Home / Rumah Tangga / AMBISI IBU MERTUA / Bab 5: Ancaman Nadya.

Share

Bab 5: Ancaman Nadya.

Author: Putrisyamsu
last update Last Updated: 2025-07-11 21:59:40

Tanpa berpikir apa-apa lagi Wanda berlari ke dalam rumah. Hatinya semakin tidak menentu melihat putrinya terkulai lemah dalam pelukan Nadya. “

Tania, sadar, Nak. Tania, bangun!” teriak Wanda dan Nadya. Sepasang suami itu begitu panik melihat Tania pingsan. Belum pernah sebelumnya nya Tania mengalami hal seperti ini.

Cukup lama Tania tidak sadarkan diri, membuat kedua orang tua dan adiknya merasa cemas. Merasa sangat cemas dengan keadaan Tania, Wanda berniat hendak memanggil Bidan yang ada di kampung itu. Tapi sebelum ia mengengkol sepeda motor Akmal muncul dari dalam rumah. 

“Papa, kakak sudah sadar, tidak usah jemput Ibu Bidan,” panggil Akmal, membuat Wanda merasa lebih tenang. 

Tak ada suara isak tangis lagi yang keluar dari mulut Tania. Gadis belia itu hanya diam, entah apa yang dipikirkannya. Tapi Nadya dapat merasakan apa yang sedang dirasakan anak gadisnya. Wanita itu menghela nafas, pastinya ia merasa begitu khawatir dengan keadaan psikis Tania. Dia takut di dalam diamnya gadis itu memendam sesuatu yang tidak disangka-sangka. 

“Tania, jangan kamu dipikirkan kejadian tadi, ya, nak. Mama tau perasaan kamu. Yang harus kita lakukan sekarang kita tetap harus melawan dan menentang kelakuan nenek kamu, supaya dia tidak terus menerus berbuat sesuka hatinya pada kita,” ucap Nadya penuh penekanan. Kata-kata itu sengaja diucapkannya dengan jelas di hadapan suaminya. Ia berharap suaminya peka dengan kata-katanya, juga keadaan yang sedang menimpa keluarga mereka. Dan segera bertindak agar tidak ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi diantara mereka. 

Nadya melirik ke arah suaminya yang terdiam begitu mendengar ucapannya. Sudah lama ia menunggu perlakuan bijak suaminya untuk anak-anak dan dirinya. Namun untuk kesekian kalinya Nadya tetap harus menelan rasa kecewa. 

“Tania tidak Terima diperlakukan seperti tadi di depan orang ramai oleh nenek, Tania benar-benar malu,” ucap Tania dingin.

“Kamu tidak perlu malu Tania. Kamu lihat sendiri tadi, tidak satupun orang yang percaya dengan omongan nenekmu. Bahkan yang seharus malu itu nenekmu sendiri karena tanpa dia sadar, dia sudah mempermalukan dirinya sendiri didepan orang sekampung. Heh, itupun kalau nenekmu masih punya rasa malu,” ucap Nadya, kembali ia melirik ke arah suaminya yang tak berkutik dengan ucapan istrinya. Ia semakin tidak bisa berbuat apa-apa karena sebenarnya ia pun merasa apa yang diucapkan istrinya itu memang benar. Hanya ia masih belum punya nyali untuk berbuat sesuatu. 

Tania kembali diam membisu. Ucapan ibunya sama sekali tak mampu mengobati hatinya yang terlanjur sakit akibat lidah tajam neneknya. Rasa dendam mulai tertanam di sanubari gadis itu. Rasa yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang cucu kepada neneknya sendiri. 

___________

Selama ini aku yang selalu menjadi pelampiasan kebencian orang tuamu, Bang. Sekarang anakku yang tidak tahu apa-apa yang jadi pelampiasannya. Kamu pikir aku akan tinggal diam melihat anakku harus mengalami trauma seperti ini,” ucap Nadya pada suaminya. 

Wanita itu mulai mengeluarkan isi hatinya yang sudah tak terbendung. Disaat kedua buah hatinya sudah tertidur. Dengan suara pelan tertahan agar tak mengusik tidur indah mereka 

“Aku tau ibumu sangat menyesal kamu menikah denganku. Oke, aku Terima. Tapi jika anakku yang jadi korban. Aku tidak bisa Terima. Kurang apa aku selama ini. Kalau soal menyesal. Jujur aku juga menyesal sudah menjadi istrimu. Aku juga menyesal kenapa dulu aku begitu dungu mau menikah denganmu.” Mendengar kata-kata Nadya Wanda hanya bisa menelan ludah. Hati lelaki itu menjadi risau, karena semenjak kejadian beberapa hari ini ia sadar Nadya istrinya sudah tidak bisa dianggap remeh. 

“Jika aku mau aku juga bisa seperti istri saudara-saudaramu itu.,” ujar Nadya. 

"Aku tahu keadaan ini membuat kalian metasa tidak nyaman," ucap Wanda serah menarik nafas panjang. 

“Aku capek menghadapi ibumu. Dan aku lebih capek lagi melihat kamu tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap Nadya sambil meremas bantal guling sebagai pelampiasan perasaannya selama ini. 

"Nad... " Wanda tidak melanjutkan kata-katanya. Karena ia tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan. 

“Kurang apa aku jadi istrimu. Selama ini aku bisa terima keadaanmu. Asal kamu tau, aku sangat malu dengan keluargaku tentang dirimu yang tidak mampu membahagiakan aku dan anak-anakku." Nadya berhenti berbicara, kemudian mengambil nafas panjang untuk melanjutkan ucapannya. 

Wanda masih diam. Satu-satunya yang bisa dilakukannya saat itu adalah membiarkan istrinya mengeluarkan semua uneg-uneg dihatinya. 

“Aku bahkan menutupi semua kekuranganmu dimata keluargaku. Sudah berapa habis uang adikku untuk membantu perekonomian kita. Sampai detik ini tak sepeserpun bantuan modal dari mereka menampakkan hasil. Malu. Aku benar-benar malu dengan keluargaku sendiri,” ujar nya sambil berusaha menahan air mata agar tidak keluar. 

"Iya," ucap Wanda merasa bersalah. 

 “Apa kamu masih ingat dengan modal yang diberi adikku untuk membuka warung di depan rumah ini. Tapi mamakmu yang busuk hati itu malah merasa usaha warungku itu mengotori halaman rumahnya. Padahal dari warung itu pula dia mengambil keperluannya. Dan aku sama sekali tidak pernah perhitungan, sampai akhirnya warung itu harus gulung tikar karena modal yang tidak bisa berputar. Apa kamu tidak punya rasa malu sedikitpun pada adikku yang sudah memberi kita modal.” Wanda hanya mendengar kata demi kata yang diucapkan istrinya tanpa bisa sedikitpun membantah. 

"Nadya, aku mohon jangan pojokkan aku terusterus," lirih Wanda. Hatinya nyeri dihujat istrinya sendiri. 

“Kurang apa aku. Sekarang aku berusaha berjualan obat-obat herbal itu pun dituduh yang bukan-bukan oleh Mamakmu. Sampai-sampai dia menuduh aku keluar rumah karena punya selingkuhan. parahnya lagi waktu itu kau malah percaya begitu saja,” ungkit Nadya.

Ingatanya tentang kejadian beberapa tahun lalu saat ia mulai merintis usaha obat herbalnya muncul begitu saja di kepalanya. 

“Seandainya nanti kesabaranku sudah habis jangan salahkan jika nanti aku mengambil jalan pintas. Karena sebagai suami dan ayah kamu tidak bisa melakukan sesuatu yang seharusnya kamu lakukan,," tekan Nadya. "Sepertinya memang lebih baik kita bercerai, seperti yang diharapkan mamakmu itu,” ungkit Nadya. 

"Nadya. Apa maksud kamu bicara seperti itu?" tanya Wanda. Ia menatap wajah istrinya yang dingin. 

“Sekarang kamu lihat sendiri akibatnya pada anak kita. Kamu tau apa yang membuat dia pingsan? Hatinya tertekan. Apa yang dirasakannya ini belum sepantasnya dirasakanoleh anak seumur dia. Terlalu berat beban mental yang harus ditanggungnya. Aku takut jiwa Tania akan terguncang.”

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Wanda untuk membantah apa yang diutaran istrinya. Ia mulai berpikir apa yang harus dilakukannya sebagai seorang suami dan ayah bagi kedua anaknya. Tapi tidak melanggar dosa terhadap orang tuanya sendiri. . 

                              ********     

                          Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AMBISI IBU MERTUA   Bab 91: Mencekam.

    Bab 91: Mencekam “Pokoknya sekarang kamu pulang dengan mama…” Nadya membentak Akmal. Sebuah perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Tapi rasa takut akan kehilangan anaknya membuat wanita itu kehilangan kendali. Hingga tidak peduli ia memarahi Akmal di tengah orang ramai. “Ma. Tolonglah, mengerti. Akmal hanya ingin bersama papa,”ucap Akmal berharap mamanya mengerti. Mata remaja itu berkaca-kaca. Sedang semua mata memandang pada ibu dan anak yang saling bersitegang mempertahankan haknya. “Aku tidak akan pernah mempercayakan anak ku dengan laki-laki itu. Dirinya saja tidak bisa dia urus. Bagaimana mungkin anakku akan nyaman dengannya,” ucap Nadya dengan kasar pada Wanda yang berdiri bersama Akmal. “Kenapa Nadya? Karena aku cuma orang miskin dan kamu sekarang sudah jadi orang sukses?” tanya Wanda dengan mata berkaca-kaca. Dia sadar dengan keadaan dirinya. Tapi dia juga tidak kuat harus menahan diri berjauhan lebih lama lagi dengan anak lelaki nya.

  • AMBISI IBU MERTUA   Bab 90: Nadya semakin cemas.

    Bab 90:Nady semakin cemas. Jenazah Mak Onah sudah dibawa ke masjid yang tidak jauh dari rumah Feri untuk di sholatkan. Tidak semua warga yang berkeinginan menyolatkan nya. Terutama perempuan. Ternyata tidak dapat dipungkiri perbuatan seseorang semasa hidupnya akan berefek pada perlakuan orang padanya saat tua dan diakhir hayatnya. “Hardi. Kamu yang jadi imam sholat jenazah” pinta Mbah Giran. Tidak hanya Pak Hardi yang terkejut. Semua jamaah juga terkejut dan saling pandang. Kenapa Mbah Giran selaku orang yang dituakan di sana malah meminta orang yang tidak mereka kenal untuk menjadi imam. Mbah Giran mengerti dengan apa yang dipikirkan mereka, terlihat jelas dari raut wajah jemaah yang bertanya-tanya dan menyimpan keraguan. Dengan menepuk-nepuk pundak Pak Hardi ia menerangkan alasannya. “Hardi ini murid saya waktu di Gontor. Dia mondok di sana sejak SD sampai Tamat Aliyah. Jadi insyaallah dia paham dengan urusan ini,” ucapnya dengan memandangi wajah

  • AMBISI IBU MERTUA   Bab 89: Bertemu Mbah Giran.

    Bab 89: Bertemu Mah Giran. Diantara orang-orang yang sedang mempersiapkan keberangkatan jenazah Mak Onah ke masjid untuk disholatkan. Mata Nadya terus mencari-cari Akmal. Sejak kedatangannya ia belum bertemu dengan anaknya. Membuat hati perempuan itu semakin gelisah. Ia tidak peduli dengan kegiatan disana. Juga ketika jenazah Mak Yeyen dijemput oleh pihak keluarganya dan dibawa pulang ke rumahnya. “Kak, Rina. Dari tadi aku tidak melihat Akmal. Apa kakak tahu dia dimana?” tanya Nadya pada Rina yang juga terlihat sibuk “Oh, Akmal. Dari pagi dia ikut Danur ke pemakaman. Dia ingin ikut membuat lubang liang lahat untuk neneknya, Jelas Rina. “ Aku tinggal dulu, ya. Oh iya kamu tidak ikut ke makam?” tanya Rina. Sebentar matanya melirik pak Hardi yang ada disamping Nadya. Sebenarnya sejak kedatangan Nadya bersama Pak Hardi tadi malam Rina merasa sangat penasaran. Tapi ingin bertanya secara langsung dia juga tidak enak. “Lho, kamu Hardi, ya? Dengan siapa ka

  • AMBISI IBU MERTUA   Bab 88: Mak Yeyen minta maaf.

    Bab 88: Mak Yeyen Minta maaf. “Mak Yeyen?” bibir Nadya bergetar begitu menyebut nama perempuan tua di hadapannya. Tubuh wanita itu tidak bergerak. Matanya menatap pias wanita yang terlihat sudah semakin tua. Ingatannya Tentang perbuatan tiga teman mantan ibu mertuanya masih melekat kuat dibenaknya. Bahkan semuanya masih menancap di hati Nadya. Perlakuan empat perempuan tua yang menyebabkan perceraiannya dengan Wanda. “Nadya…maafkan aku, Nadya…” Suara keras tangisan Mak Yeyen memecah keheningan suasana berkabung. Disaat beberapa orang sedang menggotong keranda yang akan membawa jenazah Mak Onah ke peristirahatan terakhir. Tanpa disangka wanita tua itu berlutut di kaki Nadya. Memuat semua mata terkesima memandangnya. “Nadya tetap berdiri mematung di samping Pak Hardi yang terus mendampinginya. Memaafkan perempuan tua itu bukanlah urusan mudah baginya. “Nadya, keinginan terakhir dalam hidupku aku hanya berharap kamu membukakan pintu maaf untuk

  • AMBISI IBU MERTUA   Bab 87: Warga tercengang.

    Bab 87: Warga tercengang. Wajah Nadya dan pak Hardi memerah disertai rasa panas yang menjalar sampai ke tengkuk. Dari kaca kecil yang tergantung di depan nya Pak Hardi masih sempat melihat Nadya tersipu malu dan salah tingkah. Sementara Bude Ijum yang duduk di samping Nadya malah memandang keluar melalui jendela yang sengaja tidak ditutup. ‘Menikah? Ah, dari kemarin dia tidak juga melamarku,” gerutu Nadya di hatinya karena kesal, ia merasa berada di suatu penantian yang tidak pasti. Sekilas ia pun sempat menatap kaca kecil di depan Pak Hardi yang hanya memperlihatkan kedua bola matanya. Deg! Ia merasa darahnya berdesir. Rasanya baru kali ini ia menatap sorot mata lelaki dengan jelas meski hanya dari sebuah cermin. Tapi ia yakin tatapan itu sama sekali tidak bohong. Nadya tahu Pak Hardi juga sedang merasakan sebuah getaran yang sama dengan yang ia rasakan. Hanya saja sepertinya Tania yang duduk sendiri di bangku belakang tidak merespon per

  • AMBISI IBU MERTUA   Bab 86: Perjuangan belum berakhir.

    Bab 86: Perjuangan belum berakhir. “Pak Hardi tadi bicara apa?” tanya Nadya. Sebuah pertanyaan yang membuat harapannya kembali muncul. Bagaimana tidak. Meski pertanyaan itu tidak jelas. Tapi Nadya tahu pertanyaan itu sangat serius. “Itu, tadi…maksudnya…” kembali Pak merasa lidahnya terkunci. Kalimat yang harusnya sudah bisa di utarakan langsung pada Nadya harus tertahan di kerongkongan. Sebuah rasa yang sangat menyiksanya. Membuat ia hanya bisa mengumpat pada diri sendiri.Padahal ini adalah kesempatan yang tepat. Ia kembali menarik nafas panjang agar kekuatannya kembali terkumpul untuk menyatakan isi hatinya. Tapi sayangnya, saat itu pula Bude Ijum muncul dengan membawa nampan berisi bubur ayam dan segelas teh panas. “Nadya makan dulu. Ini juga aku buatkan teh panas supaya tubuhmu segar.” Bude Ijum meletakkan semangkuk bubur ayam dan segelas teh di hadapan Nadya. “Ih, Bude. Bisa tidak munculnya nanti saja. Gagal lagi…gagal lagi,” getutu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status