Share

Alarick Part 12

“Aku ingin ... ” belum sempat Alarick mengutarakan keinginannya, suara dering telepon berhasil mengalihkan perhatiannya. Dia juga semakin bersemangat saat melihat siapa orang yang menghubunginya di malam hari.

Alarick beranjak dari tempat tidurnya dan meninggalkan Nerissa dengan segala rasa yang ada di hatinya. Dia benar-benar ingin menangis saat ini. Disaat dirinya akan terlelap, Alarick dengan santai menyuruhnya untuk tidak tidur. Sekarang dirinya sudah benar-benar terjaga dan lihatlah apa yang dilakukan Alarick padanya.

Perlahan Nerissa bangkit dari duduknya. Dia mengendap menuju balkon kamarnya, niatnya hanya satu. Ya, menguping pembicaraan Alarick. Dia tahu tidak seharusnya dia melakukan hal ini, namun keinginan untuk mengetahui pembicaraan Alarick saat ini sangat besar.

“Aku baik-baik saja, bagaimana kabarmu di sana?” Raut bahagia di wajah Alarick terlihat begitu ketara. Sudah bisa dipastikan siapa orang yang berbicara di seberang sana hanya dengan melihat raut wajah Alarick.

“Aku juga merindukanmu. Kau tak berpikir untuk pulang saja?” Perkataan Alarick kali ini berhasil membuat butiran bening dari mata Nerissa jatuh begitu saja. Dia sadar jika dirinya bukan siapa-siapa, dia hanya berstatus sebagai istri Alarick bukan pemilik hatinya. Tapi, apakah dia salah jika berharap Alarick bisa menerimanya?

“Baiklah sampai jumpa.” Nerissa segera menghapus kasar air matanya. Kakinya melangkah dengan cepat ke arah ranjang dan mengambil posisi tidur. Dia berharap Alarick tidak menyadari jika dia hanya pura-pura tidur.

Sementara Alarick kembali ke kamarnya dengan wajah yang terlihat sangat bahagia. Pembicaraan dengan kekasihnya berhasil membuat mood Alarick meningkat.

Langkahnya terhenti saat melihat Nerissa sudah terlelap. Alarick menghela napasnya kasar. Niatnya untuk berbicara dengan Nerissa malam ini gagal. Kakinya kembali melangkah menuju tempat kosong di samping Nerissa sebelum kemudian merebahkan badannya di sana.

***

 Pagi ini seperti pagi Nerissa pada umumnya. Yang membedakan,  jika dulu dirinya tak perlu memasak untuk sarapan karena memang dia jarang sarapan, saat ini dia harus selalu membuat sarapan untuk Alarick, setidaknya ada beberapa roti dan selai di meja makan.

Tugasnya juga bertambah, dia harus selalu membangunkan Alarick. Biasanya Alarick bangun dengan bantuan alarm namun saat ini hal tersebut menjadi tugas Nerissa, namun Nerissa tak menjadikan itu sebagi beban.

Nerissa beranjak ke arah kamar setelah dia selesai menyiapkan sarapan untuk pagi ini. Sebenarnya ada rasa enggan untuk membangunkan Alarick, bukan tanpa alasan tapi Nerissa takut pria itu risih dengan perlakuannya.

Nerissa menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamarnya. Samar-samar dia mendengar suara orang berbicara. Nerissa menempelkan telinganya pada pintu. Bukannya ingin menguping namun perasaannya mengatakan bahwa dia harus mendengarkan percakapan Alarick.

“Aku tahu, aku juga merindukanmu tapi pekerjaanku tidak dapat ditinggalkan.” Nada suara Alarick sedikit meninggi. Nerissa semakin menajamkan pendengarannya.

“Oke, oke tenang. Haleth beri aku dua hari dan aku akan ke sana.” Hati Nerissa mencelos begitu Alarick mengucapkan nama orang yang ada di seberang sana.

Nerissa menghalau air mata yang hendak keluar begitu saja. Nerissa juga berusaha menormalkan ekspresinya, perlahan dia menyunggingkan senyuman yang terkesan terpaksa. Tangannya bergerak membukan knop pintu.

“Ah, kau sudah bangun?” Alarick terlihat terlonjak karena kedatangan Nerissa.

“Ya, aku bangun beberapa menit lalu.” Nerissa mengangguk mengiyakan jawaban Alarick.

“Mandilah setelah itu sarapan.”

Suasana sepi saat sarapan sudah biasa Nerissa rasakan. Setelah mendengar percakapan Alarick dengan Haleth tadi, dia menjadi enggan untuk sekedar bertanya pada Alarick. Begitupun Alarick, pria itu merasa sedang berselingkuh dari Nerissa.

“Semalam aku tertidur, mungkin karena lelah. Jadi ... apa yang akan kau bicarakan?” Akhirnya Nerissa berani memulai percakapan dengan suaminya.

“Aku hanya ingin bilang, kau tahu jika kita menikah karena sebuah perjodohan? Jadi aku harap kau tak akan menaruh harapan padaku karena aku tak akan pernah membalasnya dan juga aku harap kau tak melarangku untuk bertemu dengan kekasihku. Kau juga bebas untuk memiliki kekasih, aku tak akan mengekangmu.” Mata Nerissa terkunci memandang Alarick. Kalimat terpanjang yang pria itu ucapkan selama berbicara dengannya.

“Kekasihmu? Bukankah harusnya hubungan kalian sudah berakhir sebelum kita menikah?” Ya, kini Nerissa tahu bahwa ada yang mengganjal dengan kalimat yang baru saja Alarick ucapkan.

“Ya, Haleth. Bagaimanapun aku mencintainya, jadi tak mungkin aku meninggalkannya begitu saja.” Sepersekian detik Nerissa mematung merasakan nyeri yang teramat di ulu hatinya.

Dengan sergera Nerissa menormalkan ekspresinya. Dia tak mungkin menunjukan perasaannya pada Alarick saat ini.

“Tentu, jika itu keputusanmu aku akan menghormatinya. Tapi aku meminta satu hal padamu, setidaknya hargai aku sebagai istrimu. Aku selesai, jika sudah simpan saja piringnya di sana. Aku akan mencucinya nanti setelah mandi.” Nerissa beranjak dari sana. Sementara Alarick sangat bingung dengan perasaannya saat ini.

Dia tahu ini salah, namun bagaimana lagi. Dia benar-benar ingin bersama Haleth bukan Nerissa. Tangannya terangkat memegang kedua sisi kepalanya. Nafsu makannya hilang begitu saja. Ditambah janjinya pada Haleth untuk menyusul gadis itu ke sana benar-benar membuatnya pusing.

***

“Kau, urus bagian pemasaran. Untuk desain, aku harap kau bertanya terlebih dahulu pada klien, jangan sampai produk yang sudah jadi tidak sesuai dengan harapan klien, itu akan sia-sia dan terbuang begitu saja. Dan kau Luciver, selama tiga hari ini tolong awasi kinerja mereka dan laporkan padaku apapun yang terjadi.” Seperti janjinya, selama dua hari dia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika dia meninggalkan pekerjaannya, akhirnya Alarick memutuskan untuk menemui Haleth.

Untuk pekerjaannya di sini, dia akan coba percayakan pada Luciver. Selain sebagai sekretaris, Luciver yang juga merupakan temannya membuat Alarick percaya pada pria itu untuk menggantikan tugasnya sementara.

“Baik,” jawab Luciver mewakili seluruh karyawan yang ada di sana.

Alarick beranjak dari ruang rapat diikuti Luciver.

“Apakah tak apa kau melakukan ini?” Langkah Alarick terhenti mendengar pertanyaan sahabatnya.

“Apa maksudmu?” tanyanya.

Luciver mendekati Alarick dan mereka berjalan berdampingan.

“Apa semua akan baik-baik saja jika ayahmu mengetahui kau menysul Haleth ke sana?” Sebenarnya Alarick juga memikirkan hal yang sama, apakah dia akan baik-baik saja?

“Aku tak tahu, yang aku inginkan saat ini hanya bertemu dengannya dan satu-satunya cara agar keinginanku terpenuhi adalah menyusulnya,” ucapnya. Netranya menatap Luciver bermaksud meminta pendapat pria berkulit putih itu.

“Bukannya aku melarangmu, hanya saja statusmu saat ini adalah seorang suami, apalagi keluargamu dan keluarga Nerissa sama-sama terkenal. Hal itu akan menjadi topik hangat bagi para media jika kau tertangkap pergi ke sana dengan alasan mantan kekasihmu,” ucapnya panjang lebar.

“Kau benar. Aku juga berpikir seperti itu, tapi jika aku hati-hati dan tak membiarkan media mengetahuinya aku akan baik-baik saja bukan?” tanya Alarick. Kini mereka sudah berada di ruangan Alarick.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status