"Andaikan bunuh diri bukan sebuah dosa, dan tak ada neraka di akhirat, mungkin kematian akan menjadi pilihan utama.” Kehidupan seorang Nerissa Frore memang tak pernah menjumpai kata bahagia yang sering orang katakan. Bahagianya hanya sekedar masih diberikan kehidupan. Sekeras apapun dia mencari alasan untuk hidup tak pernah sekalipun ia dapatkan sebelum dirinya bertemu dengan Alarick Mauricio. Pria berperawakan tinggi dengan kulit sawo matangnya mampu membuat kehidupan Nerissa berubah. Sering kali terlihat senyum manis di bibirnya sebelum akhirnya sebuah keputusan merenggut kembali senyum itu dari wajahnya. Perjodohan yang tak pernah diinginkan oleh Alarick kini harus terjadi. Kehidupan yang awalnya menjadi impian, namun sekarang hal itu menjadi hal yang paling Nerissa hindari. Di sanalah kehidupan bagai neraka Nerissa dimulai. Sanggupkah dia bertahan di tengah hujaman rasa sakit yang diberikan Alarick?
View MoreSeorang pria dengan jas hitam yang melekat di tubuh berototnya tengah berjalan menuju ruangan seseorang yang menjadi atasannya.
Pandangan lapar dari pegawai-pegawai wanita mereka tujukan pada pria berambut hitam kecoklatan itu, namun tak sedikitpun dia menaruh perhatian pada wanita-wanita yang sedari tadi menatapnya.
Tangannya mengudara hendak mengetuk pintu yang kini sudah ada di hadapannya. Sebelum tangannya menggapai pintu itu, pintu terbuka menampilkan seseorang berpakaian resmi seperti dirinya, namun jika dilihat usia mereka sepertinya terpaut cukup jauh.
“Apa yang Ayah inginkan dariku?” tanya pria muda itu. Langkah kakinya terus mengikuti pria paruh baya yang baru saja keluar dari ruangannya.
Pria tua itu sontak menghentikan langkahnya saat mendengar pertanyaan dari pria muda yang tak lain adalah anaknya.
“Kau masih bertanya apa mauku? Alarick Mauricio, jauhi gadis itu dan segeralah menikah dengan gadis pilihanku,” jawabnya mutlak.
Terkejut? Tidak. Alarick sudah mengetahui perihal perjodohannya dengan anak teman ayahnya.
“Maksudmu Haleth? Aku harus memutuskannya?” Alarick berdecak mendengar permintaan ayahnya. Sebenarnya dia sudah menduga ini sebelumnya, namun siapa sangka akan secepat ini?
“Maaf Ayah, untuk permintaanmu yang satu ini aku tidak bisa. Aku mencintainya.” Alarick berjalan meninggalkan ayahnya yang tetap berada di tempatnya.
“Bahkan jika aku tak memberikan perusahaan ini padamu?” Langkah Alarick kembali terhenti mendengar penuturan ayahnya. Dia menolehkan kepalanya, tak percaya ayahnya akan melakukan itu padanya.
“Baiklah lakukan apa maumu,” lanjut Tuan Mauricio pada Alarik dan segera melanjutkan langkahnya meninggalkan putranya itu.
***
Tubuh Nerissa merosot menyaksikan si jago merah melahap seluruh bagian rumahnya. Tak hanya rumahnya saja, seseorang yang sangat dia sayangi juga ada di dalamnya.
Tangisnya pecah mengingat dia tak punya siapa-siapa untuk dimintai pertolongan.
“Ibu, maafkan aku ...” isak tangis terdengar di tengah kobaran api yang membakar habis rumahnya. Nerissa tak sempat menolong ibunya, kini hanya penyesalan yang dia miliki.
Seandainya saja dia lebih cepat datang, seandainya dia tidak lebih mementingkan pekerjaannya, semua ini tak akan pernah terjadi. Kini kata ‘seandainya’ itu hanya terganti dengan ‘penyesalan’.
Tangannya yang gemetar mencoba merogoh saku celananya berusaha mengambil benda persegi yang ada di sana. Tanpa pikir panjang dia segera menghubungi orang yang menjadi pilihan terakhir untuk diteleponnya saat dia dalam keadaan terpuruk.
“Ayah, bisakah kau pulang kali ini saja?” Air mata tak henti-hentinya keluar dari mata indah gadis itu. Begitu juga suara isak yang menemani kesunyian malam ini.
“Aku tak bisa Nerissa. Pekerjaanku belum selesai. Dan kau, jadilah kuat, kau sudah dewasa dan ingat, kau keturunan Frore, tak ada satupun dari kami yang terlahir menjadi manusia lemah. Dan kau, Nerissa Frore harus menjadi kuat apapun yang terjadi,” ucap pria yang dipanggil ayah di seberang sana. Sambungan telepon diputuskan begitu saja tanpa mendengar penjelasan Nerissa.
Seperti dugaannya, ayahnya tak mungkin pulang hanya dengan rengekannya. Bahkan mungkin pria yang menjadi ayahnya itu juga tidak akan peduli jika Nerissa mati sekalipun.
Dengan sisa kekuatan yang dia miliki, Nerissa berusaha bangkit. Langkahnya tertatih, bahkan untuk berjalan saja rasanya sangat berat. Apa lagi yang harus dia lakukan di sini?
Walaupun dia bisa menunggu api itu padam, tapi apakah ibunya bisa di selamatkan? Rasanya tidak. Nerissa memilih untuk kembali ke apartemennya.
Ya, di usia ke 24 ini dia sudah memiliki apartemen sendiri. Dia memilih tinggal sendiri karena dirasa itulah yang dia butuhkan. Anti sosial? Bukan. Nerissa orang yang pandai bersosialisasi kecuali dengan keluarganya.
Kakinya terus melangkah berusaha mencapai kamarnya. Nerissa mendongak untuk memastikan bahwa kamar yang ada di hadapannya ini memang kamarnya.
Tepat sebelum Nerissa menempelkan sidik jarinya untuk membuka kunci, kepalanya mulai pening dengan cairan merah yang mengalir dari hidungnya. Perlahan pandangannya mulai kabur dan semuanya gelap.
***
Alarick berjalan dengan langkah kesal karena penuturan ayahnya. Lalu pada siapa ayahnya akan memberikan perusahaan jika bukan padanya sementara Alarick merupakan anak tunggal di keluarga Mauricio.
Mungkin saat ini apartemennya menjadi tujuan utama. Di sanalah dia, jika sedang memiliki masalah. Namun sebelum mencapai kamarnya, netranya menangkap sesuatu. Seorang gadis yang tergeletak dengan darah yang sudah sedikit mengering di bagian hidungnya.
“Nerissa?” Dengan cepat Alarick menggendong gadis itu menuju kamarnya. Tak ada maksud apa-apa, dia tak tahu di mana gadis ini tinggal dan tidak mungkin juga dia membiarkan temannya ini tergeletak dengan keadaan yang bisa dibilang jauh dari kata baik-baik saja.
Alarick merebahkan tubuh Nerissa di atas ranjangnya sebelum kemudian dia mengambil air dan saputangan untuk membersihkan noda darah itu.
Nerissa, Alarick tahu gadis ini. Dia temannya saat SMA dan kuliah, namun dia tidak mengetahui jika gadis ini tinggal di dekat apartemennya.
Mata Nerissa mulai mengerjap menandakan kesadarannya telah kembali. Hal pertama yang dilihatnya adalah Alarick, dia juga mengenal pria arogan ini. Bibirnya yang pucat mulai mengatakan sesuatu yang tidak bisa ditangkap maksudnya oleh Alarick karena suara Nerissa yang serak.
“Air ...” ucapnya sedikit keras. Tanpa mengucapkan sepatah katapun Alarick pergi meninggalkan Nerissa dengan mata yang berkaca-kaca. Bahkan seorang teman pun tak mempedulikannya sama sekali.
Dugaan Nerissa salah, Alarick kembali dengan segelas air dan beberapa makanan di tangannya. Nerissa bisa bangkit dari tidurnya dengan bantuan Alarick. Air itu perlahan tandas sesaat setelah Alarick memberikannya pada Nerissa.
“Terima kasih,” ujarnya pada Alarick. Bibir pucatnya berusaha tersenyum. Namun sebelum hal itu terjadi perkataan Alarick menohok hatinya dan dia mengurungkan niatnya untuk tersenyum pada pria itu.
“Kau bisa pergi jika sudah selesai.” Kalimat singkat yang berhasil menohok hati Nerissa. Tanpa menjawab, Nerissa segara turun dari ranjang yang mungkin itu milik Alarick.
“Terima kasih sekali lagi.” Walaupun dia kecewa dengan perkataan Alarick, tapi Nerissa bukan tipe orang yang tak tahu terima kasih karena dia tahu bagaimana rasanya tidak dihargai.
Alarick memperhatikan punggung lesu Nerissa yang perlahan hilang dari pandangannya. Alarick menghela napas sebelum kemudian mengganti seprai dengan yang baru.
“Haleth akan marah jika dia tahu aku membawa wanita ke sini,” ujarnya lebih pada dirinya sendiri. Setelah selesai dengan kegiatannya Alarick merogoh sakunya saat dirasa ponselnya bergetar.
Nomor kekasihnya yang tertera di layar ponsel. Dengan segera dia mengangkat panggilan itu sebelum orang di sebrang sana mengamuk karena lama mengangkatnya.
“Sayang, jemput aku di mal xxx sekarang jangan lama,” ucap gadis itu manja. Alarick menghela napasnya kasar sesaat setelah sambungan diputuskan sepihak.
“Tak bisakah aku istirahat sebentar saja?” ucapnya. Walau begitu dia mulai mengambil kunci mobilnya dan segera melangkahkan kakinya keluar menuju mal yang disebutkan Haleth tadi.
Alarick berpikir beberapa kali setelah Haleth bertanya demikian.“Kau tak memiliki perasaan lebih padanya, kan?” Pertanyaan itu terus saja berputar-putar di kepalanya.Kini mereka telah sampai di apartemen Haleth dan sejak percakapan tadi di mobil, mereka tak lagi mengeluarkan suara sedikitpun. Keadaan menjadi sangat canggung di antara mereka.“Terima kasih telah mengantarku,” ucap Haleth. Alarick menoleh seolah terkejut dengan perkataan Haleth yang tiba-tiba.“Ah iya sama-sama. Kalau begitu aku tak akan lama, masih ada pekerjaan yang belum aku selesaikan. Lain kali aku akan datang,” ujar Alarick. Pria itu menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali.Haleth mengangguk mengijinkan Alarick untuk pergi dari sana. “Hmm baiklah, hati-hati di jalan.” Haleth melambaikan tangannya pada Alarick dan dibalas dengan lambaian pula oleh Alarick.Alarick kembali ke parkiran dengan berbaga
Nerissa tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya.“Menurutmu, apakah aku bisa bertahan sampai akhir?” tanya Nerissa. Kedua gadis itu mulai mendudukan dirinya di sofa yang tersedia di sana.“Apa? Dengan suamimu?” tanya Lovetta memastikan.Nerissa mengangguk lesu pertanda lagi-lagi ada masalah yang menimpanya.“Apa lagi yang dilakukan suamimu kali ini?” Melihat raut wajah Nerissa cukup membuat Lovetta yakin bahwa suaminya berulah lagi.“Pagi ini aku melihatnya tersenyum,” ujarnya. Lovetta mengerutkan dahinya.“Lalu di bagian mana kesalahan suamimu?” tanya Lovetta heran.“Tak biasanya dia tersenyum selebar itu. Kau tahu apa jawabannya saat aku bertanya?”“Apa?”“Dia bilang, dia sedang membaca sebuah berita online di ponselnya. Lalu bagian berita yang mana yang berhasil membuatnya tersenyum selebar itu?” Nerissa menyandarkan ba
Semesta seakan tak rela melihat kebahagiaan Nerissa. Baru saja beberapa hari lalu sikap Alarick sedikit menghangat padanya, kini pria itu terasa kembali berbeda.Sejak matahari muncul pagi ini, pria itu terus saja sibuk dengan ponselnya. Telepon yang masuk setiap satu jam sekali dan jangan lupakan notifikasi pesan yang seakan tak ada hentinya.“Ada apa sebenarnya dengan ponselmu?” tanya Nerissa geram. Dia bahkan tak kunjung menyentuh makanannya karena notifikasi sialan itu.“Bukan apa-apa. Hanya notifikasi berita saja,” jawab Alarick.“Sejak kapan kau gemar membaca berita di ponselmu dan dengan senyum mengembang itu?” sindir Nerissa. Kalian tahu sudah berapa lama Nerissa mengagumi Alarick. Gadis itu juga tahu dengan pasti apa saja kebiasaan suaminya ini dan membaca berita online bukanlah tipe suaminya.Entah sadar atau tidak, Alarick memudarkan senyumannya. Pria itu juga baru menyadari jika dia tersenyum beberapa
Setelah hari di mana Alarick membawa Nerissa ke rumah sakit, kini hati Nerissa benar-benar tak tenang. Dia takut Alarick akan mengetahui semuanya. Kalimat yang dia tulis dalam novelnya benar-benar hancur karena pikirannya yang bercabang. “Nerissa aku mau mandi.” Ucapan seseorang membangunkan Nerissa dari lamunannya. Nerissa menatap suaminya yang baru saja pulang kerja. “Ah iya, sebentar akan aku siapkan air hangat.” Nerissa beranjak dari kursi kerjanya. Ya, beberapa hari lalu Alarick menyiapkan sebuah meja kerja khusus Nerissa. Nerissa sudah menolak, namun Alarick tetap mamaksa hingga akhirnya meja itu berada di kamarnya dengan Alarick. Beruntunglah kamar mereka luas, jadi masih banyak ruang yang tersisa di sana. Alarick memang ahli dalam berbenah, namun semenjak ada Nerissa, apartemennya terlihat lebih bersih dan tertata. Alarick memuji kemampuan Nerissa dalam hal berumah tangga. “Sudah selesai.” Nerissa kembali ke kamar setelah seles
“Maafkan aku, aku terpaksa melakukannya. Kau tahu jika aku mengatakan yang sebenarnya apa yang akan terjadi,” bujuk Alarick sambil berjalan menjauh dari sana. Dia khawatir Nerissa akan mendengar apa yang dia bicarakan. Pria jangkung itu memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Terdengar helaan napas dari seberang sana. “Baiklah, aku akan tutup teleponnya,” ucap Haleth. Sebenarnya dia tak terlalu keberatan Alarick memanggilnya apa, namun dia merasa harus melakukan itu agar Alarick percaya bahwa dirinya masih menyayangi Alarick. Alarick menjauhkan ponselnya dari telinga. “Siapa?” tanya Nerissa. Alarick sedikit terlonjak dengan kedatangan Nerissa yang tiba-tiba. “Bukan siapa-siapa, hanya rekan bisnis,” ucapnya. Sebenarnya dia bisa saja memberitahu Nerissa bahwa dirinya masih berhubungan dengan Haleth, hanya saja dia takut gadis itu akan mengadu kepada Ayahnya. Nerissa mengangguk paham. “Kau akan pulang sekarang?” tanya Neris
Setelah berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, Nerissa mulai menghubungi satu persatu kontak yang diberikan Lovetta. Dia memang tak berharap banyak pada cara ini, namun tak salah juga jika dia mencoba. Nerissa tak mau mengambil resiko jati dirinya diketahui oleh orang-orang media, maka dari itu dia memakai nomor ponsel lama yang sudah jarang dia pakai. Dia juga tak menelpon tetapi mengirimkan sebuah pesan. Seperti yang kalian tahu jika Nerissa adalah seorang penulis, maka pesan yang dia kirim juga merupakan rangkaian kata yang sepertinya cukup meyakinkan untuk menghentikan skandal Alarick. “Satu persatu sudah selesai,” ucap Nerissa. Memang membutuhkan waktu lama, namun dengan sabar Nerissa mengurusnya satu persatu. “Sayangnya aku gagal meyakinkan stasiun berita yang sangat berpengaruh di Negeri ini,” lirihnya. Sepertinya untuk yang pertama kalinya dia tak bisa membantu Alarick menyelesaikan masalahnya. Nerissa kembali memutar ota
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments