Share

12. Toleransi

Author: Rumi Cr
last update Last Updated: 2025-08-15 17:00:49

Hari Sabtu, mentari baru saja menyingsing di ufuk timur, memancarkan cahayanya yang hangat di seantero Pulau Tagulandang. Di sebuah rumah sederhana di Batumawira, Amalia sudah sibuk menyiapkan daftar belanjaan.

Kulkas mereka sudah mulai kosong, dan ini adalah saatnya untuk mengisinya kembali. Di teras, Agus dan Aldory sudah menunggu. Mereka siap berangkat ke pelabuhan, yang juga menjadi pusat keramaian dan pasar di kecamatan.

"Sudah siap, Bu Alia?" tanya Agus sambil mengikat tali sepatu. "Biar kita nggak kehabisan sayur segar nanti."

Amalia tersenyum, "Sudah, Pak Agus. Daftar belanjanya sudah panjang ini. Semoga uangnya cukup."

Aldory tertawa, "Tenang aja, Bu. Kalau kurang nanti kita nambahin. Kan udah janji naik iuran buat puasa."

Mereka bertiga berjalan kaki menuju jalan besar, di mana sebuah truk bak terbuka yang dijuluki Otto akan lewat. Otto adalah transportasi umum andalan di sini. Truk dengan bak terbuka yang dilengkapi kursi-kursi kayu ini menjadi saksi bisu keseharian warga Tagulandang. Tak lama kemudian, Otto yang mereka tunggu datang. Dengan sigap, mereka naik dan duduk di kursi kayu yang berjejer. Di dalam Otto, sudah ada beberapa penumpang lain, wajah-wajah familiar yang saling sapa dengan ramah.

Pemandangan kebun kelapa dan laut biru yang terbentang luas menemani perjalanan mereka menuju pelabuhan.

Perjalanan ke pelabuhan Tagulandang selalu menjadi pengalaman yang menarik. Sehari sebelumnya, Agus dan Aldory sudah lebih dulu ke sana untuk melaksanakan salat Jumat. Di dekat pelabuhan, ada sebuah perkampungan muslim. Penduduknya mayoritas berasal dari Gorontalo dan Solo.

Di sanalah mereka menemukan kedamaian dan rasa kekeluargaan, jauh dari tanah asal. Mereka disambut hangat, bahkan saat Idul Adha, ketiganya diperlakukan layaknya saudara sendiri. Kerukunan antarumat beragama di Tagulandang begitu terasa, menjadi pengingat bahwa kebaikan hati tidak mengenal sekat perbedaan.

Setibanya di pasar, suasana sudah ramai. Pedagang berteriak menawarkan dagangannya, aroma ikan asin bercampur dengan bau rempah-rempah yang khas. Amalia mengeluarkan catatan panjangnya. Ia berjalan dari satu lapak ke lapak lain, menawar harga dengan cekatan. Agus dan Aldory mengikutinya dari belakang, bertugas membawa belanjaan sambil sesekali memberikan masukan.

"Ingat ya, Bu Alia," pinta Agus, "sayur sama lauk aku manut aja. Yang penting sambal jangan ketinggalan. Lauk bisa sederhana, asal sambalnya nendang!"

Amalia tertawa kecil, "Cabai mahal, Pak Agus. Nanti kita hitung lagi, ya."

Agus memajukan bibirnya, "Ya udah, kalau gitu cabainya aku yang beli sendiri. Jangan khawatir."

"Oke!" jawab Amalia.

Aldory tak mau ketinggalan, "Aku sing penting telur, Bu Alia. Telur yang paling utama. Stok telur kita habis."

Amalia menunjuk kantong belanjaan yang sudah dipegang Aldory, "Itu udah ada dua papan, Dor. Bawa itu."

Aldory menoleh dan menggeleng, "Tambahin, sepapan lagi, Bu. Terus sekalian beli tepung terigu. Sampean, kan pinter bikin kue, jajanan. Buat takjilan pas buka puasa nanti. Pasti enak banget kue buatan Ibu."

Mata Amalia berbinar, "Astaga, bener! Kenapa aku enggak kepikiran ya? Wah, tambahin lagi kalau gitu, patungannya ini," canda Amalia.

Agus tersenyum, ia mengeluarkan lima lembar uang merah dari dompetnya dan menyerahkannya kepada Amalia. Aldory melakukan hal yang sama. "Aman, Bu. Kita sudah narik uang tadi. Sudah sewajarnya kita naikkan iuran dua kali lipat untuk puasa. Biar Ibu nggak pusing ngatur keuangan dapur," kata Agus.

Keuangan dapur sepenuhnya dipercayakan kepada Amalia. Mereka sepakat iuran Rp500.000 per bulan untuk kebutuhan sembako. Setiap selesai berbelanja, Amalia akan merinci pengeluaran mereka. Di bulan pertama mereka tinggal di Batumawira, iuran ini sering habis sebelum akhir bulan, sehingga mereka harus iuran kembali.

Namun, di bulan-bulan berikutnya, kebaikan hati warga Batumawira mulai terasa. Mama Marta, pemilik rumah yang mereka tinggali, sering berbagi hasil kebunnya. Tetangga-tetangga lain pun tak mau kalah. Pengeluaran untuk sayur dan lauk pauk pun berkurang drastis. Uang iuran Rp1.500.000 biasanya hanya dihabiskan untuk sembako dan gas saja.

Masyarakat Batumawira memang sangat baik. Kehadiran mereka bertiga, sebagai utusan negara, amat disegani. Rumah Batumawira tidak pernah sepi dari kunjungan tetangga yang datang membawa hasil panen mereka. Ada yang membawa kacang panjang, sayuran hijau, pepaya, udang, cumi, hingga ikan segar. Semuanya diberikan dengan tulus, tanpa pamrih.

Toleransi adalah nilai yang amat dijunjung tinggi di sana. Mereka bertiga adalah satu-satunya keluarga muslim di Batumawira. Hal ini membuat warga sekitar selalu memperhatikan kebutuhan mereka.

Ketika ada acara makan bersama, mereka selalu diundang. Mama Marta, dengan penuh perhatian, selalu memasak menggunakan peralatan masak khusus yang dibawanya dari rumah. Ia tahu, babi dan anjing adalah hidangan yang umum disajikan dalam pesta-pesta di gereja, dan itu haram bagi muslim.

Suatu sore, Amalia, Agus, dan Aldory diundang ke pesta pernikahan salah satu warga. Pesta itu diadakan di halaman gereja yang dihiasi lampu-lampu kerlap-kerlip. Aroma masakan tercium sedap. Ketika hidangan disajikan, Mama Marta mendekati mereka dengan senyum hangat.

"Silakan, Amalia, Agus, Aldory," katanya sambil menyodorkan piring berisi ayam dan udang bakar.

"Ini Mama masak khusus untuk kalian. Pakai bumbu rahasia Mama. Dijamin enak dan halal."

Amalia terharu, "Terima kasih banyak, Mama Marta. Repot-repot sekali."

"Ah, tidak repot sama sekali. Kalian ini sudah seperti anak Mama sendiri," balas Mama Marta.

Sikap tulus seperti inilah yang membuat mereka merasa betah dan betah tinggal di Batumawira. Mereka tidak hanya menemukan tempat tinggal, tetapi juga keluarga baru yang menerima mereka dengan tangan terbuka. Amalia, Agus, dan Aldory tak hanya menjalankan tugas negara, tapi juga menjadi jembatan silaturahmi yang kokoh, membuktikan bahwa perbedaan tidak menghalangi kebersamaan.

Perjalanan hidup mereka di Tagulandang adalah kisah tentang toleransi, persahabatan, dan kehangatan yang tak akan pernah mereka lupakan.

Kembali ke pasar, keranjang belanjaan sudah penuh. Amalia, Agus, dan Aldory duduk sejenak di warung kopi dekat pasar, menikmati es teh manis sambil menunggu Otto kembali. Mereka berbagi cerita tentang kebaikan-kebaikan kecil yang mereka temui sepanjang hari.

"Aku jadi berpikir," kata Agus, "Mungkinkah di tempat lain toleransinya sekuat ini? Di mana orang-orangnya begitu peduli sampai hal-hal kecil seperti ini?"

Aldory mengangguk setuju. "Iya, Pak Agus. Dulu aku kira di sini bakal susah. Jauh dari masjid, jauh dari sesama muslim. Tapi ternyata, kita justru menemukan keluarga yang lebih besar di sini. Ternyata yang namanya keluarga tidak hanya yang terikat darah. Tapi, bisa terikat dengan kebaikan budi pekerti."

Amalia mengusap air matanya yang menetes. "Aku juga begitu. Dulu aku takut tidak bisa berpuasa dengan khusyuk di sini. Tapi dengan kebaikan Mama Marta dan semua tetangga, aku yakin puasa kita nanti akan lebih bermakna. Mereka bahkan bertanya kapan awal puasa, dan berjanji akan membantu menyiapkan takjil."

Tiba-tiba, suara klakson Otto terdengar. Mereka bangkit, membayar es teh, dan bergegas naik. Otto kembali melaju, membawa mereka pulang ke rumah dengan hati yang penuh. Belanjaan mereka tak hanya berisi bahan makanan, tapi juga kenangan manis tentang persaudaraan yang tak lekang oleh waktu. Sambil menikmati pemandangan laut yang berkilauan, Amalia, Agus, dan Aldory tahu, mereka tidak hanya tinggal di sebuah pulau kecil, tetapi juga menjadi bagian dari sebuah keluarga besar yang penuh cinta dan toleransi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   75. Ending

    Saka memperhatikan gambar-gambar bayi di sekitar ruangan, juga ibu-ibu hamil yang tampak berlalu-lalang. Hal itu membuatnya penasaran hingga ia bertanya pada sang ayah yang memangkunya. “Papa, kenapa ada gambar adik bayi banyak? Ibu-ibu hamilnya juga?” “Karena ini namanya bagian obgyn, tempat khusus dokter memeriksa ibu-ibu hamil,” jawab Satria, lalu tersenyum ketika melihat anaknya mengerjapkan mata—jelas mulai tersadar. Kanaya kemudian meraih tangan Saka, menempelkan telapak hangat itu ke perutnya. “Tadinya Papa dan Mama mau memberi tahu pas ulang tahun Saka yang ke-7. Tapi Saka selama ini jadi anak baik, enggak banyak nangis walaupun Papa sering kerja lama, sudah begitu pintar belajarnya … jadi hadiahnya Mama dan Papa kasih lebih cepat.” Satria tersenyum, lalu menunduk untuk berbisik, “Ini hadiahnya hebat banget, lho.” Saka menyimak, kemudian memperhatikan tangannya yang menempel di perut sang ib

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   74. Jangan Menguji

    "Mama ngapain?” tanya Kanaya setelah mandi dan mendapati bundanya antusias di depan lemari, mengeluarkan setelan pakaian formal. “Fran keluarkan mobilnya kakek. Satria mau pakai dan katanya sudah izin untuk antar kamu periksa.” Kanaya mengerjap. “Serius? Kakek izinkan?” “Iya. Semalam dia minta izin waktu mereka nonton bareng. Mbak Heni jam sebelas masih bangun, lalu keluarkan almond panggang sama bikinin teh hangat ... paginya bersih, enggak ada sisa di bak cuci.” Bu Syaiba mendekat. “Satria juga sudah kasih resume e-jurnal ke Kakek. Lima lembar dan semuanya tulisan tangan. Lumayan bisa dibaca, enggak berantakan.” “Masak sih, Mas Satria bisa begitu?” Kanaya sulit percaya. Bu Syaiba terkekeh. “Ya, nyatanya dia bisa melakukan itu, Nay ... Suamimu, menantu lelaki satu-satunya Bunda, papanya Sangsaka.” Kanaya berusaha tidak terlalu tersenyum. Ini jelas kemajuan. “Terus Mama kenapa keluarkan baju formal?” “Kamu enggak mau tampil cantik lagi?” “Mau ... tapi jangan yang fo

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   73. Tidak Terlalu Buruk

    YAYA’S TEAM > GHEA “Gimana, ? Berhasil?” >DAFFA “Enggak ada foto pamer. Berarti gagal.” “Ckckckk, sudah diduga emang.” > GHEA “Siapa tahu lupa ngasih kabar karena keburu asyik ☺.” >DAFFA “Asyik dicuekin maksudnya? Wkwkwk!” >GHEA “Jangan jahat gitu! Kita, kan sudah janji bantuin Kaka.” >DAFFA “Ya kita bantu, tapi Yaya ini mentalnya belum sanggup. Enggak bisa strategi tarik-ulur, dia maunya langsung ikat-ikat merapat.” >GHEA “Ikat-ikat? Ih, bikin kangen. Udah lama kita enggak ☺.” >DAFFA “Yuk, Bby ☺.” “Cari kata aman dulu.” >DAFFA (Sticker acak) >Satria Mandala “KAMU MAU KU IKAT LEHERNYA BEGITU PULANG YA, FA!!!” >Satria Mandala “KAMPRET!!!” Satria mengirimkan lebih banyak emoji jari tengah ke chat pribadi Daffa, diikuti puluhan voice note makian yang tidak layak dengar. Daffa membalas satu menit kemudian. >DAFFA “Udah jelas gagal kamu ya. Ckckck.” Sialan! Satria memaki dalam hati, lalu beralih ke kontak Kanaya. Tadi ia menitipk

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   72. Kamar Tamu

    "Ya ampun, pulas banget itu,” sapa Bu Syaiba saat Satria turun dari mobil dengan menggendong Saka.Jam segini, memang jam tidur siangnya Saka. Ditambah efek rindu karena sepuluh hari terpisah, Saka bahkan tidak mau duduk sendiri, ia langsung memeluk erat bahu kemeja Satria. “Belum lima menit jalan udah tidur,” jelas Kanaya sambil keluar mobil. “Yang ini udah minta makan lagi.” Ia mengelus perutnya. Bu Syaiba tertawa kecil dan memeluk Satria. “Sehat, Satria?” “Iya, Ma.” “Ayo masuk. Mama baru selesai goreng Chicken Kiev.” Satria masuk dan menoleh ke ruang tamu yang sepi. “Kakek sama Fran enggak di rumah, Ma?” “Kakek terapi lanjutan ditemani Fran. Malam pulang," jawab Bu Syaiba. “Eh, Saka mau dicoba dibaringkan dulu?” tanya Bu Syaiba. “Dia pegangan Ma. Tidurnya,” jawab Kanaya. “Kalau dilepas, rewel.” “Satria belum makan, Nay.” Satria tersenyum. “Kanaya bisa suapin aku, Ma.” “Idih. Orang anaknya dipangku bisa. Tangannya ada dua, juga!” balas Kanaya, matanya melirik tajam

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   71. Trik

    “Semua baik-baik saja, Ma … aku pamit langsung tengok mereka,” ujar Satria memberi tahu. Bu Laras kembali memeluknya. “Apa pun yang terjadi, kamu masih punya Mama, Ya ....” “Iya,” jawab Satria sambil membalas pelukan itu beberapa detik. Ghea ikut-ikutan memeluk, membuat Satria tertawa ketika Daffa sudah benar-benar dekat. “Kamu mau ikut peluk juga, Fa?” tawarnya. “Aku normal, cukup peluk adik kamu aja. Sini, Bby,” kata Daffa sambil merentang tangan, dan Ghea benar-benar langsung berpindah memeluknya. “Pamer terus!” Ghea terkekeh, menggeleng sembari bernyanyi, “Jangan iri … jangan iri … jangan iri dengki.” Satria memaki dalam hati. Sialan! Namun ia memutuskan fokus. Waktunya tidak banyak karena ia harus segera ke rumah keluarga Santosa. “Ck! Cepetan, Fa! Mana kopernya?” “Ish, santai napa ... sebenarnya enak barengan kita naik pesawatnya, berangkat sore, kan syahdu. Siapa tahu, langsung bisa ajak Kanaya ke rumah kalian untuk bermalam," canda Daffa, meski ia tetap mendek

  • AMALIA, Kesetiaanku Diragukan   70. Konsultasi

    Kanaya menyipitkan mata karena foto terbaru yang dikirim suaminya lewat email. Ada Fran berdiri di belakang Kakeknya, keduanya tersenyum di samping tong pembakaran yang jelas dipenuhi abu. >satriamandala Selamat pagi dari kami. Gantian PAP dong. Kangen muka bangun tidurnya istriku :) “Dih,” sebut Kanaya. “Kenapa, Bu?” tanya Fran. Kakek Rahmat yang sedang mengaduk susu untuk Saka ikut melirik. “Papanya Saka kirim foto,” kata Kanaya sambil menunjukkan layar tablet. “Oh, masih pagi juga,” ucap Fran tersenyum. “‘PAP’ itu apa, Nak?” tanya Kakek Rahmat setelah membaca sekilas. “Post a picture, kirim foto,” jawab Fran sambil mencondongkan tubuh ke layar cucu majikannya. “Ciyeee… ‘kangen muka bangun tidur istriku’.” “Cheesy banget, kan?” ucap Kanaya sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status