Rumah sakit Husada
Di dalam kamar perawatan, Galih mengajak ngobrol Austin, yang masih terbaring lemah. Wajahnya sendu, seolah paham apa yang dikatakan sang ayah.
"Austin, cepat sembuh ya. Nanti Ayah ajak jalan-jalan ya," ucap Galih sambil mengelus kepala sang putra.
Raline dan Ibu Galih hanya menatap nanar dari sofa.
"Yang tahu emas aku ada di mana, cuma aku dan Mas Galih. Apa mungkin, Mas Galih yang menukar emasku dengan perhiasan imitasi? Haa ... kalau iya, kenapa Mas Galih setega itu membohongi aku?" batin Raline.
Ibu Galih pun bangkit, ia menghampiri sang putra yang nampak lelah karena sepulang dari kantor, harus ke rumah sakit lagi.
"Galih, Raline, sebaiknya kalian pulang saja. Biar malam ini, Ibu yang menjaga Austin di sini. Tapi, besok gantian ya," saran Ibu Galih yang kasihan melihat anak dan menantunya itu kelelahan.
"Jangan, Bu. Kasihan Ibu jaga Austin sendirian. Nanti biar ditemani Raline aja ya. Raline, kamu temanin Ibu nggak apa-apa kan?" tanya Galih. Ia ingin, berchatting ria dengan bebas jika Raline tak di rumah.
"Iya, Mas. Tapi, aku mau pulang dulu. Mau siap-siapin baju ya," jawab Raline.
"Ya udah." Galih pun memberikan botol susu Austin pada sang Ibu. Ia pun pamit dan mencium tangannya penuh takjim.
"Sayang, bobo ya." Galih pun mencium
"Kalian hati-hati ya," pesan Ibu Galih.
Galih dan Raline pun meninggalkan ruangan Austin dan kembali ke rumah.
****
Rumah Raline dan Galih"Kenapa aku makin curiga ya sama Mas Galih? Perasaanku bilang ada yang nggak beres. Tapi, aku juga nggak boleh asal nuduh. Ntar malah kayak dulu. Udah ribut, nggak tahunya udah terbukti. Susahnya, aku kan bukan type istri yang suka ngecek ponsel suami. Jadi gimana aku bisa tahu Mas Galih di luar jalan sama siapa aja? Ya Allah, aku harus gimana dong?" batin Raline.
Saat berjalan ke ruang tamu, Raline melihat ponsel pintar milik Galih itu tergeletak di meja makan. Raline pun memperhatikan sekitar, setelah dipastikan Galih tidak ada, Raline pun mengambil ponsel milik suaminya itu.
"Yah, pakai pasword lagi," ucap Raline, setelah gagal membuka karena tidak tahu paswordnya.
Galih pun keluar kamar. Ia melihat Raline yang sedang mengotak-atik ponselnya jadi berubah panik dan tersulut emosi.
"Raline .... " teriak Galih.
"Kamu ngapain sih, pegang-pegang ponselku?" pekik Galih dengan wajah panik dan amarah.
"Kepo banget sih!" bentak Galih.
"Maaf, Mas, aku .... " Raline bingung, ia harus beralasan apa.
"Nggak, nggak apa? Mau bilang nggak sengaja?Bilang aja kalau kamu cemburu buta sama suami kamu sendiri. Iya kan?" bentak Galih dengan nada tinggi.
"Kamu mau lihat ponsel aku? Nggak usah curi-curi gitu dong. Keterlaluan kamu. Aku capek-capek cari uang buat keluarga, kamu malah cemburu buta kayak gini." Galih menatap tajam Raline sinis.
"Ya Allah, lagi-lagi aku salah dimata suamiku. Harusnya malah aku yang nanya. Kenapa Mas Galih memakai simpanan mas kita?Tapi nanti, bisa-bisa aku lagi yang disalahin," batin Raline.
"Udah, pergi kamu sana. Balik ke rumah sakit. Ibu sendirian di sana," kata Galih dengan nada tinggi.
"Iya, Mas, aku siap-siap dulu," ujar Raline. Ia pun masuk ke dalam kamar dengan wajah sedih.
****
Rumah sakit Husada"Ya Allah, aku nggak boleh su'udzon sama suamiku sendiri. Tapi mau nggak mau, aku akui, sikap Mas Galih belakangan ini mencurigakan. Dia bahkan tega menukar simpanan emas kami.Dia juga marah besar saat aku pegang ponselnya. Tanda-tanda apalagi, kalau bukan menyeleweng namanya?! Tapi aku nggak mungkin asal nuduh. Aku harus punya bukti, meski itu akan sangat menyakitkan."
Raline jalan perlahan menuju ruang perawatan Austin. Hatinya gamang. Kecurigaan pada Galih semakin kuat. Raline pun akhirnya masuk ke dalam kamar Austin. Raline akhirnya duduk di sofa. Ibu Galih yang melihat kedatangan menantunya dengan mata sembab, mulai mencari tahu.
Ibu Galih melirik ke arah Raline, "Kamu kenapa?Bertengkar lagi sama Galih?"
"Nggak kok, Bu. Mungkin Raline cuma kecapean aja." jawab Raline beralasan.
Tiba-tiba, ibu mertua Raline pun bangkit dan mendekati sang menantu dengan wajah penuh amarah. Ia berdiri dihadapan Raline.
"Dengar ya, Raline! Kamu itu jadi istri yang benar. Kamu tuh jadi istri jangan buat kecewa suami. Dia itu sudah bekerja keras untuk menafkahi keluarga! Lihat tuh si Austin, dia itu sakit. Dan kamu di rumah tapi kamu tuh nggak ada gunanya sama sekali. Ibu minta, setelah 6 bulan, kamu kembali lagi bekerja. Kamu bantu tuh suami kamu kerja. Kasihan dia kerja sendiri,ya," pekik Ibu mertuanya. Raline hanya bisa diam dan menahan air matanya agar tidak jatuh.
"Iya, Bu. Raline paham. Nanti Raline akan kerja lagi," jawab Raline lembut.
"Baguslah kalau gitu. Cobalah kamu jadi istri yang sempurna untuk si Galih," ucap Ibu Galih ketus.
"Andai Ibu tahu kecurigaanku selama ini sama Mas Galih."
bersambung ....
Hari itu Lexy pun menyiapkan semuanya. Setelah semua kejahatan yang pernah dilakukannya di masa lalu pada Raline dan Hamid, Lexy ingin menebusnya dengan membahagiakan kedua kakaknya malam ini.[Mas, nanti kamu sama Raline datang sama Austin ke Cafe D'cante jam 20.00 ya. Aku tunggu.]Setelah mengirimkan pesan ke nomor Hamid, Lexy pun melanjutkan semua persiapan agar tampil sempurna. Surprise malam ini, dia persembahkan tepat di hari anniversary Raline dan Hamid.Beberapa jam berlaluMobil yang dikendarai Hamid pun sampai di pelataran cafe mewah itu. Raline pun sudah turun dan duduk di atas kursi rodanya, ditemani oleh Austin."Mas, kamu saja yang masuk ya. Aku menunggu di mobil saja," ungkap Raline yang merasa tidak percaya diri sejak duduk di atas kursi rodanya."Sayang, kamu nggak boleh gitu. Kasihan dong sama Lexy, dia undang kita berdua, bukan hanya aku kan?!" bujuk Hamid. Raline akhirnya setuju d
Sejak Hamid memutuskan kembali ke Indonesia, praktis Lexy maupun kedua orang tuanya tidak pernah lagi bertemu dengan putra sulung kebanggan Tuan Amran.Masa-masa yang pernah dirasakan Lexy bersama Hamid dulu menorehkan banyak kenangan. Tanpa sepengetahuan sang Mami, Lexy pun berangkat ke Jakarta untuk memberi surprise untuk kakak dan kakak iparnya itu."Lexy, berapa lama kamu di Singapura?" tanya Marissa saat mengantar putra kesayangannya itu di bandara."Mungkin satu atau dua Minggu, Mi. Ya kalau udah selesai secepatnya aku pasti pulang. Mami sama Papi jangan terlalu capek ya," pesan Lexy.Setelah mendengar informasi akan keberangkatan pesawat, Lexy pun berpamitan pada kedua orang tuanya. Langkahnya pun cepat menaiki tangga pesawat."Maafkan aku, Mi. Aku terpaksa berbohong. Tapi, aku sudah merindukan Mas Hamid. Aku harus memberikan ini langsung padanya. Ini haknya. Bukan milikku," gumam Lexy dalam hatinya.
Sisil dalam sebuah dilema. Persahabatannya dengan Raline sedang dipertaruhkan. Rumah tangganya dengan Zayn pun bisa goyah jika ia jujur tentang perasaannya.Sisil mencintai Hamid, ya itu memang benar. Namun, itu hanyalah masa lalu. Sisil pun sudah mengikhlaskan semuanya. Baginya, persahabatannya dengan Hamid dan Raline jauh lebih berharga dari rasa cintanya."Katakan yang sebenarnya Sisil. Kenapa kamu diam?!" cecar Dion.Zayn dan Hamid menatapnya tajam. Raline pun menunggu jawaban dari pertanyaannya. Namun, akhirnya Sisil memilih jujur tentang semuanya."Oke, aku akan jujur tentang semuanya," ungkap Sisil memulai pembicaraan."Dion benar. Aku memang mencintai Hamid. Tapi itu dulu. Sekarang aku hanya mencintai Zayn, dia suamiku.""Perlu kalian tahu, jauh sebelum aku menikahi Zayn, aku sudah mengikhlaskan Raline dan Hamid menikah. Karena aku tahu,mereka saling mencintai dan aku ingin melihat Raline bah
Andre yang terkejut dengan kedatangan Dion dan Nyonya Amira pun langsung menarik paksa keduanya keluar dari ruangan. Andre tidak ingin semua rencana yang sudah disusunnya dengan rapih jadi berantakan."Mau apa kalian ke sini?" pekik Andre saat menarik Dion kasar ke teras rumah. Menjauh dari perkumpulan sahabatnya."Lepaskan tanganku, Andre!" bentak Dion."Ingat, Andre. Aku ini Kakakmu!" hardiknya yang langsung hendak memukul Andre tapi dicegah Nyonya Amira."Stop! Jangan kayak anak kecil kalian!" bentak Amira.Kedua kakak beradik itu hanya terdiam saat ibu tirinya memisahkan pertengkaran itu. Sesungguhnya Amira hanya memanfaatkan Dion dan Andre demi dendamnya pada Raline."Kita di sini satu team. Nggak seharusnya kalian berdua ribut begini Nanti kalau mereka dengar, gimana?" bentak Nyonya Amira."Andre, apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Amira berbisik Andre pun berbi
Hamid yang tidak ingin kembali ada pertengkaran dengan kedua orang tuanya akhirnya mengalah. Setelah pamitan dengan sang Papi yang selama ini sudah begitu menyayanginya, Hamid pun tetap berusaha menghormati Maminya."Nggak usah. Lebih cepat kamu pergi, itu lebih baik!" ketus Nyonya Marissa saat Hamid hendak mencium tangannya dengan takjim.Tuan Amran pun menegur istrinya itu tapi Marissa tak perduli. Ia tetap dengan kekerasannya. Tuan Amran pun menggendong Austin dan mencium kening anak lelaki Raline yang sudah dianggapnya cucu itu. Tuan Amran pun mencium kening Raline. Pelukan hangat orang tua yang dirindukannya itu kini didapat Raline. Andre pun begitu haru menyaksikan kebahagiaan Raline, walau hanya sesaat.Saat hendak beranjak meninggalkan rumah mewah itu, tiba-tiba suara teriakan pria yang memanggil nama Hamid dengan keras membuat langkah Hamid terhenti."Tunggu, Hamid!" panggil Lexy.Hamid pun
Marissa tetap dengan keputusannya. Ia menekan suaminya untuk memilih antara ia dan Lexy ataukah memilih mempertahankan Hamid dan Raline. Cara jitu Marissa seperti berhasil. Ia tahu bagaimana karakter Hamid yang diurusnya sejak kecil."Mami, Papi, dengarkan aku," cegah Hamid saat kedua orang tuanya bertengkar hebat. Lexy pun hanya diam mengamati."Kalian nggak perlu bertengkar, aku yang akan mengalah. Aku dan Raline akan segera meninggalkan semua ini. Termasuk rumah ini. Aku akan memulai hidup baru bersama Raline," ucap Hamid tegas."Tidak, Hamid!" sergah Tuan Amran."Maaf, Pi. Kali ini aku nggak bisa menuruti keinginan Papi. Aku akan tetap pergi. Semua demi kebaikan kita semua," jawab Hamid lugas."Baguslah," sahut Marissa tersenyum sinis.Hamid tetap dengan keputusannya walau Tuan Amran terus mendesaknya dengan berbagai cara. Hamid tidak ingin ia dan Raline menjadi penyebab kehancuran rumah tangga o