"Bu-Bu Anjani!" ujar Nadin seraya bangkit dari duduk, dia sedikit terbata-bata. Matanya bergerak dengan cukup cepat, bibirnya pun ikut pucat pasi layaknya mayat.
Bibir Nadin terlihat bergerak secara tidak teratur, tepat di bawah meja sana, kedua tangannya saling meremas satu sama lain.
"Ma-maafkan, saya, Bu. I-itu semua tidak seperti yang Ibu dengar, sa-saya benar-benar minta maaf." Nadin menunduk, wanita berambut pirang itu mengigit bibir bawahnya kuat-kuat.
Kedatangan Anjani yang tidak lain adalah mantan pemilik perusahaan tempat Nadin bekerja, berhasil membuat semua orang melongo, termasuk Nadin sendiri.
Semua orang merasa, kalau Nadin akan berada dalam masalah besar, karena secara tidak sengaja telah melontarkan kata-kata kasar pada wanita yang di kenal sebagai anak dari pemilik perusahaan tersukses tahun ini.
Secara bersamaan, Dinda yang mendengar adanya suara keributan di luar sana. Segera bangkit dari duduknya dan bergegas keluar dari ruangan tempatnya bekerja.
Betapa terkejutnya Dinda, ketika melihat kedatangan Ibunya yang sama sekali tidak bisa dia prediksi sebelumnya.
Setahu Dinda, Ibunya itu masih berada di luar negeri, membereskan beberapa pekerjaan yang belum tuntas.
Tetapi, apa-apa ini? Sekarang Ibunya justru sudah berdiri di hadapannya sembari menatap Nadin dengan tajam.
"Ya ampun, Ibu, kapan datang?" tanya Dinda secara spontan.
Namun, Dinda bertanya bukan bermaksud menyelamatkan Nadin dari amukan Ibunya, tetapi karena Dinda memang benar-benar merindukan sosok wanita yang jarang sekali dia temui karena padatnya urusan pekerjaan.
"Baru saja, Dinda dan kamu tahu, Ibu justru harus mendapatkan sambutan yang luar biasa," sindir Anjani pada Nadin seraya tersenyum sinis.
"Bu, mari mengobrol di dalam. Ada hal yang ingin aku bahas."
Merasa dirinya berada dalam bahaya, Nadin langsung mendongak, dia melayangkan tatapan penuh harap pada Dinda.
Akan tetapi, Dinda tidak menghiraukan hal tersebut. Amarahnya kembali meluap, kala teringat dengan kejadian beberapa waktu yang lalu.
"Baiklah, Nak."
Anjani berjalan ke arah Dinda, meninggalkan Nadin yang masih mematung di tempatnya dengan posisi yang sama.
Namun, baru saja Nadin bisa bernapas lega, tiba-tiba saja sebuah kenyataan kembali menghantam kepalanya dengan begitu keras.
"Dan untuk kamu, Nadin. Jangan berharap, kalau saya melupakan kejadian memalukan tadi," peringat Anjani dengan begitu serius.
"Ba-baik, Bu. Sa-saya mengerti."
Dengan ekspresi wajah yang cukup membuat nyali menciut, Anjani memindai seluruh karyawan anaknya.
Sebelum akhirnya masuk ke ruangan Dinda, kemudian selanjutnya diikuti oleh Dinda dari belakang.
Namun, sebelum Dinda iku masuk, wanita itu pun sempat melirik ke arah Nadin yang sudah seperti orang yang kehilangan keberanian.
***
"Ibu, kenapa tiba-tiba pulang?" tanya Dinda seraya mendaratkan bokong di sofa berukuran sedang yang ada di ruangannya.
"Eyang, menyuruh Ibu untuk cepat pulang, katanya untuk membicarakan tentang pernikahanmu dengan Arkan."
Bukannya langsung menjawab, Dinda malah mengusap rambutnya dengan kasar.
Anjani sendiri tidak b*d*h, ketika dia memperhatikan Dinda, dia menangkap adanya kegelisahan yang sedang menguasai putri bungsunya itu.
Dinda sendiri bingung, antara harus mengatakan semuanya pada Ibunya saat ini juga atau justru mencari bukti sebanyak-banyaknya dan membongkar semuanya di hadapan keluarga besarnya, agar Arkan benar-benar malu saat itu juga.
"Ada apa, Sayang?"
Dinda terperangah, kala tangan Ibunya menyentuh pundaknya.
"Tidak ada, Bu. Aku hanya merasa lelah saja mempersiapkan semuanya."
Anjani tersenyum tipis, dia beralih menggenggam tangan putrinya itu dengan erat.
"Jangan terlalu di pikirkan, Nak. Ibu, Eyang dan Eyang putri akan mempersiapkan semuanya, termasuk dengan June juga. Abangmu itu, siap membantu kapanpun, Dinda."
"Terima kasih banyak, Bu. Maaf, kalau aku sampai merepotkan semua orang."
Dinda ikut mengenggam tangan Ibunya yang masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda.
"Tentu saja tidak, Sayang. Ingat, pernikahan itu sekali dalam seumur hidup dan hal tersebut harus menjadi momen yang paling sakral sekaligus mengesankan untuk kita semua."
Sontak, Dinda langsung mengalihkan pandangan ke arah lain sembari tersenyum kecut.
Tidak bisa Dinda bayangkan, bagaimana perasaan keluarga besarnya ketika tahu, kalau calon suaminya justru berkhianat dan hanya memanfaatkan dirinya saja.
"Sayang, ada yang menganggu pikiranmu?"
Dinda menggeleng pelan, dia kembali menarik kedua sudut bibirnya ke atas, meskipun terkesan di paksakan.
"Tidak ada, Bu. Ngomong-ngomong, kapan Ibu akan pergi ke rumah, Eyang?"
"Rencananya, Ibu, akan pergi ke rumah Eyang setelah dari sini."
Gegas, Dinda bangkit dari duduk, berjalan menuju meja kerjanya, memasukan beberapa barang berharga ke tas miliknya.
Tentu saja, hal itu membuat Anjani sedikit memicingkan mata, ketika melihat tingkah anak bungsunya yang tidak seperti biasanya.
"Aku ikut, ya, Bu!" sahut Anjani dengan begitu kegirangan. "Aku ingin bertemu dengan, Eyang. Aku sudah lama tidak bertemu keduanya."
"Baiklah, Ibu, akan meminta Dzikri untuk menghandle semuanya."
"Aku ikut kata Ibu saja!" jawab Anjani seraya tersenyum lebar, berusaha menyembunyikan kepedihan yang sebenarnya terus menggerogoti hati dan kewarasannya.
***
"Ada apa Fauzi dan ... siapa mereka?" tanya wanita paruh baya yang memakai tudung kepala dari anyaman bambu.Fauzi menghela napas panjang, dia bergegas turun dari teras, menghampiri kedua orang tuanya yang masih mematung di tempat dengan raut wajah kebingungan."Lebih baik kita ngobrol di dalam saja. Soalnya ini masalah yang cukup serius," balas Fauzi sambil menoleh ke belakang, menatap Dinda dan Dzikri sekilas.Sontak saja, kedua orang tua Fauzi saling pandang dengan cukup lama. Keduanya seakan-akan berbicara melalui lirikan mata. Fauzi yang sadar akan hal itu, kembali berbalik, melangkah ke hadapan Dinda dan Dzikri yang tengah bungkam."Mas, Mbak, ayo masuk! Biar kita bicarakan semuanya di dalam," ajak Fauzi dengan ramah kepada Dinda dan Dzikri."Baik, terima kasih. Ayo, Dinda kita masuk!""Ayo!"Baru ketika Dinda bangkit dari duduk, kedua orang tua Fauzi datang menghampirinya dan Dzikri."Iya, kalian boleh masuk dulu. Kami akan bersih-bersih sebentar," pesan Ibunya Fauzi."Baik, B
Sepanjang perjalanan menuju rumah kerabat mendiang kedua orang tua angkat Nadin, pikiran Dzikri dan Dinda terus saja berkecamuk.Dalam benak masing-masing, terus terbesit berbagai ribu pertanyaan mengenai alasan kenapa Nadin bisa sampai tega membunuh orang tua angkatnya.Entah hanya itu tuduhan semata atau memang benar begitu adanya. Tetapi, Dinda masih saja tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Tiba-tiba saja, dalam benak Dinda terlintas sekilas bayangan tentang Nadin yang pertama kali dia temui. Di mana wanita itu terlihat begitu polos dan baik, tampang seperti pembunuh maupun wanita perusak hubungan orang, benar-benar nyaris tak terlihat.Bagi Dinda, Nadin terlihat seperti wanita pada umumnya saja. Tidak ada sedikitpun rasa curiga dalam hatinya terhadap Nadin."Lagi ngelamunin apaan?" tanya Dzikri sembari menyenggol lengan Dinda.Sontak, Dinda menoleh, kemudian menggeleng pelan."Tidak, aku lagi memikirkan tentang Nadin saja. Aku--""Ini rumahnya," potong si wanita paruh baya
"Jadi, ini tempatnya?" tanya Dinda pada pria yang duduk di sampingnya, yaitu yang tidak lain adalah Dzikri.Kebetulan sekali, hari ini Dinda dan Dzikri memilih untuk tidak masuk kantor. Keduanya sepakat untuk datang ke desa tempat di mana dulu Nadin tinggal.Selain perjalannya yang cukup memakan waktu, belum lagi kondisi jalanan serta hal lainnya yang membuat Dinda dan Dzikri sampai di desa tersebut di luar perkiraan keduanya. Beberapa kali Dzikri menghela napas, kala netranya menatap jalanan yang hanya berlapiskan batu serta tanah merah. Tidak bisa dia bayangkan, bagaimana kondisi jalan ini ketika diterpa hujan."Sepertinya memang betul. Tetapi, apa kamu merasa tidak aneh?" tanya Dzikri sambil menoleh ke arah Dinda. Kebetulan dia tengah menepikan mobil di pinggir jalan, berisitirahat sejenak."Maksudmu?" Dinda malah balik bertanya sambil menatap layar gawainya.Wanita itu sedikit kesal, karena jaringan internet susah sekali dia dapatkan ketika masuk ke desa ini. Malahan sedari tadi
"Mas, ada apa? Coba ceritakan secara jelas!" pinta Ella pada Tomo.Tomo yang tampak begitu kebingungan dan putus asa, terus menjambak rambutnya dengan kasar seraya terus berjalan mondar-mandir, dia tidak terlalu menghiraukan permintaan istrinya.Ella yang sadar, kalau Tomo tengah amat kebingungan, gegas menghampiri Tomo, mengenggam tangan suaminya itu dengan kasar."Mas, sudah diam dulu! Sekarang ceritakan padaku, sebenarnya ada apa?! Aku tidak akan pernah tahu, kalau kamu terus bersikap seperti ini."Ella yang terlanjur kesal dengan suaminya, tidak ragu berteriak di depan wajah Tomo hingga pria itu terpaku di tempat.Sesekali Tomo menghela napas panjang, dia bergegas melangkah menuju kursi kayu yang ada di depan rumahnya dan segera mendaratkan bobot tubuh di atasnya."Ella, kamu tahu, Burhan, 'kan?""Tentu saja, memangnya siapa yang tidak tahu dengan Burhan, dia 'kan sosok orang kaya yang--""Stop!" Tiba-tiba saja Tomo berteriak, memotong ucapan Ella dengan cepat, hingga wanita itu t
Arkan tampak gelagapan, kedua bola matanya bergerak dengan cepat, terlihat pula jika jari tangannya saling bertautan, meremas satu sama lain.Kentara sekali, kalau Arkan begitu gugup dengan pertanyaan Dinda. Malahan sesekali dia menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya sendiri."Be-benarkah seperti itu, Sayang? Ah, gila sekali! Padahal dia mengatakan padaku sudah mengajak beberapa karyawan yang lain," dalih Arkan di depan Dinda. Malahan Arkan sampai menyilangkan tangan di dada sembari memasang wajah kesalnya. Melihat akting Arkan yang cukup baik, Dinda langsung tersenyum tipis. Dalam hati, dia tidak ragu memberikan Arkan dua jempol sekaligus."Tentu saja, jadi kamu tidak tahu soal itu?"Arkan menggeleng cepat, berusaha berakting sebaik mungkin di depan Dinda. "Tidak, Sayang. Dia benar-benar pendusta, aku benci manusia seperti itu," ucap Arkan dengan penuh penekanan di tiap kalimat.Mendengar hal tersebut, rasanya perut Dinda langsung bergejolak. Ingin rasanya dia memuntahkan sei
Dinda mengangguk pelan, dia meletakkan beberapa makanan yang sempat dia bawa dari rumah, termasuk buah-buahan dan makanan sehat untuk Arkan.Meskipun Dinda telah di sakiti oleh Arkan, tetapi dia masih sedikit memiliki rasa peri kemanusiaan pada orang tersebut. Dalam pikiran Dinda, dia tidak akan berhenti berbuat baik pada orang lain, meskipun orang tersebut justru berbuat jahat padanya. Karena biar Tuhan saja yang membalas semuanya. "Baik, Ma." Dinda duduk tepat di samping Ella."Dinda, bagaimana dengan persiapan pernikahannya?" tanya Ella dengan begitu antusias sembari mengenggam tangan calon menantunya.Dinda yang sebenarnya cukup malas, ketika membahas tentang pernikahannya dengan Arkan, hanya bisa menjawab dengan asal-asalan saja. Terpenting bagi Dinda adalah, apa yang dia berikan pada Ibunya Arkan cukup masuk akal. Biarkan saja wanita itu tahu semuanya nanti."Ya, begitu saja, Ma. Lagipula pernikahan kami masih lama. Jadi, hanya baru beberapa persen saja."Ella menghela napas