Setelah keberangkatan Alarick ke kantornya, Nerissa tak membuang-buang waktu. Gadis itu segera bersiap-siap untuk pergi ke sebuah mini market. Keadaan lemari es yang begitu kosong membuat Nerissa berinisiatif untuk membeli beberapa bahan makanan.
Tak banyak yang akan gadis itu beli. Langkahnya terhenti di sebuah rak sayuran. Tangan mungilnya bergerak dengan lincah memilih sayuran yang hendak dibelinya. Tak hanya itu, Nerissa juga ingin membeli beberapa daging dan telur.
Walaupun makanan instan lebih menggiurkan, namun dia tahu jika itu tak baik untuk kesehatannya begitu pula dengan kesehatan Alarick.
Nerissa memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan sesaat setelah kasir memberitahu total belanjaannya.
“Apakah siang ini harus memasak?” monolognya dalam perjalanan pulang. Sebenarnya memasak bukan hal yang sulit, namun dia tak tahu apakah Alarick akan pulang siang ini atau tidak.
Sesampainya di rumah, Nerissa bergegas menuju dapur dan membereskan bahan makanan yang baru dia beli. Tak lupa dia membuang beberapa sayur yang telah kering dalam lemari es.
Nerissa memutuskan untuk tak masak karena sepertinya Alarick tak akan pulang di siang hari. Gadis itu pergi mengambil laptopnya dan melanjutkan pekerjaan yang sepertinya cukup lama dia tinggalkan.
Menjadi seorang penulis yang berhasil dan terkenal seperti saat ini bukan perjalanan mudah bagi Nerissa. Dia harus melewati berbagai macam rintangan dan penolakan dari perusahaan penerbit. Tak jarang pula dia merevisi naskahnya agar menjadi lebih baik.
Namun perjuangan yang dia lakukan memang tak sia-sia. Dalam hal ini semesta masih mengijinkan Nerissa untuk menikmatinya. Dia juga tak pernah kekurangan uang semenjak bekerja dalam dunia kepenulisan ini.
Entah karena dia terlalu fokus atau karena dia melamun, Nerissa terlonjak saat mendengar ketukan pintu. Kepalanya menoleh ke arah pintu sebelum akhirnya dia beranjak dari duduknya. Sebenarnya agak ragu untuk membuka pintu, dia takut tamu itu untuk Alarick namun dengan terpaksa Nerissa menarik knop pintu hingga terlihat sosok yang ada di hadapannya.
“Hai?” ucap pria itu. Perlahan senyum Nerissa mengembang dan helaan nafas lega terdengar setelahnya.
“Apakah aku sungguh menakutkan?” Wajah polos pria itu benar-benar membuat Nerissa jengkel, namun dia tahu wajah polos itu hanya dibuat-buat untuk sekedar mengejeknya.
“Ya, sangat menakutkan hingga membuatku hampir kehilangan napas. Masuklah.” Keduanya terkekeh sembari berjalan ke dalam apartemen.
“Kenapa begitu sepi? Ke mana suamimu?” Pria itu mendudukan bokongnya di sofa, matanya berputar mengitari ruangan mencari seseorang.
“Kau lupa ini hari apa? Lagi pula kenapa kau tak kerja?” Nerissa menyodorkan segelas air putih di hadapan pria tampan itu.
“Justru aku ke sini karena ingin pamit untuk kembali bekerja di luar kota, ayah bilang aku harus pamit padamu.” Dengan percakapan ini kalian pasti tahu siapa pria ini.
“Padahal kau bisa menghubungiku lewat telepon tanpa harus repot ke sini.” Ya, pria itu Jason. Saudara Nerissa.
“Sudahlah, lagi pula saat ini aku sudah ada di sini. Jadi, apa kau punya makanan? Aku sangat lapar.” Nerissa merotasikan bola matanya. Sedewasa apapun kakaknya ini tetap saja akan bersikap seperti ini jika sedang bersama Nerissa.
“Tunggu sebentar.” Niat awal Nerissa untuk tidak memasak ternyata salah, buktinya saat ini dia harus berkutat dengan peralatan dapur demi menyiapkan sebuah makanan untuk kakaknya.
“Ada yang bisa aku bantu?”
“Tak usah, terakhir kali kau hampir membakar apartemenku saat kau membantuku memasak. Jadi alangkah baiknya sekarang kau duduk manis dan menunggu makananmu siap, oke?” Jason tersenyum menampilkan deretan giginya.
“Itu dulu, mungkin sekarang jika aku membantumu hanya akan menghancurkan dapurnya saja.” Jason terkekeh melihat respon adiknya yang terlihat jengah.
***
Mentari telah kembali ke peraduannya. Secangkir teh hijau menemani Nerissa menunggu datangnya sang tuan rumah. Tak membutuhkan waktu lama, pintu terbuka menandakan orang yang dia tunggu telah tiba.
“Sudah pulang? Mandi lah, aku sudah siapkan air hangat setelah itu makan.” Nerissa beranjak dari tempatnya untuk memanaskan makanan.
Alarick sendiri berjalan menuju kamar dengan tangannya yang sibuk membuka dasi di lehernya. Seperti yang diminta Nerissa tadi, dia segera membersihkan badannya kemudian berlajan mendekati meja makan.
“Untuk apa kau memasak sebanyak ini?” tanyanya pada Nerissa setelah dia melihat begitu banyak makanan di meja makan.
“Sebenarnya sore ini aku hanya memasak ini, dan ini.” Jari telunjuk Nerissa menunjuk dua menu makanan yang memang baru dia masak sore ini.
“Sementara yang lain aku memasaknya siang tadi, kakakku mampir,” lanjutnya. Alarick mengangguk, dia mengeluarkan sebuah kartu dan diserahkannya pada Nerissa.
“Apa ini?” Gadis itu bertanya dengan tangan yang terulur untuk mengambil kartu yang diberikan Alarick.
“Uang bulanan, aku akan transfer setiap bulan.”
“Sebenarnya uangku masih cukup.” Bukannya meremehkan pemberian Alarick, hanya saja dia memang masih bisa membeli kebutuhan rumah tangga dengan uangnya sendiri.
“Itu terserah padamu, yang ini aku akan tetap berikan padamu.” Akhirnya Nerissa mengangguk mendengar penuturan Alarick.
“Makanlah,” ucap Nerissa. Suasana seperti ini memang asing bagi Nerissa maupun Alarick karena mereka terbiasa menyiapkan segala sesuatu sendiri.
***
Suasana di kamar tidur terlihat begitu canggung padahal semalam mereka bisa tidur dengan nyenyak.
“Jangan dulu tidur, ada yang ingin aku bicarakan padamu.” Nerissa yang telah membaringkan badannya sontak bangkit kembali.
“Ada apa?” Raut bingung Nerissa cukup membuat Alarick kehilangan fokusnya untuk sesaat.
“Perjanjian. Aku ingin sebuah perjanjian dalam pernikahan kita.” Dan dimulailah penderitaan Nerissa. Di sini dia harus siap dengan keputusan apapun yang diinginkan Alarick walaupun mungkin dia bisa menolak beberapa.
“Baiklah, katakan.” Nerissa berusaha menahan getaran dalam suaranya. Dia juga menelan ludahnya dengan susah payah, mungkin karena terlalu gugup.
“Aku tahu kau juga tak menginginkan pernikahan ini,” ucap Alarick.
“Aku menginginkannya” tentu saja Nerissa tak menjawabnya dengan keras. Dia hanya mengucapkannya dalam hati.
“Dan kau juga tahu jika aku sudah memiliki kekasih. Salah satu keinginan terbesarku adalah menikahinya, namun karena adanya perjodohan ini semua hangus begitu saja.” Alarick menghela nafasnya berat.
“Aku tahu. Jadi kau mau apa?” Nerissa berusaha mati-matian untuk menghalau air matanya. Dia tak bisa menangis begitu saja di depan Alarick, apalagi mereka sedang membahas Haleth yang notabenenya kekasih Alarick.
Suasana terasa lebih hening untuk sesaat. Nerissa tak menyukainya karena rasa gugupnya semakin bertambah. Alarick menatap dalam netranya, begitu serius hingga Nerissa mengalihkan pandangannya agar tidak beradu tatap dengan Alarick.
Entah karena berat atau apa, Alarick menyugar rambutnya bersamaan dengan helaan nafas yang terdengar begitu berat.
“Aku ingin—” belum sempat Alarick mengutarakan keinginannya, suara dering telepon berhasil mengalihkan perhatiannya. Dia juga semakin bersemangat saat melihat siapa orang yang menghubunginya di malam hari.
Alarick berpikir beberapa kali setelah Haleth bertanya demikian.“Kau tak memiliki perasaan lebih padanya, kan?” Pertanyaan itu terus saja berputar-putar di kepalanya.Kini mereka telah sampai di apartemen Haleth dan sejak percakapan tadi di mobil, mereka tak lagi mengeluarkan suara sedikitpun. Keadaan menjadi sangat canggung di antara mereka.“Terima kasih telah mengantarku,” ucap Haleth. Alarick menoleh seolah terkejut dengan perkataan Haleth yang tiba-tiba.“Ah iya sama-sama. Kalau begitu aku tak akan lama, masih ada pekerjaan yang belum aku selesaikan. Lain kali aku akan datang,” ujar Alarick. Pria itu menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali.Haleth mengangguk mengijinkan Alarick untuk pergi dari sana. “Hmm baiklah, hati-hati di jalan.” Haleth melambaikan tangannya pada Alarick dan dibalas dengan lambaian pula oleh Alarick.Alarick kembali ke parkiran dengan berbaga
Nerissa tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya.“Menurutmu, apakah aku bisa bertahan sampai akhir?” tanya Nerissa. Kedua gadis itu mulai mendudukan dirinya di sofa yang tersedia di sana.“Apa? Dengan suamimu?” tanya Lovetta memastikan.Nerissa mengangguk lesu pertanda lagi-lagi ada masalah yang menimpanya.“Apa lagi yang dilakukan suamimu kali ini?” Melihat raut wajah Nerissa cukup membuat Lovetta yakin bahwa suaminya berulah lagi.“Pagi ini aku melihatnya tersenyum,” ujarnya. Lovetta mengerutkan dahinya.“Lalu di bagian mana kesalahan suamimu?” tanya Lovetta heran.“Tak biasanya dia tersenyum selebar itu. Kau tahu apa jawabannya saat aku bertanya?”“Apa?”“Dia bilang, dia sedang membaca sebuah berita online di ponselnya. Lalu bagian berita yang mana yang berhasil membuatnya tersenyum selebar itu?” Nerissa menyandarkan ba
Semesta seakan tak rela melihat kebahagiaan Nerissa. Baru saja beberapa hari lalu sikap Alarick sedikit menghangat padanya, kini pria itu terasa kembali berbeda.Sejak matahari muncul pagi ini, pria itu terus saja sibuk dengan ponselnya. Telepon yang masuk setiap satu jam sekali dan jangan lupakan notifikasi pesan yang seakan tak ada hentinya.“Ada apa sebenarnya dengan ponselmu?” tanya Nerissa geram. Dia bahkan tak kunjung menyentuh makanannya karena notifikasi sialan itu.“Bukan apa-apa. Hanya notifikasi berita saja,” jawab Alarick.“Sejak kapan kau gemar membaca berita di ponselmu dan dengan senyum mengembang itu?” sindir Nerissa. Kalian tahu sudah berapa lama Nerissa mengagumi Alarick. Gadis itu juga tahu dengan pasti apa saja kebiasaan suaminya ini dan membaca berita online bukanlah tipe suaminya.Entah sadar atau tidak, Alarick memudarkan senyumannya. Pria itu juga baru menyadari jika dia tersenyum beberapa
Setelah hari di mana Alarick membawa Nerissa ke rumah sakit, kini hati Nerissa benar-benar tak tenang. Dia takut Alarick akan mengetahui semuanya. Kalimat yang dia tulis dalam novelnya benar-benar hancur karena pikirannya yang bercabang. “Nerissa aku mau mandi.” Ucapan seseorang membangunkan Nerissa dari lamunannya. Nerissa menatap suaminya yang baru saja pulang kerja. “Ah iya, sebentar akan aku siapkan air hangat.” Nerissa beranjak dari kursi kerjanya. Ya, beberapa hari lalu Alarick menyiapkan sebuah meja kerja khusus Nerissa. Nerissa sudah menolak, namun Alarick tetap mamaksa hingga akhirnya meja itu berada di kamarnya dengan Alarick. Beruntunglah kamar mereka luas, jadi masih banyak ruang yang tersisa di sana. Alarick memang ahli dalam berbenah, namun semenjak ada Nerissa, apartemennya terlihat lebih bersih dan tertata. Alarick memuji kemampuan Nerissa dalam hal berumah tangga. “Sudah selesai.” Nerissa kembali ke kamar setelah seles
“Maafkan aku, aku terpaksa melakukannya. Kau tahu jika aku mengatakan yang sebenarnya apa yang akan terjadi,” bujuk Alarick sambil berjalan menjauh dari sana. Dia khawatir Nerissa akan mendengar apa yang dia bicarakan. Pria jangkung itu memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Terdengar helaan napas dari seberang sana. “Baiklah, aku akan tutup teleponnya,” ucap Haleth. Sebenarnya dia tak terlalu keberatan Alarick memanggilnya apa, namun dia merasa harus melakukan itu agar Alarick percaya bahwa dirinya masih menyayangi Alarick. Alarick menjauhkan ponselnya dari telinga. “Siapa?” tanya Nerissa. Alarick sedikit terlonjak dengan kedatangan Nerissa yang tiba-tiba. “Bukan siapa-siapa, hanya rekan bisnis,” ucapnya. Sebenarnya dia bisa saja memberitahu Nerissa bahwa dirinya masih berhubungan dengan Haleth, hanya saja dia takut gadis itu akan mengadu kepada Ayahnya. Nerissa mengangguk paham. “Kau akan pulang sekarang?” tanya Neris
Setelah berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, Nerissa mulai menghubungi satu persatu kontak yang diberikan Lovetta. Dia memang tak berharap banyak pada cara ini, namun tak salah juga jika dia mencoba. Nerissa tak mau mengambil resiko jati dirinya diketahui oleh orang-orang media, maka dari itu dia memakai nomor ponsel lama yang sudah jarang dia pakai. Dia juga tak menelpon tetapi mengirimkan sebuah pesan. Seperti yang kalian tahu jika Nerissa adalah seorang penulis, maka pesan yang dia kirim juga merupakan rangkaian kata yang sepertinya cukup meyakinkan untuk menghentikan skandal Alarick. “Satu persatu sudah selesai,” ucap Nerissa. Memang membutuhkan waktu lama, namun dengan sabar Nerissa mengurusnya satu persatu. “Sayangnya aku gagal meyakinkan stasiun berita yang sangat berpengaruh di Negeri ini,” lirihnya. Sepertinya untuk yang pertama kalinya dia tak bisa membantu Alarick menyelesaikan masalahnya. Nerissa kembali memutar ota