LOGINAmalia berdua rekannya memutuskan pergi ke Siau untuk merayakan hari Raya Idul Fitri. Dua hari menjelang lebaran mereka bersiap melakukan perjalanan menuju Siau. Karena otto beroperasi seminggu tiga kali, pada hari Selasa, Kamis dan Sabtu.
Kebetulan lebaran jatuh pada hari Kamis, jadi memilih pergi pada H-2. Usai mengajar, ketiganya mempersiapkan diri untuk pergi ke pelabuhan Tagulandang kemudian melanjutkan perjalanan naik kapal menuju pelabuhan Siau. Sebelum menunggu otto yang melintas, mereka bertiga berpamitan kepada Mama Marta dan suaminya. Bahwa ketiganya akan berlibur di Siau. Setali tiga uang teman-teman yang bertugas di pulau terpencil lainnya, juga memilih berkumpul ke Siau untuk merayakan hari Raya Idul Fitri. Mereka berkumpul di kontrakan peserta SM-3T yang bertugas di Siau. Ada sekitar empat belas rekan Amalia berkumpul di sana yang bertugas di pulau Biaro dan Siau. "Lha ini bawa ayam bangkok hidup, mau disembelih di sini?" Gurau Amalia melihat Reza rekannya, yang bertugas di Pahepa membawa dua ekor ayam bangkok yang besar. "Begitulah, setidaknya dengan makan kare ayam serasa lebaran di rumah, Bu Alia," balas Reza seraya menenteng kedua ayam di tangan kiri-kanannya. "Aku mau bikin buras, ah. Besok kita ke pasar berburu daun pisang dan tali rafia ya, Bu Alia." Anik, gadis Bugis yang berdomisili di Samarinda mengacungkan tangannya. "Siap. Nanti kita bikin opor ayam untuk nemani buras," jawab Amalia. Sore itu, Ardin selaku tuan rumah. Penyewa base camp, mempersilakan tiga belas rekannya masuk. Teman ceweknya termasuk Amalia, dipersilakan membawa tas menuju kamar dimana dirinya berada. Rumah itu sengaja disewa oleh Ardin, berempat dengan kawannya untuk mengerjakan laporan dan tugas akhir mereka. Kebetulan ketiga rekannya yang bertugas di Pareng memilih liburan ke Gorontalo. Sedangkan ia memilih tinggal untuk menyambut rekan seperjuangan di kabupaten Sitaro itu. "Di rumah ini, kamar ada tiga. Kebetulan kamar mandinya ada dua. Satu di kamar utama, yang akan ditempati para ibu guru. Terus kamar depan, kita pakai buat salat saja. Baru kamar sebelahnya bisa dipakai untuk nyimpan baju bapak-bapak." Ardin memberi instruksi pada rekannya. "Alhamdulillah bisa puas mandi hari ini." Yuni bersenandung seraya mengeluarkan perlengkapan mandinya. "Di tempat kami, harus hemat air." "Bu Ardin tempat tugasnya bagaimana?" tanya Anik yang bersiap masuk kamar mandi sesudah Yuni, rekannya bertugas di pulau Pahepa. "Sama saja. Kalau berbeda, enggak mungkin 'kan, kami memutuskan untuk ngontrak rumah singgah ini, untuk dua bulan. Kita butuh sinyal dan tanpa terkendala listrik untuk mengerjakan laporan," jawab Ardin duduk di tepi ranjang, menunggu semua teman-teman bersiap mandi, menghilangkan penat perjalanan. "Enggak terasa ya, bulan depan sudah sayonara saja kita ini, dari tanah Sitaro," ujar Amalia memandang teman-temannya. "Iya, benar. Setelah kita lewati, tahu-tahu di ujung masa bertugas juga. Mengingat awal tiba di tempat tugas. MasyaAllah perjuangan banget." Hadinda turut berkomentar seraya merapikan baju dalam tas ranselnya. Selesai mandi para ibu guru muda itu berjamaah, menj@mak salat Dzuhur dan Ashar. Kemudian mereka melanjutkan aktivitas ke dapur menyiapkan menu berbuka hari ini. 🌹🌹🌹 Keesokan harinya sepulang belanja dari pasar, keenam cewek ini berkumpul di ruang tengah. Bercengkrama seraya membereskan belanjaan masing-masing. "Kita mulai persiapan untuk membuat hidangan besok ini. Masak sesuai kemampuan masing-masing, ya ...." candaan Ardin mengeluarkan sayuran dari kantong belanjaannya. "Tadi sebelum berangkat ke pasar. Pak Agus manggil Bu Alia, ada perlu apa, ya?" tanya Nura penasaran. "Oh, itu ... Pak Agus ngasih uang untuk belanja dengan request menu masakannya," jawab Amalia tersenyum. "Oh, begitu ...." Nura mengangguk-anggukan kepalanya. "Sudah biasa itu, Bu Nura. Saya di sana. Udah kayak emak keluarga bahagia. Pak Agus bapaknya, Aldory anaknya, hehe ...." "Pantesan belanjanya banyak sekali tadi. Begitu keluar pasar, dah disambut sama Pak Agus dan Reza. Untuk membawakan belanjaan." Anik turut berkomentar seraya membersihkan daun pisang dengan serbet. Rencananya buras akan dibuat nanti malam. "Pak Agus narik para bapak untuk iuran juga. Makanya banyak banget bahan yang kita beli tadi. Syukur, Bu Hadinda mau bantuin belanja." "Dan, kayak pesan di restoran saja itu para bapak request untuk menu lebaran. Mereka mau ikan bakar, cumi pedas manis, soto, opor, sambal goreng kentang, cap jay. Terus minta gorengan ote-ote dan pisang." Hadinda berkata seraya menggelengkan kepalanya. "Secara mereka berdelapan, kita berenam. Ngikut saja menunya, walaupun kita yang masak." Ardin berujar sembari memberikan beberapa wadah untuk tempat mengupas bawang merah, bawang putih dan kentang kepada Yuni dan Amalia. 🌹🌹🌹 Acara berbuka di penghujung Ramadan sangat ramai malam itu. Usai berbuka dan beberes semua bersiap jamaah sholat Isya secara bergantian. Setelahnya takbir dan berpesta kembang api di halaman base camp. "Ayo teman-teman ... bantuin saya bungkusin buras, ya," pinta Anik begitu nasi aron santan sudah siap di panci tanggung yang dirasakannya barusan. Selain membeli bahan buras. Anik juga membeli panci baru untuk membuat buras malam itu. Totalitas memberikan persembahan masakan khas daerahnya. Yuni, Nura dan Hadinda yang membantunya membungkus nasi dengan daun pisang. Anik yang mengikat 3-4 bungkus nasi menjadi satu dengan tali rafia. Amalia ditemani Ardin di dapur mengoreng kentang dan bumbu untuk masak sayur dan lauk besok Subuh. Karena sunnahnya sebelum berangkat salat Idul Fitri, dianjurkan untuk makan terlebih dahulu. "Pengalaman yang sangat berharga kita ikut program SM-3T ini. Jauh dari keluarga, meninggalkan kemewahan, dan kenyamanan. Jujur nih, ya ... sebesar ini. Baru kali ini merasakan tinggal di mess. Enggak ada listrik, sinyal sulit, air bersih terbatas." Yuni berkisah dengan senyum terukir di bibirnya. "Hmm ... Iya, benar. Pengalaman yang sangat berharga sekali. Meski di awal tugas banyakan ngeluh dan berkeluh kesahnya." Sahut Gufron mencebik ke arah Yuni. Seakan mengejek wanitanya itu. "Cie, cie ... langsung nyambung. Wkwkwk ...." Tawa dan tepukan tangan menyoraki mereka. Sudah menjadi rahasia umum. Antara keduanya terlibat cinta lokasi di lapangan. . . Next ..Satria membiarkan Kanaya kembali berbaring santai setelah menandaskan tiga potong kue dan satu gelas jus jeruk. Ia menyalakan ponselnya lagi, memeriksa rentetan pesan masuk yang didominasi ancaman Kanzu dan deretan pertanyaan dari Daffa, berselang-seling dengan notifikasi panggilan tak terjawab dari Ghea.Satria berlalu ke ruang duduk, menatap layar ponselnya. Foto tangannya dan Kanaya, serta cincin kawin mereka berdua.Bunda Syaiba calling...Satria membiarkan panggilan itu berhenti berdering, lalu menyandarkan punggung dan mendongak menatap langit-langit artistik dengan cahaya lembut yang menenangkan. Ia tidak ingin membawa Kanaya kembali, namun terus memaksakan keadaan pun terasa menyakitkan.Satria memejamkan mata, menarik dan mengembuskan napas berulang kali hingga merasa siap menghadapi sisa permasalahan yang menunggunya nanti.Terdengar suara ponsel berdering kembali. Satria memeriksa, ternyata Fran yang menghubungi.“Halo...” sapa Satria pelan, menempelkan ponsel ke telinga ag
“Mas Kanzu tahu kondisi Kanaya sekarang.”“Tapi kalau aku nyerah, pasti makin susah untuk bisa sama-sama seperti sebelumnya,” kata Satria. Ia tahu benar arah pembicaraan itu.“Makanya menyerahnya bukan sekadar menyerah,” ujar Ghea sambil menunduk. “Minta maaf, perbaiki, dan kalau perlu menangislah.”“Apa?” seru Daffa, kaget. “Bby, kamu tahu, Kanaya juga melakukan beberapa hal yang—”“Dia pintar, ingat? Mustahil dia enggak melakukan apa-apa sementara kamu selalu seenaknya,” potong Ghea santai. “Dia harus bisa bertahan di segala keadaan, makanya ngajak cerai itu ide paling tolol, Mas!”“Apa ingatannya udah pulih sepenuhnya?” tanya Satria.Ghea menggeleng. “Belum. Dokter bilang Kanaya kadang masih kewalahan dengan beberapa potongan dan kilas balik ingatan. Dia juga berkomitmen meminimalisasi penggunaan obat, jadi fokusnya sekarang cuma terapi dan relaksasi.”“Kalau ingatannya utuh, dia pasti tahu aku enggak serius sama rencana cerai itu.”Daffa menyipitkan mata. “Bukannya kalau ingatanny
"Pak…” ucap Fran, menghentikan mobil di area lobi rumah sakit. “Pak Satria menunggu di Suite Room lantai delapan.” Kanzu menipiskan bibir dan melepas sabuk pengamannya. “Bapak sejak tadi memang tidak bertanya-tanya, namun saya sungguh bersaksi bahwa hingga siang tadi Ibu Kanaya masih sangat baik-baik saja bersama Pak Satria dan—” “Dan kenyataannya sekarang terjadi hal sebaliknya,” sela Kanzu sambil menyelipkan ponsel ke saku celana belakang dan keluar dari mobil. “Mas Kanzu!” panggil Ghea yang bergegas mendekat begitu Kanzu menuju lift. Daffa yang bersamanya segera membuntuti. “Kanaya?” tanya Kanzu. “Baik, stabil. Dia dirawat di Gedung Selatan,” jawab Ghea sambil menunjuk arah seberang, ke koridor besar menuju gedung perawatan. “Ayo, kita ke—” “Aku akan menemuinya setelah membereskan Satria,” potong Kanzu. Daffa menahan. “Situasi Satria juga enggak
“Terima kasih sudah menelepon. Bunda akan siapkan keperluan tidurnya Saka. Kanaya juga sudah tidur?” “Iya, pulas sejak sejam lalu. Saya janji, Bund ... Kanaya akan baik-baik saja.” Bunda Syaiba mengangguk. Ia tidak bisa menutupi rasa sedih dan kecewanya, karena itu segera mematikan sambungan telepon. “Ayo, ambil Grimlock di kamar Papa Kanzu,” ajak Saka bersemangat. “Iya…” ucap Bunda Syaiba sambil menurunkan cucunya dari pangkuan dan membawanya keluar kamar, meski saat sampai di tangga ternyata Sus Neta sudah membawa barang-barang yang diperlukan. Saka tampak tenang kembali ke tempat tidur. Ia mengenakan kaus kaki, memeluk robot dinosaurusnya, dan diselimuti dengan quilt dari kamar Kanaya. Suara petir bersahutan beberapa kali, namun Saka tidak lagi menangis. Ia hanya mendekut semakin rapat di balik selimut bersama robot Grimlock. “Kenapa?” tanya Bu Syaiba saat cucunya terlihat membuka mata lagi. “Lampunya dimatiin,” jawab Saka sambil tersenyum. Saka udah bobok pakai selimu
"Kanaya!" seru Satria begitu sadar dari pingsannya. Daffa yang duduk di sisi kiri tempat tidur menghela napas pendek. "Dia baik-baik saja. Ghea bersamanya." "Aku mau—" Daffa dengan mudah menahan bahu Satria, membuatnya kembali rebah di tempat tidur. "Dokter obgyn mengonfirmasi kehamilannya, sekitar lima sampai enam minggu kalau dilihat dari hasil USG. Kantong kehamilan dan embrionya sudah terlihat. Jadi ...." "Anakku," lirih Satria. Daffa sempat diam, lalu mengangguk pelan. Sahabatnya tampak tenang menerima situasi. "Mama sudah menelepon. Ghea tidak banyak cerita. Kamu beruntung, dokter memutuskan Kanaya harus bedrest minimal seminggu." Satria mengangguk. Itu berarti istrinya harus beristirahat hingga pulih. "Ghea dan Kanaya sudah video call dengan Saka. Dia terus bertanya kenapa kalian belum pulang. Untungnya, hujan deras. Jadi, bisa dibuat alasan. Mas Kanzu juga baru bisa berangkat besok, sepertinya." Satria menggeleng. "Kalau tidak bisa naik pesawat, dia akan n
RS Premier Surabaya Ghea dan Daffa sama-sama butuh tempat untuk duduk sekaligus menenangkan diri. Dua jam lalu, begitu mobil mereka tiba, Satria justru sedang membopong Kanaya keluar dari rumah, langsung masuk ke kursi belakang, meneriakkan perintah untuk pergi ke rumah sakit. Ghea langsung bertanya apa yang terjadi, namun Satria menyuruhnya diam dan sibuk menghubungi Sus Neta agar segera membawa Saka ke rumah mereka.. “Apa pun yang terjadi, Saka harus kembali padaku, mengerti?” Ghea agak bergidik mendengar seruan itu, ditambah Satria yang kemudian sibuk menghubungi dr. Jihan meminta rekomendasi dokter di Surabaya untuk menangani keadaan Kanaya. Dan di sinilah mereka sekarang, salah satu rumah sakit terbaik di kota Pahlawan. Kanaya menjalani pemeriksaan awal di IGD dan dipindahkan ke Presidential Room setelah dipastikan kondisinya stabil. Kini hanya tinggal menunggu waktu hingga ia sadar. “Kamu aja dulu, Sayang ... yang ajak ngomong,” ucap Daffa karena ponselnya mulai berdering-d







