LOGINHari Sabtu, mentari baru saja menyingsing di ufuk timur, memancarkan cahayanya yang hangat di seantero Pulau Tagulandang. Di sebuah rumah sederhana di Batumawira, Amalia sudah sibuk menyiapkan daftar belanjaan.
Kulkas mereka sudah mulai kosong, dan ini adalah saatnya untuk mengisinya kembali. Di teras, Agus dan Aldory sudah menunggu. Mereka siap berangkat ke pelabuhan, yang juga menjadi pusat keramaian dan pasar di kecamatan. "Sudah siap, Bu Alia?" tanya Agus sambil mengikat tali sepatu. "Biar kita nggak kehabisan sayur segar nanti." Amalia tersenyum, "Sudah, Pak Agus. Daftar belanjanya sudah panjang ini. Semoga uangnya cukup." Aldory tertawa, "Tenang aja, Bu. Kalau kurang nanti kita nambahin. Kan udah janji naik iuran buat puasa." Mereka bertiga berjalan kaki menuju jalan besar, di mana sebuah truk bak terbuka yang dijuluki Otto akan lewat. Otto adalah transportasi umum andalan di sini. Truk dengan bak terbuka yang dilengkapi kursi-kursi kayu ini menjadi saksi bisu keseharian warga Tagulandang. Tak lama kemudian, Otto yang mereka tunggu datang. Dengan sigap, mereka naik dan duduk di kursi kayu yang berjejer. Di dalam Otto, sudah ada beberapa penumpang lain, wajah-wajah familiar yang saling sapa dengan ramah. Pemandangan kebun kelapa dan laut biru yang terbentang luas menemani perjalanan mereka menuju pelabuhan. Perjalanan ke pelabuhan Tagulandang selalu menjadi pengalaman yang menarik. Sehari sebelumnya, Agus dan Aldory sudah lebih dulu ke sana untuk melaksanakan salat Jumat. Di dekat pelabuhan, ada sebuah perkampungan muslim. Penduduknya mayoritas berasal dari Gorontalo dan Solo. Di sanalah mereka menemukan kedamaian dan rasa kekeluargaan, jauh dari tanah asal. Mereka disambut hangat, bahkan saat Idul Adha, ketiganya diperlakukan layaknya saudara sendiri. Kerukunan antarumat beragama di Tagulandang begitu terasa, menjadi pengingat bahwa kebaikan hati tidak mengenal sekat perbedaan. Setibanya di pasar, suasana sudah ramai. Pedagang berteriak menawarkan dagangannya, aroma ikan asin bercampur dengan bau rempah-rempah yang khas. Amalia mengeluarkan catatan panjangnya. Ia berjalan dari satu lapak ke lapak lain, menawar harga dengan cekatan. Agus dan Aldory mengikutinya dari belakang, bertugas membawa belanjaan sambil sesekali memberikan masukan. "Ingat ya, Bu Alia," pinta Agus, "sayur sama lauk aku manut aja. Yang penting sambal jangan ketinggalan. Lauk bisa sederhana, asal sambalnya nendang!" Amalia tertawa kecil, "Cabai mahal, Pak Agus. Nanti kita hitung lagi, ya." Agus memajukan bibirnya, "Ya udah, kalau gitu cabainya aku yang beli sendiri. Jangan khawatir." "Oke!" jawab Amalia. Aldory tak mau ketinggalan, "Aku sing penting telur, Bu Alia. Telur yang paling utama. Stok telur kita habis." Amalia menunjuk kantong belanjaan yang sudah dipegang Aldory, "Itu udah ada dua papan, Dor. Bawa itu." Aldory menoleh dan menggeleng, "Tambahin, sepapan lagi, Bu. Terus sekalian beli tepung terigu. Sampean, kan pinter bikin kue, jajanan. Buat takjilan pas buka puasa nanti. Pasti enak banget kue buatan Ibu." Mata Amalia berbinar, "Astaga, bener! Kenapa aku enggak kepikiran ya? Wah, tambahin lagi kalau gitu, patungannya ini," canda Amalia. Agus tersenyum, ia mengeluarkan lima lembar uang merah dari dompetnya dan menyerahkannya kepada Amalia. Aldory melakukan hal yang sama. "Aman, Bu. Kita sudah narik uang tadi. Sudah sewajarnya kita naikkan iuran dua kali lipat untuk puasa. Biar Ibu nggak pusing ngatur keuangan dapur," kata Agus. Keuangan dapur sepenuhnya dipercayakan kepada Amalia. Mereka sepakat iuran Rp500.000 per bulan untuk kebutuhan sembako. Setiap selesai berbelanja, Amalia akan merinci pengeluaran mereka. Di bulan pertama mereka tinggal di Batumawira, iuran ini sering habis sebelum akhir bulan, sehingga mereka harus iuran kembali. Namun, di bulan-bulan berikutnya, kebaikan hati warga Batumawira mulai terasa. Mama Marta, pemilik rumah yang mereka tinggali, sering berbagi hasil kebunnya. Tetangga-tetangga lain pun tak mau kalah. Pengeluaran untuk sayur dan lauk pauk pun berkurang drastis. Uang iuran Rp1.500.000 biasanya hanya dihabiskan untuk sembako dan gas saja. Masyarakat Batumawira memang sangat baik. Kehadiran mereka bertiga, sebagai utusan negara, amat disegani. Rumah Batumawira tidak pernah sepi dari kunjungan tetangga yang datang membawa hasil panen mereka. Ada yang membawa kacang panjang, sayuran hijau, pepaya, udang, cumi, hingga ikan segar. Semuanya diberikan dengan tulus, tanpa pamrih. Toleransi adalah nilai yang amat dijunjung tinggi di sana. Mereka bertiga adalah satu-satunya keluarga muslim di Batumawira. Hal ini membuat warga sekitar selalu memperhatikan kebutuhan mereka. Ketika ada acara makan bersama, mereka selalu diundang. Mama Marta, dengan penuh perhatian, selalu memasak menggunakan peralatan masak khusus yang dibawanya dari rumah. Ia tahu, babi dan anjing adalah hidangan yang umum disajikan dalam pesta-pesta di gereja, dan itu haram bagi muslim. Suatu sore, Amalia, Agus, dan Aldory diundang ke pesta pernikahan salah satu warga. Pesta itu diadakan di halaman gereja yang dihiasi lampu-lampu kerlap-kerlip. Aroma masakan tercium sedap. Ketika hidangan disajikan, Mama Marta mendekati mereka dengan senyum hangat. "Silakan, Amalia, Agus, Aldory," katanya sambil menyodorkan piring berisi ayam dan udang bakar. "Ini Mama masak khusus untuk kalian. Pakai bumbu rahasia Mama. Dijamin enak dan halal." Amalia terharu, "Terima kasih banyak, Mama Marta. Repot-repot sekali." "Ah, tidak repot sama sekali. Kalian ini sudah seperti anak Mama sendiri," balas Mama Marta. Sikap tulus seperti inilah yang membuat mereka merasa betah dan betah tinggal di Batumawira. Mereka tidak hanya menemukan tempat tinggal, tetapi juga keluarga baru yang menerima mereka dengan tangan terbuka. Amalia, Agus, dan Aldory tak hanya menjalankan tugas negara, tapi juga menjadi jembatan silaturahmi yang kokoh, membuktikan bahwa perbedaan tidak menghalangi kebersamaan. Perjalanan hidup mereka di Tagulandang adalah kisah tentang toleransi, persahabatan, dan kehangatan yang tak akan pernah mereka lupakan. Kembali ke pasar, keranjang belanjaan sudah penuh. Amalia, Agus, dan Aldory duduk sejenak di warung kopi dekat pasar, menikmati es teh manis sambil menunggu Otto kembali. Mereka berbagi cerita tentang kebaikan-kebaikan kecil yang mereka temui sepanjang hari. "Aku jadi berpikir," kata Agus, "Mungkinkah di tempat lain toleransinya sekuat ini? Di mana orang-orangnya begitu peduli sampai hal-hal kecil seperti ini?" Aldory mengangguk setuju. "Iya, Pak Agus. Dulu aku kira di sini bakal susah. Jauh dari masjid, jauh dari sesama muslim. Tapi ternyata, kita justru menemukan keluarga yang lebih besar di sini. Ternyata yang namanya keluarga tidak hanya yang terikat darah. Tapi, bisa terikat dengan kebaikan budi pekerti." Amalia mengusap air matanya yang menetes. "Aku juga begitu. Dulu aku takut tidak bisa berpuasa dengan khusyuk di sini. Tapi dengan kebaikan Mama Marta dan semua tetangga, aku yakin puasa kita nanti akan lebih bermakna. Mereka bahkan bertanya kapan awal puasa, dan berjanji akan membantu menyiapkan takjil." Tiba-tiba, suara klakson Otto terdengar. Mereka bangkit, membayar es teh, dan bergegas naik. Otto kembali melaju, membawa mereka pulang ke rumah dengan hati yang penuh. Belanjaan mereka tak hanya berisi bahan makanan, tapi juga kenangan manis tentang persaudaraan yang tak lekang oleh waktu. Sambil menikmati pemandangan laut yang berkilauan, Amalia, Agus, dan Aldory tahu, mereka tidak hanya tinggal di sebuah pulau kecil, tetapi juga menjadi bagian dari sebuah keluarga besar yang penuh cinta dan toleransi.Satria membiarkan Kanaya kembali berbaring santai setelah menandaskan tiga potong kue dan satu gelas jus jeruk. Ia menyalakan ponselnya lagi, memeriksa rentetan pesan masuk yang didominasi ancaman Kanzu dan deretan pertanyaan dari Daffa, berselang-seling dengan notifikasi panggilan tak terjawab dari Ghea.Satria berlalu ke ruang duduk, menatap layar ponselnya. Foto tangannya dan Kanaya, serta cincin kawin mereka berdua.Bunda Syaiba calling...Satria membiarkan panggilan itu berhenti berdering, lalu menyandarkan punggung dan mendongak menatap langit-langit artistik dengan cahaya lembut yang menenangkan. Ia tidak ingin membawa Kanaya kembali, namun terus memaksakan keadaan pun terasa menyakitkan.Satria memejamkan mata, menarik dan mengembuskan napas berulang kali hingga merasa siap menghadapi sisa permasalahan yang menunggunya nanti.Terdengar suara ponsel berdering kembali. Satria memeriksa, ternyata Fran yang menghubungi.“Halo...” sapa Satria pelan, menempelkan ponsel ke telinga ag
“Mas Kanzu tahu kondisi Kanaya sekarang.”“Tapi kalau aku nyerah, pasti makin susah untuk bisa sama-sama seperti sebelumnya,” kata Satria. Ia tahu benar arah pembicaraan itu.“Makanya menyerahnya bukan sekadar menyerah,” ujar Ghea sambil menunduk. “Minta maaf, perbaiki, dan kalau perlu menangislah.”“Apa?” seru Daffa, kaget. “Bby, kamu tahu, Kanaya juga melakukan beberapa hal yang—”“Dia pintar, ingat? Mustahil dia enggak melakukan apa-apa sementara kamu selalu seenaknya,” potong Ghea santai. “Dia harus bisa bertahan di segala keadaan, makanya ngajak cerai itu ide paling tolol, Mas!”“Apa ingatannya udah pulih sepenuhnya?” tanya Satria.Ghea menggeleng. “Belum. Dokter bilang Kanaya kadang masih kewalahan dengan beberapa potongan dan kilas balik ingatan. Dia juga berkomitmen meminimalisasi penggunaan obat, jadi fokusnya sekarang cuma terapi dan relaksasi.”“Kalau ingatannya utuh, dia pasti tahu aku enggak serius sama rencana cerai itu.”Daffa menyipitkan mata. “Bukannya kalau ingatanny
"Pak…” ucap Fran, menghentikan mobil di area lobi rumah sakit. “Pak Satria menunggu di Suite Room lantai delapan.” Kanzu menipiskan bibir dan melepas sabuk pengamannya. “Bapak sejak tadi memang tidak bertanya-tanya, namun saya sungguh bersaksi bahwa hingga siang tadi Ibu Kanaya masih sangat baik-baik saja bersama Pak Satria dan—” “Dan kenyataannya sekarang terjadi hal sebaliknya,” sela Kanzu sambil menyelipkan ponsel ke saku celana belakang dan keluar dari mobil. “Mas Kanzu!” panggil Ghea yang bergegas mendekat begitu Kanzu menuju lift. Daffa yang bersamanya segera membuntuti. “Kanaya?” tanya Kanzu. “Baik, stabil. Dia dirawat di Gedung Selatan,” jawab Ghea sambil menunjuk arah seberang, ke koridor besar menuju gedung perawatan. “Ayo, kita ke—” “Aku akan menemuinya setelah membereskan Satria,” potong Kanzu. Daffa menahan. “Situasi Satria juga enggak
“Terima kasih sudah menelepon. Bunda akan siapkan keperluan tidurnya Saka. Kanaya juga sudah tidur?” “Iya, pulas sejak sejam lalu. Saya janji, Bund ... Kanaya akan baik-baik saja.” Bunda Syaiba mengangguk. Ia tidak bisa menutupi rasa sedih dan kecewanya, karena itu segera mematikan sambungan telepon. “Ayo, ambil Grimlock di kamar Papa Kanzu,” ajak Saka bersemangat. “Iya…” ucap Bunda Syaiba sambil menurunkan cucunya dari pangkuan dan membawanya keluar kamar, meski saat sampai di tangga ternyata Sus Neta sudah membawa barang-barang yang diperlukan. Saka tampak tenang kembali ke tempat tidur. Ia mengenakan kaus kaki, memeluk robot dinosaurusnya, dan diselimuti dengan quilt dari kamar Kanaya. Suara petir bersahutan beberapa kali, namun Saka tidak lagi menangis. Ia hanya mendekut semakin rapat di balik selimut bersama robot Grimlock. “Kenapa?” tanya Bu Syaiba saat cucunya terlihat membuka mata lagi. “Lampunya dimatiin,” jawab Saka sambil tersenyum. Saka udah bobok pakai selimu
"Kanaya!" seru Satria begitu sadar dari pingsannya. Daffa yang duduk di sisi kiri tempat tidur menghela napas pendek. "Dia baik-baik saja. Ghea bersamanya." "Aku mau—" Daffa dengan mudah menahan bahu Satria, membuatnya kembali rebah di tempat tidur. "Dokter obgyn mengonfirmasi kehamilannya, sekitar lima sampai enam minggu kalau dilihat dari hasil USG. Kantong kehamilan dan embrionya sudah terlihat. Jadi ...." "Anakku," lirih Satria. Daffa sempat diam, lalu mengangguk pelan. Sahabatnya tampak tenang menerima situasi. "Mama sudah menelepon. Ghea tidak banyak cerita. Kamu beruntung, dokter memutuskan Kanaya harus bedrest minimal seminggu." Satria mengangguk. Itu berarti istrinya harus beristirahat hingga pulih. "Ghea dan Kanaya sudah video call dengan Saka. Dia terus bertanya kenapa kalian belum pulang. Untungnya, hujan deras. Jadi, bisa dibuat alasan. Mas Kanzu juga baru bisa berangkat besok, sepertinya." Satria menggeleng. "Kalau tidak bisa naik pesawat, dia akan n
RS Premier Surabaya Ghea dan Daffa sama-sama butuh tempat untuk duduk sekaligus menenangkan diri. Dua jam lalu, begitu mobil mereka tiba, Satria justru sedang membopong Kanaya keluar dari rumah, langsung masuk ke kursi belakang, meneriakkan perintah untuk pergi ke rumah sakit. Ghea langsung bertanya apa yang terjadi, namun Satria menyuruhnya diam dan sibuk menghubungi Sus Neta agar segera membawa Saka ke rumah mereka.. “Apa pun yang terjadi, Saka harus kembali padaku, mengerti?” Ghea agak bergidik mendengar seruan itu, ditambah Satria yang kemudian sibuk menghubungi dr. Jihan meminta rekomendasi dokter di Surabaya untuk menangani keadaan Kanaya. Dan di sinilah mereka sekarang, salah satu rumah sakit terbaik di kota Pahlawan. Kanaya menjalani pemeriksaan awal di IGD dan dipindahkan ke Presidential Room setelah dipastikan kondisinya stabil. Kini hanya tinggal menunggu waktu hingga ia sadar. “Kamu aja dulu, Sayang ... yang ajak ngomong,” ucap Daffa karena ponselnya mulai berdering-d







