Home / Rumah Tangga / AMBISI IBU MERTUA / Bab 6: Nadya mulai memperlihatkan taringnya.

Share

Bab 6: Nadya mulai memperlihatkan taringnya.

Author: Putrisyamsu
last update Last Updated: 2025-09-23 09:50:13

Bab 6: Nadya mulai memperlihatkan  

            taringnya. 

        Hari minggu pagi tidak seperti biasanya Nadya membawa kedua anaknya ke tempat kerja. Sejak kejadian keributan antara Mak Onah dan Nadya, Tania dan Akmal sudah merasa tidak nyaman berada di rumah. Apalagi jika Wanda dan Nadya sedang kerja. Mereka tidak kuat mendengar sindiran- sindiran dan ocehan yang tidak jelas dari Mak Onah. Sindiran dan ocehan yang membuat telinga mereka terasa panas. 

        Atas permintaan kedua anaknya Nadya berencana membawa mereka ke tempatnya bekerja menjahit gorden. Mengingat kejadian yang telah menimpa Tania, Nadya juga berpikir lebih baik saat hari libur sekolah mereka ikut dengannya menghabiskan waktu di sana. Dari pada di rumah. Takutnya hal serupa akan terjadi saat dirinya tidak di rumah dan bisa berakibat fatal untuk kedua anaknya. 

         “Bang, hari ini anak-anak aku bawa ke tempat kerja,” ucap Nadya terdengar kaku, hanya sekedar memberi tahu pada suaminya. 

        “Iya, tidak apa-apa,” responnya membolehkan. Lelaki itu cukup paham dengan tindakan istrinya. Dia sendiri juga berpikir memang lebih baik anak-anaknya ikut dengan Nadya. 

         “Pulang jam berapa?” tanya Wanda dengan nada datar. 

         “Bisa jadi pulangnya malam, karena hari ini pekerjaan harus diselesaikan. Yang punya gorden minta besok lusa sudah dipasang di rumahnya,” jelas Nadya

        “Maaf, Bang. Pagi ini aku hanya bisa menyiapkan secangkir kopi, itupun kurang manis. Abang tau sendiri bukan? Uang yang abang beri sudah habis sejak tiga hari yang lalu,” ucap Nadya dengan nada dingin. Membuat Wanda semakin merasa bersalah. Dia juga tidak bisa berkata apapun, apalagi protes dengan sikap istrinya. Dia sadar, uang sebesar tiga ratus ribu tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya selama satu minggu. 

          “Soal makan nanti siang dan nanti malam abang bisa menumpang makan di rumah mamak abang. Bukankah abang anak kandung mamak? Seandainya dia keberatan abang makan di rumahnya, berarti dia tidak sadar diri. Memangnya selama ini yang memberinya makan siapa kalau bukan abang. Jika dia berkata yang tidak-tidak berarti dia memang manusia yang sangat keterlaluan. Induk ayam saja ikhlas mencari makan untuk anak-anaknya,” sindir Nadya. Sambil mempersiapkan keperluan yang harus dibawa nya. 

          Mendengar ucapan Nadya mulut Wanda seakan terkunci. Dirinya merasa tidak punya hak untuk tidak terima atas semua ucapan istrinya. Ia juga tidak punya alasan melarang istrinya untuk tidak mengeluarkan kata-kata itu. 

         

       Nadya sengaja berangkat pagi-pagi dan meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan. Bahkan piring bekas makan tadi malam pun tidak dicurinya. 

       Sepanjang perjalanan tanpa diketahui kedua anaknya yang ada di jok belakang Nadya menangis tanpa sedikitpun bersuara. Air mata membasahi pipinya yang mulai tirus. Ia sengaja membiarkan cairan bening itu tumpah agar sesak di dadanya sedikit mereda. Akhirnya air mata itu mengering sendiri karena ditiup angin. Hingga tidak meninggalkan jejak dan terlihat oleh kedua buah hatinya. Sepahit apapun kenyataan hidup yang dihadapi, Nadya tidak ingin mereka melihat kesedihannya. 

         “Ya Allah, ampuni aku harus begini,” lirih nya dalam hati. “Maafkan aku, Bang.”

         Sepanjang pernikahannya tidak pernah sekalipun Nadya berlaku seperti ini pada suaminya. Sebesar apapun rasa kesalnya pada Wanda, tidak pernah ia tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. 

          Sebenarnya sebelum berangkat ke tempat kerja dirinya masih bisa membuatkan makan untuk suaminya. Toh Nadya punya uang dari hasil kerjanya sendiri. Selama ini juga dia yang selalu menutupi uang belanja yang selalu kurang. Karena penghasilan suaminya harus dibagi dengan ibunya. Sebagai istri dia juga sadar tanggung jawab suaminya bukan hanya pada istri dan kedua anaknya, tapi juga kepada ibu kandungnya. 

          Agar terhindar dari pertanyaan-pertanyan ibunya yang tentunya akan membuat kepala pusing, Wanda memutuskan untuk keluar rumah. Ia memutuskan pergi ke rumah adiknya yang tinggal tidak begitu jauh dari rumahnya. Sebenarnya ia merasa tidak enak hati bertamu sepagi ini ke sana. Karena dia tau Danur dan istrinya pasti sedang sibuk melayani pembeli di warungnya. 

         Melihat Wanda datang dengan Wajah kusut Danur menghampiri Wanda yang duduk di bawah pohon mangga di depan warung. 

       “Sudah sarapan, Bang?” tanya Danur. Ia memandang sekilas wajah Wanda. Lalu kembali melihat ke arah Warung, memastikan jika istrinya tidak memanggil untuk meminta bantuan melayani pembeli. 

      

       “Sudah, cuma minum kopi,” jawabnya singkat, dengan suara pelan, namun masih dapat didengar jelas oleh Danur. 

      Tanpa berkata apa-apa Danur pergi meninggalkan Wanda menuju warung sarapan Pagi yang ada di depan warung nya. Tak lama, ia membawa sepiring lontong pecel kehadapan Wanda. 

        “Makanlah, dulu, maaf aku belum bisa menemani abang duduk. Abang lihat sendirikan warung sedang banyak pembeli,” ujar Danur. Melihat Wanda datang dengan muka kusut Danur sudah dapat menebak apa yang sedang terjadi. Ingin rasanya saat itu juga ia duduk di samping saudaranya itu. Tapi dirinya juga tidak bisa membiarkan istrinya kerepotan sendiri melayani pembeli di warung sayur yang menjadi mata pencarian ia dan istri nya. 

          Lewat jam sepuluh baru Danur bisa menemani Wanda duduk. Itupun sesekali sambil melayani pembeli. Terbesit rasa iri di hati Wanda melihat adiknya. Meski berjualan sayur di depan rumah tapi sudah bisa menopang kehidupan ekonomi keluarganya. Padahal dulu sehabis operasi usus buntu dia sempat merasa putus asa. Karena sudah tidak bisa bekerja seperti biasa. 

          Apalagi sehabis menjalankan operasi usus buntu Mak Onah sering menyalahkan Danur sebagai anak yang telah menghabiskan sebagian hartanya. Dan setelah ayah mereka meninggal Mak Onah menjual rumah yang sudah diberikan kepada Danur sebagai tempat tinggalnya dan keluarganya untuk mengganti biaya operasi.

          “Apa aku juga harus seperti mu, Danur, pergi dari rumah itu agar mamak tidak punya alasan untuk terus ikut campur dalam urusan rumah tanggaku?” tanya Wanda setelah semua kejadian yang menimpanya diceritakan pada Danur. 

         “Menurut aku lebih baik begitu, Bang. Karena sekarang yang kita pikirkan bukan hanya diri kita dan istri kita. Tapi kita juga harus memikirkan anak-anak. Apa abang tidak merasakan efeknya selama ini. Untuk bekerja mencari nafkah saja abang sudah tidak konsentrasi. Untung saja Kak Nadya orangnya sabar,” ucap Danur memberi pendapat. 

Sesaat Wanda terdiam. Ia berusaha mencerna ucapan adiknya yang telah berani mengambil keputusan untuk kelangsungan hidup keluarganya. 

          “Tapi jika aku keluar dari rumah itu aku mau tinggal mana. Mengontrak rumah juga rasanya berat. Untuk kebutuhan makan dan sekolah saja lebih banyak Nadya yang mengeluarkan biaya.” keluh Wanda. 

        Wajah Danur langsung berubah mendengarnya. Inilah yang tidak disukainya dari Wanda. Selalu mengeluh dan tidak berani memulai hanya karena takut tidak berani menanggung resiko. 

        “Bang, aku bukannya mau mengajarkan abang jadi anak durhaka, ya. Kalau abang di bawah ketiak mamak terus, aku tidak bisa jamin rumah tangga abang akan bertahan,” tegas Danur. 

Bukannya memikirkan pendapat Danur. Wanda terlihat semakin gusar. Ia meremas rambutnya hingga semakin berantakan. 

        

          “Ah, entahlah. Aku pusing,” keluhnya. Merasa putus asa karena tidak menemukan solusi untuk mengatasi masalah kelangsungan rumah tangganya, lelaki itu memilih pulang ke rumah. 

Tapi sebelum benar-benar pulang kerumah Wanda menghabiskan waktu hingga menjelang sore berkeliling tanpa tujuan dengan motornya. 

Setibanya di rumah ia disambut Mak Onah dengan wajah masam dan umpatan yang membuat dadanya terasa sesak. 

       “Wanda kemana saja kamu! Sudah sore begini aku belum masak. Kenapa sebelum pergi kamu tidak memberiku uang belanja terlebih dulu. Kamu sengaja, ya? Mau membuatku mati kelaparan!” omel Mak Onah sambil berkacak pinggang. Ternyata wanita tua itu telah menunggu kepulangan Wanda sejak tadi. 

          Wanda mengeluarkan uang lima puluh ribu dari dalam jok honda dan menyerahkan uang yang memang sengaja ia sisihkan untuk ibunya. 

         “Cuma lima puluh ribu? Kamu pikir uang segini bisa dapat apa!”

                                ******

                          Bersambung

      

          

       

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AMBISI IBU MERTUA   Bab 46: Nasib Mak Onah.

    Bab 46: Nasib Mak Onah. “Mak. Mamak bicara apa?” Feri mendekti Mak Onah dengan perasaan tegang. “Bang. Jangan-jangan pengaruh jimat itu berbalik ke mamak. Makanya dia sekarang seperti ini,” ucap Rina. “Bicara apa kamu, Rina.” Feri tak menghiraukan ucapan istrinya. Keadaan Mak Onah yang terasa janggal membuatnya lebih memilih untuk memperhatikan ibunya. Feri melambai-lambaikan tangannya di hadapan Mak Onah. Tetapi perempuan itu sama sekali tidak menggubris. Tatapan matanya kosong, dengan bibirnya yang terus mengoceh. “Assalamu'alaikum!” Rina dan Feri mendengar suara seseorang yang sudah tidak asing oleh telinga mereka di teras. Keduanya kemudian saling berpandangan. “Pak Asnawi,” ucap Feri begitu yakin. Tanpa meminta persetujuan Rina Feri berjalan ke ruang tamu. Sementara Mak Onah masih membuat Rina merasa bingung. Bingung yang kemudian membuatnya menjadi takut. Tapi bukan rasa takut karena merasa khawatir dengan keadaan ibu m

  • AMBISI IBU MERTUA   Bab 45: Ada apa dengan Mak Onah?

    Bab 45 : Ada apa dengan Mak Onah? Mak Sri dan Mak Endah berlari keluar rumah, disusul oleh Mak Yeyen yang pakaian bawahnya telah basah karena buang air kecil yang tidak bisa ditahannya. tubuh mereka gemetaran melihat lima orang polisi berpakaian preman dan berwajah menyeramkan berdiri tegap di depan tempat tidur Mak Onah. Di teras beberapa warga menghadang dan menangkap ketiga nenek itu yang mereka kira hendak melarikan diri. “Ayo, mau lagi kemana kalian!” sergap salah seorang tetangga. “Tangkap nenek-nenek jahat ini pak polisi, jangan biarkan mereka kabur!” Warga berteriak ikut melampiaskan kekesalan mereka selama ini karena ulah Mak Onah dan teman-temannya. “Masukkan mereka ke penjara biar tidak bikin onar lagi!” teriak yang lainya. Membuat ketiganya semakin ketakutan. . “Ampun, tolong, tolong jangan tangkap kami. Biarkan kami lepas. Kasihani kami sudah tua.” Mereka meratap memohon ampun di tengah kerumunan warga yang

  • AMBISI IBU MERTUA   Bab 44: Akhirnya semua orang tahu perbuatan gila Mak Onah dan teman-temannya.

    Bab 44: Akhirnya semua orang tahu perbuatan gila Mak Onah dan teman-temannya. “Mamak sudah sadar!” jerit Rina. Mereka berlari ke dalam ingin mengetahui keadaan Mak Onah. Hanya Wanda yang masih bertahan berdiri di halaman meratapi kepergian istrinya. Seperti anak kecil yang tidak tahu malu lelaki bertubuh tegap itu terus berteriak memanggil nama istrinya. Membuat tetangga yang terusik dengan kehebohan itu keluar rumah dan mendatangi kediaman Mak Onah. “Nadya…jangan pergi… maafkan abang…!” lulungnya begitu dramastis. Membuat Orang-orang yang sudah berkumpul memandangnya keheranan. “Nadya…!” jeritnya lagi. Suaranya sangat mengenaskan. Sepintas orang yang mendengar akan ikut terhanyut merasakan kepiluan hatinya “Akh… !” “Wanda, kenapa kamu ini? Apa kamu sudah gila?!” teriak salah seorang dari mereka ketika melihat Wanda menghantamkan kepalanya di tiang penyangga

  • AMBISI IBU MERTUA   Bab 43: Keputusan akhir Nadya.

    Bab 43 : Keputusan akhir Nadya. Tubuh Mak Onah tergeletak pingsan di di tempat tidur yang sudah dipindahkan anak-anaknya di ruang tengah. Tampak tubuh kurus wanita tua renta itu terbaring lemah dengan kepala dan kaki diperban. “Kenapa mamak bisa ditabrak mobil, memangnya kalian dari mana?” tanya Feri sangat cemas dengan keadaan Mak Onah. Begitu juga dengan Danur. Mendengar kabar Mak Onah mengalami kecelakaan mereka bergegas menyusul ke kerumah sakit. Mak Onah mengalami patah tulang akibat benturan benda keras yang menghantam kakinya. Sementara kepalanya harus dijahit karena koyak. “Mereka memutuskan untuk tidak merawat Mak Onah berobat di rumah sakit. Karena pihak rumah sakit menyarankan agar kaki Mak Onah dioperasi. Karena faktor usia, semua anaknya memilih melanjutkan pengobatan alternatif patah tulang. “Mamak sebenarnya tidak ditabrak tapi mamak yang menabrakkan diri,” jawab Wanda. “Apa?! Masak mamak mau bunuh diri

  • AMBISI IBU MERTUA   Bab 42: Penyesalan betujung bencana.

    Bab 42 : Penyesalan berujung bencana. “Pak polisi, jangan masukkan saya ke penjara…” raung Mak Onah. Perempuan itu dengan sisa-sisa kekuatannya merangkak ke arah lelaki berseragam polisi. Membuat pemandangan di ruangan itu semakin menggemparkan. “Siapa nenek ini, Kak Alifa?” tanya lelaki itu dengan sorot mata kebingungan. Bagaimana dia tidak bingung, baru saja datang, seorang nenek tua memeluk kakinya sambil meraung-raung seperti orang kesurupan, hingga ia kesusahan untuk berdiri. Sedangkan Wanda yang merasa nyawanya sudah melayang ke langit hanya termangu. Otak nya sudah tidak dapat berpikir dengan jernih. “Ada apa sebenarnya ini, Kak? tolong jelaskan,” pinta lelaki itu. Matanya menatap pada semua orang yang berada di ruangan itu meminta penjelasan. “Tidak ada masalah bukan dengan acara pernikahanya?” tanyanya lagi dengan cemas. Dengan hati yang masih diliputi rasa bingung ia berusaha melepas tangan Mak Onah yang memeluk kakinya

  • AMBISI IBU MERTUA   Bab 41: Menerima kenyataan

    Bab 41: Menerima kenyataan. “Iya, memang sudah beberapa bulan ini Syarif tidak di sini. Sedang ada urusan di Malaysia. Makanya, setiap Mak Onah datang kemari tidak pernah bertemu denganya,” terang Bu Anggraini. Dengan sangat santun Syarif menyalami Wanda dan Mak Onah. Saat tangan mereka bersentuhan Syarif merasakan tangan kedua orang yang baru dikenalnya itu terasa begitu dingin. “Tapi bukankah Laras dan suaminya sudah bercerai?” tanya Mak Onah dengan suara bergetar. Seluruh tubuh perempuan tua itu terasa panas dingin. Begitu juga dengan Wanda. Bukan hanya terkejut. Lelaki itu merasa sangat malu hingga tidak sanggup mengangkat wajahnya. “Siapa yang mengatakan begitu pada Mak Onah?” tanya Laras dengan kening berkerut. Ia lalu memandang Alifa dan adik iparnya yang saat itu hanya tersenyum. Kecil. “Tempo hari. Laras sendiri yang mengatakannya padaku saat mengantar oleh-oleh dari tanah suci.” Dengan menahan rasa malu Mak Onah mencer

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status