Lagi-lagi aku meneteskan air mata. Dulu, Mas Farhan selalu penasaran saat aku menjalani pemeriksaan USG, dia selalu penasaran ingin mengetahui jenis kelamin anak kami. Sayangnya, hingga kepergiannya menghadap Sang Pencipta, Mas Farhan belum mengetahui jenis kelamin bayinya, karena saat itu usian kenadunganku baru menginjak bulan ke-lima, dan pada saat pemeriksaan USG selalu saja belum bisa terlihat karena posisi bayi kami selalu tak menampakkan jenis kelaminnya.“Kamu sengaja bikin ayah penasaran, ya, Nak?” bisik Mas Farhan saat terakhir kali ia menemaniku menjalani USG. Aku hanya terkekeh melihat wajahnya yang seolah kesal karena belum bisa mengetahui jenis kelamin si jabang bayi.“Aku ingin sekali punya anak perempuan, Dik,” ucapnya lagi di lain waktu. Aku hanya tersenyum.Bukan tanpa sebab Mas Farhan sangat menginginkan anak perempuan. Itu karena ia tak punya saudara perempuan. Berbanding terbalik denganku yang tak memiliki saudara laki-laki.“Kalau bayinya laki-laki gimana, Mas?”
Hari-hariku mulai kembali berwarna dengan hadirnya Khanza dalam hidupku, meski dengan hadirnya jugalah aku semakin sering merindukan Mas Farhan, wajah Khanza benar-benar mirip ayahnya, membuatku selalu merasa Mas Farhan kembali hadir dalam wujud bayi mungil kami.Ibuku juga makin sering berkunjung ke rumah ibu mertuaku sejak kehadiran Khanza, hal itu membuat hubungan kedua wanita yang sangat kuhormati itu semakin dekat. Fahry juga semakin sering kembali menginap di rumah dengan alasan kangen pada Khanza. Hari-hariku pun berlalu dengan cepat hingga tak terasa kini bayiku sudah berusia 2 bulan.“Dia mirip banget dengan Mas Farhan ya, Mbak,” ucap Fahri ketika aku sedang menjemur Khanza pagi hari.“Eh, Ry ... enggak kerja?” Aku heran karena ia masih berada di rumah di jam kerja.“Aku cuti, Mbak. Mumet! Mending di rumah sayang-sayangan ama Khanza.” Fahry mulai mencolek pipi bayiku. “Kamu mirip ayahmu banget, sih, Nak. Kasian tuh bundamu udah capek-capek hamil kamu 9 bulan. Ehh ... keluar-k
“Kenapa enggak ibu aja yang nemanin ke resepsinya Nasya, Ry?” tanyaku. Saat ini kami semua sedang berada di Bandung.Ibu menyetujui ajakan Fahry mengajak kami berlibur ke Bandung, maka sejak kemarin pagi kami sudah berada di kota kembang ini. Fahry bahkan sudah mengajak kami jalan-jalan tadi siang. Ia juga membelikan gamis mewah untukku dan ibu di sebuah butik terkenal. Kulihat Fahry pun sangat menikmati liburan kali ini. Mungkin karena ia memang sedang cuti bekerja, meskipun sesekali kulihat gawainya berdering kemudian terlibat pembicaraan serius mengenai pekerjaannya. Fahry juga sangat senang mendorong stroller Khanza sambil sesekali membetulkan letak bando mungil Khanza yang selalu saja turun menutupi matanya.Ia pun dengan gesit akan segera meraih Khanza dari dalam keretanya lalu menyerahkan bayi itu padaku ketika Khanza menangis karena kehausan.“Yaaa ... jangan bareng ibu dong, Mbak. Maunya bareng Mbak Tania. Lagian ibu juga diundang kok, hanya saja ibu memilih enggak hadir dan
“Aku serius, Mbak. Kalau Mbak Tania mau, aku akan segera melamar Mbak Tania pada Pak Edi dan Bu Ratih.” Ia menyebut nama kedua orangtuaku.“Ck!” Aku berdecak kesal, dan baru menyadari jika saat ini Fahry sudah menepikan mobilnya.“Kenapa berhenti?” tanyaku.“Karena hanya ini kesempatanku bisa bicara empat mata dengan Mbak Tania. Aku tau Mbak selalu menghindariku kalau di rumah.”“Kamu mau ngomong apa?”“Aku serius ingin meminang Mbak Tania. Kalau kata orang istilahnya itu turun ranjang.”Aku menghela napasku. Aku memang pernah mendengar istilah semacam itu.“Aku belum bisa membuka hati untuk orang lain, Ry. Siapa pun itu. Aku masih ingin seperti ini, bagiku Mas Farhan masih tetap hidup didalam hatiku, di dalam diri Khanza.”“Sampai kapan, Mbak? Sampai kapan Mbak Tania menutup hati untuk pria lain. Meski bukan denganku, tapi Mbak Tania tetap memerlukan pendamping. Mbak masih muda dan cantik.”“Entahlah, Ry. Kakakmu telah berhasil mengisi penuh hatiku, tak menyisakan tempat lagi untuk d
“Fahry!” pekikku tertahan ketika melihat siapa yang sedang duduk di ruang tamu di rumah orangtuaku. Aku sendiri sama sekali tak memperhatikan apakah di depan tadi ada mobilnya parkir karena fokus memastikan barang-barang Khanza lengkap diturunkan dari mobil ayahku yang dikendarai Nilam saat menjemputku dan Khanza.“Kamu ngapain ke sini?” tanyaku curiga.“Eh ... sama tamu kok gitu, Nak?” tegur ibuku sambil meraih Khanza dari gendonganku.“Tamu?” Aku menggaruk-garuk kepalaku. Entahlah! Mungkin di sini Fahry memang tamu karena ini adalah rumah orangtuaku. Sedangkan di rumah ibu mertuaku, ia justru pemilik rumah.“Duduklah, Nak. Ada yang ingin Nak Fahry bicarakan,” ajak ayahku. Aku sudah bisa menebak akan ke mana arah pembicaraan ini.Akhirnya percakapan kami pun bermuara pada niat Fahry untuk menikahiku. Maka saat ini ia sedang meminangku pada ayah dan ibuku.“Ibu tau kamu ke sini, Ry?” tanyaku.“Iya, Mbak. Aku sudah mengantongi restu ibu, makanya memberanikan diri datang ke sini.”Aku m
“Kuantar pulang, ya, Mbak.” Kini kami berdua sudah berjalan keluar dari area pemakaman umum.“Mbak tadi pakai motor Nilam, Ry.”Ia mengangguk mengerti.“Oiya, Mbak dan Khanza kapan pulang? Ibu sudah nanyain, katanya udah kangen kalian.”Aku memang masih menginap di rumah orangtuaku, setelah dijemput Nilam kemarin.“Mungkin besok aku minta antar Nilam, Ry.”“Enggak usah, Mbak. Nanti biar aku yang jemput Mbak Tania dan Khanza.”“Jangan, Ry. Kamu kan sibuk dengan perkerjaanmu. Biar Nilam yang antar.”Nilam adikku memang mahir menyetir mobil, tidak sepertiku yang hanya bisa mengendarai motor.“Pokoknya besok Fahry yang jemput, Mbak.”Aku tak menjawabnya lagi. Lalu kemudian kami berpisah, aku berjalan ke arah motorku sedangkan Fahry menuju ke arah mobilnya. Namun ternyata ia mengikutiku sepanjang jalan, aku bisa melihat dari spion motorku mobilnya terus mengiringiku dari belakang. Hingga tiba di depan rumahku dan menghentikan motorku. Kubuka helmku saat mobil Fahry sejajar dengan motorku,
Fahry menuntunku ke arah kamarnya di malam hari setelah suasana rumah sudah sepi. Hanya ada beberapa kerabat ibu yang datang dari luar kota yang masih menginap di rumah kami. Keluarga besarku sendiri sudah pulang sejak sore tadi.Aku masih melirik sekilas ke arah pintu kamarku dan Mas Farhan sebelum mengikuti langkah Fahry ke dalam kamarnya. Ini pertama kalinya aku masuk ke kamar Fahry, kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamarnya. Ukuran dan bentuk kamarnya sama persis dengan kamarku dan Mas Farhan. Hanya saja kamar ini terlihat lebih maskulin dengan cat abu-abu, sedangkan kamarku hanya dicat putih.Tak ada hiasan apa pun di kamar Fahry, karena aku memang menolak ketika pihak salon menawarkan hiasan untuk kamar pengantin. Bagiku, ritual seperti itu hanya membuang-buang waktu dan tenaga. Padahal ketika masih gadis dulu, aku selalu memimpikan kamar pengantin yang dihias cantik penuh taburan bunga-bunya yang semerbak. Namun kini aku justru menolaknya ketika aku bisa saja memintanya dari
Rasa pegal masih terasa di seluruh tubuhku saat subuh menjelang, sedangkan pria yang menyebabkan tubuhku pegal dan remuk redam karena permaianannya semalaman tadi masih mendengkur di sampingku, dengan tangan kekarnya yang masih berada di atas tubuhku.Ya, tadi malam adalah malam pertamaku dan Fahry sebagai suami istri. Tak seperti yang kubayangkan, ternyata Fahry sangat lihai melakoni semuanya dari awal hingga akhir. Aku yang harusnya lebih berpengalaman darinya karena statusku sebagai wanita yang sudah pernah menikah justru takluk di bawah kuasanya. Fahry Aditama, pria yang masih mendekap erat tubuh polosku ini ternyata bukanlah lelaki biasa. Ia bahkan sanggup melakukkannya berkali-kali untuk petualangan pertamanya.“Good morning, Honey,” gumamnya masih dengan mata terpejam.“Sudah bangun?”“Hmmm ....”Ia membuka matanya dengan malas, kemudian menarik kepalaku ke dalam dadanya. Kunikmati debaran jantungnya yang beraturan.“Kamu mau tau satu rahasia?”“Apa itu, Mas.”“Dulu aku pernah