Share

BAB 2

Senja turun kelantai dasar, tepatnya ruangan khusus para pekerja yang sedang istirahat. Ia melihat Mbok Minah yang menjabat sebagai ketua asisten rumah tangga sedang berbincang dengan seorang satpam yang bernama Pak Mahmud.

Mbok Minah mengetahui kehadiran Senja dan menghentikan pembicaraannya dengan pak Mahmud.

Senja duduk disebelah Mbok Minah dan berucap lirih, “Mbok, saya salah masuk kamar.”

Mbok Minah menahan napas sebentar lalu melirik Pak Mahmud. Mereka berdua tampak sangat terkejut.

“Ya ampun, Non.”

Itu suara Mbok Minah, ia memegang sebelah lengan Senja. “Tadi ‘kan Mbok bilang dilihat baik-baik pintu kamarnya.”

Pak Mahmud menambahi, “Pintu Kamar Tuan Dipta sama Nona Gauri itu sama persis warna sama desainnya, Non.”

Jari Mbok Minah bergerak diudara membentuk sebuah gambar. “Bintangnya ada tujuh untuk pintu kamar Nona Gauri, sedangkan pintu kamar Tuan Dipta bintangnya ada lima.”

Senja menggangguk paham. “Iya, Mbok. Saya tahu ini salah saya. Ini kelalaian saya.”

“Yaudah nggak papa, Non. Sekali lagi lebih berhati-hati lagi, ya.” Mbok Minah mencoba menghibur Senja.

Pak Mahmud bertanya penasaran, “Tuan Diptanya ada dikamar?”

Senja mengangguk mengiyakan, “Ada, Pak. Dia marah sama saya karena masuk kedalam kamarnya.”

Mbok Minah dan Pak Mahmud saling lirik kemudian memandang iba pada Senja.

“Kamu…nggak papa ‘kan?” Pak Mahmud bertanya dengan ragu. “Nggak…di…apa—Aduh!“

Mbok Minah menghentikan pertanyaan Pak Mahmud dengan menginjak kakinya. Ia menggeleng pelan saat Pak Mahmud menatapnya dengan kesal.

“Nggak apa-apa kok, Pak.” Senja tersenyum tipis. “Saya baik-baik aja.”

Pak Mahmud tertawa kecil untuk mencairkan suasana, Mbok Minah juga ikut tertawa hambar.

“Saya keatas lagi ya, Mbok,” ujar Senja sambil berdiri dan melangkah pergi.

Mbok Minah menganggukkan kepalanya, “Jangan salah lagi, Non.”

“Dilihat baik-baik jumlah bintangnya.” Pak Mahmud menimpali.

“Kasihan sekali nasibnya…” kata Mbok Minah sambil melihat punggung Senja menjauh.

*~*~*~*~*

“Sialan. Kakek tua itu berulah lagi, Ka,” ucap Dipta pada sambungan telepon.

“Apa lagi ulah Tua Bangka itu?” tanya seseorang yang dihubungi Dipta.

Dipta mengapit handphonenya diantara bahu dan telinga, lalu memakai jam tangan Richard Mille edisi terbatas didunia. “Semakin luar biasa tingkah Kakek tua itu.”

Seseorang diujung telepon mendecakkan lidah, “Langsung ke intinya aja, Boss!”

Dipta terkekeh pelan, “Dia suruh orang baru lagi, cewek pula.”

“Oh, Man! Padahal seminggu yang lalu udah kamu atasi pengawas bodoh itu. Sekarang Tua Bangka itu udah dapat pengganti? Dan… apa? Cewek?”

Dipta berdiri melihat pantulan dirinya dicermin panjang. Kaos putih polos dipadukan dengan jaket kulit hitam. Ia puas dengan tampilannya. “Iya, cewek.”

“Ck! Aku jamin, besok dia udah kabur.”

Dipta menggelengkan kepalanya walaupun orang yang ditelepon tidak bisa melihatnya. “Hari ini juga pasti dia udah pulang kerumah sambil menangis.” Padahal Dipta meragukan ucapannya barusan.

“Haha…Kamu apakan dia?”

“Sedikit ancaman,” jawab Dipta.

“Nggak usah keras kali, Ta. Kasihan juga, anak cewek.”

“Nggak usah sok baik. Nanti tanduk dikepalamu hilang,” ujar Dipta.

“Siap, Boss! Oh iya, barusan aku dapat kabar. Hari ini diganti jadi balap mobil, Bro.”

Dipta menghentikan aktivitas mengoleskan pomade Fiber Grease pada rambutnya. “Shit! Siapa yang ubah?”

“Si Kadal, dapat bekingan anak menteri. Panitia kayaknya udah pindah haluan, Boss.”

Dipta menyeringai seram. “Perlu dikasih pelajaran mereka.”

“Makanya jangan lembek, Ta. Taringmu udah terlalu lama bersembunyi.”

“Udah dijalan, Ka?” tanya Dipta sambil memakai sepatu boots Red Wing Heritage.

“Aku didalam mobil dari tadi, Bro. Lagi nyetir. Makanya kalau telpon, tanya dulu lagi apa, supaya—”

Dipta memotong ucapan temannya. “Oke, nanti kita bahas lagi masalah itu.” Lalu ia mematikan sambungan telepon.

Tanpa diketahui oleh Dipta, ada yang mendengarkan obrolan dengan temannya di handphone tadi, dari awal hingga akhir.

*~*~*~*~*

Senja menghitung jumlah bintang dipintu dengan cat perpaduan warna cokelat dengan marun. Ia baru sadar pintu kamar Tuan Dipta dan Nona Gauri memang sama persis seperti yang dikatakan Pak Mahmud. Ia memukul pelan keningnya, merasa ceroboh, dan karena kecerobohannya itu, kesan pertama Tuan Dipta terhadapnya sangat buruk. Setidaknya itu yang ia yakini.

Saat tangan Senja hendak terayun mengetuk pintu, seseorang dari dalam kamar membuka pintu. Senja tahu orang itu. Trisma, asisten Nona Gauri.

“Mbak Senja, kenapa lama sekali?” tanya Trisma heran.

Senja tersenyum kecut. “Salah masuk kamar, Ris.”

Trisma melongo lalu cepat-cepat tersadar. “Jangan bilang kalau—”

Senja mengangguk cepat sebelum Trisma menyelesaikan kalimatnya. Senja langsung tahu apa yang dimaksud oleh Trisma.

“Terus dikamar itu ada—”

“Iya, ada. Ada, Ris!”

Trisma menutup mulutnya dengan sebelah tangan, menahan dirinya untuk berteriak.

“Astaga, Mbak.” Trisma memeriksa seluruh tubuh Senja, dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Mbak nggak papa ‘kan? Ada yang luka?”

Senja teringat ekspresi dan kekhawatiran Mbok Minah dan Pak Mahmud sama dengan yang ditunjukkan Trisma saat ini.

Pertanyaan yang ada dibenak Senja sejak melihat ekspresi itu, “Apa separah itu, Ris?”

“Maksudnya, Mbak?” tanya Trisma tidak mengerti.

“Apa…Tuan Dipta sangat menakutkan?” tanya Senja dengan hati-hati.

“Sangat…sangat… sangat…mengerikan, Mbak,” jawabnya dengan bergidik ngeri.

“Kamu nggak melebih-lebihkan cerita ‘kan?” Senja masih menampik pikiran kalau Dipta R. Maheswara adalah orang yang jahat, karena Eyang Chandra mengatakan sebaliknya. Tetapi seluruh pekerja dirumah ini, mengatakan hal yang bertentangan dengan Eyang Chandra.

Trisma menggelengkan kepalanya. “Nggak, Mbak. Aku bicara apa adanya.”

Sebenarnya Trisma ingin memberitahu Senja mengenai segala perbuatan Tuan Dipta didalam rumah maupun diluar rumah, akan tetapi ia tidak bisa. Bukan tidak mau, tapi tidak bisa. Seluruh pekerja dirumah Eyang Chandra, sebelum dipekerjakan akan menandatangani kontrak yang berhubungan dengan Keluarga Maheswara. Mereka semua yang bekerja harus menutup mata, mulut dan telinga saat dirumah maupun diluar rumah. Kalau sampai ada yang membocorkan informasi, kejadian, dan apapun itu yang sifatnya internal dan eksternal akan dikenakan sanksi yang sangat besar dan berat. Maka dari itu, upah kerja yang mereka dapatkan sangat besar dan sesuai dengan konsekuensi.

Senja juga tahu, konsekuensi bekerja dengan Eyang Chandra. Karena ia juga menandatangani kontrak itu. Masalahnya karena kontrak itu ia tidak tahu bagaimana sebenarnya keluarga Maheswara. Ia hanya percaya dengan ucapan Eyang Chandra dan Pak Handi. Ia juga tidak tahu kalau ada salah satu poin didalam kontrak miliknya yang berbeda dengan para pekerja yang lain.

“Mbak, percaya ‘kan?”

Pertanyaan Trisma membuyarkan lamunan Senja.

Senja hanya tersenyum tipis dan mengangguk.

“Yaudah Mbak, itu Nona Gauri udah nungguin dari tadi. Aku kebawah dulu ya,” pamit Trisma sambil menutup pintu kamar.

Senja menarik napas panjang dan menyemangati dirinya lagi. ‘semangat Senja, semua akan baik-baik saja,’ ucapnya dalam hati.

Ia melihat lantai kamar yang terbuat dari marmer bercorak batu-bata, dinding kamarnya memakai wallpaper kuning bermotif bintang, bulan, awan, pelangi, matahari, semua hal yang berada jauh dilangit.

Senja berjalan melewati seka dinding yang memisahkan tempat tidur, sosok Gauri tidak ada disana, lalu ia berjalan mendekati meja belajar, tapi sosok itu juga tidak ada. Apa didalam kamar mandi? batin Senja.

Saat ia hendak mengetuk pintu kamar mandi, ia melirik tirai jendela kaca besar yang menuju ke arah balkon. Kakinya menuju tirai itu, lalu ia menyingkap tirainya dan menemukan Gauri disana.

Gauri Lestari Maheswara menyadari kehadiran seseorang dibelakangnya, ia menoleh dengan muka datar dan menemukan Senja berdiri mematung.

Senja mencoba tersenyum saat Gauri melihatnya. Walaupun ia yakin senyumannya kaku, dan wajah kagetnya sangat kentara. Ia tidak tahu kalau gadis secantik Gauri Lestari, duduk di kursi roda.

*~*~*~*~*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status