LOGIN
Ravika memandangi hasil test pack di tangannya seperti surat panggilan takdir, setelah seminggu terakhir ia sering mual muntah. Dua garis merah. DUA... GARIS... MERAH... Tertera jelas.
"Ya Tuhan..." Untuk sepersekian detik, dunia seperti kehilangan gravitasi, melayang tanpa jangkar. Suara kipas angin berisik seakan berhenti, bunyi motor lewat seolah diterbangkan, dan jantungnya... hampir menolak kerja. Ayahnya paham lebih dulu sebelum ia sempat menyusun kata-katanya. Marno, lelaki yang biasanya pulang sore dengan bau semen dan debu proyek, berdiri di ambang pintu rumah petak dengan wajah yang bukan hanya marah ke anak semata wayangnya, tapi juga... patah berkeping. “Ini… apa?” suaranya pecah, bergetar, lontaran pertanyaan yang ia sendiri tak mau dengar jawabannya. Ravika tak bisa menyembunyikan apa pun. Tangannya gemetar di pangkuan duduknya. “Ayah…” “Dari siapa?!” Pekik tertahan pertanyaan itu lebih seperti palu godam daripada kata-kata. Ravika menggigit bibirnya sampai terasa asinnya darah. Nama itu berputar di kepalanya, nama yang tak berani ia ucapkan, nama yang masih membawa hangat sekaligus pedih. Nayottama. Lelaki yang dua bulan lalu diwisuda, sebelum benteng status sosial dan dunia yang terlalu timpang memisahkan cinta mereka secara paksa. “Ayah nggak perlu tahu,” ucap Ravika dengan suara lirih yang bahkan ia sendiri hampir tak dengar. Marno meremas rambut di kepalanya yang memutih. “Ravika! Anak siapa?!” Nada itu bukan cuma marah, tapi juga refleksi ketakutan. Takut kehilangan wibawa sebagai orang tua, takut omongan tetangga, takut masa depan anaknya hancur. Ravika justru menggenggam test pack lebih kuat. “Anak orang yang aku cintai, Yah.” Kalimat itu malah bikin Marno tersentak, seperti BBM yang disiram ke bara api. “Cinta? Kamu pikir cinta bisa bayar beras? Bisa bikin kamu nggak dikatain orang kampung?! Kamu itu perempuan, Naaakk...!” Ravika memotong, tanpa teriak, tapi tegas. “Aku betul perempuan, Yah, bukan barang. Dan aku yang tanggung semuanya.” Marno menatapnya, rahangnya tegang. “Kuliahmu? Beasiswamu? Kerja keras kamu selama ini? Buat apa kalau ujungnya begini?!” “Buat hidup...” jawab Ravika cepat dan tegas. Tapi suaranya tetap gemetar. “Buat jalan hidup yang aku pilih.” Marno membalikkan badannya, menendang kursi plastik di depannya sampai mental hancur di dinding. BRAAKKK!!! “Kamu bikin malu ayah!” Ravika berdiri, lalu mundur satu langkah, tapi bukan kabur. Dadanya naik turun cepat. “Aku juga malu, Ayah. Tapi aku lebih malu kalau buang darah dagingku sendiri.” Kata-kata itu membelah amarah Marno jadi serpihan kecil. Marno berhenti. Seperti seseorang yang baru kena hantaman di bagian yang paling rapuh. Bahunya yang kaku turun perlahan, napas tersengalnya melemah. “Jadi kamu pilih anak itu… daripada masa depanmu?” suaranya serak, nadanya menurun. Ravika mengangkat wajahnya. Ada ketakutan, itu pasti. Tapi ada sesuatu yang lebih keras daripada takut. “Aku pilih keduanya, Yah,” jawab Ravika. “Tapi kalau Ayah cuma bisa nerima salah satu… aku pilih anak ini.” Kalimat itu seperti air yang akhirnya menyurutkan bara api. Marno terdiam, menutupi wajahnya yang kusut dengan kedua tangannya yang belepotan adukan semen. Napasnya berat, seperti setiap tarikan adalah perlawanan terhadap kenyataan di depannya. Tapi ia tidak langsung luluh. Ia lalu hanya duduk di lantai, punggungnya menyandar ke dinding bercat kusam yang mengelupas, seolah tulang-tulangnya mendadak lembek. Tangannya masih menutupi wajahnya. “Ayah capek, Vik…” katanya pelan, sedikit pecah. “Ayah cuma takut kamu hidup susah kayak Ayah.” Ravika perlahan mendekat, tapi tetap jaga jaraknya. "Mungkin aku akan hidup susah, Yah. Tapi aku akan tetap hidup. Dan aku punya alasan untuk terus jalan demi anak ini.” Marno menggeleng-gelengkan kepala kecil, suaranya berat. Ia belum seratus persen menerima kenyataan pahit ini. “Kalau kamu mati-matian mau lahirin anak ini… Ayah...Ayah nggak akan tega suruh kamu pergi, Nak. Kamu milik Ayah satu-satunya.” Ravika menahan napasnya. Sudut matanya mengembun. “Tapi jangan minta Ayah senyum dulu,” sambungnya. “Ayah perlu waktu.” Ravika mengangguk, bulir air matanya akhirnya jatuh, bukan karena penuh kelegaan, tapi setengahnya saja sudah cukup untuk membuatnya berdiri tegak. Di titik itulah, tanpa kata manis, Marno akhirnya luluh, bukan karena ia setuju, tapi karena ia sadar anaknya tak lagi bisa dibenturkan agar berubah. Nasi sudah menjadi bubur. Dunia sudah memilih jalannya sendiri. Rumah sempit itu mendadak jadi arena perang tanpa suara. Ibu sudah meninggal bertahun-tahun lalu, jadi tak ada pelukan yang menengahi, tak ada suara lembut yang bisa melarutkan amarah dan frustasi. Malam itu, Ravika tak tidur. Perutnya memang belum tampak apa-apa, tapi ketakutan yang tumbuh di dalam dirinya jauh lebih besar dari ukuran janin yang masih sebesar titik. Sebagai mahasiswi beasiswa yang selama ini dielu-elukan kampus, ia hancur dalam satu hari. Keesokan paginya... Ia memutuskan menghadap ke pihak kampus. “Saya mengajukan cuti dua tahun, Bu,” ujarnya datar. "Ada apa, Vik?" "Cuma urusan keluarga yang nggak bisa ditunda, Bu." Dosen pembimbing memandangnya lama, seolah menimbang apakah Ravika kelak masih akan kembali seperti dirinya yang dulu. Jelas ia tidak akan kembali, setidaknya bukan sebagai orang yang keadaannya sama. Hari-hari selanjutnya berjalan dengan ritme yang sunyi, bangun tengah malam, muntah, menahan sakit pinggang, menghindari bisik-bisik tetangga, mengumpulkan dan mencatat tabungan seadanya, mengurus pemeriksaan ke puskesmas, berdebat dengan ayahnya lagi yang sekarang tampak seperti lelaki yang bertambah tua sepuluh tahun hanya dalam seminggu. Kadang Ravika mendengar tetangganya berbisik, “Kasihan Pak Marno, udah tua tapi anak yang cuma satu malah bikin susah…" "Yaa, begitulah...anak zaman sekarang...” sahut lainnya. Kadang ia melihat ayahnya duduk di bale bambu teras rumah melamun sampai malam, hanya memandangi langit seperti mencari jawaban yang tak pernah turun. Meski begitu, Ravika tidak menyerah. Tidak untuk anak itu. Tidak juga untuk cinta ke lelaki yang tak pernah sepenuhnya padam di dadanya. Seperti kejadian dua bulan sebelumnya...Pagi itu, halaman Greenfield riuh oleh anak-anak dan guru-guru yang bersiap untuk acara peresmian Langit Cerah Anak Negeri. Balon-balon warna-warni menari di tiup angin, spanduk bergoyang lembut. Ravika berdiri di dekat pintu gerbang, clipboard di tangan, matanya mengikuti setiap gerakan tim koordinasi.“Pak Seno, pastikan meja tamu sudah rapi. Sound system dicek lagi, ya, jangan sampai mikrofonnya mati pas sambutan,” katanya sambil tersenyum tipis.Seno mengangguk cepat, ia sedang sibuk menata kursi dan dokumen. “Siap, Bu. Semua sesuai jadwal. Tamu VIP akan datang lima menit lagi.”Tapi hanya berselang detik, Mobil hitam berhenti di depan gerbang Greenfield. Tama keluar dengan jas rapi, wajahnya tenang tapi matanya terus mengamati suasana. Begitu tatapannya bertemu Ravika, ada detik hening mengambang. Tak perlu kata-kata, hanya rasa familiar yang menggantung di udara.Kepala sekolah, sebagian guru Greenfield dan guru sekolah mitra yang bergabung menyambutnya. "Selamat datang, Pak
Vika segera merapikan diri dan bergegas keluar. "Mas Tama?!" sapanya saat membuka gorden lusuh kamarnya. Tama tersenyum, wajah cantik tanpa riasan dan seragam guru itu masih sama dengan delapan tahun silam. Tapi ada rasa sedih setelah matanya menyapu seluruh isi rumah yang sempit. Betapa sederhananya kehidupan mereka. Sangat jomplang dibandungkan rumahnya. Ia merasa sangat terpukul dan bersalah. "Kita ngobrol di luar aja, lebih bebas," ucap Tama mengalihkan. Vika pun mengangguk, mengikuti ajakan Tama. "Setelah delapan tahun, keluargamu masih di sini?" Tama membuka obrolannya lirih setelah mereka duduk berdampingan. Gang kecil didepannya adalah bukti berderetnya rumah sederhana di kampung tengah kota itu. Omongan keras pasti akan terdengar tetangga. Vika membalas cepat tapi lirih, "Mau ke mana lagi, Mas. Ini pun kontrak. Biaya buat nyari rumah nggak pernah cukup. Aku cuma honorer. Ayah buruh bangunan, sekarang udah tua dan sakit-sakitan." Tama diam, matanya sayu m
Tinggallah Ravika dan Tama yang keduanya sudah masuk di dalamnya.Hening melingkupi...Hanya dengung mesin halus, detak jam tangan yang entah milik siapa, dan desir AC yang seakan berusaha mendinginkan hati yang panas. Tama menoleh pelan, melihat Ravika yang masih menggenggam ponselnya. Wajahnya pucat, pandangannya tak fokus.“Kamu kenapa? Sekarang mau jujur?” suaranya rendah, nyaris bergetar, dan kini lugas, meruntuhkan topeng formal keduanya. Ravika tak langsung menjawab. Matanya menatap keluar jendela, pada barisan anak-anak yang mulai pulang. Elyra ada di antaranya, masih berlarian kecil bersama teman-temannya di halaman sambil membawa tasnya sendiri.Memastikan anaknya aman, Ravika menoleh ke wajah Tama dengan tetesan air mata yang tak terbendung. Suaranya mulai serak. Perasaannya campur aduk. Ada rindu membara, sakit, khawatir, dan rasa untuk tetap tangguh. "Mas, liontin ini...benar punya kita sejak delapan tahun lalu. Elyra yang minta memakainya. Tapi aku belum mau bahas ini
Liontin itu memantulkan cahaya sore di permukaannya, sekaligus memantulkan juga sesuatu yang selama ini ia pendam, memori lama, hadiah yang seharusnya tak kembali “Liontin ini... dari mana Bapak bilang tadi?”“Taman belakang Greenfield,” jawab Tama pelan. “Beberapa hari lalu. Seorang anak kecil ada di sana menolong anak kucing, mungkin dia yang menjatuhkan.”Ravika berusaha menahan nada suaranya agar tetap stabil.“Anak kecil itu... siapa?”“Saya belum yakin,” kata Tama hati-hati. “Tapi anak itu sepertinya Elyra.”Nama itu membuat Ravika seolah kehilangan napasnya sesaat. Ia cepat menunduk, menatap liontin itu lama.Setiap retak kecil di permukaannya seperti mengembalikan potongan waktu yang ia kubur delapan tahun silam.Seno muncul dari arah taman sambil membawa clipboard. “Bu, Pak, ini layout panggung udah disetujui. Oh, liontin, ya? Cantik banget. Punya anaknya, Bu?”Ravika cepat merapikan ekspresinya, mengambil alih situasi. “Iya, sepertinya Ely sempat bilang kehilangan gantung
Tama akhirnya membuka sedikit rahasianya. “Dulu aku pernah punya benda yang sama. Hadiah, tapi sempat kukembalikan.” Tama mengusap tepi liontin itu dengan ibu jari. “Sekarang, entah gimana, benda ini muncul lagi. Dari tangan seorang anak.”Seno bersiul pelan. “Plot twist hidup, Pak. Jangan-jangan anak itu...”“...Ely.” Tama memotongnya cepat, matanya menatap lurus ke depan. “Dan kalau benar liontin ini punya anak itu, berarti... ini dari ibunya.”Seno mencondongkan badannya. “Ibunya? Maksud Bapak... Bu Ravika adalah kenalan Bapak dulu?”Tama tak menjawab. Angin sore masuk lewat jendela, membawa aroma cat baru dari taman belakang. Ia hanya menatap kilau biru itu, seperti sedang menimbang antara logika dan takdir.“Delapan tahun berlalu, Sen,” katanya pelan. “Dan benda sekecil ini masih bisa muterin arah hidup orang.”Seno berdecak. “Kalo kayak gini, saya jadi takut tiap nemu koin di jalan. Siapa tahu punya kisah belum kelar juga.”Tama tertawa tipis. “Kamu aja yang takut. Aku cuma pen
Esoknya... SD Harapan Bunda tak semewah Greenfield, tapi halaman depannya terasa hangat. Cat temboknya mulai pudar, pohon ketapang menjulang teduh, dan suara anak-anak terdengar bernyanyi dari dalam kelas.Tama membuka kaca jendela mobilnya di depan gerbang, menatap papan nama sekolah itu lama. “Tempat ini… kayak nggak asing,” gumamnya.Saat berhenti, Seno membukakan pintu mobil. “Aneh juga, ya. Dari semua sekolah mitra, kenapa Bapak pengin datang ke yang ini?”Tama tersenyum tipis. “Insting.”Begitu mereka masuk, seorang perempuan berseragam sederhana bergegas mendekat dengan senyum ramah dan profesional. “Selamat pagi, Bapak dari DharmaLux, ya?”Tama mengangguk. “Saya Nayottama. Ini asisten saya, Seno.”Perempuan itu tampak ragu, seperti dipaksakan harus menjabat tangan Tama. “Saya Ravika.”Waktu berhenti seketika. Mata beradu pandang. Cukup lama bagi dua orang yang normal bersalaman. Sekilas angin menyingkap ujung jilbabnya, dan seolah semua bunyi di sekitar menghilang. Nama







