Share

Alarick Part 11

Setelah keberangkatan Alarick ke kantornya, Nerissa tak membuang-buang waktu. Gadis itu segera bersiap-siap untuk pergi ke sebuah mini market. Keadaan lemari es yang begitu kosong membuat Nerissa berinisiatif untuk membeli beberapa bahan makanan.

Tak banyak yang akan gadis itu beli. Langkahnya terhenti di sebuah rak sayuran. Tangan mungilnya bergerak dengan lincah memilih sayuran yang hendak dibelinya. Tak hanya itu, Nerissa juga ingin membeli beberapa daging dan telur.

Walaupun makanan instan lebih menggiurkan, namun dia tahu jika itu tak baik untuk kesehatannya begitu pula dengan kesehatan Alarick.

Nerissa memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan sesaat setelah kasir memberitahu total belanjaannya.

“Apakah siang ini harus memasak?” monolognya dalam perjalanan pulang. Sebenarnya memasak bukan hal yang sulit, namun dia tak tahu apakah Alarick akan pulang siang ini atau tidak.

Sesampainya di rumah, Nerissa bergegas menuju dapur dan membereskan bahan makanan yang baru dia beli. Tak lupa dia membuang beberapa sayur yang telah kering dalam lemari es.

Nerissa memutuskan untuk tak masak karena sepertinya Alarick tak akan pulang di siang hari. Gadis itu pergi mengambil laptopnya dan melanjutkan pekerjaan yang sepertinya cukup lama dia tinggalkan.

Menjadi seorang penulis yang berhasil dan terkenal seperti saat ini bukan perjalanan mudah bagi Nerissa. Dia harus melewati berbagai macam rintangan dan penolakan dari perusahaan penerbit. Tak jarang pula dia merevisi naskahnya agar menjadi lebih baik.

Namun perjuangan yang dia lakukan memang tak sia-sia. Dalam hal ini semesta masih mengijinkan Nerissa untuk menikmatinya. Dia juga tak pernah kekurangan uang semenjak bekerja dalam dunia kepenulisan ini.

Entah karena dia terlalu fokus atau karena dia melamun, Nerissa terlonjak saat mendengar ketukan pintu. Kepalanya menoleh ke arah pintu sebelum akhirnya dia beranjak dari duduknya. Sebenarnya agak ragu untuk membuka pintu, dia takut tamu itu untuk Alarick namun dengan terpaksa Nerissa menarik knop pintu hingga terlihat sosok yang ada di hadapannya.

“Hai?” ucap pria itu. Perlahan senyum Nerissa mengembang dan helaan nafas lega terdengar setelahnya.

“Apakah aku sungguh menakutkan?” Wajah polos pria itu benar-benar membuat Nerissa jengkel, namun dia tahu wajah polos itu hanya dibuat-buat untuk sekedar mengejeknya.

“Ya, sangat menakutkan hingga membuatku hampir kehilangan napas. Masuklah.” Keduanya terkekeh sembari berjalan ke dalam apartemen.

“Kenapa begitu sepi? Ke mana suamimu?” Pria itu mendudukan bokongnya di sofa, matanya berputar mengitari ruangan mencari seseorang.

“Kau lupa ini hari apa? Lagi pula kenapa kau tak kerja?” Nerissa menyodorkan segelas air putih di hadapan pria tampan itu.

“Justru aku ke sini karena ingin pamit untuk kembali bekerja di luar kota, ayah bilang aku harus pamit padamu.” Dengan percakapan ini kalian pasti tahu siapa pria ini.

“Padahal kau bisa menghubungiku lewat telepon tanpa harus repot ke sini.” Ya, pria itu Jason. Saudara Nerissa.

“Sudahlah, lagi pula saat ini aku sudah ada di sini. Jadi, apa kau punya makanan? Aku sangat lapar.” Nerissa merotasikan bola matanya. Sedewasa apapun kakaknya ini tetap saja akan bersikap seperti ini jika sedang bersama Nerissa.

“Tunggu sebentar.” Niat awal Nerissa untuk tidak memasak ternyata salah, buktinya saat ini dia harus berkutat dengan peralatan dapur demi menyiapkan sebuah makanan untuk kakaknya.

“Ada yang bisa aku bantu?”

“Tak usah, terakhir kali kau hampir membakar apartemenku saat kau membantuku memasak. Jadi alangkah baiknya sekarang kau duduk manis dan menunggu makananmu siap, oke?” Jason tersenyum menampilkan deretan giginya.

“Itu dulu, mungkin sekarang jika aku membantumu hanya akan menghancurkan dapurnya saja.” Jason terkekeh melihat respon adiknya yang terlihat jengah.

***

Mentari telah kembali ke peraduannya. Secangkir teh hijau menemani Nerissa menunggu datangnya sang tuan rumah. Tak membutuhkan waktu lama, pintu terbuka menandakan orang yang dia tunggu telah tiba.

“Sudah pulang? Mandi lah, aku sudah siapkan air hangat setelah itu makan.” Nerissa beranjak dari tempatnya untuk memanaskan makanan.

Alarick sendiri berjalan menuju kamar dengan tangannya yang sibuk membuka dasi di lehernya. Seperti yang diminta Nerissa tadi, dia segera membersihkan badannya kemudian berlajan mendekati meja makan.

“Untuk apa kau memasak sebanyak ini?” tanyanya pada Nerissa setelah dia melihat begitu banyak makanan di meja makan.

“Sebenarnya sore ini aku hanya memasak ini, dan ini.” Jari telunjuk Nerissa menunjuk dua menu makanan yang memang baru dia masak sore ini.

“Sementara yang lain aku memasaknya siang tadi, kakakku mampir,” lanjutnya. Alarick mengangguk, dia mengeluarkan sebuah kartu dan diserahkannya pada Nerissa.

“Apa ini?” Gadis itu bertanya dengan tangan yang terulur untuk mengambil kartu yang diberikan Alarick.

“Uang bulanan, aku akan transfer setiap bulan.”

“Sebenarnya uangku masih cukup.” Bukannya meremehkan pemberian Alarick, hanya saja dia memang masih bisa membeli kebutuhan rumah tangga dengan uangnya sendiri.

“Itu terserah padamu, yang ini aku akan tetap berikan padamu.” Akhirnya Nerissa mengangguk mendengar penuturan Alarick.

“Makanlah,” ucap Nerissa. Suasana seperti ini memang asing bagi Nerissa maupun Alarick karena mereka terbiasa menyiapkan segala sesuatu sendiri.

***

Suasana di kamar tidur terlihat begitu canggung padahal semalam mereka bisa tidur dengan nyenyak.

“Jangan dulu tidur, ada yang ingin aku bicarakan padamu.” Nerissa yang telah membaringkan badannya sontak bangkit kembali.

“Ada apa?” Raut bingung Nerissa cukup membuat Alarick kehilangan fokusnya untuk sesaat.

“Perjanjian. Aku ingin sebuah perjanjian dalam pernikahan kita.” Dan dimulailah penderitaan Nerissa. Di sini dia harus siap dengan keputusan apapun yang diinginkan Alarick walaupun mungkin dia bisa menolak beberapa.

“Baiklah, katakan.” Nerissa  berusaha menahan getaran dalam suaranya. Dia juga menelan ludahnya dengan susah payah, mungkin karena terlalu gugup.

“Aku tahu kau juga tak menginginkan pernikahan ini,” ucap Alarick.

Aku menginginkannya tentu saja Nerissa tak menjawabnya dengan keras. Dia hanya mengucapkannya dalam hati.

“Dan kau juga tahu jika aku sudah memiliki kekasih. Salah satu keinginan terbesarku adalah menikahinya, namun karena adanya perjodohan ini semua hangus begitu saja.” Alarick menghela nafasnya berat.

“Aku tahu.  Jadi kau mau apa?” Nerissa berusaha mati-matian untuk menghalau air matanya. Dia tak bisa menangis begitu saja di depan Alarick, apalagi mereka sedang membahas Haleth yang notabenenya kekasih Alarick.

Suasana terasa lebih hening untuk sesaat. Nerissa tak menyukainya karena rasa gugupnya semakin bertambah.  Alarick menatap dalam netranya, begitu serius hingga Nerissa mengalihkan pandangannya agar tidak beradu tatap dengan Alarick.

Entah karena berat atau apa, Alarick menyugar rambutnya bersamaan dengan helaan nafas yang terdengar begitu berat.

“Aku ingin—” belum sempat Alarick mengutarakan keinginannya, suara dering telepon berhasil mengalihkan perhatiannya. Dia juga semakin bersemangat saat melihat siapa orang yang menghubunginya di malam hari.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status