kubuka helmku saat mobil Fahry sejajar dengan motorku,
Fahry menuntunku ke arah kamarnya di malam hari setelah suasana rumah sudah sepi. Hanya ada beberapa kerabat ibu yang datang dari luar kota yang masih menginap di rumah kami. Keluarga besarku sendiri sudah pulang sejak sore tadi.Aku masih melirik sekilas ke arah pintu kamarku dan Mas Farhan sebelum mengikuti langkah Fahry ke dalam kamarnya. Ini pertama kalinya aku masuk ke kamar Fahry, kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamarnya. Ukuran dan bentuk kamarnya sama persis dengan kamarku dan Mas Farhan. Hanya saja kamar ini terlihat lebih maskulin dengan cat abu-abu, sedangkan kamarku hanya dicat putih.Tak ada hiasan apa pun di kamar Fahry, karena aku memang menolak ketika pihak salon menawarkan hiasan untuk kamar pengantin. Bagiku, ritual seperti itu hanya membuang-buang waktu dan tenaga. Padahal ketika masih gadis dulu, aku selalu memimpikan kamar pengantin yang dihias cantik penuh taburan bunga-bunya yang semerbak. Namun kini aku justru menolaknya ketika aku bisa saja memintanya dari
Rasa pegal masih terasa di seluruh tubuhku saat subuh menjelang, sedangkan pria yang menyebabkan tubuhku pegal dan remuk redam karena permaianannya semalaman tadi masih mendengkur di sampingku, dengan tangan kekarnya yang masih berada di atas tubuhku.Ya, tadi malam adalah malam pertamaku dan Fahry sebagai suami istri. Tak seperti yang kubayangkan, ternyata Fahry sangat lihai melakoni semuanya dari awal hingga akhir. Aku yang harusnya lebih berpengalaman darinya karena statusku sebagai wanita yang sudah pernah menikah justru takluk di bawah kuasanya. Fahry Aditama, pria yang masih mendekap erat tubuh polosku ini ternyata bukanlah lelaki biasa. Ia bahkan sanggup melakukkannya berkali-kali untuk petualangan pertamanya.“Good morning, Honey,” gumamnya masih dengan mata terpejam.“Sudah bangun?”“Hmmm ....”Ia membuka matanya dengan malas, kemudian menarik kepalaku ke dalam dadanya. Kunikmati debaran jantungnya yang beraturan.“Kamu mau tau satu rahasia?”“Apa itu, Mas.”“Dulu aku pernah
Dengan tubuh gemetaran aku mengabarkan orangtuaku mengenai kabar yang baru saja kuterima, aku memilih tak mengabari ibu mertuaku yang sedang berada di Jogja karena khawatir beliau akan panik. Tak lama kemudian, Nilam datang menjemputku bersama seorang temannya yang belum pernah kulihat sebelumnya.“Kenalkan ini Mas Lukman, Mbak. Aku meminta tolong untuk jemput Mbak Tania tadi karena mobil sedang dipakai ayah, katanya mau isi bensin dan nambah angin untuk ngantar Mbak Tania ke Bandung.”Aku hanya mengangguk dan tersenyum sekilas pada teman yang baru saja dikenalkan Nilam. Kemudian lebih memilih berkonsentrasi pada Khanza, sementara Nilam dan teman lelakinya sesekali saling bercanda di kursi depan.“Mas Lukman ini orang Bandung, Mbak. Tapi sedang mengerjakan proyek di Jakarta.” Nilam menoleh ke arahku.“Oohhh.” Hanya seperti itu aku menanggapinya, sehingga Nilam tak lagi meneruskan memperkenalkan temannya.Pikiranku masih fokus memikirkan Mas Fahry. Mengapa ia kecelakaan di Bandung seda
Aku pun mengiyakan dan menyuruh ayah dan Nilam mengikuti langkah Gibran untuk beristirahat, sementara aku sendiri memilih menunggu di depan ruang ICU.“Mbak Tania ....” Gibran kembali memanggil namaku. Kurasa aku tertidur di kursi yang berada di depan ruang Icu. Aku menunggu di luar karena keluarga pasien tak diperbolehkan masuk ke ruang ICU.“I-iya, Gib. Maaf Mbak tertidur,” sahutku sambil mengusap-usap mata.“Pihak kepolisian ingin bertemu dengan Mbak Tania sebagai keluarga korban kecelakaan. Mbak Tania bisa ikut saya.”Aku pun mengikuti langkah Gibran hingga tiba di hadapan beberapa aparat berseragam kepolisian.“Keluarga dari Fahry Aditama?” tanya salah seorang di antara mereka.“Iya, benar, Pak. Saya istrinya.”“Kami ingin menyerahkan ini, barang-barang pribadi yang ada di dalam mobil korban. Kalau untuk kendaraannya, sementara masih berada di kantor kepolisian guna penyelidikan lebih lanjut dan kepentingan lain.”“Baik, Pak. Terima kasih. Aku menerima barang-barang yang dimaksud
“Mbak, sebentar lagi Fahry akan dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang ICU. Mbak Tania silahkan menunggu di ruang rawat, ya.” Gibran kembali menghampiriku. Aku menoleh.“Dimana wanita yang bersama Fahry, Gib?” tanyaku. Ada rasa iba tergambar di wajah Gibran.“Nasya dirawat di ICCU, Mbak. Keadaannya sedikit lebih parah dari Fahry.”“Kamu kenal Nasya juga, Gib?”“Aku sahabat Fahry, Mbak, dan Nasya mantan kekasih Fahry jadi aku mengenalnya.”“Mantan kekasih? Apa kamu yakin mereka hanya mantan kekasih?” Pertanyaan yang sebenarnya tak seharusnya kutanyakan pada Gibran tapi harusnya kutanyakan langsung pada Fahry.Gibran tak menjawab, dan aku pun sebenarnya tak membutuhkan jawaban dari sahabat suamiku itu. Kemudian Gibran mengantarku ke ruangan yang nantinya akan menjadi ruang perawatan Fahry. Ruang VIP di rumah sakit terbesar di Bandung ini. Mungkin Gibran yang mengurus semuanya dengan kartu asuransi kesehatan milik Fahry. Mengingat ia adalah kepala arsitek di perusahaan bertaraf intern
Kulihat Nilam dan Gibran melirikku, kurasa mereka berdua masih sempat melihat sisa tangisku tadi. Kumasukkan ketiga ponsel tadi ke dalam tas branded milik Nasya.“Punya siapa, Mbak?” Nilam berbisik sambil melirik tas hitam tadi.“Nanti kuceritain, Nil. Aku enggak mau ayah tau.” Kurasa jawabanku justru membuat Nilam penasaran, ia berusaha meraih tas itu dari tanganku namun segera kutepis tangannya dan memberinya kode dengan kedipan mata.Pintu ruangan kembali terbuka lebar, kemudian beberapa perawat mendorong brankar pasien yang di atasnya terbaring tubuh Mas Fahry.“Tania ... Tania ... Di mana Tania? Istriku ada di sini kan, Gib?” gumamnya.Dari posisiku berdiri aku bisa melihat jelas beberapa luka lebam di wajahnya dan perban di keningnya, sepertinya itu bekas jahitan yang diceritakan Gibran tadi. Di leher Mas Fahri terpasang alat bantu untuk menyangga lehernya, sehingga kepalanya tak bisa menoleh dan bergerak bebas.“Iya, Mbak Tania ada di sana.” Gibran menjawab Mas Fahry sambil men
Aku masih duduk di kursi di samping ranjang pasien ketika ponselku berdering. Rupanya panggilan dari ibu mertuaku.“Tania, kamu di mana, Nak? Bagaimana keadaan Fahry? Kenapa tak memberitahu ibu?” Ibu langsung memberondong pertanyaan setelah kami saling membalas salam.“Mas Fahry baik-baik saja, Bu. Cuma terluka sedikit. Hanya saja Mas Fahry belum bisa pulang ke Jakarta karena masih harus dirawat beberapa hari. Maaf Tania sengaja enggak mengabari ibu biar ibu enggak kepikiran.”“Iya, Nak. Ibu kaget sekali tadi sewaktu Bu Endang menelepon ibu mengabarkan kepergianmu ke Bandung karena suamimu mengalami kecalakaan. Rasanya ibu mau segera balik ke Jakarta, Nak. Tapi ibu takut naik pesawat sendirian, jadi ibu terpaksa menunggu kerabat yang lain baru bisa pulang.”“Itulah kenapa Tania sengaja tak mengabari Ibu. Tania enggak mau Ibu jadi panik begini. Toh, Mas Fahry juga baik-baik saja, Bu. Ibu mau ngomong?”“Enggak usah, Nak. Ibu percaya pada Tania. Oia, cucu ibu dimana, Nak? Tania dengan si