LOGINBab 7: Sumpah serapah Mak Onah.
“Apa kamu tidak berpikir, Wanda. Uang sebanyak ini dapat apa?” protes Mak Onah dengan wajah cemberut. “Apa uang gajimu sudah kamu beri kepada Nadya semua? Dasar kamu mau saja dibodoh-bodohi. Sudah dari dulu aku katakan. Jangan semua uangmu diberikan pada Nadya,” umpat Mak Onah. Meski bibirnya menggerutu karena Wanda hanya memberi uang sejumlah lima puluh ribu, tapi ia tetap mengambil uang itu dari tangan anaknya.
“Mamak jangan selalu menyalahkan Nadya. Minggu ini bahkan aku tidak memberinya uang sepeserpun. Karena minggu ini aku tidak gajian. Jika mamak tidak percaya tanya saja dengan teman kerjaku,” ujar Wanda berusaha menjelaskan pada mamaknya dan berharap orang tua itu paham dengan kondisinya.
“Alasan kamu saja. Kamu selalu menutup-nutupi kesalahannya. Makanya sekarang dia berani melawanku. Bilang saja kalau kamu sudah tidak mau lagi mengurus orang tua,” ucapnya bersungut-sungut.
“Bukankah setiap minggu Bang Feri dan Danur juga memberi mamak uang. Pakai saja uang dari mereka untuk belanja kebutuhan dapur,” saran Wanda memberi solusi.
“Tidak bisa! Kalian pikir keperluanku cuma untuk makan saja. Aku harus membayar uang arisan dan uang lainnya. Lagi pula aku juga ingin punya barang seperti yang orang lain miliki. Sudah cukup hidupku dulu susah karena membiayai hidup kalian. Jadi apa salahnya jika kalian sekarang yang menyenangkan hidup aku. Lihat itu orang tuanya Heri, hidupnya sekarang makmur. Dan sebentar lagi orang tuanya akan berangkat haji,” ucap Mak Onah membandingkan hidupnya dengan salah satu teman sebaya Wanda yang hidupnya jauh lebih mapan dari Wanda.
Wanda diam. Hatinya terasa semakin diremas. Ingin rasanya dia menjawab, tapi semua itu terpaksa ditelannya lagi.
“Kamu pikir aku tidak ingin seperti itu? Coba saja dulu kamu menikah dengan Laras. Pasti sekarang aku sudah jadi mertua seorang perempuan yang berprofesi sebagai Dosen. Kamu malah memilih menikah dengan perempuan putus kuliah. Apanya yang mau aku banggakan,” omel Mak Onah mengungkit status Nadya saat menikah dulu.
Lagi-lagi menantunya yang menjadi sasaran jika anak-anaknya tidak mampu menuruti kemauannya. Tidak pernah sedikitpun wanita tua itu memahami keadaan anak-anaknya. Yang sering membuat ketiga anaknya sangat sedih, mengapa ibu mereka lebih sering mengumpat dan menyumpahi mereka daripada mendoakan.
Kadang Wanda berpikir, apakah kehidupannya yang susah ini akibat ibunya yang tidak mendoakan dirinya. Tapi kenapa hanya dirinyadirinya? Dua saudaranya setelah pergi menjauh dari ibu mereka malah kini hidupnya telah jauh berubah. Sedangkan dirinya, bukan saja masalah ekonomi yang membuat kepalanya mau pecah. Malah, saat ini masalah rumah tangganya yang mau hancur.
“Terserah, mamak saja. Percuma juga ngomong dengan mamak. Mamak tidak mau mengerti,” ujar Wanda. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulut nya karena sudah tidak tahu lagi dengan cara apa ia memberi pengertian pada ibunya. Mendengar ucapan Wanda ternyata malah membuat hati mak Onah terbakar emosi.
“Oooo, sudah berani melawan kamu sekarang, ya? Ini balasanmu terhadapku ibu yang mengandungmu, yang melahirkan, yang mengeluarkan batu kepalamu dan kamu pikir kamu bisa mengganti air susuku yang sudah kamu minum! Mau jadi anak durhaka kamu, ha!” Kata-kata pamungkas itu lagi yang diucapkan Mak Onah untuk menekan anak-anaknya setiap dia merasa ketiga anaknya telah berbuat zalim padanya.
Bagaimana hati Wanda tidak hancur mendengar ucapan itu. Baginya apa yang diucapkan ibunya itu tidak ada bedanya dengan sumpah yang diucapkan ibu Malin Kundang kepada anaknya yang durhaka.
Wanda meninggalkan Mak Onah begitu saja di teras rumahnya. Ia sengaja menghindar dari hadapan wanita tua itu karena takut tidak bisa mengendalikan emosi.
Merasa telah diabaikan oleh anaknya sendiri mak Onah terus saja mengeluarkan umpatan dan sumpah serapah yang ditujukan kepada anak-anak dan menantunya.
Di kamar, tanpa ada seorangpun yang tahu Wanda menangis sejadi-jadinya. Lelaki itu sengaja meluapkan kesedihan hatinya.
“Apa aku juga harus seperti Bang Feri dan Danur agar aku terlepas dari masalah ini?” gumamnya pada dirinya sendiri.
Lamunan Wanda terhenti ketika telinganya mendengar suara azan magrib dari toa masjid dekat rumahnya. Hati lelaki itu terkesima mendengar panggilan yang ditujukan kepada umat muslim di seluruh penjuru dunia.
Biasanya menjelang waktu magrib ia menyaksikan kesibukan anak-anak dan istrinya bersiap-siap hendak menunaikan sholat magrib, mempersiapkan makan malam meski dengan menu seadanya, dan menyaksikan kehebohan juga pertengkaran kecil kedua anaknya. Tapi kali ini suasana rumah benar-benar terasa berbeda. Rumahnya terasa begitu sepi seperti tidak ada kehidupan di dalamnya.
“Ya Allah, apa sebentar lagi aku benar-benar akan merasa kesepian seperti ini? Tolong aku ya Allah, jangan biarkan mereka pergi meninggalkan aku,” doa Wanda setelah selesai menunaikan sholat magrib.
Lelaki itu duduk beralaskan sajadah dan menyandarkan punggungnya pada springbed. Pandangan matanya menerawang menatap dinding buram di depannya. Seketika rasa takut menggelayuti hati lelaki itu. Takut akan kehilangan orang-orang yang sangat berarti dalam hidupnya.
Kembali terngiang ucapan-ucapan istrinya yang penuh ancaman. Rasa sesal yang begitu dalam membuatnya mengutuk dirinya sendiri.
“Mengapa aku sebodoh ini? Mengapa aku selemah ini? Mengapa aku menjadi lelaki yang tidak bisa melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang suami untuk istrinya? Kenapa aku tidak punya keberanian untuk bertindak agar anak-anakku merasa nyaman berada dalam pelukanku?” tanya nya pada diri sendiri.
Kelemahan dirinya yang sebenarnya sangat ia sadari. Kelemahan yang hanya menjadi penyesalan. Tapi keluarganya tidak hanya butuh pengakuan itu. Anak dan istrinya saat ini lebih membutuhkan sosok lelaki yang benar -benar bisa menjadi tumpuan untuk tempat mereka bergantung.
Lelah dengan kemelut yang berkecamuk di hatinya, Wanda mulai beranjak dari duduknya . Suasana rumah yang sepi semakin mencekam. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan melintasi jalan aspal di depan rumahnya.
Wanda mendatangi rumah yang berantakan sejak ditinggal anak dan istrinya. Benar-benar kondisi yang sangat kacau. Sekacau hatinya yang tidak bisa bekerja sama dengan pemikirannya.
Perlahan diambilnya sapu yang tersandar di dinding dapur. Tanpa sengaja matanya memandangi meja makan yang kosong. Tidak ada suguhan apapun yang ia temui di atasnya. Tidak seperti hari-hari sebelumnya.
Salahkah jika semua ini terjadi?
Tangan kekar Wanda mulai menyapu setiap sudut ruangan di rumahnya. Pekerjaan yang selalu dikerjakan oleh anak dan istrinya.
“Sudah jam setengah sembilan, kenapa mereka belum pulang juga Apa sebaiknya aku telepon saja? Siapa tahu mereka minta dijemput,” lirih Wanda dalam di hati.
Belum lagi niatnya dilaksanakan terbesit keraguan di hatinya, sehingga tidak jadi menelpon Nadya. Entah mengapa ada rasa sungkan pada istrinya. Rasa yang mungkin mulai membatasi hubungan diantara mereka.
Satu jam dirinya duduk dengan gelisah menanti kepulangan anak-anak dan istrinya. Matanya tiap sebentar memandang jam yang tergantung di dinding ruang tamu. Perut yang sejak tadi keroncongan minta diisi tidak lagi ia pedulikan. Pikirannya hanya tertuju pada istri dan kedua anaknya.
Tepat jam sepuluh malam kurang lima belas menit terdengar suara sepeda motor yang sudah sangat dikenalnya memasuki halaman rumah. Hatinya yang tadi begitu gelisah akhirnya tergantikan dengan perasaan lega karena mereka yang dinanti telah tiba dengan selamat. Namun ia seakan sudah tidak punya nyali di hadapan istrinya.
“Pa, ini nasi goreng untuk papa.” Akmal yang baru turun dari sepeda motor menyerahkan bungkus plastik berisi nasi goreng yang masih panas. Sementara mata Wanda melihat dengan jelas mamaknya mengintip dari balik gorden jendela kaca yang tertutup.
*****
Bersambung
Bab 45 : Ada apa dengan Mak Onah? Mak Sri dan Mak Endah berlari keluar rumah, disusul oleh Mak Yeyen yang pakaian bawahnya telah basah karena buang air kecil yang tidak bisa ditahannya. tubuh mereka gemetaran melihat lima orang polisi berpakaian preman dan berwajah menyeramkan berdiri tegap di depan tempat tidur Mak Onah. Di teras beberapa warga menghadang dan menangkap ketiga nenek itu yang mereka kira hendak melarikan diri. “Ayo, mau lagi kemana kalian!” sergap salah seorang tetangga. “Tangkap nenek-nenek jahat ini pak polisi, jangan biarkan mereka kabur!” Warga berteriak ikut melampiaskan kekesalan mereka selama ini karena ulah Mak Onah dan teman-temannya. “Masukkan mereka ke penjara biar tidak bikin onar lagi!” teriak yang lainya. Membuat ketiganya semakin ketakutan. . “Ampun, tolong, tolong jangan tangkap kami. Biarkan kami lepas. Kasihani kami sudah tua.” Mereka meratap memohon ampun di tengah kerumunan warga yang
Bab 44: Akhirnya semua orang tahu perbuatan gila Mak Onah dan teman-temannya. “Mamak sudah sadar!” jerit Rina. Mereka berlari ke dalam ingin mengetahui keadaan Mak Onah. Hanya Wanda yang masih bertahan berdiri di halaman meratapi kepergian istrinya. Seperti anak kecil yang tidak tahu malu lelaki bertubuh tegap itu terus berteriak memanggil nama istrinya. Membuat tetangga yang terusik dengan kehebohan itu keluar rumah dan mendatangi kediaman Mak Onah. “Nadya…jangan pergi… maafkan abang…!” lulungnya begitu dramastis. Membuat Orang-orang yang sudah berkumpul memandangnya keheranan. “Nadya…!” jeritnya lagi. Suaranya sangat mengenaskan. Sepintas orang yang mendengar akan ikut terhanyut merasakan kepiluan hatinya “Akh… !” “Wanda, kenapa kamu ini? Apa kamu sudah gila?!” teriak salah seorang dari mereka ketika melihat Wanda menghantamkan kepalanya di tiang penyangga
Bab 43 : Keputusan akhir Nadya. Tubuh Mak Onah tergeletak pingsan di di tempat tidur yang sudah dipindahkan anak-anaknya di ruang tengah. Tampak tubuh kurus wanita tua renta itu terbaring lemah dengan kepala dan kaki diperban. “Kenapa mamak bisa ditabrak mobil, memangnya kalian dari mana?” tanya Feri sangat cemas dengan keadaan Mak Onah. Begitu juga dengan Danur. Mendengar kabar Mak Onah mengalami kecelakaan mereka bergegas menyusul ke kerumah sakit. Mak Onah mengalami patah tulang akibat benturan benda keras yang menghantam kakinya. Sementara kepalanya harus dijahit karena koyak. “Mereka memutuskan untuk tidak merawat Mak Onah berobat di rumah sakit. Karena pihak rumah sakit menyarankan agar kaki Mak Onah dioperasi. Karena faktor usia, semua anaknya memilih melanjutkan pengobatan alternatif patah tulang. “Mamak sebenarnya tidak ditabrak tapi mamak yang menabrakkan diri,” jawab Wanda. “Apa?! Masak mamak mau bunuh diri
Bab 42 : Penyesalan berujung bencana. “Pak polisi, jangan masukkan saya ke penjara…” raung Mak Onah. Perempuan itu dengan sisa-sisa kekuatannya merangkak ke arah lelaki berseragam polisi. Membuat pemandangan di ruangan itu semakin menggemparkan. “Siapa nenek ini, Kak Alifa?” tanya lelaki itu dengan sorot mata kebingungan. Bagaimana dia tidak bingung, baru saja datang, seorang nenek tua memeluk kakinya sambil meraung-raung seperti orang kesurupan, hingga ia kesusahan untuk berdiri. Sedangkan Wanda yang merasa nyawanya sudah melayang ke langit hanya termangu. Otak nya sudah tidak dapat berpikir dengan jernih. “Ada apa sebenarnya ini, Kak? tolong jelaskan,” pinta lelaki itu. Matanya menatap pada semua orang yang berada di ruangan itu meminta penjelasan. “Tidak ada masalah bukan dengan acara pernikahanya?” tanyanya lagi dengan cemas. Dengan hati yang masih diliputi rasa bingung ia berusaha melepas tangan Mak Onah yang memeluk kakinya
Bab 41: Menerima kenyataan. “Iya, memang sudah beberapa bulan ini Syarif tidak di sini. Sedang ada urusan di Malaysia. Makanya, setiap Mak Onah datang kemari tidak pernah bertemu denganya,” terang Bu Anggraini. Dengan sangat santun Syarif menyalami Wanda dan Mak Onah. Saat tangan mereka bersentuhan Syarif merasakan tangan kedua orang yang baru dikenalnya itu terasa begitu dingin. “Tapi bukankah Laras dan suaminya sudah bercerai?” tanya Mak Onah dengan suara bergetar. Seluruh tubuh perempuan tua itu terasa panas dingin. Begitu juga dengan Wanda. Bukan hanya terkejut. Lelaki itu merasa sangat malu hingga tidak sanggup mengangkat wajahnya. “Siapa yang mengatakan begitu pada Mak Onah?” tanya Laras dengan kening berkerut. Ia lalu memandang Alifa dan adik iparnya yang saat itu hanya tersenyum. Kecil. “Tempo hari. Laras sendiri yang mengatakannya padaku saat mengantar oleh-oleh dari tanah suci.” Dengan menahan rasa malu Mak Onah mencer
Bab 40: Mak Onah dan Wanda pasang aksi. “Kamu jangan bohong dengan mamak, Wanda. Kamu masih suka bukan dengan Laras. Ya, aku tahu. Dari sorot matamu saat menatap Laras waktu itu. “Tapi apa mungkin Laras juga masih mau denganku? Mamak tahu sendiri bukan, meski dulu aku dan Laras pernah saling mencintai tapi sekarang dalam segi ekonomi aku tidak lebih baik dari mantan suaminya itu. Bukan tidak mungkin dia akan mencari pengganti suami seorang lelaki yang jauh lebih mapan dari aku. Bahkan dari mantan suaminya. “Kamu ini, jadi laki-laki kok mental tempe. Pantasan saja selama ini kamu mau dibodoh-bodohi istrimu itu,” ucap Mak Onah kesal karena Wanda belum apa-apa sudah menyerah. “Percaya dengan mamak. Asal kamu yakin tidak ada yang tidak mungkin. Lagi pula aku akan berdiri di belakangmu. Kamu tahu bukan, doa seorang ibu seperti apa?” ucapnya dengan nada penuh tekanan. Seolah mendapat semangat baru Wanda menetapkan keputusannya. Berusaha







