“Jadi mulai dari mana kau akan bercerita?” Ya, Lovetta datang ke rumah sakit setelah Nerissa menghubunginya. Tangannya sibuk mengupas buah jeruk yang barusan dia bawa.
“Rasanya aku tak perlu mengatakan apapun padamu.” Dengan tenang Nerissa mengambil sepotong jeruk yang diberikan Lovetta.
“Kau ingin mati?!” Raut wajah Lovetta sukses membuat Nerissa terkekeh.
“Ya benar. Bagaimana kau bisa tahu jika aku ingin mati?” Untuk kesekian kalinya Lovetta dikejutkan dengan perkataan Nerissa.
“Apa maksudmu?” Tak hanya memberikannya pada Nerissa, gadis itu juga memakan buah jeruk yang sudah dia kupas.
“Apa lagi yang bisa ku lakukan selain bunuh diri untuk menggagalkan perjodohan ini?” Lovetta benar-benar tak habis pikir dengan temannya ini.
“Lakukan saja, pernikahan itu. Lagipula kau bisa bercerai jika sudah memiliki beberapa bukti kekasaran Alarick padamu.” Dengan lancarnya gadis itu memberikan saran pada Nerissa. Hal itu juga pernah terlintas di pikirannya. Jika sekarang dia tak memiliki alasan untuk menolak pernikahannya maka jika dia telah menikah dan Alarick melakukan sesuatu yang tak sepantasnya, dia bisa dengan mudah menggugat pria itu.
“Haruskah?” Netra Nerissa beradu dengan pandangan Lovetta. Kedua gadis itu terkekeh kemudian.
Pintu terbuka menampilkan sosok cantik dengan perban kecil di pelipisnya. Gadis itu tersenyum canggung ke arah Nerissa. Entah bagaimana dia harus memulai percakapannya.
Nerissa dan Lovetta sendiri memandang gadis itu bingung. Mereka tak mengenalnya.
“Permisi Nona. Mohon maaf sebelumnya, saya orang yang menabrak Anda. Nama saya Raquil, sekali lagi saya meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian ini.” Gadis bernama Raquil itu membungkukan badannya.
“Ah kau? Harusnya aku yang meminta maaf padamu. Aku yang melompat ke arah mobilmu dan menyebabkanmu terluka. Katakanlah jika aku harus menganti rugi padamu.” Nerissa berusaha mendapatkan maaf dari gadis itu.
“Tak apa Nona, apakah keadaan Anda sudah membaik?” Raquil sudah mulai tebiasa dengan Nerissa, mungkin karena kepribadian gadis itu yang gampang bergaul atau mungkin karena dia seorang dokter?
“Hmm aku baik-baik saja dan bisakah kau berbicara santai saja? Aku pikir usia kita tak terpaut begitu jauh,” ucap Nerissa tersenyum.
“Ah baiklah Nerissa.” Gadis berkulit putih itu tersenyum walau sedikit canggung.
“Kau mengenalku?”
“Tentu saja. Kau seorang penulis terkenal, bagaimana bisa aku tidak mengenalmu,” kekehnya.
“Jika kau mengenal Nerissa sebagai seorang penulis, kalau begitu kau juga pasti mengenalku.” Dengan percaya diri Lovetta berkata demikian.
Raquil tak menjawab Lovetta. Dia ragu karena dia tak tahu siapa gadis yang barusan berbicara padanya itu. Lovetta memutar bola matanya kesal.
“Namaku Lovetta, aku temannya dan aku seorang EDITOR di perusahaan penerbitan,” ucap Lovetta dengan penekanan di kata editor.
“Ah baiklah Lovetta, namaku Raquil.” Pada akhirnya mereka bertiga berbincang membahas berbagai topik yang menurutnya menarik.
***
“Bisakah kau mendengarkanku dulu?” ucapnya pada orang dalam sambungan telepon. Langkahnya tak tentu arah. Kini Alarick tengah berjalan sangat cepat di tengah ramainya ibu kota. Kepalanya menengok ke sana kemari untuk mencari seseorang.
“Aku mohon setidaknya bertemulah denganku sebelum kau pergi.” terhenti. Pria itu benar-benar kehilangan jejak dan merasa sangat putus asa.
Haleth, Alarick melihat gadis itu beberapa menit lalu. Itu sebabnya dia langsung mengikuti gadis itu dan segera menelponnya. Namun apalah daya, kini dia kehilangan jejak gadis itu dan dalam sambungan telepon gadis itu juga mengatakan bahwa dirinya tak ingin bertemu dengan Alarick.
“Baiklah, aku di belakangmu.” Sebuah kalimat singkat yang sukses membuat Alarick dengan cepat membalikan badannya. Akhirnya sosok yang dia cari sedari tadi kini ada di hadapannya.
Dengan sigap Alarick menarik tubuh kecil itu ke dalam pelukannya. Bagaimana pun ini sudah lama sejak Haleth memutuskan hubungannya dan kali ini mereka bertemu kembali.
“Aku hampir mati merindukanmu,” ucap Alarick terengah. Sementara gadis yang saat ini ada dalam pelukannya tak sedikitpun membalas pelukan Alarick. Tangan lentik gadis itu mendorong tubuh Alarick mencoba melepaskan pelukannya.
“Kau tahu? Aku lebih merindukanmu, tapi aku bisa apa jika saat ini kau akan menjadi milik orang lain.” Benarkah? Tentu saja tidak. Semua yang dikatakan gadis itu hanya sebuah bualan.
“Tak bisakah kita pergi dari sini dan menikah?” Pertanyaan Alarick sukses membuat Haleth tersenyum sinis.
“Lalu kau akan membiayaiku dan bayimu nanti dengan apa? Jika saat ini kau saja masih bergantung pada keluargamu?” Skak. Semua yang dikatakan Haleth benar. Dia masih belum bisa berdiri jika tak ada dukungan dari keluarganya.
Alarick memilih tak menjawab pertanyaan Haleth. Pria itu menunduk lemah. Rasanya semua yang ada di semesta ini tak ada yang berpihak padanya.
“Lakukanlah pernikahan itu jika itu mau kedua orang tuamu, mungkin itu yang terbaik untukmu. Aku pergi, jangan mencariku lagi.” Haleth melepaskan genggamannya tangannya pada Alarick.
Alarick sudah tak bisa mencegah kepergian Haleth, bagaimana pun itu adalah keputusan Haleth dan Alarick tak berhak lagi untuk melarangnya. Kepala pria itu menunduk berusaha menyembunyikan air mata yang saat ini sudah menumpuk di pelupuk matanya. Rasanya, hidupnya sudah tak berarti lagi.
Haleth pergi meninggalkan luka mendalam pada hati Alarick. Perlahan gadis itu menjauh dan kemudian hilang dari pandangannya.
***
Hari ini adalah hari kepulangan Nerissa. Gadis itu merasa jauh lebih baik dari beberapa hari lalu, bahkan perasaannya sangat membaik melihat banyak orang yang datang untuk menjemputnya. Lovetta temannya seperti biasa dia datang sendiri, ayahnya, Fillan, Tuan Mauricio dan bahkan Raquil juga ada di sini, namun mengapa gadis itu menggunakan snelly? Apakah dia seorang dokter? Pertanyaan itu muncul di benak Nerissa.
“Kali ini kau akan pulang denganku.” Sosok pria berjas hitam datang dari arah sampingnya. Ya kini mereka telah ada di lobby rumah sakit. Mata Nerissa membulat melihat siapa yang datang. Gadis itu secara spontan berjalan cepat ke arah pria tampan itu.
Nerissa memeluk erat pria itu begitupun sebaliknya. Orang-orang yang ada di sana menatap heran pada Nerissa kecuali Tuan Frore dan Lovetta. Mereka berdua tersenyum melihat kebahagiaan Nerissa.
“Kapan kau datang? Kenapa tak memberi kabar?” Pria itu melepaskan pelukannya dan tangannya terangkat untuk mengusap puncak kepala Nerissa.
“Justru aku pulang karena kau membuat ulah.” Dengan gemas pria itu mencubit pipi Nerissa yang memang sedikit chubby.
“Kau tak perlu pulang jika hanya untuk memarahiku.” Bibir Nerissa sedikit maju karena kesal.
“Aku tak memarahimu, tapi aku ingin meminta penjelasan padamu.” Tangan Nerissa di genggam begitu saja sebelum kemudian ditarik menuju mobil pria tampan itu.
“Ayah kita duluan.” Lambaian tangan menjadi tanda perpisahan mereka dengan orang-orang yang masih setia berdiri menyaksikan moment manis Nerissa dan pria itu.
“Ayah?” tanya Tuan Mauricio menanyakan kejelasan perihal panggilan itu pada Tuan Frore.
Alarick berpikir beberapa kali setelah Haleth bertanya demikian.“Kau tak memiliki perasaan lebih padanya, kan?” Pertanyaan itu terus saja berputar-putar di kepalanya.Kini mereka telah sampai di apartemen Haleth dan sejak percakapan tadi di mobil, mereka tak lagi mengeluarkan suara sedikitpun. Keadaan menjadi sangat canggung di antara mereka.“Terima kasih telah mengantarku,” ucap Haleth. Alarick menoleh seolah terkejut dengan perkataan Haleth yang tiba-tiba.“Ah iya sama-sama. Kalau begitu aku tak akan lama, masih ada pekerjaan yang belum aku selesaikan. Lain kali aku akan datang,” ujar Alarick. Pria itu menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali.Haleth mengangguk mengijinkan Alarick untuk pergi dari sana. “Hmm baiklah, hati-hati di jalan.” Haleth melambaikan tangannya pada Alarick dan dibalas dengan lambaian pula oleh Alarick.Alarick kembali ke parkiran dengan berbaga
Nerissa tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya.“Menurutmu, apakah aku bisa bertahan sampai akhir?” tanya Nerissa. Kedua gadis itu mulai mendudukan dirinya di sofa yang tersedia di sana.“Apa? Dengan suamimu?” tanya Lovetta memastikan.Nerissa mengangguk lesu pertanda lagi-lagi ada masalah yang menimpanya.“Apa lagi yang dilakukan suamimu kali ini?” Melihat raut wajah Nerissa cukup membuat Lovetta yakin bahwa suaminya berulah lagi.“Pagi ini aku melihatnya tersenyum,” ujarnya. Lovetta mengerutkan dahinya.“Lalu di bagian mana kesalahan suamimu?” tanya Lovetta heran.“Tak biasanya dia tersenyum selebar itu. Kau tahu apa jawabannya saat aku bertanya?”“Apa?”“Dia bilang, dia sedang membaca sebuah berita online di ponselnya. Lalu bagian berita yang mana yang berhasil membuatnya tersenyum selebar itu?” Nerissa menyandarkan ba
Semesta seakan tak rela melihat kebahagiaan Nerissa. Baru saja beberapa hari lalu sikap Alarick sedikit menghangat padanya, kini pria itu terasa kembali berbeda.Sejak matahari muncul pagi ini, pria itu terus saja sibuk dengan ponselnya. Telepon yang masuk setiap satu jam sekali dan jangan lupakan notifikasi pesan yang seakan tak ada hentinya.“Ada apa sebenarnya dengan ponselmu?” tanya Nerissa geram. Dia bahkan tak kunjung menyentuh makanannya karena notifikasi sialan itu.“Bukan apa-apa. Hanya notifikasi berita saja,” jawab Alarick.“Sejak kapan kau gemar membaca berita di ponselmu dan dengan senyum mengembang itu?” sindir Nerissa. Kalian tahu sudah berapa lama Nerissa mengagumi Alarick. Gadis itu juga tahu dengan pasti apa saja kebiasaan suaminya ini dan membaca berita online bukanlah tipe suaminya.Entah sadar atau tidak, Alarick memudarkan senyumannya. Pria itu juga baru menyadari jika dia tersenyum beberapa
Setelah hari di mana Alarick membawa Nerissa ke rumah sakit, kini hati Nerissa benar-benar tak tenang. Dia takut Alarick akan mengetahui semuanya. Kalimat yang dia tulis dalam novelnya benar-benar hancur karena pikirannya yang bercabang. “Nerissa aku mau mandi.” Ucapan seseorang membangunkan Nerissa dari lamunannya. Nerissa menatap suaminya yang baru saja pulang kerja. “Ah iya, sebentar akan aku siapkan air hangat.” Nerissa beranjak dari kursi kerjanya. Ya, beberapa hari lalu Alarick menyiapkan sebuah meja kerja khusus Nerissa. Nerissa sudah menolak, namun Alarick tetap mamaksa hingga akhirnya meja itu berada di kamarnya dengan Alarick. Beruntunglah kamar mereka luas, jadi masih banyak ruang yang tersisa di sana. Alarick memang ahli dalam berbenah, namun semenjak ada Nerissa, apartemennya terlihat lebih bersih dan tertata. Alarick memuji kemampuan Nerissa dalam hal berumah tangga. “Sudah selesai.” Nerissa kembali ke kamar setelah seles
“Maafkan aku, aku terpaksa melakukannya. Kau tahu jika aku mengatakan yang sebenarnya apa yang akan terjadi,” bujuk Alarick sambil berjalan menjauh dari sana. Dia khawatir Nerissa akan mendengar apa yang dia bicarakan. Pria jangkung itu memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Terdengar helaan napas dari seberang sana. “Baiklah, aku akan tutup teleponnya,” ucap Haleth. Sebenarnya dia tak terlalu keberatan Alarick memanggilnya apa, namun dia merasa harus melakukan itu agar Alarick percaya bahwa dirinya masih menyayangi Alarick. Alarick menjauhkan ponselnya dari telinga. “Siapa?” tanya Nerissa. Alarick sedikit terlonjak dengan kedatangan Nerissa yang tiba-tiba. “Bukan siapa-siapa, hanya rekan bisnis,” ucapnya. Sebenarnya dia bisa saja memberitahu Nerissa bahwa dirinya masih berhubungan dengan Haleth, hanya saja dia takut gadis itu akan mengadu kepada Ayahnya. Nerissa mengangguk paham. “Kau akan pulang sekarang?” tanya Neris
Setelah berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, Nerissa mulai menghubungi satu persatu kontak yang diberikan Lovetta. Dia memang tak berharap banyak pada cara ini, namun tak salah juga jika dia mencoba. Nerissa tak mau mengambil resiko jati dirinya diketahui oleh orang-orang media, maka dari itu dia memakai nomor ponsel lama yang sudah jarang dia pakai. Dia juga tak menelpon tetapi mengirimkan sebuah pesan. Seperti yang kalian tahu jika Nerissa adalah seorang penulis, maka pesan yang dia kirim juga merupakan rangkaian kata yang sepertinya cukup meyakinkan untuk menghentikan skandal Alarick. “Satu persatu sudah selesai,” ucap Nerissa. Memang membutuhkan waktu lama, namun dengan sabar Nerissa mengurusnya satu persatu. “Sayangnya aku gagal meyakinkan stasiun berita yang sangat berpengaruh di Negeri ini,” lirihnya. Sepertinya untuk yang pertama kalinya dia tak bisa membantu Alarick menyelesaikan masalahnya. Nerissa kembali memutar ota