LOGINTanpa berpikir apa-apa lagi Wanda berlari ke dalam rumah. Hatinya semakin tidak menentu melihat putrinya terkulai lemah dalam pelukan Nadya. “
Tania, sadar, Nak. Tania, bangun!” teriak Wanda dan Nadya. Sepasang suami itu begitu panik melihat Tania pingsan. Belum pernah sebelumnya nya Tania mengalami hal seperti ini.
Cukup lama Tania tidak sadarkan diri, membuat kedua orang tua dan adiknya merasa cemas. Merasa sangat cemas dengan keadaan Tania, Wanda berniat hendak memanggil Bidan yang ada di kampung itu. Tapi sebelum ia mengengkol sepeda motor Akmal muncul dari dalam rumah.
“Papa, kakak sudah sadar, tidak usah jemput Ibu Bidan,” panggil Akmal, membuat Wanda merasa lebih tenang.
Tak ada suara isak tangis lagi yang keluar dari mulut Tania. Gadis belia itu hanya diam, entah apa yang dipikirkannya. Tapi Nadya dapat merasakan apa yang sedang dirasakan anak gadisnya. Wanita itu menghela nafas, pastinya ia merasa begitu khawatir dengan keadaan psikis Tania. Dia takut di dalam diamnya gadis itu memendam sesuatu yang tidak disangka-sangka.
“Tania, jangan kamu dipikirkan kejadian tadi, ya, nak. Mama tau perasaan kamu. Yang harus kita lakukan sekarang kita tetap harus melawan dan menentang kelakuan nenek kamu, supaya dia tidak terus menerus berbuat sesuka hatinya pada kita,” ucap Nadya penuh penekanan. Kata-kata itu sengaja diucapkannya dengan jelas di hadapan suaminya. Ia berharap suaminya peka dengan kata-katanya, juga keadaan yang sedang menimpa keluarga mereka. Dan segera bertindak agar tidak ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi diantara mereka.
Nadya melirik ke arah suaminya yang terdiam begitu mendengar ucapannya. Sudah lama ia menunggu perlakuan bijak suaminya untuk anak-anak dan dirinya. Namun untuk kesekian kalinya Nadya tetap harus menelan rasa kecewa.
“Tania tidak Terima diperlakukan seperti tadi di depan orang ramai oleh nenek, Tania benar-benar malu,” ucap Tania dingin.
“Kamu tidak perlu malu Tania. Kamu lihat sendiri tadi, tidak satupun orang yang percaya dengan omongan nenekmu. Bahkan yang seharus malu itu nenekmu sendiri karena tanpa dia sadar, dia sudah mempermalukan dirinya sendiri didepan orang sekampung. Heh, itupun kalau nenekmu masih punya rasa malu,” ucap Nadya, kembali ia melirik ke arah suaminya yang tak berkutik dengan ucapan istrinya. Ia semakin tidak bisa berbuat apa-apa karena sebenarnya ia pun merasa apa yang diucapkan istrinya itu memang benar. Hanya ia masih belum punya nyali untuk berbuat sesuatu.
Tania kembali diam membisu. Ucapan ibunya sama sekali tak mampu mengobati hatinya yang terlanjur sakit akibat lidah tajam neneknya. Rasa dendam mulai tertanam di sanubari gadis itu. Rasa yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang cucu kepada neneknya sendiri.
___________
Selama ini aku yang selalu menjadi pelampiasan kebencian orang tuamu, Bang. Sekarang anakku yang tidak tahu apa-apa yang jadi pelampiasannya. Kamu pikir aku akan tinggal diam melihat anakku harus mengalami trauma seperti ini,” ucap Nadya pada suaminya.
Wanita itu mulai mengeluarkan isi hatinya yang sudah tak terbendung. Disaat kedua buah hatinya sudah tertidur. Dengan suara pelan tertahan agar tak mengusik tidur indah mereka
“Aku tau ibumu sangat menyesal kamu menikah denganku. Oke, aku Terima. Tapi jika anakku yang jadi korban. Aku tidak bisa Terima. Kurang apa aku selama ini. Kalau soal menyesal. Jujur aku juga menyesal sudah menjadi istrimu. Aku juga menyesal kenapa dulu aku begitu dungu mau menikah denganmu.” Mendengar kata-kata Nadya Wanda hanya bisa menelan ludah. Hati lelaki itu menjadi risau, karena semenjak kejadian beberapa hari ini ia sadar Nadya istrinya sudah tidak bisa dianggap remeh.
“Jika aku mau aku juga bisa seperti istri saudara-saudaramu itu.,” ujar Nadya.
"Aku tahu keadaan ini membuat kalian metasa tidak nyaman," ucap Wanda serah menarik nafas panjang.
“Aku capek menghadapi ibumu. Dan aku lebih capek lagi melihat kamu tidak bisa berbuat apa-apa,” ucap Nadya sambil meremas bantal guling sebagai pelampiasan perasaannya selama ini.
"Nad... " Wanda tidak melanjutkan kata-katanya. Karena ia tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan.
“Kurang apa aku jadi istrimu. Selama ini aku bisa terima keadaanmu. Asal kamu tau, aku sangat malu dengan keluargaku tentang dirimu yang tidak mampu membahagiakan aku dan anak-anakku." Nadya berhenti berbicara, kemudian mengambil nafas panjang untuk melanjutkan ucapannya.
Wanda masih diam. Satu-satunya yang bisa dilakukannya saat itu adalah membiarkan istrinya mengeluarkan semua uneg-uneg dihatinya.
“Aku bahkan menutupi semua kekuranganmu dimata keluargaku. Sudah berapa habis uang adikku untuk membantu perekonomian kita. Sampai detik ini tak sepeserpun bantuan modal dari mereka menampakkan hasil. Malu. Aku benar-benar malu dengan keluargaku sendiri,” ujar nya sambil berusaha menahan air mata agar tidak keluar.
"Iya," ucap Wanda merasa bersalah.
“Apa kamu masih ingat dengan modal yang diberi adikku untuk membuka warung di depan rumah ini. Tapi mamakmu yang busuk hati itu malah merasa usaha warungku itu mengotori halaman rumahnya. Padahal dari warung itu pula dia mengambil keperluannya. Dan aku sama sekali tidak pernah perhitungan, sampai akhirnya warung itu harus gulung tikar karena modal yang tidak bisa berputar. Apa kamu tidak punya rasa malu sedikitpun pada adikku yang sudah memberi kita modal.” Wanda hanya mendengar kata demi kata yang diucapkan istrinya tanpa bisa sedikitpun membantah.
"Nadya, aku mohon jangan pojokkan aku terusterus," lirih Wanda. Hatinya nyeri dihujat istrinya sendiri.
“Kurang apa aku. Sekarang aku berusaha berjualan obat-obat herbal itu pun dituduh yang bukan-bukan oleh Mamakmu. Sampai-sampai dia menuduh aku keluar rumah karena punya selingkuhan. parahnya lagi waktu itu kau malah percaya begitu saja,” ungkit Nadya.
Ingatanya tentang kejadian beberapa tahun lalu saat ia mulai merintis usaha obat herbalnya muncul begitu saja di kepalanya.
“Seandainya nanti kesabaranku sudah habis jangan salahkan jika nanti aku mengambil jalan pintas. Karena sebagai suami dan ayah kamu tidak bisa melakukan sesuatu yang seharusnya kamu lakukan,," tekan Nadya. "Sepertinya memang lebih baik kita bercerai, seperti yang diharapkan mamakmu itu,” ungkit Nadya.
"Nadya. Apa maksud kamu bicara seperti itu?" tanya Wanda. Ia menatap wajah istrinya yang dingin.
“Sekarang kamu lihat sendiri akibatnya pada anak kita. Kamu tau apa yang membuat dia pingsan? Hatinya tertekan. Apa yang dirasakannya ini belum sepantasnya dirasakanoleh anak seumur dia. Terlalu berat beban mental yang harus ditanggungnya. Aku takut jiwa Tania akan terguncang.”
Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Wanda untuk membantah apa yang diutaran istrinya. Ia mulai berpikir apa yang harus dilakukannya sebagai seorang suami dan ayah bagi kedua anaknya. Tapi tidak melanggar dosa terhadap orang tuanya sendiri. .
********
Bersambung
Bab 45 : Ada apa dengan Mak Onah? Mak Sri dan Mak Endah berlari keluar rumah, disusul oleh Mak Yeyen yang pakaian bawahnya telah basah karena buang air kecil yang tidak bisa ditahannya. tubuh mereka gemetaran melihat lima orang polisi berpakaian preman dan berwajah menyeramkan berdiri tegap di depan tempat tidur Mak Onah. Di teras beberapa warga menghadang dan menangkap ketiga nenek itu yang mereka kira hendak melarikan diri. “Ayo, mau lagi kemana kalian!” sergap salah seorang tetangga. “Tangkap nenek-nenek jahat ini pak polisi, jangan biarkan mereka kabur!” Warga berteriak ikut melampiaskan kekesalan mereka selama ini karena ulah Mak Onah dan teman-temannya. “Masukkan mereka ke penjara biar tidak bikin onar lagi!” teriak yang lainya. Membuat ketiganya semakin ketakutan. . “Ampun, tolong, tolong jangan tangkap kami. Biarkan kami lepas. Kasihani kami sudah tua.” Mereka meratap memohon ampun di tengah kerumunan warga yang
Bab 44: Akhirnya semua orang tahu perbuatan gila Mak Onah dan teman-temannya. “Mamak sudah sadar!” jerit Rina. Mereka berlari ke dalam ingin mengetahui keadaan Mak Onah. Hanya Wanda yang masih bertahan berdiri di halaman meratapi kepergian istrinya. Seperti anak kecil yang tidak tahu malu lelaki bertubuh tegap itu terus berteriak memanggil nama istrinya. Membuat tetangga yang terusik dengan kehebohan itu keluar rumah dan mendatangi kediaman Mak Onah. “Nadya…jangan pergi… maafkan abang…!” lulungnya begitu dramastis. Membuat Orang-orang yang sudah berkumpul memandangnya keheranan. “Nadya…!” jeritnya lagi. Suaranya sangat mengenaskan. Sepintas orang yang mendengar akan ikut terhanyut merasakan kepiluan hatinya “Akh… !” “Wanda, kenapa kamu ini? Apa kamu sudah gila?!” teriak salah seorang dari mereka ketika melihat Wanda menghantamkan kepalanya di tiang penyangga
Bab 43 : Keputusan akhir Nadya. Tubuh Mak Onah tergeletak pingsan di di tempat tidur yang sudah dipindahkan anak-anaknya di ruang tengah. Tampak tubuh kurus wanita tua renta itu terbaring lemah dengan kepala dan kaki diperban. “Kenapa mamak bisa ditabrak mobil, memangnya kalian dari mana?” tanya Feri sangat cemas dengan keadaan Mak Onah. Begitu juga dengan Danur. Mendengar kabar Mak Onah mengalami kecelakaan mereka bergegas menyusul ke kerumah sakit. Mak Onah mengalami patah tulang akibat benturan benda keras yang menghantam kakinya. Sementara kepalanya harus dijahit karena koyak. “Mereka memutuskan untuk tidak merawat Mak Onah berobat di rumah sakit. Karena pihak rumah sakit menyarankan agar kaki Mak Onah dioperasi. Karena faktor usia, semua anaknya memilih melanjutkan pengobatan alternatif patah tulang. “Mamak sebenarnya tidak ditabrak tapi mamak yang menabrakkan diri,” jawab Wanda. “Apa?! Masak mamak mau bunuh diri
Bab 42 : Penyesalan berujung bencana. “Pak polisi, jangan masukkan saya ke penjara…” raung Mak Onah. Perempuan itu dengan sisa-sisa kekuatannya merangkak ke arah lelaki berseragam polisi. Membuat pemandangan di ruangan itu semakin menggemparkan. “Siapa nenek ini, Kak Alifa?” tanya lelaki itu dengan sorot mata kebingungan. Bagaimana dia tidak bingung, baru saja datang, seorang nenek tua memeluk kakinya sambil meraung-raung seperti orang kesurupan, hingga ia kesusahan untuk berdiri. Sedangkan Wanda yang merasa nyawanya sudah melayang ke langit hanya termangu. Otak nya sudah tidak dapat berpikir dengan jernih. “Ada apa sebenarnya ini, Kak? tolong jelaskan,” pinta lelaki itu. Matanya menatap pada semua orang yang berada di ruangan itu meminta penjelasan. “Tidak ada masalah bukan dengan acara pernikahanya?” tanyanya lagi dengan cemas. Dengan hati yang masih diliputi rasa bingung ia berusaha melepas tangan Mak Onah yang memeluk kakinya
Bab 41: Menerima kenyataan. “Iya, memang sudah beberapa bulan ini Syarif tidak di sini. Sedang ada urusan di Malaysia. Makanya, setiap Mak Onah datang kemari tidak pernah bertemu denganya,” terang Bu Anggraini. Dengan sangat santun Syarif menyalami Wanda dan Mak Onah. Saat tangan mereka bersentuhan Syarif merasakan tangan kedua orang yang baru dikenalnya itu terasa begitu dingin. “Tapi bukankah Laras dan suaminya sudah bercerai?” tanya Mak Onah dengan suara bergetar. Seluruh tubuh perempuan tua itu terasa panas dingin. Begitu juga dengan Wanda. Bukan hanya terkejut. Lelaki itu merasa sangat malu hingga tidak sanggup mengangkat wajahnya. “Siapa yang mengatakan begitu pada Mak Onah?” tanya Laras dengan kening berkerut. Ia lalu memandang Alifa dan adik iparnya yang saat itu hanya tersenyum. Kecil. “Tempo hari. Laras sendiri yang mengatakannya padaku saat mengantar oleh-oleh dari tanah suci.” Dengan menahan rasa malu Mak Onah mencer
Bab 40: Mak Onah dan Wanda pasang aksi. “Kamu jangan bohong dengan mamak, Wanda. Kamu masih suka bukan dengan Laras. Ya, aku tahu. Dari sorot matamu saat menatap Laras waktu itu. “Tapi apa mungkin Laras juga masih mau denganku? Mamak tahu sendiri bukan, meski dulu aku dan Laras pernah saling mencintai tapi sekarang dalam segi ekonomi aku tidak lebih baik dari mantan suaminya itu. Bukan tidak mungkin dia akan mencari pengganti suami seorang lelaki yang jauh lebih mapan dari aku. Bahkan dari mantan suaminya. “Kamu ini, jadi laki-laki kok mental tempe. Pantasan saja selama ini kamu mau dibodoh-bodohi istrimu itu,” ucap Mak Onah kesal karena Wanda belum apa-apa sudah menyerah. “Percaya dengan mamak. Asal kamu yakin tidak ada yang tidak mungkin. Lagi pula aku akan berdiri di belakangmu. Kamu tahu bukan, doa seorang ibu seperti apa?” ucapnya dengan nada penuh tekanan. Seolah mendapat semangat baru Wanda menetapkan keputusannya. Berusaha







