Seperti yang direncanakan beberapa hari yang lalu, kini kedua keluarga itu dipertemukan kembali untuk membahas apa yang seharusnya mereka bahas. Wajah Alarick seperti biasanya, terlihat datar. Pria itu mengeluarkan ponsel setelah menyelesaikan acara makannya. Jari-jarinya menari indah di atas ponsel pintar itu.
Nomor yang ditujunya saat ini adalah mantan kekasihnya. Entah gadis itu akan membalas atau tidak, yang penting dia sudah mencoba.
“Baiklah, seperti yang kita bicarakan beberapa hari lalu Nerissa, maukah kau menikah dengan putraku?” Tuan Maurucio memandang penuh harap pada Nerissa.
Sejenak gadis itu terdiam mengingat percakapannya dengan Alarick di telepon satu hari lalu.
“Aku benar-benar tak ingin menikah denganmu, dan sayangnya hanya kau yang bisa menolak pernikahan ini. Aku harap kau mengerti maksudku.” Katakanlah Alarick labil. bukannya dia sudah menyetujui untuk pernikahan ini?
Lagi dan lagi serangkaian kalimat yang membuat Nerissa muak itu keluar dari bibir Alarick, dan saat ini perkataan Alarick masih terus terngiang di telinganya, namun dengan tenang Nerissa menjawab pertanyaan Tuan Mauricio.
“Ya, tentu saja aku menerimanya.” Nerissa tersenyum sinis. Berbeda dengan Alarick yang saat ini sudah mendongakkan kepalanya menatap Nerissa dengan pandangan tidak menyangka. Dia kira Nerissa akan menolak perjodohan ini mengingat dia sudah memperjelas perasaannya satu hari yang lalu lewat telepon.
“Aahhh leganya. Baiklah, pernikahan kalian akan dilaksanakan tiga hari lagi.” Tuan Frore tersenyum mendengar penuturan Tuan Mauricio.
“Boleh aku berbicara sebentar dengan Nerissa?” Pandangan Alarick terarah pada Ayah Nerissa dan Ayahnya meminta persetujuan.
“Ya tentu saja.” Alarick menatap Nerissa memberikan kode agar menjauh dari sana. Nerissa yang mendapat sinyal itu segera beranjak dari sana menuju sebuah kursi yang jaraknya cukup jauh.
“Ada apa denganmu?” Alarick melayangkan sebuah pertanyaan begitu dia duduk di kursi itu.
“Memangnya ada apa?” Nerissa seakan tak merasa bersalah sedikitpun. Tunggu, bukankah dia memang tidak salah? Dia hanya berusaha membalas budi pada keluarga Mauricio.
Alarick berdecak mendengar pertanyaan Nerissa.
“Bukannya aku sudah memperjelasnya satu hari lalu bahwa aku tak ingin menikah denganmu?” Alarick sedikit meninggikan nada bicaranya.
“Ya, kau memang sudah memberitahuku dengan sangat jelas bahwa kau tak ingin menikah denganku,” jawab Nerissa dengan penekanan di setiap katanya.
“Kau sudah tahu perasaanku padamu, kau juga sudah tahu bahwa aku memiliki kekasih. Bukannya namamu yang akan buruk jika seorang penulis terkenal menikahi pria yang telah memikili kekasih?” ucapan Alarick memang ada benarnya. Lalu Nerissa bisa apa jika dia tidak diberi hak untuk menolak pernikahan itu?
Nerissa tersenyum sinis.
“Dan sekarang kau peduli padaku?” tanya Nerissa. Alarick membuang muka, tangannya terangkat memegang pelipisnya. Apa lagi yang harus dia lakukan agar pernikahan ini tak terjadi?
“Terserah padamu.” Alarick beranjak dari sana kembali ke kursi di mana ayah dan ayahnya Nerissa berada.
***
Satu hari sebelum pernikahan. Setelah Nerissa menerima lamaran beberapa hari ke belakang, dia benar-benar tak bertemu lagi dengan Alarick. Yang dia tahu, saat ini Alarick marah padanya karena mengiyakan perjodohan itu.
Perkataan Alarick terus saja terngiang-ngiang di telinganya.
“Kau sudah tahu perasaanku padamu, kau juga sudah tahu bahwa aku memiliki kekasih. Bukannya namamu yang akan buruk jika seorang penulis terkenal menikahi pria yang telah memikili kekasih?” Memang benar, bisa dikatakan bahwa nama Nerissa sangat besar, selain statusnya sebagai putri keluarga Frore, dia juga merupakan seorang penulis yang tentu saja namanya terkenal di mana-mana.
Apakah namanya akan tercoreng jika dia melakukan pernikahan dengan pria yang telah memiliki kekasih? Lalu apa yang harus dia lakukan saat ini? Apakah dia harus mempercepat waktu kematiannya?
Nerissa segera beranjak di saat dia tahu apa yang harus dilakukannya untuk membatalkan pernikahan ini. Memang tidak bisa dia pungkiri bahwa rencana pernikahan ini membuatnya bahagia, namun dia juga tak bisa merenggut kebahagiaan Alarick begitu saja.
Nerissa memilih memesan taksi dengan segala pertimbangan, salah satunya agar dia tak merepotkan orang lain nantinya.
Setelah sampai di tempat tujuannya, ah bukan, sebenarnya dia hanya mencari tempat yang ramai dengan kendaraan. Gadis itu keluar dari dalam taksi dan melihat sekeliling. Salah satu jalan yang ramai dengan kendaraan dengan kecepatan yang tidak bisa dikatakan pelan.
Deru kendaraan terdengar di seluruh penjuru tempat yang ada di sana. Suara klakson mampu membuat orang-orang yang mendengarnya secara spontan menutup telinga mereka untuk meminimalisir suara yang mengganggu itu.
Dari arah sebelah kanan, Nerissa melihat sebuah mobil yang melaju begitu kencang. Dengan sigap, Nerissa melepaskan tas yang semula mengantung dengan indah di bahunya. Ketika mobil itu mendekat ke arahnya, Nerissa melemparkan tubuhnya ke tengah jalan.
Tubuhnya terpental setelah bertabrakan dengan bagian depan mobil tersebut. Suara tabrakan itu terdengar cukup nyaring sehingga membuat orang-orang yang ada di sana tersentak.
“Aku berhasil, bukan? Membatalkan pernikahan ini?” bisiknya. Senyum simpul terukir di bibirnya sebelum rasa kantuk merenggut kesadarannya.
Beberapa orang berpakaian hitam lengkap dengan earpiece yang tertempel di telinganya segera mengerubungi Nerissa yang kini sudah tidak berdaya. Mereka segera mengangkat Nerissa untuk di bawa ke rumah sakit.
Sementara pengendara mobil yang menabrak Nerissa terluka kecil di bagian pelipisnya juga di bawa ke rumah sakit.
“Maafkan aku tuan, gadis ini tiba-tiba melompat ke arah mobilku,” jelasnya pada orang-orang berpakaian hitam itu.
“Tak apa, aku tahu.” Gadis berkulit putih itu kini memperhatikan setiap bagian wajah gadis yang kini terbaring lemah di sampingnya itu. Ya, dia mengetahui gadis ini. Nerissa Frore seorang penulis terkenal dan seorang putri dari pengusaha sukses di negeri ini. Bukannya besok hari pernikahannya?
Gadis dengan name tag Raquil Caliana itu mengusap darah di pelipisnya dengan tissu.
“Kami ingin meminta maaf atas kejadian beberapa menit lalu.” Raquil mengangguk menanggapi perkataan pria berpakaiann hitam di sampingnya. Dia mengerti apa yang maksud pria itu. Entah masalah apa yang dihadapi penulis ini hingga memilih untuk mengakhiri hidupnya.
“Namaku Fillan, Fillan Elfern. Hubungi nomor ini jika kau membutuhkan sesuatu atau jika kau membutuhkan ganti kerugian.” Pria yang menjadi bodyguard Nerissa itu memberikan sebuah kartu kecil yang berisi nomor ponsel dan sebuah alamat.
Sebuah brankar didorong mendekati Nerissa saat mobil yang ditumpangi Nerissa berhenti di depan rumah sakit.
“Lakukan apapun untuk menyelamatkannya.” Fillan merogoh ponsel di saku sebelah kanannya, dia segera menghubungi Tuan Frore secara langsung.
“Maaf Tuan, kami tak sempat menghentikan Nona Nerissa. Sekarang kami ada di rumah sakit xxx.” Tuan Frore memutuskan sambungannya setelah dia mendapatkan lokasi putrinya saat ini.
Beberapa orang melangkahkan kakinya cepat menuju ruangan dimana Nerissa ditangani. Raquil juga ada di sana, bagaimanapun dia yang membuat Nerissa menjadi seperti ini.
“Di mana Nerissa?” Tuan Frore tergopoh dan tanpa jeda langsung menanyakan keberadaan putrinya pada Fillan.
Alarick berpikir beberapa kali setelah Haleth bertanya demikian.“Kau tak memiliki perasaan lebih padanya, kan?” Pertanyaan itu terus saja berputar-putar di kepalanya.Kini mereka telah sampai di apartemen Haleth dan sejak percakapan tadi di mobil, mereka tak lagi mengeluarkan suara sedikitpun. Keadaan menjadi sangat canggung di antara mereka.“Terima kasih telah mengantarku,” ucap Haleth. Alarick menoleh seolah terkejut dengan perkataan Haleth yang tiba-tiba.“Ah iya sama-sama. Kalau begitu aku tak akan lama, masih ada pekerjaan yang belum aku selesaikan. Lain kali aku akan datang,” ujar Alarick. Pria itu menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali.Haleth mengangguk mengijinkan Alarick untuk pergi dari sana. “Hmm baiklah, hati-hati di jalan.” Haleth melambaikan tangannya pada Alarick dan dibalas dengan lambaian pula oleh Alarick.Alarick kembali ke parkiran dengan berbaga
Nerissa tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya.“Menurutmu, apakah aku bisa bertahan sampai akhir?” tanya Nerissa. Kedua gadis itu mulai mendudukan dirinya di sofa yang tersedia di sana.“Apa? Dengan suamimu?” tanya Lovetta memastikan.Nerissa mengangguk lesu pertanda lagi-lagi ada masalah yang menimpanya.“Apa lagi yang dilakukan suamimu kali ini?” Melihat raut wajah Nerissa cukup membuat Lovetta yakin bahwa suaminya berulah lagi.“Pagi ini aku melihatnya tersenyum,” ujarnya. Lovetta mengerutkan dahinya.“Lalu di bagian mana kesalahan suamimu?” tanya Lovetta heran.“Tak biasanya dia tersenyum selebar itu. Kau tahu apa jawabannya saat aku bertanya?”“Apa?”“Dia bilang, dia sedang membaca sebuah berita online di ponselnya. Lalu bagian berita yang mana yang berhasil membuatnya tersenyum selebar itu?” Nerissa menyandarkan ba
Semesta seakan tak rela melihat kebahagiaan Nerissa. Baru saja beberapa hari lalu sikap Alarick sedikit menghangat padanya, kini pria itu terasa kembali berbeda.Sejak matahari muncul pagi ini, pria itu terus saja sibuk dengan ponselnya. Telepon yang masuk setiap satu jam sekali dan jangan lupakan notifikasi pesan yang seakan tak ada hentinya.“Ada apa sebenarnya dengan ponselmu?” tanya Nerissa geram. Dia bahkan tak kunjung menyentuh makanannya karena notifikasi sialan itu.“Bukan apa-apa. Hanya notifikasi berita saja,” jawab Alarick.“Sejak kapan kau gemar membaca berita di ponselmu dan dengan senyum mengembang itu?” sindir Nerissa. Kalian tahu sudah berapa lama Nerissa mengagumi Alarick. Gadis itu juga tahu dengan pasti apa saja kebiasaan suaminya ini dan membaca berita online bukanlah tipe suaminya.Entah sadar atau tidak, Alarick memudarkan senyumannya. Pria itu juga baru menyadari jika dia tersenyum beberapa
Setelah hari di mana Alarick membawa Nerissa ke rumah sakit, kini hati Nerissa benar-benar tak tenang. Dia takut Alarick akan mengetahui semuanya. Kalimat yang dia tulis dalam novelnya benar-benar hancur karena pikirannya yang bercabang. “Nerissa aku mau mandi.” Ucapan seseorang membangunkan Nerissa dari lamunannya. Nerissa menatap suaminya yang baru saja pulang kerja. “Ah iya, sebentar akan aku siapkan air hangat.” Nerissa beranjak dari kursi kerjanya. Ya, beberapa hari lalu Alarick menyiapkan sebuah meja kerja khusus Nerissa. Nerissa sudah menolak, namun Alarick tetap mamaksa hingga akhirnya meja itu berada di kamarnya dengan Alarick. Beruntunglah kamar mereka luas, jadi masih banyak ruang yang tersisa di sana. Alarick memang ahli dalam berbenah, namun semenjak ada Nerissa, apartemennya terlihat lebih bersih dan tertata. Alarick memuji kemampuan Nerissa dalam hal berumah tangga. “Sudah selesai.” Nerissa kembali ke kamar setelah seles
“Maafkan aku, aku terpaksa melakukannya. Kau tahu jika aku mengatakan yang sebenarnya apa yang akan terjadi,” bujuk Alarick sambil berjalan menjauh dari sana. Dia khawatir Nerissa akan mendengar apa yang dia bicarakan. Pria jangkung itu memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Terdengar helaan napas dari seberang sana. “Baiklah, aku akan tutup teleponnya,” ucap Haleth. Sebenarnya dia tak terlalu keberatan Alarick memanggilnya apa, namun dia merasa harus melakukan itu agar Alarick percaya bahwa dirinya masih menyayangi Alarick. Alarick menjauhkan ponselnya dari telinga. “Siapa?” tanya Nerissa. Alarick sedikit terlonjak dengan kedatangan Nerissa yang tiba-tiba. “Bukan siapa-siapa, hanya rekan bisnis,” ucapnya. Sebenarnya dia bisa saja memberitahu Nerissa bahwa dirinya masih berhubungan dengan Haleth, hanya saja dia takut gadis itu akan mengadu kepada Ayahnya. Nerissa mengangguk paham. “Kau akan pulang sekarang?” tanya Neris
Setelah berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, Nerissa mulai menghubungi satu persatu kontak yang diberikan Lovetta. Dia memang tak berharap banyak pada cara ini, namun tak salah juga jika dia mencoba. Nerissa tak mau mengambil resiko jati dirinya diketahui oleh orang-orang media, maka dari itu dia memakai nomor ponsel lama yang sudah jarang dia pakai. Dia juga tak menelpon tetapi mengirimkan sebuah pesan. Seperti yang kalian tahu jika Nerissa adalah seorang penulis, maka pesan yang dia kirim juga merupakan rangkaian kata yang sepertinya cukup meyakinkan untuk menghentikan skandal Alarick. “Satu persatu sudah selesai,” ucap Nerissa. Memang membutuhkan waktu lama, namun dengan sabar Nerissa mengurusnya satu persatu. “Sayangnya aku gagal meyakinkan stasiun berita yang sangat berpengaruh di Negeri ini,” lirihnya. Sepertinya untuk yang pertama kalinya dia tak bisa membantu Alarick menyelesaikan masalahnya. Nerissa kembali memutar ota