Sebuah perjodohan antara Alarick dan Nerissa tak dapat dielakkan lagi. Kedua keluarga mereka sama-sama menginginkan perjodohan itu, namun tidak dengan Alarick begitupun Nerissa.
Tak ada lagi cara yang dapat mereka lakukan untuk menghindari perjodohan tak masuk akal ini. Bahkan percobaan bunuh diri pun sudah Nerissa lakukan, dan apa hasilnya? Sebuah kegagalan.
Hari yang seharusnya menjadi impian para pasangan, namun bagi Nerissa ini adalah awal dari kehancurannya. Seorang suami dengan harta melimpah yang tentu saja akan memenuhi kebutuhan finansialnya, tak menjadikan Nerissa luluh akan pria itu.
Memang benar Nerissa telah mencintai pria itu sejak lama, namun bukan berarti dia akan menerima begitu saja sebuah perjodohan yang bahkan sangat tidak diinginkan oleh Alarick.
“Bagaimana, Nona?” Seorang pelayan di sebuah butik menatap penuh harap pada Nerissa. Pelayan itu tentu saja menantikan sebuah jawaban positif dari seorang Nona Frore ini, ah akankah marganya berganti menjadi Mauricio?
“Aku tak suka, gaun ini terlalu terbuka untukku.” Tunggu, apakah Nerissa harus menyukai gaun pengantinnya disaat dia saja tak menyukai pernikahan ini sama sekali.
“Bahkan jika aku tak menyukai pernikahan ini, setidaknya aku harus menyukai gaun yang akan aku pakai,” bisiknya hampir tak terdengar.
“Baik, Nona. Akan aku bawakan yang lain.” Begitulah kegiatannya selama hampir dua jam ini. Memilih dan mencoba gaun pernikahan. Alarick? Pria itu tentu saja ikut untuk fitting tuksedo, namun setelah pria itu mendapatkan apa yang cocok untukknya, dia hanya berdiam diri di sebuah sofa yang disediakan di butik itu.
“Baiklah jika sudah selesai ayo pergi, aku lelah,” ucapnya setelah dia mengetahui Nerissa telah mendapatka gaun yang cocok untuknya.
Alarick beranjak dari sana tanpa mempedulikan Nerissa yang bahkan belum sempat mengganti gaun dengan pakaiannya.
***
Langit malam yang membentang dihiasi ribuan bintang menjadi saksi di mana Nerissa menginjakkan kakinya di atas altar. Janji suci telah terucap dari bibir Nerissa dan Alarick beberapa menit lalu.
Alarick, pria itu sangat baik melakukan sandiwaranya bahkan sebuah kecupan berakhir di kening Nerissa sebelum kemudian mereka menyambut tamu-tamu yang berdatangan.
Tak banyak yang datang, mungkin hanya para petinggi perusahaan saja yang menghadirinya, dan jangan lupakan beberapa tim media yang sudah lama menantikan momen ini.
“Haruskah ku ucapkan selamat?” Lagi dan lagi Lovetta berusaha mengejeknya. Nerissa merotasikan bola matanya malas. Dia sudah tak peduli dengan apapun yang dikatakan Lovetta padanya. Saat ini dia hanya harus terus tersenyum untuk menutupi raut wajah aslinya.
“Ya, mungkin maksudmu selamat menempuh hidup baru dalam neraka.” Bukan berarti Alarick seorang psikopat yang akan menyiksa fisiknya setiap waktu, melainkan siksaan batin yang harus Nerissa rasakan setiap waktu pasti akan lebih menyakitkan.
Rasanya saat ini wajahnya sudah mati rasa karena terus tersenyum sepanjang acara, namun hanya ini yang bisa dia lakukan.
Matanya mengitari setiap sudut ruangan mencari pria yang kini telah menjadi suaminya. Tepat saat Nerissa akan menyerah untuk mencari pria itu, saat itulah Alarick menghampiri dirinya.
“Tepat waktu. Berapa lama lagi acara ini berakhir,” bisik Nerissa tepat di samping telinga Alarick. Sebenarnya Nerissa tak setinggi itu untuk bisa mencapai telinga Alarick. Gadis itu berjinjit untuk bisa berbisik pada Alarick.
“Dua jam lagi kurang lebih.” Dengan spontan tangan Alarick bergerak merangkul pinggang Nerissa saat dirasa Tuan Mauricio dan Tuan Frore datang mendekat. Nerissa yang tak tahu alasan Alarick merangkulnya sontak terkejut dan memandang aneh pada Alarick.
Alarick yang mengerti dengan raut bingung yang ditunjukkan Nerissa segera berdehem dan memandang objek yang ada di hadapannya. Nerissa mengikuti arah pandang pria itu dan berhasil menangkap maksud Alarick.
“Selamat atas pernikahan kalian dan terimakasih telah melakukannya.” Tuan Mauricio memandang Nerissa persis saat kalimat terakhir diucapkan. Nerissa yang mengerti dengan maksud Tuan Mauricio dengan tulus tersenyum.
“Terimakasih, Tuan.” Tak sepatah kata pun keluar dari bibir Alarick, pria itu terus saja menampilkan wajah dinginnya.
“Ayah, kau bisa memanggilku Ayah.” Tuan Mauricio tersenyum. Akhirnya harapannya sejak dulu saat ini terkabul. Keinginannya sejak dulu adalah memiliki Nerissa sebagai menantunya. Harapan yang simple, namun menjadi rumit karena sifat egois dan arogan putranya.
“Baiklah, ayah.” Tuan Frore dan Tuan Mauricio tersenyum senang melihat putra putrinya bersanding malam ini.
***
Untuk kedua kalinya Nerissa menginjakkan kakinya di apartemen Alarick. Apartemen ini tidak bisa dikatakan kecil mengingat di dalamnya memiliki tiga kamar tidur dengan masing-masing kamar mandi di dalamnya.
“Kau bisa memakai kamar sebelah.” Tangan Alarick menunjuk sebuah kamar yang terletak tepat di samping kamarnya. Nerissa juga mengangguk, dia tahu jika Alarick tak akan membiarkan dirinya tidur satu kamar dengan pria itu.
“Aku akan pergi ke apartemenku sebentar.” Nerissa tak meminta ijin, dia hanya memberi tahu Alarick saja untuk berjaga-jaga jika ayahnya atau ayah Alarick bertanya.
Nerissa melangkahkan kakinya keluar dari sana. Hanya perlu beberapa langkah hingga dia sudah benar-benar ada di apartemennya.
“Nona kembali?” tanya ARTnya.
“Iya. Aku datang hanya mengambil beberapa pakaian dan alat-alat kerja ku. Ibu bisa tinggal di sini saat aku tak ada.”
“Baik, Non.”
Kakinya terus melangkah menuju kamar utama, kamar yang selama ini dia tempati. Salah satu benda penting yang harus Nerissa bawa selain pakaian dan alat kerjanya adalah selembar kertas dengan beberapa keterangan di atasnya dan sekotak pil.
Satu koper penuh barang yang dia bawa. Nerissa duduk di ranjangnya, pandangannya kosong untuk sementara. Dia tak tahu apa yang akan terjadi padanya setelah dia hidup dengan Alarick, namun dia sudah membulatkan tekadnya untuk bersikap lebih baik pada Alarick dan melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Untuk kebutuhan biologis Alarick? Nerissa belum tahu.
Dia hanya berpikir, tak baik terlalu kasar dan acuh pada Alarick karena bagaimana pun saat ini status mereka adalah seorang suami dan istri.
Setelah sedikit tenang dengan pikirannya, Nerissa beranjak dan segera berpamitan pada ART nya untuk kembali ke tempat Alarick.
***
Dua piring nasi goreng dengan omelette di atasnya kini sudah tersedia di atas meja makan.
“Makanlah sebelum dingin.” Entah apa yang membuat Alarick bersedia membuatkannya makanan, yang Nerissa tahu saat ini dia lapar. Dengan segera tangannya meraih sendok dan garpu, namun gerakannya terhenti saat dia mengingat ada omelette di atas nasi goreng itu.
“Kenapa?” tanya Alarick.
“Mungkin tak apa jika hanya sesekali,” gumam Nerissa. Sebenarnya gadis itu ragu, namun kali ini saja dia akan memakannya untuk menghargai usaha Alarick.
“Apa katamu?”
“Ah tak apa, ayo makan.” Keduanya makan dengan tenang. Hanya ada suara denting sendok dan garpu yang mengisi setiap sudut ruangan. Entah karena lapar atau enak, Nerissa makan lebih lahap dari biasanya.
Alarick berpikir beberapa kali setelah Haleth bertanya demikian.“Kau tak memiliki perasaan lebih padanya, kan?” Pertanyaan itu terus saja berputar-putar di kepalanya.Kini mereka telah sampai di apartemen Haleth dan sejak percakapan tadi di mobil, mereka tak lagi mengeluarkan suara sedikitpun. Keadaan menjadi sangat canggung di antara mereka.“Terima kasih telah mengantarku,” ucap Haleth. Alarick menoleh seolah terkejut dengan perkataan Haleth yang tiba-tiba.“Ah iya sama-sama. Kalau begitu aku tak akan lama, masih ada pekerjaan yang belum aku selesaikan. Lain kali aku akan datang,” ujar Alarick. Pria itu menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali.Haleth mengangguk mengijinkan Alarick untuk pergi dari sana. “Hmm baiklah, hati-hati di jalan.” Haleth melambaikan tangannya pada Alarick dan dibalas dengan lambaian pula oleh Alarick.Alarick kembali ke parkiran dengan berbaga
Nerissa tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya.“Menurutmu, apakah aku bisa bertahan sampai akhir?” tanya Nerissa. Kedua gadis itu mulai mendudukan dirinya di sofa yang tersedia di sana.“Apa? Dengan suamimu?” tanya Lovetta memastikan.Nerissa mengangguk lesu pertanda lagi-lagi ada masalah yang menimpanya.“Apa lagi yang dilakukan suamimu kali ini?” Melihat raut wajah Nerissa cukup membuat Lovetta yakin bahwa suaminya berulah lagi.“Pagi ini aku melihatnya tersenyum,” ujarnya. Lovetta mengerutkan dahinya.“Lalu di bagian mana kesalahan suamimu?” tanya Lovetta heran.“Tak biasanya dia tersenyum selebar itu. Kau tahu apa jawabannya saat aku bertanya?”“Apa?”“Dia bilang, dia sedang membaca sebuah berita online di ponselnya. Lalu bagian berita yang mana yang berhasil membuatnya tersenyum selebar itu?” Nerissa menyandarkan ba
Semesta seakan tak rela melihat kebahagiaan Nerissa. Baru saja beberapa hari lalu sikap Alarick sedikit menghangat padanya, kini pria itu terasa kembali berbeda.Sejak matahari muncul pagi ini, pria itu terus saja sibuk dengan ponselnya. Telepon yang masuk setiap satu jam sekali dan jangan lupakan notifikasi pesan yang seakan tak ada hentinya.“Ada apa sebenarnya dengan ponselmu?” tanya Nerissa geram. Dia bahkan tak kunjung menyentuh makanannya karena notifikasi sialan itu.“Bukan apa-apa. Hanya notifikasi berita saja,” jawab Alarick.“Sejak kapan kau gemar membaca berita di ponselmu dan dengan senyum mengembang itu?” sindir Nerissa. Kalian tahu sudah berapa lama Nerissa mengagumi Alarick. Gadis itu juga tahu dengan pasti apa saja kebiasaan suaminya ini dan membaca berita online bukanlah tipe suaminya.Entah sadar atau tidak, Alarick memudarkan senyumannya. Pria itu juga baru menyadari jika dia tersenyum beberapa
Setelah hari di mana Alarick membawa Nerissa ke rumah sakit, kini hati Nerissa benar-benar tak tenang. Dia takut Alarick akan mengetahui semuanya. Kalimat yang dia tulis dalam novelnya benar-benar hancur karena pikirannya yang bercabang. “Nerissa aku mau mandi.” Ucapan seseorang membangunkan Nerissa dari lamunannya. Nerissa menatap suaminya yang baru saja pulang kerja. “Ah iya, sebentar akan aku siapkan air hangat.” Nerissa beranjak dari kursi kerjanya. Ya, beberapa hari lalu Alarick menyiapkan sebuah meja kerja khusus Nerissa. Nerissa sudah menolak, namun Alarick tetap mamaksa hingga akhirnya meja itu berada di kamarnya dengan Alarick. Beruntunglah kamar mereka luas, jadi masih banyak ruang yang tersisa di sana. Alarick memang ahli dalam berbenah, namun semenjak ada Nerissa, apartemennya terlihat lebih bersih dan tertata. Alarick memuji kemampuan Nerissa dalam hal berumah tangga. “Sudah selesai.” Nerissa kembali ke kamar setelah seles
“Maafkan aku, aku terpaksa melakukannya. Kau tahu jika aku mengatakan yang sebenarnya apa yang akan terjadi,” bujuk Alarick sambil berjalan menjauh dari sana. Dia khawatir Nerissa akan mendengar apa yang dia bicarakan. Pria jangkung itu memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Terdengar helaan napas dari seberang sana. “Baiklah, aku akan tutup teleponnya,” ucap Haleth. Sebenarnya dia tak terlalu keberatan Alarick memanggilnya apa, namun dia merasa harus melakukan itu agar Alarick percaya bahwa dirinya masih menyayangi Alarick. Alarick menjauhkan ponselnya dari telinga. “Siapa?” tanya Nerissa. Alarick sedikit terlonjak dengan kedatangan Nerissa yang tiba-tiba. “Bukan siapa-siapa, hanya rekan bisnis,” ucapnya. Sebenarnya dia bisa saja memberitahu Nerissa bahwa dirinya masih berhubungan dengan Haleth, hanya saja dia takut gadis itu akan mengadu kepada Ayahnya. Nerissa mengangguk paham. “Kau akan pulang sekarang?” tanya Neris
Setelah berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, Nerissa mulai menghubungi satu persatu kontak yang diberikan Lovetta. Dia memang tak berharap banyak pada cara ini, namun tak salah juga jika dia mencoba. Nerissa tak mau mengambil resiko jati dirinya diketahui oleh orang-orang media, maka dari itu dia memakai nomor ponsel lama yang sudah jarang dia pakai. Dia juga tak menelpon tetapi mengirimkan sebuah pesan. Seperti yang kalian tahu jika Nerissa adalah seorang penulis, maka pesan yang dia kirim juga merupakan rangkaian kata yang sepertinya cukup meyakinkan untuk menghentikan skandal Alarick. “Satu persatu sudah selesai,” ucap Nerissa. Memang membutuhkan waktu lama, namun dengan sabar Nerissa mengurusnya satu persatu. “Sayangnya aku gagal meyakinkan stasiun berita yang sangat berpengaruh di Negeri ini,” lirihnya. Sepertinya untuk yang pertama kalinya dia tak bisa membantu Alarick menyelesaikan masalahnya. Nerissa kembali memutar ota