LOGIN“Karena kita perlu memastikan sejauh apa ingatan Kanaya sekarang, saya harap kerja samanya ketika nanti timbul kesadaran lagi untuk bersabar dalam menghadapinya. Sebisa mungkin justru perlahan-lahan mengikuti alur ingatannya. Dia terhenti di ingatan sebelum menikah. Artinya Pak Satria dan Mbak Wafa sama-sama mengerti apa yang terjadi saat itu, lalu berusaha menyesuaikan,” ucap dr. Jihan sebelum beranjak pergi.Satria menyunggingkan senyum tipis sambil menyugar rambut. Bukannya tidak mengerti, tetapi mengingat masa-masa itu juga tidak mudah baginya. Ia tidak ingin mengulang masa lalu. Ia ingin mempertahankan masa sekarang, yang sudah berlanjut dan saling menyesuaikan dengan baik. “Saka mana, Ya?” tanya Wafa, sejak tadi tidak mendapati putra angkatnya di dalam ruangan. “Ikut Ghea ke hotel, mau tidur di sana.” Wafa mengangguk, melipat selimut yang biasa dipeluk Saka selama tidur di ruang rawat ini. “Selimutnya ini kubawa saja,
“Apa-apaan kamu, ini, Mas! Ternyata kamu sudah menikah! Baru, kamu bilang akan bertanggung jawab padaku. Dasar, laki-laki buaya!"Apa-apaan situasi ini! batin Satria dengan syok.Delapan hari yang panjang, melelahkan, sekaligus tak tertahankan. Satria menunggu selama itu, mencoba tetap fokus, kuat, dan tegar. Dokter Jihan segera memandang dua wali pasiennya bergantian. Ini sudah diprediksi oleh timnya dan harus ditangani secara hati-hati.“Pak Satria, Mbak Wafa, biarkan saya bicara lebih dulu dengan Ka—”“Kamu mending balik saja ke istri sah kamu ....” kata Kanaya. Tatapan jijik perempuan itu tampak nyata, menghujam pada Satria.Tidak mungkin!Ini tidak mungkin terjadi. Satria tak sanggup mempercayainya.“Satria...” panggil Wafa, bisa memahami raut kelam sekaligus sedih yang tersurat di wajah sang adik ipar. “Pak Satria, mohon untuk tetap tenang dan biarkan saya—”"Ini tidak nyata,” ujar Satria sedih. Bukan seperti ini seharusnya terjadi. Ia menunggu untuk berjumpa kembali dengan
“Kak ….” Wafa terkesiap saat menyeka pipi adik iparnya dan mendengar panggilan itu. Ia menjauhkan waslap, lalu selembut mungkin menanggapi, “Nay … Naya ….” “Kak Ainun …,” sahut Kanaya pelan. "Masyaallah, Nay!” seru Wafa, segera menekan tombol pemanggil di dekat kepala ranjang. Ia berusaha menahan tangis saat memperhatikan kelopak mata Kanaya bergerak perlahan-lahan, membuka. “Nay … Naya ….” “Kak ….” Wafa mengangguk, menanggapi dengan tangis tertahan dan doa penuh syukur. “Iya, ini Kakak, Nay … oh, syukurlah! Kami sudah lama menunggumu sadar.” Kami? Kanaya menyipitkan mata, menahan nyeri yang menyiksa kepalanya. Sakit sekali rasanya. Tubuhnya pun sulit digerakkan. Lebih dari itu, kerongkongannya terasa sangat kering hingga sulit mengeluarkan suara. “Alhamdulillah, kamu sudah sadar,” ujar Wafa sebelum bergegas menyeka air matanya dan beranjak ke pintu. “Ya, Satria! Naya bangun! Dia barusan manggil aku!” Ya, Satria? Kanaya mengerjapkan mata, menunggu beberapa detik, la
Mas Satria .... Satria terkesiap membuka mata, menyadari ini masih hari kelima sejak kecelakaan yang membuat Kanaya belum sadarkan diri. Ia menoleh ke samping, memperhatikan dengan saksama. Tempat tidur khusus penunggu berukuran double itu tidak cukup leluasa untuknya bergerak, apalagi ditambah Saka. “Saka,” panggil Satria lalu bangun, menoleh ke sekitarnya dan mendapati Daffa di salah satu kursi sofa mengangkat tangan. “Oh, kamu udah lama?” “Setengah jam! Kamu ngorok sampai Saka kesel.” “Mana dia?” tanya Satria, bangun dari tidurnya untuk menghampiri Daffa. “Sama Ante Ghea, jalan-jalan ke bawah, mau lihat adik bayi ....” “Sial.” Daffa tertawa lalu melemparkan sesuatu yang langsung ditangkap Satria. Ponsel yang pernah diserahkan sebelumnya. “Aku harus balik ke Jakarta sore ini. Pekerjaan kamu minggu ini udah aman, ada acc beberapa berkas proyek smart living. Zafran bilang dia yang bakal datang, mungkin lusa.” “Oke.” Satria menatap ponselnya, memeriksa pesan-pesan terb
"Saka ikut Tante Ghea, mau?" tawar Ghea. "Enggak," jawab Saka dalam gendongan Satria, agak rewel karena belum bisa pulas tertidur. Satria mengelus-elus punggung anaknya. "Aku juga malah kepikiran kalau Saka enggak di sini." "Nanti siang kita balik lagi, biar bisa gantian ... kamu juga butuh tidur, Man," ujar Daffa sambil mengusap kepala Saka. "Kamu bawa aja ponselku, selain udah mau mati, aku enggak bisa mikir si Zafran ngomong apa," ujar Satria, menyodorkan ponselnya yang langsung diterima Daffa. "Lah, kalau butuh apa-apa gimana, Mas?" tanya Ghea heran. "Bisa pakai ponselnya Kanaya," jawab Satria sambil merogoh satu ponsel lain yang meski layarnya retak, masih menyala dan berfungsi normal. "Kirain ponsel Kanaya udah mati," ucap Ghea. "Tadinya, terus bisa dinyalain lagi. Masih delapan puluh persen baterainya," jawab Satria, menunjukkan indikator di sudut layar. "Ini dilepas aja pelindung layarnya sama casingnya," kata Daffa kemudian, membantu melepas pelindung retak i
Daffa sudah curiga ada hal yang tidak beres ketika diberi tahu bahwa Kanaya akan dipindahkan ke rumah sakit pusat. Ia dan Ghea yang baru saja mendarat justru diminta mengurus barang-barang yang tertinggal di penginapan. “Saya ganti pakai cek saja ya, Pak. Repot kalau harus ganti unit,” ujar Ghea saat ditemui perwakilan pengelola, setelah diberi tahu tentang proses ganti rugi akibat kecelakaan yang merusak satu unit mobil jeep. “Oh, bukan, saya justru mau meminta informasi soal ganti ruginya. Sopir truknya sudah tertangkap dan bisa diurus untuk—” “Aduh, Mas saya enggak akan punya waktu buat urusan begini,” sela Ghea sambil memandang Daffa. “Iya, kan?” Daffa mengangguk. “Kalau bisa, sopir itu jangan sampai nongol dulu di depan mukanya. Satria kalau dendam, jelek tabiatnya.” “Ih, bener-bener,” Ghea geleng kepala. “Pak, pokoknya silakan diurus saja, ya, kasusnya. Kami mau fokus ke penyembuhan dulu.” “Kalau ada hal penting yang harus kami ketahui, silakan hubungi saya saja,” uja







