Luciver dibuat bingung dengan pertanyaan satu hari lalu. Dia benar-benar tak menjawab pertanyaan sahabatnya kala itu. Jauh di lubuk hati Luciver sebenarnya pria itu tidak setuju dengan tindakan Alarick saat ini.
Jika Alarick mencintai Haleth, harusnya dulu dia memperjuangkannya sebelum Alarick dan Nerissa mengucap janji untuk bersama hingga ajal yang memisahkan, bukannya mengejar Haleth disaat dia sudah berstatus sebagai suami Nerissa.
Luciver dan Alarick berteman sudah sangat lama, memang tak bisa dipungkiri jika mereka bukan pria baik-baik. Mereka sering menghabiskan waktu di sebuah club dengan wanita-wanita berpakaian mini di sekelilingnya, namun bukan berarti Alarick juga bisa mempermainkan sebuah pernikahan yang sifatnya sakral. Kali ini Luciver benar-benar tak setuju dengan apa yang dilakukan Alarick, namun dia tak bisa melawan sifat keras kepala Alarick, pria itu tetap pergi menemui Haleth di Prancis.
“Apa kau sudah menyelesaikan desain yang dipesan dua hari lalu?” tanya Luciver pada karyawan bagian desain itu. Bukannya tak mempercayai karyawannya, dia hanya memastikan jika setiap karyawan bekerja dengan baik.
“Masih belum, Tuan,” jawab karyawan itu.
“Aku harap kau menyelesaikannya hari ini.” Tanpa menunggu jawaban dari karyawannya Luciver melenggang meninggalkan tempatnya semula. Pria itu menuju kafetaria di kantornya. Tangannya merogoh benda persegi yang ada di saku kanan celananya.
Tanpa menunggu lama, pria itu menekan nomor Alarick.
“Kau sudah tiba?” tanyanya setelah panggilan telepon diterima oleh Alarick.
“Baru saja, aku masih ada di bandara. Ada apa?” tanya Alarick penasaran.
“Bukan apa-apa. Cepatlah pulang jika sudah selesai dengan urusanmu, aku tak mau semuanya menjadi runyam.” Di seberang sana Alarick mengerutkan dahinya.
“Apa maksudmu dengan kata runyam?” tanyanya lagi.
“Kau tahu apa maksudku, aku telah mengatakannya sebelum kau berangkat ke sana. Berhati-hatilah, jangan sampai ada media yang melihatmu, bagaimanapun seluruh dunia tahu padamu,” ujar Luciver. Pria itu benar-benar khawatir dengan keadaan saat ini. Entah mengapa hatinya menjadi tidak tenang semenjak kepergian Alarick.
“Aku mengerti, aku tutup.” Alarick menutup teleponnya sebelah pihak. Dia benar-benar tak ingin khawatir dengan hal itu saat ini, bahkan berbagai macam usaha telah dia lakukan agar orang-orang tak mengenalinya. Dengan outfit yang bisa dikatakan sangat tertutup Alarick berjalan keluar dari bandara. Sesekali pria itu membuka masker yang dia kenakan karena merasa pengap.
Haleth telah mengirimkan alamatnya, kini Alarick hanya perlu menuju ke alamat itu, Annecy. Kota yang terletak di Perancis tenggara ini terlihat begitu indah. Apalagi posisi kota yang terletak diantara danau dan pegunungan sungguh menambah kesan alami.
Setelah sampai di alamat tujuannya, kakinya terus melangkah memasuki hotel yang kini ada di hadapannya. Tak hanya itu, gadis yang selama ini dia rindukan juga sudah menunggunya. Gadis cantik itu berlari menghampiri Alarick dan langsung menubruk tubuh Alarick begitu saja. Dengan sigap Alarick menangkap tubuh kecil itu dan memeluknya erat.
“Aku benar-benar sangat merindukanmu,” lirihnya. Alarick tak kuasa menahan air matanya. Kini pipinya sudah basah karena air mata yang mengalir begitu saja.
Sementara gadis yang saat ini ada dalam pelukan Alarick terlihat begitu biasa saja. Bahkan dia tak menjawab perkataan Alarick. Dia hanya menganggukkan kepalanya untuk merespon Alarick.
Perlahan pelukan itu terlepas. Alarick dengan cepat menghapus jejak air matanya.
“Bagaimana bisa kau pergi ke tempat seindah ini sendiri,” goda Alarick.
“Kau ada di sini sekarang, jadi aku tak lagi sendiri.” Gadis itu terkekeh. Tangan mungilnya dengan lembut menggenggam tangan besar Alarick mengajaknya masuk ke kamar hotel.
Alarick menjatuhkan badannya di sebuah sofa besar yang ada di sana. Tak lupa dia juga membuka jaket dan segala perlengkapan yang dia gunakan untuk menutupi dirinya.
Sementara Haleth dengan telaten menuangkan cairan merah ke dalam gelas dan memberikannya pada Alarick.
“Minumlah, kau pasti lelah,” ucap Haleth. Perlahan gadis itu juga duduk di samping Alarick lengkap dengan gelas di tangannya. Haleth menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Alarick.
“Hmm, terima kasih.” Tangan Alarick yang bebas mengelus surai indah kekasihnya itu.
“Jadi ... bagaimana pernikahanmu?” tanya Haleth.
“Kau tahu, aku sudah berusaha untuk membatalkan pernikahan ini, tapi aku selalu gagal,” ucapnya. Walaupun kalian tahu sendiri siapa yang paling berperan untuk membatalkan pernikahan mereka.
“Aku menikah dengannya dua hari yang lalu.” Haleth mengerutkan dahinya.
“Bukankah itu agak telat dari rencana awal?” tanyanya lagi. Haleth memang mengetahuinya, namun dia tak menduga jika pernikahan itu ternyata diundur.
“Ya, satu hari sebelum pernikahan, Nerissa mencoba mengakhiri hidupnya. Dia berkata hanya itu yang bisa dia lakukan untuk membatalkan rencana konyol ini, namun dia gagal dan akhirnya pernikahan kita diundur,” jelasnya panjang lebar.
Haleth mengangguk dan terlihat sedikit berpikir.
“Lalu, apa rencanamu setelah ini?”
“Aku hanya akan menjalaninya.” Haleth kembali mengangguk.
“Apa dia tahu jika sekarang kau ke sini bertemu denganku?” tanya Haleth.
“Tidak, dia tidak tahu.” Pikirannya melayang ke masa dimana dia berbicara dengan Nerissa sebelum keberangkatannya ke sini.
“Aku akan pergi ke luar Negeri selama tiga hari. Ada sesuatu yang harus aku urus di sana,” ujar Alarick pada Nerissa kala itu.
“Apakah urusan kerja?” tanyanya.
“Bisa dibilang begitu.” Alarick menatap netra Nerissa.
“Apakah tak bisa jika diwakilkan oleh sekretaris atau karyawanmu?” Helaan napas terdengar dari bibir Alarick.
“Apa kau tak bisa mengijinkanku saja. Oh tunggu, lagi pula aku tak meminta ijin darimu, aku hanya memberitahumu. Kita akhiri di sini, aku akan tetap pergi.” Alarick beranjak dari sana melangkahkan kakinya menuju kamar.
Sedangkan Nerissa menundukkan kepalanya. Dia tahu Alarick berbohong, dia tahu jika suaminya akan menemui Haleth di luar Negeri namun entah di mana. Nerissa menghela napas berat.
“Sampai kapan semua ini akan terjadi?” gumamnya. Tanpa Nerissa sadari, di sana Alarick memperhatikan gerak-gerik Nerissa. Entah apa yang ada dalam hatinya, namun saat ini pria itu merasa sangat gundah.
“Kau mau makan apa?” Pertanyaan Haleth sukses membangunkan lamunan Alarick. Pria itu terperanjat saat Haleth bertanya dengan tiba-tiba.
“Apa saja,” jawabnya.
“Kalau begitu kita makan di luar?” tanya Haleth lagi.
“Oke.” Alarick beranjak untuk mengganti pakaiannya begitupun Haleth. Gadis itu pergi ke kamar mandi sementara Alarick mengganti pakaian di kamar.
Haleth merogoh ponselnya dan mengetik sesuatu di sana.
“Untuk sementara kau carilah kamar baru, hanya untuk beberapa hari saja,” ketiknya.
Tak lama, sebuah balasan datang.
“Okay Honey, have fun.” Haleth yang melihat pesan manis dari temannya itu tersenyum sebelum sebuah suara menginterupsinya.
“Haleth, kau sudah selesai?” tanya Alarick dari luar kamar mandi.
“Sebentar lagi,” jawab gadis itu. Tak lama, pintu kamar mandi terbuka dan menampilkan Haleth yang mengenakan pakaian simple.
Mereka berangkat tanpa tujuan, hanya berputar-putar menikmati pemandangan indah di malam hari dan pergi ke sebuah restoran yang tak jauh dari hotel untuk makan.
Sudah hari kedua Alarick berada di Annecy, berarti ini hari kedua juga Luciver menggantikan Alarick untuk mengurus perusahaannya.Hari ini adalah jadwal pertemuan Luciver dengan klien, sebenarnya sudah hampir satu bulan klien itu tidak menghubungi pihak kantor lagi, namun entah mengapa dua hari lalu tepatnya satu jam setelah Alarick pergi ke Annecy, kliennya itu meminta bertemu dan mendiskusikan perihal desain yang belum sempat mereka sepakati dulu.Entah sudah berapa menit Luciver mengobrak-abrik isi nakas di ruangan Alarick, namun dia tak kunjung menemukan apa yang dicarinya. Pilihan terakhir Luciver adalah menghubungi pemilik ruangan ini.“Ada apa?” tanya orang dari seberang sana.“Di mana kau menyimpan desain milik klien dua bulan lalu?” Luciver tak tinggal diam, tangannya masih terus mencari-cari desain itu.“Yang mana maksudmu?’’ Seingat Alarick dia tidak pernah menyimpan sebuah desain.“
“Apa yang ingin kau bicarakan?” Pertanyaan itu muncul begitu mereka sampai di ruang Dokter Lee.“Kau kenal dengan pasien yang baru saja aku tangani?” Raquil mengangguk menanggapi pertanyaan dokter muda itu.“Sebenarnya aku bukan orang yang suka membeberkan rahasia orang lain, namun saat ini kasusnya menyangkut hidup dan mati,” ucapnya panjang lebar.“Kebiasaan. Bisakah kau bicara intinya saja, aku sudah bosan setiap hari mendengar ocehanmu.” Ya, mereka berteman cukup lama, hingga tak ada lagi batasan antara mereka.“Oke, gadis itu memiliki penyakit yang aku yakin berhubungan denganmu,” ucapnya yakin.“Apa maksudmu? Kenapa kau membawaku dalam urusan penyakit orang?” Dahi Raquil mengerut. Dia benar-benar tak bisa memprediksi pikiran orang di hadapannya ini.“Bukan, bukan itu maksudku. Dia memiliki penyakit kanker dalam tubuhnya.” Sedetik kemudian Raquil terpera
“Selamat pagi, Nona. Masih ingat padaku?” tanya Raquil dengan nada mengejek. Sementara orang yang ditanya hanya merotasikan matanya pertanda dia kesal dengan penuturan Raquil.“Kenapa kau tahu aku ada di sini?” tanya Nerissa tanpa mengindahkan pertanyaan Raquil sebelumnya.Raquil mendudukan dirinya di kursi samping brankar Nerissa. Pekerjaannya telah usai dan seperti niatnya tadi, dia akan menemui Nerissa setelahnya.“Siapa yang tidak tahu, bahkan kau masuk berita Nasional,” ujarnya. Nerissa yang mendengarnya tidak terlihat terkejut, mungkin karena itu hal yang biasa baginya.“Lagi pula, siapa yang membawaku ke sini?” Bukan sebuah pertanyaan, dia hanya sedang menggerutu pada orang yang telah membawanya ke rumah sakit.“Lalu kau ingin dibawa ke mana jika sedang sakit?” Raquil melepas snelly yang dia kenakan. Sepertinya dia akan sedikit lebih lama di sini untuk meminta penjela
Bukan suatu hal yang aneh jika sebuah perusahaan mengalami kerugian, namun untuk saat ini keadaannya jauh berbeda. Di mana hanya seorang sekretaris yang mengurus lonjakan kerugian ini sementara sang Tuan sama sekali tak ada kabarnya.“Sialan! Apa yang harus aku lakukan?” Luciver mengacak rambutnya saat kliennya itu tetap ingin membatalkan pesanan.Memang tak ada lagi cara selain berkonsultasi dengan Alarick untuk masalah satu ini. Biarlah pria itu merasa bosan dengan panggilan dari Luciver. Luciver mendudukan dirinya dengan tergesa-gesa kemudian meraih ponsel yang tergeletak di meja kerjanya.“Sekarang apa yang kau inginkan?” tanya orang dari seberang sana. Alarick sungguh merasa bosan dengan ponselnya yang selalu berdering dan hanya satu nama yang selalu menghubunginya.“Perusahaan mengalami kerugian, kau tak akan pulang? Haruskah aku menyerahkan masalah ini pada Ayahmu?” tanya Luciver.“Kau gila!? Lalu un
Sesuai dengan yang dikatakan Nerissa, kini gadis itu telah mengganti pakaian rumah sakitnya dengan pakaian biasa. Walaupun dia baru saja membaik, tapi keadaan memaksanya untuk membereskan peralatannya sendiri.Nerissa kira Alarick akan datang menjemputnya setelah dia mengatakan waktu kepulangannya tadi siang, namun hingga saat ini pria itu tak kunjung datang hingga Nerissa memutuskan untuk menelpon Lovetta saja.“Love, kau sudah pulang?” tanya Nerissa sekadar basa-basi.“Ya, baru saja sampai. Belakangan ini aku sangat sibuk hingga tak bisa mengunjungimu,” jawabnya.“Tak apa, aku mengerti. Tapi bisakah saat ini kau menjemputku?” Sebenarnya Nerissa sedikit ragu meminta bantuan pada Lovetta mengingat gadis itu tengah sibuk dengan pekerjaannya.“Ya tentu saja. Tapi, biarkan aku mandi sebentar.” Sementara itu tangan mungil Nerissa masih meraih barang-barangnya untuk dimasukan ke dalam tas.“Ta
“Setidaknya kau bilang padanya, bukannya membiarkan orang berharap atas kedatanganmu!” Emosi Lovetta sudah tak terbendung. Awalnya dia akan membiarkan Nerissa yang mengurus rumah tangganya sendiri. Lovetta tahu dia tidak berhak ikut campur dalam rumah tangga seseorang, tapi sahabat mana yang kuat melihat sahabatnya sendiri diperlakukan seperti itu terlebih oleh suaminya sendiri. “Aku tahu. Bisakah kau pergi dari sini? Aku akan menyelesaikan ini dengan Nerissa,” ucap Alarick. Pria itu terlihat sangat tenang setelah mengabaikan janjinya untuk menjemput Nerissa. Tanpa menjawab, Lovetta mengambil kasar tas selempangnya yang tergeletak di kursi. “Aku pergi, jaga dirimu baik-baik.” Di akhir kalimatnya, Lovetta menatap netra Alarick dengan tajam. Nerissa mengangguk meyakinkan Lovetta bahwa dia akan baik-baik saja. “Kenapa kau tak menghubungiku? Kau ingin menghancurkan namaku?” sarkas Alarick. Mungkin maksudnya adalah, jika publik sampai tahu
Pecakapannya dengan tuan Mauricio satu hari lalu selalu saja terngiang dalam telinganya. Sebenarnya apa yang dipertanyakan tuan Mauricio juga menjadi pertanyaannya.“Apakah keputusan yang tepat, aku menikahkan putriku dengan Alarick?” Tuan Frore termenung sejenak di meja kerjanya.“Bukankah aku sudah mengambil keputusan yang tepat,” lanjutnya.Pikirannya melayang ke masa lalu, di mana putrinya, Nerissa masih mengenakan seragam putih abu yang sangat cocok di badannya.***Gadis dengan rok abu di atas lutut itu berlari memasuki sekolahnya dengan tangannya yang masih setia menggenggam tali tasnya.Nerissa, gadis manis itu terus menyusuri lorong sekolah untuk sampai di kelasnya, namun langkahnya terhenti di depan ruang guru. Nerissa mendekatkan telinganya pada pintu untuk mendengar pembicaraan serius orang yang ada di dalam.“Aku tak bisa membiarkanmu mengikuti turnamen
“Kau? Sedang apa kau di sini?” Seseorang masuk begitu saja ke dalam ruangan Tuan Frore. “A-Aku sedang berbicara dengan Ayahmu,” jawab Alarick. Pria itu sedikit tergagap karena kedatangan istrinya yang tiba-tiba. “Kau sendiri sedang apa di sini?” lanjut Alarick. “Ada sesuatu yang harus aku bicarakan dengan Ayahku.” Nerissa memandang ayahnya angkuh. “Ah, kalian duduklah. Kita bicarakan ini baik-baik,” ucap Tuan Frore. “Aku tak akan berbicara bertiga di sini. Urusanku hanya denganmu bukan Alarick,” sarkas Nerissa. Alarick yang mengerti dengan maksud Nerissa segera beranjak dari sana. “Kalau begitu aku pamit, Ayah,” pamit Alarick pada Tuan Frore. “Baiklah. Kapan-kapan mainlah lagi ke sini,” jawab Tuan Frore. Alarick mengangguk dan segera meninggalkan ruangan tuan Frore. “Apa yang membawamu ke sini?” tanya Tuan Frore setelah memastikan Alarick pergi dari sana. “Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku