Aku pun mengiyakan dan menyuruh ayah dan Nilam mengikuti langkah Gibran untuk beristirahat, sementara aku sendiri memilih menunggu di depan ruang ICU.“Mbak Tania ....” Gibran kembali memanggil namaku. Kurasa aku tertidur di kursi yang berada di depan ruang Icu. Aku menunggu di luar karena keluarga pasien tak diperbolehkan masuk ke ruang ICU.“I-iya, Gib. Maaf Mbak tertidur,” sahutku sambil mengusap-usap mata.“Pihak kepolisian ingin bertemu dengan Mbak Tania sebagai keluarga korban kecelakaan. Mbak Tania bisa ikut saya.”Aku pun mengikuti langkah Gibran hingga tiba di hadapan beberapa aparat berseragam kepolisian.“Keluarga dari Fahry Aditama?” tanya salah seorang di antara mereka.“Iya, benar, Pak. Saya istrinya.”“Kami ingin menyerahkan ini, barang-barang pribadi yang ada di dalam mobil korban. Kalau untuk kendaraannya, sementara masih berada di kantor kepolisian guna penyelidikan lebih lanjut dan kepentingan lain.”“Baik, Pak. Terima kasih. Aku menerima barang-barang yang dimaksud
“Mbak, sebentar lagi Fahry akan dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang ICU. Mbak Tania silahkan menunggu di ruang rawat, ya.” Gibran kembali menghampiriku. Aku menoleh.“Dimana wanita yang bersama Fahry, Gib?” tanyaku. Ada rasa iba tergambar di wajah Gibran.“Nasya dirawat di ICCU, Mbak. Keadaannya sedikit lebih parah dari Fahry.”“Kamu kenal Nasya juga, Gib?”“Aku sahabat Fahry, Mbak, dan Nasya mantan kekasih Fahry jadi aku mengenalnya.”“Mantan kekasih? Apa kamu yakin mereka hanya mantan kekasih?” Pertanyaan yang sebenarnya tak seharusnya kutanyakan pada Gibran tapi harusnya kutanyakan langsung pada Fahry.Gibran tak menjawab, dan aku pun sebenarnya tak membutuhkan jawaban dari sahabat suamiku itu. Kemudian Gibran mengantarku ke ruangan yang nantinya akan menjadi ruang perawatan Fahry. Ruang VIP di rumah sakit terbesar di Bandung ini. Mungkin Gibran yang mengurus semuanya dengan kartu asuransi kesehatan milik Fahry. Mengingat ia adalah kepala arsitek di perusahaan bertaraf intern
Kulihat Nilam dan Gibran melirikku, kurasa mereka berdua masih sempat melihat sisa tangisku tadi. Kumasukkan ketiga ponsel tadi ke dalam tas branded milik Nasya.“Punya siapa, Mbak?” Nilam berbisik sambil melirik tas hitam tadi.“Nanti kuceritain, Nil. Aku enggak mau ayah tau.” Kurasa jawabanku justru membuat Nilam penasaran, ia berusaha meraih tas itu dari tanganku namun segera kutepis tangannya dan memberinya kode dengan kedipan mata.Pintu ruangan kembali terbuka lebar, kemudian beberapa perawat mendorong brankar pasien yang di atasnya terbaring tubuh Mas Fahry.“Tania ... Tania ... Di mana Tania? Istriku ada di sini kan, Gib?” gumamnya.Dari posisiku berdiri aku bisa melihat jelas beberapa luka lebam di wajahnya dan perban di keningnya, sepertinya itu bekas jahitan yang diceritakan Gibran tadi. Di leher Mas Fahri terpasang alat bantu untuk menyangga lehernya, sehingga kepalanya tak bisa menoleh dan bergerak bebas.“Iya, Mbak Tania ada di sana.” Gibran menjawab Mas Fahry sambil men
Aku masih duduk di kursi di samping ranjang pasien ketika ponselku berdering. Rupanya panggilan dari ibu mertuaku.“Tania, kamu di mana, Nak? Bagaimana keadaan Fahry? Kenapa tak memberitahu ibu?” Ibu langsung memberondong pertanyaan setelah kami saling membalas salam.“Mas Fahry baik-baik saja, Bu. Cuma terluka sedikit. Hanya saja Mas Fahry belum bisa pulang ke Jakarta karena masih harus dirawat beberapa hari. Maaf Tania sengaja enggak mengabari ibu biar ibu enggak kepikiran.”“Iya, Nak. Ibu kaget sekali tadi sewaktu Bu Endang menelepon ibu mengabarkan kepergianmu ke Bandung karena suamimu mengalami kecalakaan. Rasanya ibu mau segera balik ke Jakarta, Nak. Tapi ibu takut naik pesawat sendirian, jadi ibu terpaksa menunggu kerabat yang lain baru bisa pulang.”“Itulah kenapa Tania sengaja tak mengabari Ibu. Tania enggak mau Ibu jadi panik begini. Toh, Mas Fahry juga baik-baik saja, Bu. Ibu mau ngomong?”“Enggak usah, Nak. Ibu percaya pada Tania. Oia, cucu ibu dimana, Nak? Tania dengan si
Mas Fahry, mengapa jadi seperti ini? Padahal aku sudah mulai mencintainya. Kasih sayang yang selama ini ditunjukkkannya padaku dan Khanza serta keromatisannya setiap saat padaku sungguh telah membuat hatiku luluh padanya. Pria itu sama sekali tak menampakkan hal yang aneh dan mencurigakan selama ini. Ia suami yang baik dan romantis, bahkan tak segan-segan menampakkan keromantisannya padaku di depan ibu. Ia ayah yang sangat baik dan penyayang bagi Khanza, putriku itu bahkan lebih memilih menghabiskan waktu bersama Mas Fahri dibanding denganku jika ayahnya itu sedang libur.Mengapa sekarang semua jadi begini? Apa semua yang diperlihatkannya selama ini hanyalah kepalsuan semata? Sejak kapan ia berhubungan kembali dengan Nasya? Sudah sejauh mana hubungan mereka?Rasa penasaran mambuatku meraih ponsel yang kuyakini milik Nasya. Kucoba memasukkan tanggal lahirnya sebagai sandi, namun tak jua terbuka. Aku memang tau tanggal lahir Nasya karena hanya selisih 5 hari dari tanggal lahirku, dan lu
“Mbak Tania!” Aku menoleh ketika mendengar namaku dipanggil. Gibran terlihat berjalan menuju ke arahku.“Maaf, aku sengaja nungguin Mbak di lobby. Ada yang mau ku sampaikan.”Aku menautkan alis.“Mbak Tania boleh menemui Nasya, tapi jangan mengajaknya untuk mengobrol yang berat-berat dulu, ya, Mbak. Nasya mengalami benturan di bagian kepala pada saat kecelakaan itu. Jadi kalau bisa Mbak Tania jangan mengajaknya bicara serius dulu. Maaf, aku mengerti perasaan Mbak Tania, tapi aku juga harus menyampaikan ini sebagai tenaga medis.”Kutatap mata Gibran, ia memang terlihat iba padaku, tapi aku juga tak bisa mengabaikannya sebagai seorang dokter yang sedang melindungi pasiennya.“Baiklah, Gib. Mbak hanya ingin menegmbalikan barang-barang pribadinya ini. Mbak janji enggak akan bertanya macam-macam padanya.”Gibran mengangguk sambil tersenyum tipis, kemudian mempersilakanku berjalan mengikutinya ke arah ruangan di mana Nasya dirawat.Aku mengeryitkan keningku saat mendapati di dalam ruangan N
Di hari ketiga Mas Fahry dirawat, akhirnya Mas Fahry sudah diperbolehkan pulang dan menempuh perjalanan darat ke Jakarta. Belum ada penjelasan apa pun yang kudapat dari pria itu. Ia hanya terus nenerus membisikkan kata maaf ketika aku menyuapinya, menyeka tubuhnya ataupun membetulkan alat-alat medis di tubuhnya. Bukan tanpa sebab aku masih membiarkannya, tapi ayahku ternyata menolak untuk tidur di hotel dan justru memilih tidur di sofa rumah sakit, sehingga aku memilih menghindari bertanya ataupun meminta penjelasn pada Mas Fahry.Selain itu, aku juga ingin agar ia segera pulih dan kami semua bisa kembali ke Jakarta. Aku tak mau ibu mertuaku bertambah panik memikirkan putra bungsunya ini, juga aku sudah merasa kangen pada Khanza. Ini kali pertama aku berpisah dari putriku dan Mas Farhan itu.Sesekali Mas Fahry juga menanyakan Khanza dan memintaku untuk melakukan panggilan video padanya. Ya, untuk urusan kasih sayangnya pada Khanza, aku memang tak meragukannya. Meski kini rasa ragu itu
Sepanjang perjalanan Bandung-Jakarta, Mas Fahry terus menautkan jemarinya dalam genggamanku. Aku pun tak menolaknya karena sesekali ayahku melirik kami dari spion di atas kepalanya. Aku dan Mas Fahry memang duduk di belakang, sedangkan Nilam duduk di depan menemani ayah.Tak ada pembicaraan apapun di antara kami. Hanya sesekali terdengar suara Nilam menerima panggilan telepon di ponselnya, adikku satu-satunya itu kadang berbisik-bisik di telepon, membuat ayah sesekali menoleh heran padanya. Nilam juga memutar tape mobil untuk mengusir keheningan.Selama beberapa hari menunggui Mas Fahry di rumah sakit, aku tak pernah bisa tidur dengan baik. Selain karena harus terus menjaga dan menyiapkan apa saja yang dibutuhkan suamiku, pikiranku pun masih terganggu oleh kebersamaannya dengan Nasya. Rasa ngantuk menguasaiku di tengah perjalanan, sesekali kepalaku terkulai dengan sendirinya, sebelum akhirnya Mas Fahry menarik kepalaku ke dalam dekapannya. Aku ingin menghindar dan kembali menegakkan k