“Jason Marick, pria itu kakaknya Nerissa.” Tuan Frore memandang Tuan Mauricio lekat-lekat. Dia berharap Tuan Mauricio bisa mengerti dengan ucapannya.
“Lalu Merick? Bagaimana bisa nama belakangnya berbeda denganmu?” Rupanya rasa penasaran Tuan Mauricio belum terjawab sepenuhnya.
“Dia anak angkatku. Dua puluh dua tahun lalu sebelum aku memiliki Nerissa aku mengadopsinya dari sebuah panti asuhan dan dia sudah memiliki nama yang mungkin diberikan oleh orang tuanya.” Pikiran Tuan Frore melayang pada moment di mana dia dan istrinya mengadopsi Jason anak laki-laki yang sangat tampan dan juga baik hati.
Sebelum mengadopsinya, Tuan Frore sudah lama memperhatikan kehidupan anak itu di panti asuhan. Seorang anak laki-laki berumur kurang lebih 4 tahun itu gemar berbagi pada temannya. Itulah yang menarik perhatian Tuan Frore untuk mengadopsi anak itu.
“Nerissa mengetahuinya?” tanya Tuan Mauricio.
“Ya. Aku memberitahunya ketika dia berumur 15 tahun dan baiknya dia menerima semuanya. Nerissa tak pernah iri dengan kakaknya begitupun sebaliknya. Mereka sangat dekat melebihi kedekatan Nerissa denganku. Sampai di mana aku mengirim Jason ke luar kota untuk mengurus cabang perusahaanku, dan di hari itu juga Nerissa pergi dari rumah untuk tinggal sendiri di sebuah apartemen.” Tuan Mauricio tercengang. Dia baru mengetahui kenyataan bahwa Nerissa memiliki saudara.
“Aku tak bermaksdu menyembunyikannya darimu, awalnya aku akan memperkenalkannya padamu saat hari pernikahan Nerissa, namun sepertinya semesta ingin aku mengungkapkannya lebih awal.” Mereka berdua terkekeh setelahnya.
“Apakah dia sudah menikah?”
“Ya tiga tahun lalu. Namun keluarganya berantakan dan dia belum dikharuniai anak.” Penjelasan Tuan Frore cukup panjang hingga tak terasa kini mereka telah sampai di Apartemen Nerissa.
Sementara Fillan, Lovetta dan Raquil masih berada di rumah sakit karena beberapa menit setelah kepergian Nerissa, Lovetta mendapat pesan bahwa dirinya tak harus mengantar Nerissa. Katanya Nerissa ingin menghabiskan waktu dengan kakaknya saat ini.
Dan di sinilah mereka sekarang. Di sebuah kantin rumah sakit dengan berbagai macam makanan di hadapan mereka. Sebenarnya Fillan mendesak untuk pulang saja, namun kedua gadis ini juga tak kalah mendesak Fillan untuk tetap di sana.
Urusan Fillan dengan Tuan Frore sudah Nerissa urus karena permintaan Lovetta dan berakhirlah Fillan duduk dengan pasrah di antara dua gadis cantik ini.
***
Kening Nerissa mengernyit saat dia melihat seorang pria tengah berdiri di depan pintu apartemennya. Bahu lebar itu cukup untuk menjawab pertanyaan tentang siapa pria itu sebenarnya.
Pria itu berbalik disaat dia mendengan suara langkah di belakangnya. Seperti dugaan Nerissa, Alarick lah yang berdiri di depan pintu apartemennya. Tak ada sedikitpun senyum di wajah pria itu.
“Untuk apa kau di sini?” Nerissa berkata dengan tajam. Gadis itu sedang tak ingin berdebat saat ini. yang dia inginkan hanya hari yang penuh dengan ketenangan sebelum akhirnya dia akan melalui hari-hari bagai neraka setelah dia menikah dengan Alarick nanti.
“Menjengukmu?” Netra Alarick menatap tajam pria yang saat ini ada di samping Nerissa. Oh dan jangan lupakan tangan Nerissa yang masih setia berada dalam genggaman pria itu.
“Aku sedang tak ingin bersandiwara saat ini, jadi simpan kemampuan acting mu itu untuk nanti jika sedang ada orang tua kita.” Baru saja Nerissa melangkahkan kakinya, suara Alarick kembali terdengar di telinganya.
“Bagaimana jika aku katakan saat ini sedang ada orang tua kita?” Mata Alarick menatap lurus ke arah belakang Nerissa tepat di mana Tuan Frore dan Tuan Mauricio berdiri saat ini.
Sontak Nerissa membalikan badannya begitupun dengan Jason.
“Mengapa kalian belum masuk?” Tuan Frore bertanya, netranya memandang mereka satu-satu.
“Baru saja kami akan masuk.” Lihatlah, saat ini Alarick tengah memainkan perannya dengan sangat baik.
Mereka masuk ke dalam apartemen Nerissa setelah sang tuan rumah membuka pintunya.
“Sejak kapan kau memiliki ART?” Tuan Frore bertanya saat netranya menangkap sosok wanita paruh baya yang tengah sibuk dengan peralatan dapur saat ini.
“Belum terlalu lama dan aku rasa kau tak harus menanyakannya, bukankah sejak dulu kau tak peduli padaku?” Perkataan Nerissa sukses membuat semua orang yang ada di sana membulatkan matanya.
“Nerissa! Di mana sopan santunmu?!” Kakaknya tak menyangka sang adik akan bersikap seperti itu pada ayahnya di hadapan banyak orang. Tuan Frore yang melihat kemarahan di mata Jason segera menenangkan pria itu dengan mengelus lengannya.
Sementara Nerissa memilih mengabaikan orang-orang yang ada di sana. Tuan Mauricio yang melihat itu sudah dapat memakluminya, Nerissa bersikap seperti itu hanya pada ayahnya saja. Dia akan menjadi sosok yang sangat sopan jika berhubungan dengan orang lain.
“Nerissa bisakah aku berbicara denganmu?” tanya Tuan Mauricio.
“Bagaimana dengan balkon?” Nerissa menjawab Tuan Mauricio dengan begitu lembut.
Mereka berdua berjalan ke arah balkon menyisakan Tuan Frore, Jason dan Alarick di sana.
***
“Aku tahu kau memiliki alasan atas perlakuan burukmu pada ayahmu dan aku berharap suatu saat kau bisa berdamai dengannya.” Netra Tuan Mauricio memandang suasana ramai kota sebelum kemudian pria paruh baya itu memandang netra Nerissa dengan tatapan sendu.
“Aku tahu kau menyukai Alarick lebih dari apapun. Sangat terlihat ketika kau memohon banyak hal padaku untuk Alarick. Oleh karena itu aku ingin kau menikah dengannya.” Nerissa tersenyum mendengar ucapan Tuan Mauricio.
“Ya kau benar. Aku sangat menyukainya hingga aku melupakan kebahagiaanku sendiri. Aku tak keberatan menikah dengannya bahkan mungkin itu akan menjadi moment luar biasa yang aku miliki. Tapi melihat Alarick kehilangan kebahagiaannya karenaku, apakah aku akan sanggup?” Nerissa memandang netra Tuan Mauricio meminta sebuah jawaban.
“Lalu apakah kau akan sanggup jika melihat Alarick terus digerogoti oleh wanita itu?” Tak ada jawaban untuk pertanyaan Tuan Mauricio. Sudah sejak lama Nerissa ingin memisahkan Alarick dengan Haleth karena gadis itu tak baik untun Alarick, namun bukan berarti dia yang harus menggantikan posisi Haleth. Dia hanya ingin kebahagiaan untuk Alarick.
“Aku tahu putraku sangat arogan, dan sifat arogannya itu yang membuatku khawatir dengan masa depannya. Setidaknya jika kau ada di sisinya, kau bisa mengingatkannya.” Perkataan Tuan Mauricio perlahan masuk ke dalam otaknya.
“Aku akan melakukannya, namun aku tak tahu sejauh mana batasanku.” Senyum cerah perlahan terukir di bibir Tuan Mauricio.
“Aku serahkan padamu jika suatu saat kau sudah tak sanggup lagi.”
***
Sementara di dalam sana Tuan Frore bertanya tentang perkembangan bisnis perusahaan Mauricio. Perbincangan terus berjalan hingga sebuah suara menginterupsi mereka berdua.
“Apa kalian akan terus membicarakan perusahaan saat hari pernikahan hanya tinggal menghitung hari?” Jason sangat pusing dengan pembahasan yang sama. Di luar kota dia harus memikirkan bisnis dan apakah di sini otaknya juga harus bekerja keras?
“Ah aku belum memperkenalkan diriku padamu. Aku Jason Marick, kakak dari Nerissa Frore. Aku harap kau memperlakukan adikku dengan baik”
Alarick berpikir beberapa kali setelah Haleth bertanya demikian.“Kau tak memiliki perasaan lebih padanya, kan?” Pertanyaan itu terus saja berputar-putar di kepalanya.Kini mereka telah sampai di apartemen Haleth dan sejak percakapan tadi di mobil, mereka tak lagi mengeluarkan suara sedikitpun. Keadaan menjadi sangat canggung di antara mereka.“Terima kasih telah mengantarku,” ucap Haleth. Alarick menoleh seolah terkejut dengan perkataan Haleth yang tiba-tiba.“Ah iya sama-sama. Kalau begitu aku tak akan lama, masih ada pekerjaan yang belum aku selesaikan. Lain kali aku akan datang,” ujar Alarick. Pria itu menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali.Haleth mengangguk mengijinkan Alarick untuk pergi dari sana. “Hmm baiklah, hati-hati di jalan.” Haleth melambaikan tangannya pada Alarick dan dibalas dengan lambaian pula oleh Alarick.Alarick kembali ke parkiran dengan berbaga
Nerissa tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya.“Menurutmu, apakah aku bisa bertahan sampai akhir?” tanya Nerissa. Kedua gadis itu mulai mendudukan dirinya di sofa yang tersedia di sana.“Apa? Dengan suamimu?” tanya Lovetta memastikan.Nerissa mengangguk lesu pertanda lagi-lagi ada masalah yang menimpanya.“Apa lagi yang dilakukan suamimu kali ini?” Melihat raut wajah Nerissa cukup membuat Lovetta yakin bahwa suaminya berulah lagi.“Pagi ini aku melihatnya tersenyum,” ujarnya. Lovetta mengerutkan dahinya.“Lalu di bagian mana kesalahan suamimu?” tanya Lovetta heran.“Tak biasanya dia tersenyum selebar itu. Kau tahu apa jawabannya saat aku bertanya?”“Apa?”“Dia bilang, dia sedang membaca sebuah berita online di ponselnya. Lalu bagian berita yang mana yang berhasil membuatnya tersenyum selebar itu?” Nerissa menyandarkan ba
Semesta seakan tak rela melihat kebahagiaan Nerissa. Baru saja beberapa hari lalu sikap Alarick sedikit menghangat padanya, kini pria itu terasa kembali berbeda.Sejak matahari muncul pagi ini, pria itu terus saja sibuk dengan ponselnya. Telepon yang masuk setiap satu jam sekali dan jangan lupakan notifikasi pesan yang seakan tak ada hentinya.“Ada apa sebenarnya dengan ponselmu?” tanya Nerissa geram. Dia bahkan tak kunjung menyentuh makanannya karena notifikasi sialan itu.“Bukan apa-apa. Hanya notifikasi berita saja,” jawab Alarick.“Sejak kapan kau gemar membaca berita di ponselmu dan dengan senyum mengembang itu?” sindir Nerissa. Kalian tahu sudah berapa lama Nerissa mengagumi Alarick. Gadis itu juga tahu dengan pasti apa saja kebiasaan suaminya ini dan membaca berita online bukanlah tipe suaminya.Entah sadar atau tidak, Alarick memudarkan senyumannya. Pria itu juga baru menyadari jika dia tersenyum beberapa
Setelah hari di mana Alarick membawa Nerissa ke rumah sakit, kini hati Nerissa benar-benar tak tenang. Dia takut Alarick akan mengetahui semuanya. Kalimat yang dia tulis dalam novelnya benar-benar hancur karena pikirannya yang bercabang. “Nerissa aku mau mandi.” Ucapan seseorang membangunkan Nerissa dari lamunannya. Nerissa menatap suaminya yang baru saja pulang kerja. “Ah iya, sebentar akan aku siapkan air hangat.” Nerissa beranjak dari kursi kerjanya. Ya, beberapa hari lalu Alarick menyiapkan sebuah meja kerja khusus Nerissa. Nerissa sudah menolak, namun Alarick tetap mamaksa hingga akhirnya meja itu berada di kamarnya dengan Alarick. Beruntunglah kamar mereka luas, jadi masih banyak ruang yang tersisa di sana. Alarick memang ahli dalam berbenah, namun semenjak ada Nerissa, apartemennya terlihat lebih bersih dan tertata. Alarick memuji kemampuan Nerissa dalam hal berumah tangga. “Sudah selesai.” Nerissa kembali ke kamar setelah seles
“Maafkan aku, aku terpaksa melakukannya. Kau tahu jika aku mengatakan yang sebenarnya apa yang akan terjadi,” bujuk Alarick sambil berjalan menjauh dari sana. Dia khawatir Nerissa akan mendengar apa yang dia bicarakan. Pria jangkung itu memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Terdengar helaan napas dari seberang sana. “Baiklah, aku akan tutup teleponnya,” ucap Haleth. Sebenarnya dia tak terlalu keberatan Alarick memanggilnya apa, namun dia merasa harus melakukan itu agar Alarick percaya bahwa dirinya masih menyayangi Alarick. Alarick menjauhkan ponselnya dari telinga. “Siapa?” tanya Nerissa. Alarick sedikit terlonjak dengan kedatangan Nerissa yang tiba-tiba. “Bukan siapa-siapa, hanya rekan bisnis,” ucapnya. Sebenarnya dia bisa saja memberitahu Nerissa bahwa dirinya masih berhubungan dengan Haleth, hanya saja dia takut gadis itu akan mengadu kepada Ayahnya. Nerissa mengangguk paham. “Kau akan pulang sekarang?” tanya Neris
Setelah berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, Nerissa mulai menghubungi satu persatu kontak yang diberikan Lovetta. Dia memang tak berharap banyak pada cara ini, namun tak salah juga jika dia mencoba. Nerissa tak mau mengambil resiko jati dirinya diketahui oleh orang-orang media, maka dari itu dia memakai nomor ponsel lama yang sudah jarang dia pakai. Dia juga tak menelpon tetapi mengirimkan sebuah pesan. Seperti yang kalian tahu jika Nerissa adalah seorang penulis, maka pesan yang dia kirim juga merupakan rangkaian kata yang sepertinya cukup meyakinkan untuk menghentikan skandal Alarick. “Satu persatu sudah selesai,” ucap Nerissa. Memang membutuhkan waktu lama, namun dengan sabar Nerissa mengurusnya satu persatu. “Sayangnya aku gagal meyakinkan stasiun berita yang sangat berpengaruh di Negeri ini,” lirihnya. Sepertinya untuk yang pertama kalinya dia tak bisa membantu Alarick menyelesaikan masalahnya. Nerissa kembali memutar ota