Share

Alarick Part 4

“Minumlah selagi hangat.” Nerissa memandang ragu pada Lovetta. Lovetta yang mengerti dengan tatapan temannya mendengus kesal.

“Sudah aku rebus. Memang kau kira sudah berapa lama kita berteman?” Nerissa yang mendengar penuturan temannya itu tersenyum simpul.

“Terima kasih.”

“Sepertinya bukan aku yang harus hati-hati dengan menu makananmu, tapi dirimu sendiri. Makanan macam apa lagi yang kau makan dalam seminggu ini?” Lovetta menatap Nerissa curiga karena dia memang sudah tahu seperti apa sifat Nerissa.

“Hanya dua potong sandwich,” ujar Nerissa tanppa beban. Sebuah bantal melayang tepat mengenai kepalanya.

“Aku jadi ragu kau punya umur pendek.” Lovetta kesal dengan temannya ini.

“Sudahlah, aku sedang menikmati masa-masa hidupku.” Penuturan Nerissa sukses membuat Lovetta bungkam. Dengan segera gadis itu mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Jadi, apa lagi kali ini?” Lovetta meneguk teh yang sebelumnya dia seduh. Pandangannya terarah pada Nerissa meminta jawaban pada gadis itu.

“Ayah ingin aku menikah.” Jari telunjuknya memutar menyentuh tepian cangkir. Matanya menerawang, pikirannya melayang ke moment di mana dia dipertemukan dengan Alarick dan ayahnya.

“Bagus, lagipula umurmu sudah cocok untuk berkeluarga,” ucap Lovetta diiringi dengan anggukannya, namun sepertinya orang yang ada di hadapannya tidak setuju dengan pendapat Lovetta. Nerissa memandang lekat Lovetta sebelum berkata.

“Bahkan jika aku harus menikahi Alarick?” Ucapan Nerissa berhasil membuat Lovetta tersedak, matanya membulat, fokusnya kini hanya pada Nerissa saja.

What?” Lovetta menyimpan cangkirnya di meja dan segera berjalan ke samping Nerissa.

“Ayahku ingin aku menikah dengan Alarick.” Lovetta tak menjawab, dia ingin tahu kelanjutan cerita Nerissa.

“Alarick bilang, satu minggu lagi.” Lovetta bangkit dari duduknya kedua tangannya menggebrak meja yang membuat Nerissa tersentak.

“Bagus, kamu menyukainya, kan? Dan satu minggu lagi kalian akan menikah.” Di sini entah siapa yang akan menikah. Mengapa Lovetta begitu bersemangat atas pernikahannya?

“Ya. Dan bagus juga karena alasan mereka menjodohkanku adalah sebuah balas budi. Keluarga Alarick menolong keluargaku saat perusahaan ayah hampir bangkrut. Bukankah secara tidak langsung dia sudah menjualku?” Nerissa kembali melanjutkan acara minumnya.

“Ya. Dan sekarang aku mulai setuju dengan raut wajahmu itu. Bagaimana bisa ayahmu melakukan itu?” Nerissa yang mendengar penuturan Lovetta langsung memutar bola matanya.

“Bagaimana bisa kau berubah pikiran begitu cepat?”

“Karena sebelumnya aku tak mengetahui alasannya.” Nerissa berdecak dan mengacuhkan ucapan Lovetta.

“Lihatlah, sebenarnya ada apa dengan penampilanmu?” Nerissa menunjuk ujung kepala Lovetta hingga ujung kakinya.

Lovetta tak menjawab pertanyaan Nerissa. Gadis itu mengacungkan ponselnya yang menampilkan aplikasi baca online. Nerissa memegang kepalanya. Bagaimana bisa temannya ini begitu kecanduan platform baca satu itu.

“Ya. Itulah dirimu. Jika tidak begitu, maka aku akan sangat takut saat ini.” Mereka berdua terkekeh.

***

Alarick memandang langit-langit kamarnya. Pikirannya melayang ke masa di mana Haleth memutuskannya. Otaknya mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja walaupun dia putus dengan Haleth, namun hatinya tak dapat berbohong bahwa dia masih menginginkan gadis itu di sisinya.

Tanganya bergerak mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas di samping ranjang. Beberapa kali dia berpikir ulang untuk menelpon ayahnya atau tidak.

“Halo, Ayah. Tentang perjodohan itu, aku akan melakukannya.” Matanya terpejam kuat. Entahlah apakah ini pilihan yang tepat atau tidak.

“Pilihan yang bagus, Nak. Mari kita atur pertemuan kembali.”

“Hhmm.” Alarick memandang ponselnya lekat-lekat setelah ayahnya memutuskan sambungan telepon.

Kakinya melangkah menuju dapur. Hidup sendiri membuat dirinya terbiasa melakukan apapun sendiri. Seperti saat ini, dengan telaten tangannya menggerakkan pisau mengiris daun bawang dan sayuran lainnya.

Menu sarapan kali ini hanya sepiring nasi goreng dengan omelet di atasnya. Memasaknya sendiri, Alarick juga makan sendiri. Ayahnya pernah menawarkan seorang maid untuk bekerja di apartemennya, namun dengan berbagai alasan Alarick menolak tawaran itu.

“Tak terlalu buruk,” desisnya. Mungkin bukan tak terlalu buruk, tapi lebih ke jauh dari kata buruk. Mungkin karena terbiasa, hingga Alarick benar-benar bisa memasak apapun dengan tangannya sendiri.

Beruntunglah mereka yang nantinya berhasil mendapatkan Alarick karena selain pintar berbisnis, pria itu juga pandai memasak. Mungkin hanya satu yang tidak bisa dilakukan pria itu, membereskan rumah menurutnya merupakan hal yang merepotkan, sehingga dia selalu meminta maid di rumahnya untuk berbenah di sini sesekali.

Dering ponsel memaksa Alarick untuk menunda sarapannya. Tangannya terarah untuk mengangkat panggilan itu.

“Hmm ada apa?” ucapnya dingin seperti biasa.

“Bisakah kau ke kantor lebih cepat? Klienmu meminta memajukan jadwal pertemuannya.” Alarick mendengus mendengar penuturan sekretarisnya itu.

“Oke, beri aku 20 menit untuk sampai ke sana.” Alarick bangkit dari duduknya. Nafsu makannya hilang karena telepon itu.

Lekuk tubuh atletisnya terlihat saat dia membuka pakaiannya. Jika dilihat dari penampilan fisiknya, Alarick bisa dikatakan manusia yang sangat sempurna. Bentuk tubuh berotot, bergelimang harta, ketampanan pria itu yang bisa dikatakan di atas rata-rata dan jangan lupakan jika dia juga merupakan pewaris tunggal Mauricio Corp.

Dengan semua yang dia miliki, bukan berarti kehidupannya sempurna. Pria itu sering kali merasa tertekan dengan segala keputusan ayahnya, seperti saat ini.

Dia harus mengurus segala hal tentang perusahaan ayahnya walaupun dia belum diresmikan menjadi CEO, namun dia tetap melakukannya karena alasan berbakti kepada orang tuanya.

Setelah selesai dengan segala persiapannya, Alarick mengambil kunci mobilnya dan segera pergi ke kantornya.

Dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh mengingat jarak apartemennya yang terbilang cukup jauh dari kantornya.

Seperti biasa, sesampainya di sana banyak sekali mata yang terpusat padanya. Bahkan ketika pria itu tak tersenyum sedikitpun, pesonanya akan tetap memancar ke setiap penjuru ruangan.

Alarick masuk ke ruangannya setelah beberapa menit lalu dia menyelesaikan pertemuannya. Dia menyandarkan badannya pada sandaran kursi. Rasanya sangat lelah, mungkin karena pikirannya yang bercabang saat ini.

***

“Jadi ... apa keputusanmu?” Pria itu meneguk minuman yang ada di hadapannya. Tempat favorit untuknya dan tentu saja untuk gadis yang ada di sampingnya.

“Aku memutuskannya. Tentu saja aku tak ingin menikah dengan orang miskin.” Gadis itu berjalan ke arah kerumunan orang yang tengah meliukkan badannya mengikuti alunan musik.

“Lalu?” Pria itu ternyata mengikutinya. Mereka ikut meliukkan badannya.

“Lalu aku akan kembali menemuinya setelah dia berhasil mendapatkan harta ayahnya.” Gadis itu tersenyum simpul.

“Ohoo, seperti yang aku duga, itulah Haleth temanku.” Pria itu tertawa bersama dengan musik yang memekakkan telinga.

“Tentang kepergianmu ke luar negeri?” lanjut pria itu.

“Luar negeri? Aku akan melakukannya, tapi bukan untuk karirku. Aku ingin bersenang-senang denganmu Jaylen.” Haleth mengalungkan tangannya ke leher Jaylen. Perlahan wajah mereka saling mendekat sebelum kemudian ciuman panas itu mereka lakukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status