“Aku ingin ... ” belum sempat Alarick mengutarakan keinginannya, suara dering telepon berhasil mengalihkan perhatiannya. Dia juga semakin bersemangat saat melihat siapa orang yang menghubunginya di malam hari.
Alarick beranjak dari tempat tidurnya dan meninggalkan Nerissa dengan segala rasa yang ada di hatinya. Dia benar-benar ingin menangis saat ini. Disaat dirinya akan terlelap, Alarick dengan santai menyuruhnya untuk tidak tidur. Sekarang dirinya sudah benar-benar terjaga dan lihatlah apa yang dilakukan Alarick padanya.
Perlahan Nerissa bangkit dari duduknya. Dia mengendap menuju balkon kamarnya, niatnya hanya satu. Ya, menguping pembicaraan Alarick. Dia tahu tidak seharusnya dia melakukan hal ini, namun keinginan untuk mengetahui pembicaraan Alarick saat ini sangat besar.
“Aku baik-baik saja, bagaimana kabarmu di sana?” Raut bahagia di wajah Alarick terlihat begitu ketara. Sudah bisa dipastikan siapa orang yang berbicara di seberang sana hanya dengan melihat raut wajah Alarick.
“Aku juga merindukanmu. Kau tak berpikir untuk pulang saja?” Perkataan Alarick kali ini berhasil membuat butiran bening dari mata Nerissa jatuh begitu saja. Dia sadar jika dirinya bukan siapa-siapa, dia hanya berstatus sebagai istri Alarick bukan pemilik hatinya. Tapi, apakah dia salah jika berharap Alarick bisa menerimanya?
“Baiklah sampai jumpa.” Nerissa segera menghapus kasar air matanya. Kakinya melangkah dengan cepat ke arah ranjang dan mengambil posisi tidur. Dia berharap Alarick tidak menyadari jika dia hanya pura-pura tidur.
Sementara Alarick kembali ke kamarnya dengan wajah yang terlihat sangat bahagia. Pembicaraan dengan kekasihnya berhasil membuat mood Alarick meningkat.
Langkahnya terhenti saat melihat Nerissa sudah terlelap. Alarick menghela napasnya kasar. Niatnya untuk berbicara dengan Nerissa malam ini gagal. Kakinya kembali melangkah menuju tempat kosong di samping Nerissa sebelum kemudian merebahkan badannya di sana.
***
Pagi ini seperti pagi Nerissa pada umumnya. Yang membedakan, jika dulu dirinya tak perlu memasak untuk sarapan karena memang dia jarang sarapan, saat ini dia harus selalu membuat sarapan untuk Alarick, setidaknya ada beberapa roti dan selai di meja makan.
Tugasnya juga bertambah, dia harus selalu membangunkan Alarick. Biasanya Alarick bangun dengan bantuan alarm namun saat ini hal tersebut menjadi tugas Nerissa, namun Nerissa tak menjadikan itu sebagi beban.
Nerissa beranjak ke arah kamar setelah dia selesai menyiapkan sarapan untuk pagi ini. Sebenarnya ada rasa enggan untuk membangunkan Alarick, bukan tanpa alasan tapi Nerissa takut pria itu risih dengan perlakuannya.
Nerissa menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamarnya. Samar-samar dia mendengar suara orang berbicara. Nerissa menempelkan telinganya pada pintu. Bukannya ingin menguping namun perasaannya mengatakan bahwa dia harus mendengarkan percakapan Alarick.
“Aku tahu, aku juga merindukanmu tapi pekerjaanku tidak dapat ditinggalkan.” Nada suara Alarick sedikit meninggi. Nerissa semakin menajamkan pendengarannya.
“Oke, oke tenang. Haleth beri aku dua hari dan aku akan ke sana.” Hati Nerissa mencelos begitu Alarick mengucapkan nama orang yang ada di seberang sana.
Nerissa menghalau air mata yang hendak keluar begitu saja. Nerissa juga berusaha menormalkan ekspresinya, perlahan dia menyunggingkan senyuman yang terkesan terpaksa. Tangannya bergerak membukan knop pintu.
“Ah, kau sudah bangun?” Alarick terlihat terlonjak karena kedatangan Nerissa.
“Ya, aku bangun beberapa menit lalu.” Nerissa mengangguk mengiyakan jawaban Alarick.
“Mandilah setelah itu sarapan.”
Suasana sepi saat sarapan sudah biasa Nerissa rasakan. Setelah mendengar percakapan Alarick dengan Haleth tadi, dia menjadi enggan untuk sekedar bertanya pada Alarick. Begitupun Alarick, pria itu merasa sedang berselingkuh dari Nerissa.
“Semalam aku tertidur, mungkin karena lelah. Jadi ... apa yang akan kau bicarakan?” Akhirnya Nerissa berani memulai percakapan dengan suaminya.
“Aku hanya ingin bilang, kau tahu jika kita menikah karena sebuah perjodohan? Jadi aku harap kau tak akan menaruh harapan padaku karena aku tak akan pernah membalasnya dan juga aku harap kau tak melarangku untuk bertemu dengan kekasihku. Kau juga bebas untuk memiliki kekasih, aku tak akan mengekangmu.” Mata Nerissa terkunci memandang Alarick. Kalimat terpanjang yang pria itu ucapkan selama berbicara dengannya.
“Kekasihmu? Bukankah harusnya hubungan kalian sudah berakhir sebelum kita menikah?” Ya, kini Nerissa tahu bahwa ada yang mengganjal dengan kalimat yang baru saja Alarick ucapkan.
“Ya, Haleth. Bagaimanapun aku mencintainya, jadi tak mungkin aku meninggalkannya begitu saja.” Sepersekian detik Nerissa mematung merasakan nyeri yang teramat di ulu hatinya.
Dengan sergera Nerissa menormalkan ekspresinya. Dia tak mungkin menunjukan perasaannya pada Alarick saat ini.
“Tentu, jika itu keputusanmu aku akan menghormatinya. Tapi aku meminta satu hal padamu, setidaknya hargai aku sebagai istrimu. Aku selesai, jika sudah simpan saja piringnya di sana. Aku akan mencucinya nanti setelah mandi.” Nerissa beranjak dari sana. Sementara Alarick sangat bingung dengan perasaannya saat ini.
Dia tahu ini salah, namun bagaimana lagi. Dia benar-benar ingin bersama Haleth bukan Nerissa. Tangannya terangkat memegang kedua sisi kepalanya. Nafsu makannya hilang begitu saja. Ditambah janjinya pada Haleth untuk menyusul gadis itu ke sana benar-benar membuatnya pusing.
***
“Kau, urus bagian pemasaran. Untuk desain, aku harap kau bertanya terlebih dahulu pada klien, jangan sampai produk yang sudah jadi tidak sesuai dengan harapan klien, itu akan sia-sia dan terbuang begitu saja. Dan kau Luciver, selama tiga hari ini tolong awasi kinerja mereka dan laporkan padaku apapun yang terjadi.” Seperti janjinya, selama dua hari dia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika dia meninggalkan pekerjaannya, akhirnya Alarick memutuskan untuk menemui Haleth.
Untuk pekerjaannya di sini, dia akan coba percayakan pada Luciver. Selain sebagai sekretaris, Luciver yang juga merupakan temannya membuat Alarick percaya pada pria itu untuk menggantikan tugasnya sementara.
“Baik,” jawab Luciver mewakili seluruh karyawan yang ada di sana.
Alarick beranjak dari ruang rapat diikuti Luciver.
“Apakah tak apa kau melakukan ini?” Langkah Alarick terhenti mendengar pertanyaan sahabatnya.
“Apa maksudmu?” tanyanya.
Luciver mendekati Alarick dan mereka berjalan berdampingan.
“Apa semua akan baik-baik saja jika ayahmu mengetahui kau menysul Haleth ke sana?” Sebenarnya Alarick juga memikirkan hal yang sama, apakah dia akan baik-baik saja?
“Aku tak tahu, yang aku inginkan saat ini hanya bertemu dengannya dan satu-satunya cara agar keinginanku terpenuhi adalah menyusulnya,” ucapnya. Netranya menatap Luciver bermaksud meminta pendapat pria berkulit putih itu.
“Bukannya aku melarangmu, hanya saja statusmu saat ini adalah seorang suami, apalagi keluargamu dan keluarga Nerissa sama-sama terkenal. Hal itu akan menjadi topik hangat bagi para media jika kau tertangkap pergi ke sana dengan alasan mantan kekasihmu,” ucapnya panjang lebar.
“Kau benar. Aku juga berpikir seperti itu, tapi jika aku hati-hati dan tak membiarkan media mengetahuinya aku akan baik-baik saja bukan?” tanya Alarick. Kini mereka sudah berada di ruangan Alarick.
Alarick berpikir beberapa kali setelah Haleth bertanya demikian.“Kau tak memiliki perasaan lebih padanya, kan?” Pertanyaan itu terus saja berputar-putar di kepalanya.Kini mereka telah sampai di apartemen Haleth dan sejak percakapan tadi di mobil, mereka tak lagi mengeluarkan suara sedikitpun. Keadaan menjadi sangat canggung di antara mereka.“Terima kasih telah mengantarku,” ucap Haleth. Alarick menoleh seolah terkejut dengan perkataan Haleth yang tiba-tiba.“Ah iya sama-sama. Kalau begitu aku tak akan lama, masih ada pekerjaan yang belum aku selesaikan. Lain kali aku akan datang,” ujar Alarick. Pria itu menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali.Haleth mengangguk mengijinkan Alarick untuk pergi dari sana. “Hmm baiklah, hati-hati di jalan.” Haleth melambaikan tangannya pada Alarick dan dibalas dengan lambaian pula oleh Alarick.Alarick kembali ke parkiran dengan berbaga
Nerissa tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya.“Menurutmu, apakah aku bisa bertahan sampai akhir?” tanya Nerissa. Kedua gadis itu mulai mendudukan dirinya di sofa yang tersedia di sana.“Apa? Dengan suamimu?” tanya Lovetta memastikan.Nerissa mengangguk lesu pertanda lagi-lagi ada masalah yang menimpanya.“Apa lagi yang dilakukan suamimu kali ini?” Melihat raut wajah Nerissa cukup membuat Lovetta yakin bahwa suaminya berulah lagi.“Pagi ini aku melihatnya tersenyum,” ujarnya. Lovetta mengerutkan dahinya.“Lalu di bagian mana kesalahan suamimu?” tanya Lovetta heran.“Tak biasanya dia tersenyum selebar itu. Kau tahu apa jawabannya saat aku bertanya?”“Apa?”“Dia bilang, dia sedang membaca sebuah berita online di ponselnya. Lalu bagian berita yang mana yang berhasil membuatnya tersenyum selebar itu?” Nerissa menyandarkan ba
Semesta seakan tak rela melihat kebahagiaan Nerissa. Baru saja beberapa hari lalu sikap Alarick sedikit menghangat padanya, kini pria itu terasa kembali berbeda.Sejak matahari muncul pagi ini, pria itu terus saja sibuk dengan ponselnya. Telepon yang masuk setiap satu jam sekali dan jangan lupakan notifikasi pesan yang seakan tak ada hentinya.“Ada apa sebenarnya dengan ponselmu?” tanya Nerissa geram. Dia bahkan tak kunjung menyentuh makanannya karena notifikasi sialan itu.“Bukan apa-apa. Hanya notifikasi berita saja,” jawab Alarick.“Sejak kapan kau gemar membaca berita di ponselmu dan dengan senyum mengembang itu?” sindir Nerissa. Kalian tahu sudah berapa lama Nerissa mengagumi Alarick. Gadis itu juga tahu dengan pasti apa saja kebiasaan suaminya ini dan membaca berita online bukanlah tipe suaminya.Entah sadar atau tidak, Alarick memudarkan senyumannya. Pria itu juga baru menyadari jika dia tersenyum beberapa
Setelah hari di mana Alarick membawa Nerissa ke rumah sakit, kini hati Nerissa benar-benar tak tenang. Dia takut Alarick akan mengetahui semuanya. Kalimat yang dia tulis dalam novelnya benar-benar hancur karena pikirannya yang bercabang. “Nerissa aku mau mandi.” Ucapan seseorang membangunkan Nerissa dari lamunannya. Nerissa menatap suaminya yang baru saja pulang kerja. “Ah iya, sebentar akan aku siapkan air hangat.” Nerissa beranjak dari kursi kerjanya. Ya, beberapa hari lalu Alarick menyiapkan sebuah meja kerja khusus Nerissa. Nerissa sudah menolak, namun Alarick tetap mamaksa hingga akhirnya meja itu berada di kamarnya dengan Alarick. Beruntunglah kamar mereka luas, jadi masih banyak ruang yang tersisa di sana. Alarick memang ahli dalam berbenah, namun semenjak ada Nerissa, apartemennya terlihat lebih bersih dan tertata. Alarick memuji kemampuan Nerissa dalam hal berumah tangga. “Sudah selesai.” Nerissa kembali ke kamar setelah seles
“Maafkan aku, aku terpaksa melakukannya. Kau tahu jika aku mengatakan yang sebenarnya apa yang akan terjadi,” bujuk Alarick sambil berjalan menjauh dari sana. Dia khawatir Nerissa akan mendengar apa yang dia bicarakan. Pria jangkung itu memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Terdengar helaan napas dari seberang sana. “Baiklah, aku akan tutup teleponnya,” ucap Haleth. Sebenarnya dia tak terlalu keberatan Alarick memanggilnya apa, namun dia merasa harus melakukan itu agar Alarick percaya bahwa dirinya masih menyayangi Alarick. Alarick menjauhkan ponselnya dari telinga. “Siapa?” tanya Nerissa. Alarick sedikit terlonjak dengan kedatangan Nerissa yang tiba-tiba. “Bukan siapa-siapa, hanya rekan bisnis,” ucapnya. Sebenarnya dia bisa saja memberitahu Nerissa bahwa dirinya masih berhubungan dengan Haleth, hanya saja dia takut gadis itu akan mengadu kepada Ayahnya. Nerissa mengangguk paham. “Kau akan pulang sekarang?” tanya Neris
Setelah berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, Nerissa mulai menghubungi satu persatu kontak yang diberikan Lovetta. Dia memang tak berharap banyak pada cara ini, namun tak salah juga jika dia mencoba. Nerissa tak mau mengambil resiko jati dirinya diketahui oleh orang-orang media, maka dari itu dia memakai nomor ponsel lama yang sudah jarang dia pakai. Dia juga tak menelpon tetapi mengirimkan sebuah pesan. Seperti yang kalian tahu jika Nerissa adalah seorang penulis, maka pesan yang dia kirim juga merupakan rangkaian kata yang sepertinya cukup meyakinkan untuk menghentikan skandal Alarick. “Satu persatu sudah selesai,” ucap Nerissa. Memang membutuhkan waktu lama, namun dengan sabar Nerissa mengurusnya satu persatu. “Sayangnya aku gagal meyakinkan stasiun berita yang sangat berpengaruh di Negeri ini,” lirihnya. Sepertinya untuk yang pertama kalinya dia tak bisa membantu Alarick menyelesaikan masalahnya. Nerissa kembali memutar ota