Share

Alarick Part 10

Pagi ini terasa begitu asing bagi Nerissa. Gadis cantik itu mengedarkan pandangannya. Ini bukan kamarnya, hanya itu yang terlintas di pikirannya sebelum akhirnya dia mengingat dengan jelas proses pengucapan janji yang mereka lakukan kemarin sore. Ya, Nerissa kini sudah menjadi seorang istri. Istri dari seorang Alarick Mauricio.

Cinta pertamanya yang kini berhasil dia miliki sepenuhnya namun tidak dengan hatinya. Perlahan Nerissa melirik seseorang yang tidur dengan pulas di sampingnya. Alarick, pria itu terlihat lebih tampan saat tertidur seperti ini.  Ya, mereka memutuskan untuk tidur di kamar yang sama mengingat orang tuanya bisa datang kapan saja.

Mentari memang belum menampakkan dirinya, pantas saja jika pria di sampingnya ini masih tertidur begitu nyenyak. Tangan Nerissa terangkat untuk menyentuh pahatan indah di depan matanya sebelum dia mengurungkan niatnya.

Alarick mengerjapkan matanya. Entah apa yang membuat pria itu terbangun. Apakah gerakan Nerissa menganggu pria itu? Sudahlah, Nerissa tak akan mempedulikan itu saat ini. gadis itu segera beranjak dari sana sebelum kesadaran Alarick benar-benar kembali.

Nerissa melangkahkan kakinya menuju dapur, tangannya yang bergerak dengan lincah menandakan bahwa gadis itu memang sudah terbiasa dengan alat-alat dapur. Hari pertama menjadi istri dari seorang Alarick, Nerissa hanya memasak dua piring nasi goreng. Bukannya tak ingin memasak menu lain, hanya saja bahan makanan yang memang sangat terbatas yang hanya memungkinkan Nerissa memasak nasi goreng saja.

“Apa yang kau masak?” Alarick berjalan untuk duduk di kursi makan. Penampilan acak-acakannya sukses membuat Nerissa kehilangan konsentrasinya untuk beberapa detik. Bagaimana tidak, kaos putih polos yang melekat di tubuh Alarick membuat pria itu terlihat begitu memesona, apalagi dengan rambut kusutnya.

“Nasi goreng. Tak ada lagi bahan masakan, mungkin nanti siang aku akan pergi berbelanja.” Tangan Nerissa dengan cekatan memindahkan nasi goreng yang sudah matang itu dari wajan ke piring sebelum kemudian menyajikannya di depan Alarick.

Nerissa juga tak melupakan segelas teh yang biasa Alarick minum. Ah bagaimana Nerissa tahu? Bukan hal yang aneh jika Nerissa mengetahui segalanya tentang pria itu. Bagaimapun Nerissa telah menyukai Alarick saat mereka masih SMA.

Alarick menyantap makanannya dengan lahap hingga tandas. Ponsel yang ada di sampingnya berdering menandakan ada pesan masuk. Dengan segera pria itu membuka pesannya setelah mengetahui siapa yang menghubunginya.

Nerissa tidak sebodoh itu untuk tidak mengetahui siapa yang mengirim pesan pada suaminya. Haleth, melihat raut wajah Alarick Nerissa yakin bahwa Haleth lah yang kini menghubungi suaminya.

“Habiskan makananmu dulu,” ucap Nerissa mengingatkan Alarick. Namun pria itu mengacuhkan peringatannya. Senyum cerah terukir di bibirnya saat pria itu membaca pesan di ponselnya.

“Sialan!” umpat Nerissa. Alarick sontak mengalihkan perhatiannya dan memandang Nerissa yang saat ini sudah beranjak dari tempatnya. Tentu saja umpatan Nerissa tidak di tujukan untuk Alarick, melainkan pada cairan merah segar yang lagi-lagi keluar dari hidungnya.

Nerissa mengunci pintu kamar mandi. Walaupun kecil kemungkinan untuk Alarick menyusulnya, namun setidaknya dia harus waspada. Dengan kasar Nerissa membilas darah itu. Gadis malang itu menengadahkan wajahnya memandang pantulan dirinya pada cermin di hadapannya.

“Sebenarnya berapa lama lagi?” Dia tak pernah ingin melakukan program yang disarankan dokternya dulu. Lagi pula, sudah tak ada gunanya dia bertahan lebih lama.

“Nerissa?” Pilihannya untuk mengunci pintu sangat tepat. Siapa yang mengira jika Alarick akan menyusulnya.

“Ya,” teriaknya dari dalam. Nerissa menopang dirinya pada wastafel yang ada di dalam, kepalanya menoleh ke arah pintu sebelum tarikan nafas yang sangat dalam terdengar begitu putus asa.

“Ada apa?” tanya Alarick setelah Nerissa membuka pintu kamar mandinya.

“Bukan apa-apa.” Gadis itu berlalu begitu saja tanpa memperdulikan tatapan bingung Alarick. Alarick masih tetap di tempatnya. Apakah Nerissa mengumpatinya karena pria itu mengabaikan peringatan Nerissa? Tapi jika iya, mengapa gadis itu harus pergi ke kamar mandi?

***

“Apa yang sedang kau lakukan?” Tangan kekar itu melingkar dengan indah di pinggang Haleth. Haleth hanya memandang tangan kekar itu karena kedua tangannya sibuk dengan gelas dan ponselnya. Ya, minuman yang ada di tangan kirinya menandakan bahwa gadis itu baru meminumnya sedikit. Dan ponsel itu? Entahlah.

“Menghubungi Alarick?” jawabnya ragu namun senyum di wajahnya menjadi tanda bahwa menghubungi Alarick bukanlah niat baik.

Tanpa menjawab penuturan Haleth, Jaylen pria itu terus mengendus leher Haleth. Tempat itu sudah lama menjadi tempat favorit nya.

Halteh meneguk minumannya sebelum kemudian pandangannya menerawang jauh. Senyum licik terukir di bibirnya. Entah apa yang saat ini ada dalam pikirannya.

“Mau belanja?” tanya Jaylen tiba-tiba. Haleth menoleh heran ke arah sahabatnya ini.

“Tak biasanya kau mengajakku belanja.”

“Hanya ingin, bagaimana?” Tanpa menunggu lama, Jaylen mendapat anggukan dari gadis di hadapannya.

***

“Apa jadwalku hari ini?” Alarick membuka pintu ruangannya diikuti sekretaris di belakangnya.

“Untuk pagi ini kosong, siang anda ada penandatanganan kontrak dengan DT Group, hanya itu.” Dengan telaten sekretarisnya itu membacakan jadwal Alarick. Luciver memang sahabat Alarick, namun pada jam kerja dia dituntut untuk bersikap profesional.

“Oke, ingatkan aku nanti. Kau boleh keluar.” Luciver mengangguk dan segera keluar untuk kembali ke ruangannya.

Alarick membuka ponselnya, kini harapannya serasa telah kembali. Haleth kembali menghubunginya dan mengatakan bahwa gadis itu pasti akan kembali. Tentu saja hal itu membuat Alarick senang bukan main. Bahkan tanpa dia sadari kini senyumnya kembali mengembang saat melihat notifikasi panggilan dari Haleth.

“Halo, apa kabar?” Nada canggung yang keluar dari bibir Alarick terdengar begitu jelas, namun tak dapat dia pungkiri jika hatinya kini berdebar dengan kencang.

“Baik, bagaimana denganmu?” jawab orang di sebrang sana.

“Aku baik.” Alarick menjawab dengan sedikit ragu. Pria tampan itu menunduk memikirkan apakah dirinya memang baik-baik saja? Sebuah suara berhasil membangunkan Alarick dari lamunannya.

“Maafkan aku,” lirih Haleth. Alarick yang mendengar permintaan maaf dari Haleth terlihat sangat terkejut.

“Untuk apa?” tanyanya meminta penjelasan.

“Memutuskanmu. Ternyata aku tak bisa jika tanpamu.”Memang terdengar begitu tulus namun apakah memang tulus?

Senyum cerah terpancar di wajah Alarick. Ternyata masih ada harapan untuknya melanjutkan kisah cinta dengan Haleth.

“Aku tak pernah mengiyakan kata putusmu. Bukankah itu artinya kita belum putus?” Haleth hampir berteriak mendengar penuturan Alarick. Itu berarti mereka akan melanjutkan hubungan bukan?

“Ya, mungkin kau benar.”

Perbincangan antara mereka berlangsung cukup lama. Mereka membahas segalanya. Haleth juga memberitahu Alarick jika saat ini dirinya tengah berada di Prancis untuk melanjutkan karirnya. Sampai di mana Luciver memasuki ruangannya dan memintanya untuk segera menemui kliennya.

“Aku tutup, nanti aku hubungi kembali.” Dengan senyum lebar Alarick menutup sambungan telepon itu. Luciver yang melihat sahabatnya begitu bahagia tentu sudah mengetahui apa penyebabnya. Entah apa yang membuat sahabatnya ini begitu tergila-gila dengan Haleth yang menurutnya tak lebih baik dari wanita-wanita yang kerap dia jumpai di sebuah club malam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status