Sharena tidak ingin terbiasa dengan apa yang ia lakukan di lapas. Takut lama-lama dia jadi betah dan melupakan tekad kuat untuk keluar dari sana. Hanya saja jujur, dia cukup beruntung karena dipertemukan dengan orang-orang baik yang tak menindasnya. Teman satu sel Sharena justru memberi banyak saran dan mengungkapkan hal-hal yang pada akhirnya membuka pikiran Sharena. Sesuatu yang tidak terpikirkan sebelumnya kini mulai ia pertimbangkan dengan serius.
"Sharena, ada tamu untukmu," kata seorang sipir sambil membuka pintu sel.
Sharena bergegas pergi, ia mengira bahwa tamu yang datang adalah May dan Ratmi. Akan Sharena ceritakan semua kecurigaannya kepada dua wanita itu. Begitu tiba di ruang pertemuan, Sharena kebingungan karena orang yang ia cari tidak ada di sana.
"Mana orang yang mau bertemu sama saya, Bu?" tanya Sharena.
"Eh, tadi dia duduk di situ!" tunjuk bu sipir.
Sharena mendekati meja yang ditunjuk sang sipir, ia menemukan kotak bekal dan sepucuk surat di atasnya.
"Makanan sehat ini enak dan tidak akan menambah berat badan dengan cepat. Semoga kamu suka."
Isi sepucuk surat itu setelah Sharena baca. Kening gadis itu mengerut, pikirannya terbang mencari kandidat paling pas untuk dijadikan sang pengirim makanan ini. Karena tak kunjung menemukan orang itu, Sharena pun mengambil bekal makanannya dan dibawa ke dalam sel.
"Wah, beruntung banget Sharena ada yang ngirim makanan enak," kata salah satu teman satu selnya.
"Itu menu diet, enak dari mana. Sekali lihat juga tidak tampak menggiurkan," timpal yang lainnya.
Sementara Sharena masih bergeming memikirkan pengirim makanan itu. Mustahil May dan Ratmi, mereka tidak akan pergi tanpa menemui Sharena lebih dulu bukan?
"Siapa yang mengirim itu, Sha?"
"Aku juga tidak tahu Mbak, sipir tadi bilang bahwa yang mengirimnya laki-laki bernama Langit."
"Kamu tidak kenal nama itu?"
"Sepertinya tidak."
"Penggemarmu mungkin, Sha."
"Jangan dimakan Sha, siapa tahu ada racunnya. Bagaimana kalau makanan itu kiriman dari orang yang menjebak kamu?" ungkap yang lain membuat Sharena parno.
Dia yang semula hendak memakan bekal itu langsung mengurungkan niatnya. Saat sedang berpikir, seekor kucing melintas di depan sel mereka. Teman sekamar Sharena menangkapnya lalu disimpan di depan Sharena.
"Coba berikan pada kucing ini, kita akan tahu makanan itu aman atau tidak setelah dicoba si kucing."
"Tapi Mbak, kasihan kucingnya nanti mati kalau benar ada racunnya."
"Terus kamu lebih memilih kamu yang mati, begitu?"
"Enggak usah dicoba deh, buang aja kali ya?" tanya Sharena.
"Enggak ada salahnya buat ngasih ke kucing itu biar nanti kalau beneran ada racunnya kamu bisa perkarakan dan mengusut masalah ini. Siapa tahu benar-benar ada kaitannya dengan kasusmu."
"Ah, benar juga ya Mbak."
Sharena memberikan beberapa potong salmon dan salad pendampingnya pada kucing itu. Dimakan dengan lahap dan setelah sepuluh menit berlalu tidak ada tanda-tanda kucing itu keracunan. Dia tetap sehat dan malah ingin memakan sisa makanan yang ada dalam kotak bekal. Sharena bergegas mengamankannya.
"Aman, berarti makanan itu benar-benar dari penggemarmu, Sha. Lihatlah, tidak semua orang di luar sana menghujatmu. Masih ada yang peduli dan mau memperhatikanmu walaupun kamu dipenjara. Jadi teruslah berjuang sampai kebenaran terungkap."
Sharena menarik kedua sudut bibirnya, "Terima kasih ya, Mbak, atas dukungannya. Padahal Mbak belum tahu bahwa aku benar atau salah tapi kalian semua tetap percaya padaku."
"Kami sudah bertemu banyak orang bermasalah di sini, Sharen. Saat mereka bicara entah mengapa kami akan mengetahui apa yang dikatakan orang-orang itu tulus atau tidak. Saat kami melihatmu untuk pertama kali, kamu selalu memancarkan sinar kejujuran dan itu membuat kami yakin bahwa kamu tidak seperti yang orang-orang tuduhkan."
Sharena tersenyum lagi, dia terharu, sedikit banyak ucapan orang-orang itu mengalirkan energi positif untuknya. Menekankan lagi dan lagi bahwa ini bukan saat yang tepat untuk Sharena menyerah. Ia akan terus menyuarakan pada dunia bahwa dirinya benar-benar tidak bersalah.
***
Hari-hari berikutnya kiriman makanan terus berdatangan tanpa henti setiap harinya. Bahkan terkadang kiriman itu bukan untuk satu orang saja tapi diperuntukkan bagi tahanan satu sel Sharena. Mereka begitu senang dan merasa amat dihargai kehadirannya. Setiap makanan yang datang akan disertai dengan sepucuk surat yang pada akhirnya Sharena kumpulkan untuk dijadikan koleksi. Dia tidak akan melupakan kebaikan sang pengirim makanan sampai kapan pun. Ia harap setelah keluar dari sana maka Sharena bisa bertemu dengan pria bernama Langit itu.
"Aku harap kamu menyukai semua makanan yang kukirim."
"Hari ini aku mengirim nasi dan sayur asem kesukaanmu. Lupakan sejenak masalah diet, yang penting kamu sehat."
"Makanan banyak ini bukan hanya untukmu. Beri teman-temanmu juga. Awas kalau kamu serakah!"
"Sebelum kamu keluar dari sana, aku tidak akan berhenti mengirimi makanan ini. Semangatlah, besok hari persidangan pertamamu, kan?"
Sharena mengembuskan napas panjang. Ia gugup, ya, memikirkan persidangan esok hari begitu membebani batinnya. Dia takut melakukan kesalahan di depan hakim yang pada akhirnya akan mematikan langkahnya sendiri.
Sharena terus bertanya-tanya, apa yang akan ia lakukan nanti? Pertanyaan apa saja yang akan diajukan? Bisakah ia menjawab semua pertanyaan itu dengan baik? Akankah ia terbukti tidak bersalah? Kepala Sharena seperti ingin meledak. Senyum yang ia umbar di hadapan teman-teman satu selnya adalah pelindung gadis itu dari semua ketakutan yang terpendam.
"Jangan terlalu khawatir, lakukan semuanya dengan hatimu. Jujurlah pada segala hal ketika kamu di sana, berhenti menjadikan ini sebagai beban agar kamu tidak terbebani begini," kata teman Sharena yang biasa dipanggil Mbak.
Mbak menepuk pundak Sharena tiga kali, memberi kekuatan.
"Semuanya akan berjalan dengan lancar, kan, Mbak?"
"Tentu, semuanya akan lancar dan baik-baik saja. Bukankah kamu bilang adik dan pengacaramu sudah mempersiapkan pertempuran ini dengan maksimal?"
Sharena mengangguk pelan sambil menatap Mbak nanar.
"Kamu harus percaya pada orang-orang yang memperjuangkanmu itu. Tuhan tidak tidur, sepintar apa pun manusia membuat taktik licik, tetap Dia yang Maha cerdas. Bukan perkara sulit untuknya membongkar kasus ini, yang kamu perlukan hanya iman pada-Nya. Itu saja."
"Aku janji setelah keluar dari sini aku akan rutin mengunjungi Mbak, minimal sebulan sekali."
"Sudahlah, tidak usah membuat janji apa-apa. Aku sudah biasa tak dipedulikan jadi berhenti membuatku berharap lebih."
Sharena menggenggam tangan wanita berusia 39 tahun itu.
"Bertemu dengan Mbak adalah salah satu keberuntunganku tahun ini. Aku tidak menyangka, di tempat yang sering dianggap neraka dunia, justru ada malaikat sebaik Mbak. Orang yang tidak mudah menghakimi tanpa tahu duduk permasalahannya. Orang yang tidak pernah memandang rendah orang lain. Orang yang tahu bagaimana cara memanusiakan manusia. Mereka yang ada di luar sana belum tentu sanggup melakukannya, sedangkan Mbak mampu. Mbak sangat hebat."
"Apa hebatnya dari mantan seorang pembunuh sepertiku, Sharen? Aku hanyalah sampah masyarakat."
"Tindakan Mbak memang tidak baik tapi Mbak orang baik. Terlepas segelap apa pun masa lalu Mbak, semoga ke depannya Mbak bisa selalu bahagia."
"Kamu juga Sharen, semoga doa itu kembali padamu. Lakukan sidang esok hari dengan keren dan keluarlah sebagai pemenangnya, oke?"
Sharena tersenyum lagi sambil mengangguk yakin.
(Mas Langit, doakan aku, semoga besok semuanya terbongkar. Semoga aku terbukti tidak bersalah. Semoga orang itu ... segera mendapat balasannya!)
Kurang lebih empat hari sudah Saka berada di desa Sukasari, ia dan tim menjalankan tugas dengan sangat baik sampai semua korban berhasil dievakuasi. Desa Sukasari dan sekitarnya berduka sangat dalam. Para korban sudah dimakamkan secara masal dan bala bantuan terus berdatangan setiap harinya. Mereka yang kehilangan sanak saudara dan tempat tinggal masih memerlukan uluran tangan saudara-saudaranya. Dengan berakhirnya proses pencarian korban, bisa dikatakan berakhir pula tugas Sakalangit di sana. Menurut kabar yang beredar, Saka akan kembali ke kota dua hari lagi. Malah sebagian anggota timnya sudah kembali lebih dulu atas perintah pria itu. Sharena ketar-ketir mendengar itu, dia belum sempat mengobrol banyak lagi dengan pria pujaannya setelah siang itu. Setiap Sharena mau menemui Saka pasti selalu ada gangguan. Pria itu sibuk luar biasa, kondisinya juga genting jadi sangat tidak etis jika gadis itu menyita waktu Saka terlalu banyak. Sore ini, Sharena sedang sibuk menggalau di kamarnya,
Sharena menatap Saka dari jauh, bersembunyi di balik pohon mangga sambil memeluk rantang berisi makanan yang sengaja dia masak untuk Saka. Usai membantu para relawan memasak makan siang untuk para korban di dapur umum, Sharena sengaja memasak menu tambahan yang spesial dia buat hanya untuk Saka. Semangat itu begitu menggebu sebelumnya, namun kini, ketika Sharena hanya tinggal memberikan hasil karyanya tiba-tiba dia dera keraguan yang begitu besar. Dia masih belum lupa tentang fakta bahwa Saka sudah memiliki istri. Walaupun sedang berada jauh dari Lidya, tetap saja pria itu milik Lidya. Tidakkah tindakan dan perhatian Sharena ini hanya akan membuat Saka tidak nyaman nantinya? “Aduh, kasih jangan ya? Kalau dikasih sama pak Saka nanti dia berpikir macam-macam lagi tentang niatku tapi kalau enggak dikasih kan mubazir.” “Dor!” “Astagfirullah!” kaget Sharena refleks memukul orang yang mengejutkannya. Di tengah kebimbangan yang melanda hati Sharena tiba-tiba dia dikejutkan oleh kemuncula
“Euleuh ... euleuh ... bah Jana sama siapa itu? Meuni kasep pisan!” puji Esih terpesona melihat ketampanan dua orang pemuda yang tampak asing di matanya.Esih yakin dua pemuda itu bukan orang kampung sana, bahkan dia juga meyakini tidak ada orang seperti itu di desa Sukasari ini. Dua pemuda itu dan abah Jana baru selesai melaksanakan sembahyang salat Isya. Mereka masih di selasar masjid, tampak sedang asyik mengobrol.“Enggak bisa dibiarkan, mesti laporan sama Sharena ini.”Gegas wanita bertubuh agak berisi itu melesat pergi—menjauhi area masjid demi menyusul Sharena di rumahnya.“Lain kali kalau pak Saka dan yang lainnya mau menggunakan kamar mandi di masjid ini langsung datang saja, ya. Sekalian bisa sambil salat berjamaah sama warga sini,” tutur Jana, sebagai tuan rumah untuk para tamunya, dia memperlakukan Saka dan yang lain dengan sangat baik.“Terima kasih sebelumnya, Pak. Tapi sepertinya cukup untuk malam ini saja, kalau bala bantuan tambahan sudah datang kemungkinan kami akan
"Ya Allah, parah banget longsornya, Bah," kata Sharena sedang mendampingi abahnya melihat bencana alam yang menimpa salah satu kampung yang sebenarnya cukup dekat dengan kampung Sharena. Wilayahnya masih berada di kawasan desa yang sama, cuma terpisah oleh satu sungai saja. Hujan lebat yang semalam mengguyur tempat itu membawa bencana dahsyat. Puluhan rumah warga yang dekat dengan lereng gunung tertimbun. Kabarnya sampai menimbulkan korban jiwa, beberapa sudah ditemukan sedangkan sisanya masih proses evakuasi. "Iya, astagfitullah, rumah Uwa kamu juga habis tertimbun, Ren. Sekarang dia sudah ada di pengungsian, kita temui dia dulu baru nanti Abah mau gabung sama warga dalam mengevakuasi korban." Sharena mengangguk paham, mereka lanjut berjalan menyusuri jalanan basah dan lengket. Maklum akses menuju kampung seberang masih cukup sulit. Setelah melewati jembatan kayu yang membentang di atas sungai perbatasan, mereka harus berjalan sekitar 300 meter jauhnya. Kendaraan bermotor tidak mem
Dua tahun kemudian ... Waktu berjalan sangat cepat. Membawa setiap insan pada halaman kehidupan yang sama sekali berbeda dari masa yang telah ditinggalkan. Setiap hal berotasi, mengalami perubahan dengan atau tanpa disadari. Di antara banyaknya perubahan, ada satu hal yang tetap dipertahankan oleh Sakalangit Bastara. Kesendirian yang dipeluk masih tetap sama sejak kata talak terucap dan pengadilan meresmikan perpisahannya dengan Lidya. Ini bukan perkara sudah atau belum melupakan masa lalu. Bukan juga tentang ada atau tidaknya hati baru yang berusaha menyentuh kehidupan Saka. Pria itu hanya sedang menikmati masa-masa pemulihan yang sungguh menyembuhkan semua kepiluan hatinya. Dia sadar bahwa luka yang dulu tertoreh hanya bisa disembuhkan oleh dirinya sendiri, bukan orang lain. Oleh karena itu, Saka sangat fokus pada dirinya sendiri dan keluarga. Menyelesaikan semua tanggung jawab dengan penuh sambil berusaha membahagiakan kedua orang tuanya. Meskipun sudah tampak baik-baik saja, nya
Ramen aneka toping telah tersaji di atas meja, sang pelayan undur diri setelah memastikan tiga porsi ramen yang dipesan tamunya lengkap. Kafe yang menjual makanan khas Jepang ini menjadi pilihan May untuk mengajak Saka berbincang. Mereka memesan ruangan khusus dan tertutup demi menjaga privasi. Acara makan berlangsung dengan damai. Setelah semuanya sama-sama santai dan momennya tepat, May mulai membuka pembicaraan. Public speaking May sebagai seorang manajer tidak perlu diragukan. Penjelasan ihwal tujuannya mengajak Saka berunding sangat singkat, padat, dan mudah dimengerti.Sepanjang May bercerita, perasaan sesal muncul di hati Saka. Dia menganggap dirinya sebagai penyebab utama hal buruk yang dialami Sharena walaupun faktanya Saka tidak tahu apa-apa. Sementara Sharena, dia hanya membisu dan fokus pada makanannya yang belum habis. Hati kecil gadis itu ingin melarikan diri dari situasi ini. Niatnya yang ingin menghilang secara diam-diam dari kehidupan Saka gagal total karena May."Ja