LOGINBab 6: Nadya mulai memperlihatkan
taringnya.
Hari minggu pagi tidak seperti biasanya Nadya membawa kedua anaknya ke tempat kerja. Sejak kejadian keributan antara Mak Onah dan Nadya, Tania dan Akmal sudah merasa tidak nyaman berada di rumah. Apalagi jika Wanda dan Nadya sedang kerja. Mereka tidak kuat mendengar sindiran- sindiran dan ocehan yang tidak jelas dari Mak Onah. Sindiran dan ocehan yang membuat telinga mereka terasa panas.
Atas permintaan kedua anaknya Nadya berencana membawa mereka ke tempatnya bekerja menjahit gorden. Mengingat kejadian yang telah menimpa Tania, Nadya juga berpikir lebih baik saat hari libur sekolah mereka ikut dengannya menghabiskan waktu di sana. Dari pada di rumah. Takutnya hal serupa akan terjadi saat dirinya tidak di rumah dan bisa berakibat fatal untuk kedua anaknya.
“Bang, hari ini anak-anak aku bawa ke tempat kerja,” ucap Nadya terdengar kaku, hanya sekedar memberi tahu pada suaminya.
“Iya, tidak apa-apa,” responnya membolehkan. Lelaki itu cukup paham dengan tindakan istrinya. Dia sendiri juga berpikir memang lebih baik anak-anaknya ikut dengan Nadya.
“Pulang jam berapa?” tanya Wanda dengan nada datar.
“Bisa jadi pulangnya malam, karena hari ini pekerjaan harus diselesaikan. Yang punya gorden minta besok lusa sudah dipasang di rumahnya,” jelas Nadya
“Maaf, Bang. Pagi ini aku hanya bisa menyiapkan secangkir kopi, itupun kurang manis. Abang tau sendiri bukan? Uang yang abang beri sudah habis sejak tiga hari yang lalu,” ucap Nadya dengan nada dingin. Membuat Wanda semakin merasa bersalah. Dia juga tidak bisa berkata apapun, apalagi protes dengan sikap istrinya. Dia sadar, uang sebesar tiga ratus ribu tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya selama satu minggu.
“Soal makan nanti siang dan nanti malam abang bisa menumpang makan di rumah mamak abang. Bukankah abang anak kandung mamak? Seandainya dia keberatan abang makan di rumahnya, berarti dia tidak sadar diri. Memangnya selama ini yang memberinya makan siapa kalau bukan abang. Jika dia berkata yang tidak-tidak berarti dia memang manusia yang sangat keterlaluan. Induk ayam saja ikhlas mencari makan untuk anak-anaknya,” sindir Nadya. Sambil mempersiapkan keperluan yang harus dibawa nya.
Mendengar ucapan Nadya mulut Wanda seakan terkunci. Dirinya merasa tidak punya hak untuk tidak terima atas semua ucapan istrinya. Ia juga tidak punya alasan melarang istrinya untuk tidak mengeluarkan kata-kata itu.
Nadya sengaja berangkat pagi-pagi dan meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan. Bahkan piring bekas makan tadi malam pun tidak dicurinya.
Sepanjang perjalanan tanpa diketahui kedua anaknya yang ada di jok belakang Nadya menangis tanpa sedikitpun bersuara. Air mata membasahi pipinya yang mulai tirus. Ia sengaja membiarkan cairan bening itu tumpah agar sesak di dadanya sedikit mereda. Akhirnya air mata itu mengering sendiri karena ditiup angin. Hingga tidak meninggalkan jejak dan terlihat oleh kedua buah hatinya. Sepahit apapun kenyataan hidup yang dihadapi, Nadya tidak ingin mereka melihat kesedihannya.
“Ya Allah, ampuni aku harus begini,” lirih nya dalam hati. “Maafkan aku, Bang.”
Sepanjang pernikahannya tidak pernah sekalipun Nadya berlaku seperti ini pada suaminya. Sebesar apapun rasa kesalnya pada Wanda, tidak pernah ia tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.
Sebenarnya sebelum berangkat ke tempat kerja dirinya masih bisa membuatkan makan untuk suaminya. Toh Nadya punya uang dari hasil kerjanya sendiri. Selama ini juga dia yang selalu menutupi uang belanja yang selalu kurang. Karena penghasilan suaminya harus dibagi dengan ibunya. Sebagai istri dia juga sadar tanggung jawab suaminya bukan hanya pada istri dan kedua anaknya, tapi juga kepada ibu kandungnya.
Agar terhindar dari pertanyaan-pertanyan ibunya yang tentunya akan membuat kepala pusing, Wanda memutuskan untuk keluar rumah. Ia memutuskan pergi ke rumah adiknya yang tinggal tidak begitu jauh dari rumahnya. Sebenarnya ia merasa tidak enak hati bertamu sepagi ini ke sana. Karena dia tau Danur dan istrinya pasti sedang sibuk melayani pembeli di warungnya.
Melihat Wanda datang dengan Wajah kusut Danur menghampiri Wanda yang duduk di bawah pohon mangga di depan warung.
“Sudah sarapan, Bang?” tanya Danur. Ia memandang sekilas wajah Wanda. Lalu kembali melihat ke arah Warung, memastikan jika istrinya tidak memanggil untuk meminta bantuan melayani pembeli.
“Sudah, cuma minum kopi,” jawabnya singkat, dengan suara pelan, namun masih dapat didengar jelas oleh Danur.
Tanpa berkata apa-apa Danur pergi meninggalkan Wanda menuju warung sarapan Pagi yang ada di depan warung nya. Tak lama, ia membawa sepiring lontong pecel kehadapan Wanda.
“Makanlah, dulu, maaf aku belum bisa menemani abang duduk. Abang lihat sendirikan warung sedang banyak pembeli,” ujar Danur. Melihat Wanda datang dengan muka kusut Danur sudah dapat menebak apa yang sedang terjadi. Ingin rasanya saat itu juga ia duduk di samping saudaranya itu. Tapi dirinya juga tidak bisa membiarkan istrinya kerepotan sendiri melayani pembeli di warung sayur yang menjadi mata pencarian ia dan istri nya.
Lewat jam sepuluh baru Danur bisa menemani Wanda duduk. Itupun sesekali sambil melayani pembeli. Terbesit rasa iri di hati Wanda melihat adiknya. Meski berjualan sayur di depan rumah tapi sudah bisa menopang kehidupan ekonomi keluarganya. Padahal dulu sehabis operasi usus buntu dia sempat merasa putus asa. Karena sudah tidak bisa bekerja seperti biasa.
Apalagi sehabis menjalankan operasi usus buntu Mak Onah sering menyalahkan Danur sebagai anak yang telah menghabiskan sebagian hartanya. Dan setelah ayah mereka meninggal Mak Onah menjual rumah yang sudah diberikan kepada Danur sebagai tempat tinggalnya dan keluarganya untuk mengganti biaya operasi.
“Apa aku juga harus seperti mu, Danur, pergi dari rumah itu agar mamak tidak punya alasan untuk terus ikut campur dalam urusan rumah tanggaku?” tanya Wanda setelah semua kejadian yang menimpanya diceritakan pada Danur.
“Menurut aku lebih baik begitu, Bang. Karena sekarang yang kita pikirkan bukan hanya diri kita dan istri kita. Tapi kita juga harus memikirkan anak-anak. Apa abang tidak merasakan efeknya selama ini. Untuk bekerja mencari nafkah saja abang sudah tidak konsentrasi. Untung saja Kak Nadya orangnya sabar,” ucap Danur memberi pendapat.
Sesaat Wanda terdiam. Ia berusaha mencerna ucapan adiknya yang telah berani mengambil keputusan untuk kelangsungan hidup keluarganya.
“Tapi jika aku keluar dari rumah itu aku mau tinggal mana. Mengontrak rumah juga rasanya berat. Untuk kebutuhan makan dan sekolah saja lebih banyak Nadya yang mengeluarkan biaya.” keluh Wanda.
Wajah Danur langsung berubah mendengarnya. Inilah yang tidak disukainya dari Wanda. Selalu mengeluh dan tidak berani memulai hanya karena takut tidak berani menanggung resiko.
“Bang, aku bukannya mau mengajarkan abang jadi anak durhaka, ya. Kalau abang di bawah ketiak mamak terus, aku tidak bisa jamin rumah tangga abang akan bertahan,” tegas Danur.
Bukannya memikirkan pendapat Danur. Wanda terlihat semakin gusar. Ia meremas rambutnya hingga semakin berantakan.
“Ah, entahlah. Aku pusing,” keluhnya. Merasa putus asa karena tidak menemukan solusi untuk mengatasi masalah kelangsungan rumah tangganya, lelaki itu memilih pulang ke rumah.
Tapi sebelum benar-benar pulang kerumah Wanda menghabiskan waktu hingga menjelang sore berkeliling tanpa tujuan dengan motornya.
Setibanya di rumah ia disambut Mak Onah dengan wajah masam dan umpatan yang membuat dadanya terasa sesak.
“Wanda kemana saja kamu! Sudah sore begini aku belum masak. Kenapa sebelum pergi kamu tidak memberiku uang belanja terlebih dulu. Kamu sengaja, ya? Mau membuatku mati kelaparan!” omel Mak Onah sambil berkacak pinggang. Ternyata wanita tua itu telah menunggu kepulangan Wanda sejak tadi.
Wanda mengeluarkan uang lima puluh ribu dari dalam jok honda dan menyerahkan uang yang memang sengaja ia sisihkan untuk ibunya.
“Cuma lima puluh ribu? Kamu pikir uang segini bisa dapat apa!”
******
Bersambung
Bab 87: Warga tercengang. Wajah Nadya dan pak Hardi memerah disertai rasa panas yang menjalar sampai ke tengkuk. Dari kaca kecil yang tergantung di depan nya Pak Hardi masih sempat melihat Nadya tersipu malu dan salah tingkah. Sementara Bude Ijum yang duduk di samping Nadya malah memandang keluar melalui jendela yang sengaja tidak ditutup. ‘Menikah? Ah, dari kemarin dia tidak juga melamarku,” gerutu Nadya di hatinya karena kesal, ia merasa berada di suatu penantian yang tidak pasti. Sekilas ia pun sempat menatap kaca kecil di depan Pak Hardi yang hanya memperlihatkan kedua bola matanya. Deg! Ia merasa darahnya berdesir. Rasanya baru kali ini ia menatap sorot mata lelaki dengan jelas meski hanya dari sebuah cermin. Tapi ia yakin tatapan itu sama sekali tidak bohong. Nadya tahu Pak Hardi juga sedang merasakan sebuah getaran yang sama dengan yang ia rasakan. Hanya saja sepertinya Tania yang duduk sendiri di bangku belakang tidak merespon per
Bab 86: Perjuangan belum berakhir. “Pak Hardi tadi bicara apa?” tanya Nadya. Sebuah pertanyaan yang membuat harapannya kembali muncul. Bagaimana tidak. Meski pertanyaan itu tidak jelas. Tapi Nadya tahu pertanyaan itu sangat serius. “Itu, tadi…maksudnya…” kembali Pak merasa lidahnya terkunci. Kalimat yang harusnya sudah bisa di utarakan langsung pada Nadya harus tertahan di kerongkongan. Sebuah rasa yang sangat menyiksanya. Membuat ia hanya bisa mengumpat pada diri sendiri.Padahal ini adalah kesempatan yang tepat. Ia kembali menarik nafas panjang agar kekuatannya kembali terkumpul untuk menyatakan isi hatinya. Tapi sayangnya, saat itu pula Bude Ijum muncul dengan membawa nampan berisi bubur ayam dan segelas teh panas. “Nadya makan dulu. Ini juga aku buatkan teh panas supaya tubuhmu segar.” Bude Ijum meletakkan semangkuk bubur ayam dan segelas teh di hadapan Nadya. “Ih, Bude. Bisa tidak munculnya nanti saja. Gagal lagi…gagal lagi,” getutu
Bab 85: Curhat dengan Pak Hardi. Nadya turun dari motornya sejenak dia diam berdiri samping motor yang selalu menemaninya pegi. Wajahnya terlihat letih. Letih menanggung rasa takut yang berlebihan. Wanita itu menghela nafas. Ia memandangi dua orang yang juga memperhatikannya dengan menyimpan sebuah pertanyaan. “Kenapa melamun disitu, Nadya?” tanya Bude Ijum dari tempat duduknya. Pak Hardi yang sebenarnya ingin bertanya mulutnya terkunci. Bukan lagi karena merasa malu. Tapi karena teringat dengan peristiwa tadi malam. “Pak Hardi saya takut Akmal pergi dari hidup saya.” Nadya mendekati Pak Hardi yang kemudian memberinya sebuah kursi kosong untuk duduk agar dapat bercerita bercerita lebih tenang. Lelaki itu sekilas menatap wajah Nadya yang terlihat sembab karena menangis semalaman. “Bu Nadya jangan berpikir yang aneh-aneh seperti itu. Tidak mungkin Akmal meninggalkan ibunya. Percaya sama saya,” ucap Pak Hardi tidak bertele-tele, dan tidak
Bab 84: Lamaran yang tertunda. Paginya setelah sholat subuh Bude Ijum yang merasa penasaran dengan apa yang terjadi di tempat kemalangan sengaja menemui keponakannya sambil membawa kopi dan bubur ayam hasil buatannya. “Bapakmu mana, Za?” tanya Bude Ijum pada Reza yang sedang mencuci mobil. “Di Dalam Bude. Masih ngaji,” ucap Reza sambil menyiram air dengan selang panjang ke arah mobil. “Bawa sarapan cuma untuk bapak saja. Malang sekali nasibku tidak ada yang yang mengurus. Nasib…nasib…” ucap Reza dengan suara yang sengaja dikeraskan. Mendengar sindiran pemuda itu Bude Ijum berhenti dan menoleh padanya. Tapi Reza malah pura-pura sibuk. “Kalau mau ambil sendiri sana di dapur. Tanganku cuma dua,” ucap Bude Ijum lalu meneruskan langkahnya ke teras. Saat itu pula Pak Hardi muncul dari pintu samping. “Nih, sarapan dulu. Mumpung masih hangat.” ucap Bude Ijum. “Jam berapa nanti kamu mengantar Nadya dan Tania kesana lagi?” tanya bude ijum
Ban 83: Akmal bertemu ayahnya. “Apa? Tidak! Kamu harus pulang Akmal!” Nadya menarik tangan putranya agar pergi bersamanya dari tempat itu. Namun ternyata Wanda memegangi tubuh Akmal hingga Nadya dibuatnya tertahan karena tentunya tenaga Wanda lebih kuat. “Nadya, tolong. Biarkan Akmal bersamaku. Aku mohon. Aku selama ini merindukan dia,” ucap Wanda memelas. Permohonan lelaki itu bukannya membuat rasa iba di hati Nadya, ia malah meradang. Bukan hanya karena tidak suka dengan sikap Wanda, tapi karena rasa takut kehilangan putranya lebih besar menghantui dirinya. “Ternyata kamu sudah menghasut anakku, ya! Tidak, aku tidak akan membiarkan anakku ikut denganmu. Mau jadi apa dia!” bentak Nadya di depan orang ramai. Nadya yang tidak bisa mengendalikan emosinya bersuara dengan keras di tengah keheningan suasana berkabung itu. Membuat orang-orang yang ada di dalam keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Sebentar saja halaman rumah Feri sudah dikerumuni
Bab 82: Penolakan Tania. “Akmal…” Seru seorang lelaki bertubuh tegap yang berdiri di depan pintu. Darah Nadya berdesir. Langkahnya terhenti. Dari jarak yang tidak terlalu dekat ia pandangi wajah lelaki yang telah menoreh luka di hatinya. Akmal yang berjalan dibelakang Nadya berlari kearah suara yang memanggilnya. Ia tahu itu suara orang sangat dirindukannya “Papa…” Seru Akmal. Begitu remaja itu sudah berdiri di hadapan Wanda lelaki itu memegang bahu anak lelakinya dengan kedua tangan. Ditatapnya wajah yang dulu kepergiannya tanpa mengucapkan sepatah katapun padanya. “Kamu sudah besar, Akmal. Kenapa kamu tidak pernah menemui papa, Nak?” ucap Wanda dengan menatap lekat wajah Akmal. Tangannya yang tadi berada di atas bahu Akmal kini terangkat, ia mengelus wajah yang sedikit banyaknya menyalin wajahnya. Keadaan Wanda terlihat lusuh, sangat jauh berbeda dengan keadaannya saat madih menjadi suami Nadya. Dulu meski penghasilannya tidak jelas







