Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.“Kamu pucat sekali, Nak.” Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.“Iya, Bu,” jawabku singkat.“Nilam sakit, Nak?”“Nggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.”“Nilam lagi haid?”“Iya, Bu.”Ibu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.“Sebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.”“Ah, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.”“Tak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.”“Nilam nggak apa-apa, Bu.”Aku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa
Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.“Jangan terlalu capek, Dek.”“Kamu baik-baik saja kan, Dek?”“Mama Ghazy mau makan apa hari ini?”“Kalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.”“Mas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.”Dan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa
Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.“Mama,” sapa bocah itu tersenyum. A
Kutatap sendu gundukan tanah merah yang masih basah dan dipenuhi oleh taburan bunga-bunga segar di atasnya. Di dalam sana, terbaring jasad suamiku yang baru saja dimakamkan. Namanya terukir di sebatang kayu yang tertancap di atas pusaranya, Fahran Ibrahim. Nama yang selalu membuat hatiku bergetar penuh cinta. Nama lelaki yang selama setahun ini menjadi imamku. Nama orang yang sangat kucintai, yang membuatku selalu bersemangat menjalani hari-hariku, terlebih setelah aku mengandung anaknya yang kini sudah 5 bulan bersemayam dalam rahimku. Kuelus perut buncitku dengan air mata yang terus berderai. “Mbak, kita pulang, ya. Sudah sore dan juga mendung.” Suara Fahry, adik iparku tak membuatku mengalihkan pandanganku dari pusara suamiku.Sejenak aku menengadah menatap langit yang memang sedang mendung. Awan kelabu berarak perlahan di atas sana, hitam dan kelam. Langit sore seakan menggambarkan suasana hatiku saat ini. Kembali kususut bening di sudut mataku yang sedari tadi tak hentinya men
Tadi pagi Mas Farhan masih bersamaku, berpamitan padaku saat akan berangkat bekerja ke bengkel kecil miliknya. Semua terasa normal seperti hari-hari sebelumnya, di mana aku pagi-pagi melaksanakan rutinitasku membuat sarapan pagi untuknya, kemudian menemaninya sarapan sambil sesekali bergurau. Lalu kemudian ia berpamitan padaku dan tak lupa ritualnya mencium perutku yang semakin hari semakin membuncit karena usia kehamilanku yang sudah menginjak bulan ke-lima. Lalu aku akan mengantarnya sampai di depan rumah, tak lupa membawakan bekal makan siangnya dan menggantungnya di motor Mas Farhan. Aku selalu melakukan itu sendiri karena Mas Farhan selalu lupa membawa bekal yang sudah kusiapkan. Maka setiap hari, aku sendiri yang akan menggantung bekal makan siangnya di motor Mas Farhan.Hal yang tak biasa kemudian terjadi ketika baru beberapa saat Mas Farhan melajukan motornya, tapi ia tiba-tiba saja kembali dan langsung masuk ke dalam kamar kami di mana aku sedang membereskan kamar yang menjad
“Yuk, turun, Mbak!” Suara Fahry membuyarkan lamunanku yang membayangkan cara pamit Mas Farhan yang sedikit aneh tadi pagi.Rupanya kami sudah tiba kembali di rumah. Ibu mertuaku bahkan sudah lebih dulu turun, kulihat beliau berlari kecil masuk ke dalam rumah menghindari gerimis. Aku sendiri tak menyadari jika mobil Fahry sudah terparkir di depan rumah ibu.“Ini payungnya, Mbak.” Fahry menawarkan payung sambil membukakan pintu mobil.“Kenapa payungnya enggak dikasih buat ibu tadi? Ibu sampai berlari menghindari hujan tadi,” jawabku pelan.“Udah, Mbak. Tapi kata ibu buat mayungin Mbak Tania aja.”“Enggak usah, Fad. Biar payungnya buat kamu aja.” Aku turun dari mobil dan menolak tawaran payung dari Fahryi.Kulangkahkan kakiku ke arah pintu rumah sambil sesekali memejamkan mata meresapi gerimis yang mulai berubah menjadi hujan.‘Bahkan langit pun menangisi kepergianmu, Mas,’ gumamku dalam hati.Aku memperlambat langkahku, masih ingin menikmati aroma hujan ini, berharap hujan bisa menghapu
“Saya pamit masuk dulu, ya.” Aku berucap. Aku sudah merindukan kamar kami, aku ingin segera masuk ke sana sebab di sana masih ada aroma tubuh suamiku meskipun kini jasadnya telah terkubur di dalam tanah. Kurebahkan tubuhku memandangi langit-langit kamar. Rasa lelah mendera saat punggungku menyentuh tempat tidurku dan Mas Farhan. Kusapukan tanganku ke arah samping. Terasa dingin, dan mungkin selamanya tempat tidur ini akan terasa dingin karena tak akan ada lagi kehangatan suamiku setelah ini. Kembali kupejamkan mataku saat kilasan-kilasan kejadian tadi pagi kembali melintas di kepalaku.Sekitar satu jam setelah pamitan Mas Farhan yang menurutku sedikit aneh, ibu mengetuk kamarku dengan ketukan yang tak biasa. Saat itu aku masih berbaring sambil memijat-mijat pinggangku yang terasa pegal.“Ada apa, Bu?” tanyaku saat membuka pintu. Tatapan ibu saat itu semakin aneh, wajah rentanya pun terlihat pucat.“I-itu ... suamimi, Nak. Suamimu!”“Ada apa, Bu? Ada apa dengan Mas Farhan?”“Suamimu,
Tiga hari setelah kepergian Mas Farhan, rumah ibu tak pernah sepi dari para pelayat. Di hari ke tiga bahkan kami semua dikejutkan dengan kedahiran serombongan anak-anak dari panti asuhan. Dengan menumpang 3 buah mobil angkot, mereka berhamburan masuk ke dalam rumah ibu kemudian menyalamiku dan ibu yang masih terbengong-bengong. Dari salah seorang pendamping mereka akhirnya kami tau jika Mas Farhan semasa hidupnya menjadi salah satu donatur tetap di Panti Asuhan Kasih Ibu itu.Mengapa aku justru tak mengetahui semua kebaikan suamiku selama ini? Mas Farhan tak pernah sekalipun memotong jatah uang belanja bulanan untukku, namun ia masih bisa menjadi donatur tetap di panti asuhan. Betapa mulia akhlakmu wahai suamiku! Aku kembali menyusut mataku ketika mengenangnya.“Bahkan selama 5 bulan belakangan ini, selain menjadi donatur tetap, Mas Farhan juga setiap hari jumat bersedekah nasi bungkus pada anak-anak panti. Katanya itu dilakukannya karena rasa syukurnya atas kehamilan istrinya.” Penga