Aiman mengusap wajah kasar. Ia tahu kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya, mampu kembali melukai Zia, tapi ia tak bisa membohongi hatinya untuk jujur pada istri pertamanya itu. Berharap Zia bisa mengerti dirinya. "Iya, Zi. Abang mencintai kamu, juga Sintia."Sudut bibir Zia terangkat. Kalimat Aiman tak ubah bak belati tajam yang menancap tepat di ulu hatinya. Zia berusaha menguatkan diri. Ia tahu, jika kedepannya, kata-kata yang lebih menyakitkan akan menjadi hal biasa baginya. "Ke luar lah, Bang! Aku sedang ingin sendiri," usir Zia lirih. "Zi," Pelan tangan Aiman menggenggam jemari Zia. Ada rasa tak tega telah menyakiti perempuan baik itu. Namun ia pun tak mau Sintia kecewa. "Pergilah! Malam ini jatah kau dan Sintia, aku tak ingin sedikit pun menjadi penghalang."Hening. Cukup lama hanya desahan napas penuh luka dari bibir Zia yang terdengar, setelahnya Aiman bangkit dan ke luar setelah mencium pucuk kepala Sang istri. Zia mengusap sudut mata yang basah. Tangannya meng
"Harusnya kau yang iri denganku. Bukankah aku yang pertama kali dan satu-satunya yang merasakan luahan cinta dari Bang Aiman setahun ini." Zia mengedipkan sebelah matanya. Entah sejak kapan Zia menjadi pintar membela hatinya seperti sekarang. Sintia terlihat geram. Emosinya memuncak mendengar kalimat Zia barusan. "Tunggu saja kau, Zia! Aku akan menyingkirkanmu dari hati Bang Aiman."Zia tersenyum lembut, menampakkan dagu runcing penyempurna wajahnya. "Masih ada lagi yang perlu ditanyakan?" Zia menaikkan alis. Sintia menghentakkan kakinya ke lantai seiring emosi di dadanya yang memuncak. Perempuan dengan piyama tidur itu meninggalkan Zia yang masih mematung di pintu kamar. Sintia kembali ke kamar, meraih ponsel di atas nakas, lalu mulai memesan makanan jadi. Tiga hari sudah Sintia tinggal bersama mereka, sejak saat itu pula Zia tak pernah lagi memasuki kamar yang sekarang ditempati Sintia, meski hanya sekedar beres-beres. "Kok, pakaian kotornya nggak di cuci, Sayang?" tanya Aima
"Kenapa, Zi?" "Nggak, nggak papa, Ra." Bibir tipis itu melengkung membentuk bulan sabit. "Kamu sendiri?" Zia balik bertanya, berusaha mencair suasana. Suasana hatinya yang tiba-tiba tak nyaman. "Insya Allah, sesegera mungkin, Zi. Do'akan saja semoga lancar semuanya. Nanti kalau udah deket harinya, bakal kukabarin dan kamu harus dateng." Fira tampak sumringah. Zia menatap dengan binar bahagia kalimat Fira. Terbayang kembali bagaimana dulu bahagianya dirinya saat Aiman datang melamarnya. Namun kini semua memudar, bahkan semakin memudar. *Pukul 15.30 Zia sudah sampai di rumah dengan motor matic yang dibelikan Aiman sebagai kado ulang tahun Zia 5 bulan lalu. Setelah memarkirkan motornya, Zia bergegas masuk rumah dan langsung ke kamar. Entahlah, semenjak Sintia tinggal di sini, kamar menjadi tempat ternyaman bagi Zia. Ia bukan lemah, hanya saja berusaha berdamai dengan hatinya. Bagaimana pun, poligami adalah sunnah dan bercerai pun bukan sesuatu yang dilarang. Hanya saja, ia berus
Zia tetap menyantap makanannya hingga tandas. Keringat di dahinya meleleh karena makanan pedas yang ia makan. Selesai makan ia bangkit, mencuci piring kotor miliknya dan kembali duduk di kursi makan yang sama. Sintia terlihat lebih tenang meski bibirnya masih terlihat memble. "Besok tolong cuci pakaian kotormu. Aku nggak mau sampai ada kecoa di kamar mandi karena bau menyengat dari baju kotormu. Aku juga nggak mau sampai ada tamu masuk rumah ini dan melihat baju kotor berserakan di kamar mandi." Zia berucap dengan mata menatap lurus pada Sintia. "Iya, Kak, tadi rencananya ada tukang loundy yang jemput, tapi ggak jadi karena nggak keburu lagi. Rencananya besok." Sintia berucap sambil menahan kesal. Bagaimana tidak, rasa panas di bibir dan mulutnya saja belum hilang, ditambah lagi kata-kata Zia yang barusan membuatnya terpojok dan merasa malu pada suaminya. "Iya, Zi, besok aku yang bakal antar ke loundry." Aiman menengahi. Namun sebenarnya ia tengah memantik api cemburu dan amarah
Ia sadar, semua yang Zia katakan adalah benar. Bahkan, sejak Sintia di sini, Aiman hanya melihat Sintia hanya melakukan shalat magrib, itu pun harus diajak terlebih dahulu. Saat adzan isya, perempuan itu selalu beralasan ia lelah dan ketika subuh tiba, Sintia dengan manjanya untuk meminta tidur lagi. Aiman tak pernah bisa untuk tegas, bahkan semenjak bersama Sintia, Aiman sering telat melaksanakan shalat subuh karena Zia tak pernah lagi membangunkannya seperti dulu. *"Bangun, Bang! Sudah masuk waktu subuh." Zia menggoncang pelan bahu Aiman yang masih terlelap. Setelah Aiman mulai sadar, Zia melanjutkan murottal qurannya. Aiman bangkit, berjalan menuju kamar mandi, kemudian segera shalat dua rakaat setelah wudhu. Selanjutnya, ia melangkah ke luar, berjalan menuju kamar Sintia. Perempuan itu masih terlelap dalam mimpinya. Berada di antara dua istrinya membuat Aiman terkadang merasa serba salah. Ia tak ingin berpihak pada salah satu di antara keduanya. Namun, sikapnya selalu menunj
Zia yang sejak tadi sibuk berbalas pesan dengan Ibu mertuanya langsung menoleh. Ya, Ibu Ana bertanya banyak pada Zia, jika mereka datang Zia pengen dibawakan apa? Aiman dan Sintia baru saja pulang. Dengan santai, Sintia bergelayut manja di bahu Aiman. Zia langsung tertunduk. Hatinya kembali terluka saat melihat penampakan seperti ini. "Zi, kamu baik-baik saja?" Fira merengkuh bahu Zia yang duduk di sampingnya. Ia mulai paham sedikit tentang rumah tangga Zia sekarang. "Kalau kau butuh teman curhat, aku siap, Zi. Jangan menyiksa batinmu dengan memendamnya," lirih Fira, ia ikut merasakan apa yang sekarang sahabatnya itu rasakan. Zia mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. "Aku baik-baik saja, Ra. Semoga aku mampu melewati cobaan ini."Lelaki yang kini tengah duduk di kursi depan, meremas gagang stir sangat kuat. Ikut membayangkan seandainya adik kesayangannya lah yang berada di posisi Zia. Zia turun setelah mengucap terima kasih pada dua kakak adik itu. Kini tinggallah keduanya melep
Aiman terdiam, seolah baru saja tersadar dari mimpi buruknya. Tangannya mencengkram rambut di kepalanya. Kali ini ia benar-benar merasa frustasi. Zia tersenyum hambar, matanya berkaca-kaca, terasa ada yang hilang dari sudut hatinya. Ya, status seorang istri baru saja hilang darinya. Ia kini resmi menyandang status janda menurut pandangan agama. Tanpa komando, bulir bening yang sejak tadi bergelayut manja di pelupuk matanya terjatuh di pipi. Pipi mulus nan lembut itu kini basah. Sedih bercampur haru melebur jadi satu. Sedih karena rumah tangga sakinah yang ia harapkan dua menit yang lalu sudah musnah. Haru karena tak ada lagi yang mengekang jiwanya. Ia kini bebas, bebas dari ikatan yang memenjarakan hatinya. Sintia yang sejak tadi menguping pembicaraan keduanya bersorak dalam hati. Bibirnya tak henti menyungging senyum puas."Zi, maafkan Abang, Abang sungguh menyayangimu, Zi," lirih Aiman, matanya kini berkaca-kaca setelah menyadari kebodohannya. Tangannya menangkup jemari Zia. Ce
Zia berjalan sambil menyeret koper dan tas jinjing tersampir di bahunya dengan wajah masih sembap, sesaat ia berhenti di halaman depan. Menatap sendu bangunan rumah berhalaman luas yang setahun terakhir ia habiskan waktu bersamanya. Air matanya kembali menitik. Sebuah mobil memasuki halaman rumah, Zia menajamkan pandangannya. Ibu Ana buru-buru turun dari mobil dan berjalan cepat mendekati Zia setelah sejak tadi memperhatikan sikap Zia dari kejauhan. "Kamu mau ke mana, Zi?" Wajah Ibu Ana menyirat tanya besar. Zia tersentak. Cepat tangannya mengusap wajah yang sedari tadi sembap, meski nyatanya tak ada yang berubah. Ya, wajah cantik itu masih saja terlihat seperti habis menangis. "Zi," tegur Ibu Ana lagi. Kini Ayah mertuanya ikut menatap Zia. Zia tersenyum lembut, berusaha menjauhi pikiran negatif sepasang mertuanya itu. Lagi, ia berusaha kuat. "Zia mau ke pesantren, Bu, untuk beberapa hari," ucap Zia mantap. "Terus kenapa perginya sendiri? Kenapa nggak diantar Aiman?" Ibu Ana me