Share

Alarick Part 13

Luciver dibuat bingung dengan pertanyaan satu hari lalu. Dia benar-benar tak menjawab pertanyaan sahabatnya kala itu. Jauh di lubuk hati Luciver sebenarnya pria itu tidak setuju dengan tindakan Alarick saat ini.

Jika Alarick mencintai Haleth, harusnya dulu dia memperjuangkannya sebelum Alarick dan Nerissa mengucap janji untuk bersama hingga ajal yang memisahkan, bukannya mengejar Haleth disaat dia sudah berstatus sebagai suami Nerissa.

Luciver dan Alarick berteman sudah sangat lama, memang tak bisa dipungkiri jika mereka bukan pria baik-baik. Mereka sering menghabiskan waktu di sebuah club dengan wanita-wanita berpakaian mini di sekelilingnya, namun bukan berarti Alarick juga bisa mempermainkan sebuah pernikahan yang sifatnya sakral. Kali ini Luciver benar-benar tak setuju dengan apa yang dilakukan Alarick, namun dia tak bisa melawan sifat keras kepala Alarick, pria itu tetap pergi menemui Haleth di Prancis.

“Apa kau sudah menyelesaikan desain yang dipesan dua hari lalu?” tanya Luciver pada karyawan bagian desain itu. Bukannya tak mempercayai karyawannya, dia hanya memastikan jika setiap karyawan bekerja dengan baik.

“Masih belum, Tuan,” jawab karyawan itu.

“Aku harap kau menyelesaikannya hari ini.” Tanpa menunggu jawaban dari karyawannya Luciver melenggang meninggalkan tempatnya semula. Pria itu menuju kafetaria di kantornya. Tangannya merogoh benda persegi yang ada di saku kanan celananya.

Tanpa menunggu lama, pria itu menekan nomor Alarick.

“Kau sudah tiba?” tanyanya setelah panggilan telepon diterima oleh Alarick.

“Baru saja, aku masih ada di bandara.  Ada apa?” tanya Alarick penasaran.

“Bukan apa-apa. Cepatlah pulang jika sudah selesai dengan urusanmu, aku tak mau semuanya menjadi runyam.” Di seberang sana Alarick mengerutkan dahinya.

“Apa maksudmu dengan kata runyam?” tanyanya lagi.

“Kau tahu apa maksudku, aku telah mengatakannya sebelum kau berangkat ke sana. Berhati-hatilah, jangan sampai ada media yang melihatmu, bagaimanapun seluruh dunia tahu padamu,” ujar Luciver. Pria itu benar-benar khawatir dengan keadaan saat ini. Entah mengapa hatinya menjadi tidak tenang semenjak kepergian Alarick.

“Aku mengerti, aku tutup.” Alarick menutup teleponnya sebelah pihak. Dia benar-benar tak ingin khawatir dengan hal itu saat ini, bahkan berbagai macam usaha telah dia lakukan agar orang-orang tak mengenalinya. Dengan outfit yang bisa dikatakan sangat tertutup Alarick berjalan keluar dari bandara. Sesekali pria itu membuka masker yang dia kenakan karena merasa pengap.

Haleth telah mengirimkan alamatnya, kini Alarick hanya perlu menuju ke alamat itu, Annecy. Kota yang terletak di Perancis tenggara ini terlihat begitu indah. Apalagi posisi kota yang terletak diantara danau dan pegunungan sungguh menambah kesan alami.

Setelah sampai di alamat tujuannya, kakinya terus melangkah memasuki hotel yang kini ada di hadapannya. Tak hanya itu, gadis yang selama ini dia rindukan juga sudah menunggunya. Gadis cantik itu berlari menghampiri Alarick dan langsung menubruk tubuh Alarick begitu saja. Dengan sigap Alarick menangkap tubuh kecil itu dan memeluknya erat.

“Aku benar-benar sangat merindukanmu,” lirihnya. Alarick tak kuasa menahan air matanya. Kini pipinya sudah basah karena air mata yang mengalir begitu saja.

Sementara gadis yang saat ini ada dalam pelukan Alarick terlihat begitu biasa saja. Bahkan dia tak menjawab perkataan Alarick. Dia hanya menganggukkan kepalanya untuk merespon Alarick.

Perlahan pelukan itu terlepas. Alarick dengan cepat menghapus jejak air matanya.

“Bagaimana bisa kau pergi ke tempat seindah ini sendiri,” goda Alarick.

“Kau ada di sini sekarang, jadi aku tak lagi sendiri.” Gadis itu terkekeh. Tangan mungilnya dengan lembut menggenggam tangan besar Alarick mengajaknya masuk ke kamar hotel.

Alarick menjatuhkan badannya di sebuah sofa besar yang ada di sana. Tak lupa dia juga membuka jaket dan segala perlengkapan yang dia gunakan untuk menutupi dirinya.

Sementara Haleth dengan telaten menuangkan cairan merah ke dalam gelas dan memberikannya pada Alarick.

“Minumlah, kau pasti lelah,” ucap Haleth. Perlahan gadis itu juga duduk di samping Alarick lengkap dengan gelas di tangannya. Haleth menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Alarick.

“Hmm, terima kasih.” Tangan Alarick yang bebas mengelus surai indah kekasihnya itu.

“Jadi ... bagaimana pernikahanmu?” tanya Haleth.

“Kau tahu, aku sudah berusaha untuk membatalkan pernikahan ini, tapi aku selalu gagal,” ucapnya. Walaupun kalian tahu sendiri siapa yang paling berperan untuk membatalkan pernikahan mereka.

“Aku menikah dengannya dua hari yang lalu.” Haleth mengerutkan dahinya.

“Bukankah itu agak telat dari rencana awal?” tanyanya lagi. Haleth memang mengetahuinya, namun dia tak menduga jika pernikahan itu ternyata diundur.

“Ya, satu hari sebelum pernikahan, Nerissa mencoba mengakhiri hidupnya. Dia berkata hanya itu yang bisa dia lakukan untuk membatalkan rencana konyol ini, namun dia gagal dan akhirnya pernikahan kita diundur,” jelasnya panjang lebar.

Haleth mengangguk dan terlihat sedikit berpikir.

“Lalu, apa rencanamu setelah ini?”

“Aku hanya akan menjalaninya.” Haleth kembali mengangguk.

“Apa dia tahu jika sekarang kau ke sini bertemu denganku?” tanya Haleth.

“Tidak, dia tidak tahu.” Pikirannya melayang ke masa dimana dia berbicara dengan Nerissa sebelum keberangkatannya ke sini.

“Aku akan pergi ke luar Negeri selama tiga hari. Ada sesuatu yang harus aku urus di sana,” ujar Alarick pada Nerissa kala itu.

“Apakah urusan kerja?” tanyanya.

“Bisa dibilang begitu.” Alarick menatap netra Nerissa.

“Apakah tak bisa jika diwakilkan oleh sekretaris atau karyawanmu?” Helaan napas terdengar dari bibir Alarick.

“Apa kau tak bisa mengijinkanku saja. Oh tunggu, lagi pula aku tak meminta ijin darimu, aku hanya memberitahumu. Kita akhiri di sini, aku akan tetap pergi.” Alarick beranjak dari sana melangkahkan kakinya menuju kamar.

Sedangkan Nerissa menundukkan kepalanya. Dia tahu Alarick berbohong, dia tahu jika suaminya akan menemui Haleth di luar Negeri namun entah di mana. Nerissa menghela napas berat.

“Sampai kapan semua ini akan terjadi?” gumamnya. Tanpa Nerissa sadari, di sana Alarick memperhatikan gerak-gerik Nerissa. Entah apa yang ada dalam hatinya, namun saat ini pria itu merasa sangat gundah.

“Kau mau makan apa?” Pertanyaan Haleth sukses membangunkan lamunan Alarick. Pria itu terperanjat saat Haleth bertanya dengan tiba-tiba.

“Apa saja,” jawabnya.

“Kalau begitu kita makan di luar?” tanya Haleth lagi.

“Oke.” Alarick beranjak untuk mengganti pakaiannya begitupun Haleth. Gadis itu pergi ke kamar mandi sementara Alarick mengganti pakaian di kamar.

Haleth merogoh ponselnya dan mengetik sesuatu di sana.

“Untuk sementara kau carilah kamar baru, hanya untuk beberapa hari saja,” ketiknya.

Tak lama, sebuah balasan datang.

Okay Honey, have fun.” Haleth yang melihat pesan manis dari temannya itu tersenyum sebelum sebuah suara menginterupsinya.

“Haleth, kau sudah selesai?” tanya Alarick dari luar kamar mandi.

“Sebentar lagi,” jawab gadis itu. Tak lama, pintu kamar mandi terbuka dan menampilkan Haleth yang mengenakan pakaian simple.

Mereka berangkat tanpa tujuan, hanya berputar-putar menikmati pemandangan indah di malam hari dan pergi ke sebuah restoran yang tak jauh dari hotel untuk makan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status