Share

BAB 3

“Hai, namaku Bidari Senja,” kata Senja memperkenalkan diri dengan santai. Ia mengulurkan tangannya dihadapan Gauri.

Saat ini Senja sedang berhadapan dengan gadis cantik berusia 15 tahun, disabilitas fisik, dan memiliki trauma berat sejak usia lima tahun.

Selama ini Eyang Chandra tidak pernah memberitahu Senja mengenai kondisi fisik Gauri Lestari. Mengapa Eyang merahasiakan hal ini? pikir Senja.

Gauri tidak mengindahkan uluran tangan Senja, tetapi ia menjawab, “Aku Gauri, kamu guru les yang baru?”

Senja menyahut, “Iya, aku guru les baru kamu, salam kenal ya.”

“Apa kamu terkejut, saat tahu aku duduk di kursi roda?”

Senja tidak langsung menjawab, ia melihat kedua bola mata Gauri. Matanya menyiratkan luka yang sangat dalam dan sulit ditembus.

“Iya, aku terkejut,” jawab Senja dengan sejujurnya. “Tapi sedikit, aku lebih terpesona dengan kecantikanmu.”

Gauri mendengus kecil, lalu berujar, “Pandai sekali kamu memuji dengan wajah polosmu itu.”

Senja tidak tahu itu pujian atau sindirian. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kita mulai belajar, yuk!” ajak Senja, lalu mengambil langkah untuk memegang pegangan kursi roda.

“Jangan sentuh!” pekik Gauri. “Jangan pernah menyentuh apapun tanpa seizinku,” perintahnya.

Kedua tangan Senja terangkat keatas. “Maaf, maafkan aku.” Senja menurunkan tangannya. “Aku nggak tahu, maafin aku ya, Non.” Senja tidak tahu Gauri sangat sensitif terhadap sentuhan.

“Kali ini aku maafin,” ucap Gauri. Ia selalu memafkan orang baru. “Lain kali nggak ada kata maaf, selalu ada hukuman untuk kesalahan yang kamu lakukan.”

Senja mengangguk mengerti. Perasaan Senja semakin kacau dalam menghadapi kakak beradik Maheswara. Keputusannya dahulu patut ditinjau ulang.

Gauri dan Senja mendengar suara keributan dari bawah balkon, mereka berdua melihat asal suara tersebut. Pada sayap kanan rumah, letak garasi berada.

Sebuah mobil sport Lamborghini Veneno berwarna silver metalik keluar dari garasi dan si pengendara mengegas mobil itu hingga menimbulkan suara nyaring. Lima orang pria dengan setelan jas dan celana hitam, berlari menghadang mobil itu agar tidak keluar dari rumah. Mereka berlima berdiri dan saling merentangkan tangan membentuk sebuah pagar.

Dipta tidak berhasil menghalau para pengawal. Ia keluar dari mobil dan langsung memukul, meninju, menendang, kelima pengawal sekaligus tanpa perlawanan apapun.

Senja memekik tertahan. Peristiwa didepan matanya saat ini membuat lututnya lemas. Sekelebat kenangan lama muncul dan membuatnya terduduk. Jantungnya berdegup kencang, tangannya sedikit bergemetar.

Gauri melihat Senja terduduk dilantai. Ia selalu merasa iba pada orang baru. Kemungkinan besar, guru les barunya akan pergi saat ini juga dengan berlari kencang. Sudah beberapa kali guru lesnya melakukan hal itu. Ketakutan saat bertemu dengan kakaknya.

“Kamu takut?” tanya Gauri.

Senja menatap kedua mata Gauri dengan lekat. Mencoba memahami pertanyaan yang dilontarkan Gauri. Apakah dua kata itu hinaan atau kecemasan?

Senja membalasnya dengan mengangguk mengiyakan.

Gauri memberikan saran, “Pergi dari rumah ini.”

Mengapa kedua kakak beradik Maheswara ini menyuruh Senja untuk pergi dari rumah ini? Ada apa sebenarnya dengan rumah ini?

Senja menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Aku memang sedikit takut, tapi aku nggak akan pergi dari rumah ini.”

“Kamu yakin? Kamu akan menyesali keputusanmu itu.”

“Aku memang sudah menyesalinya, tapi aku akan memperbaiki penyesalan itu.”

“Memperbaiki penyesalan?” ulang Gauri. “Bukannya yang ada itu memperbaiki kesalahan?”

“Memperbaiki penyesalan itu sudah satu paket dengan kesalahan, Non,” jelas Senja. “Penyesalan itu ada karena kesalahan ‘kan?”

“Selain pandai memuji, kamu juga pandai berteori dan menggurui?”

Senja mengatupkan bibirnya. Mengapa Gauri sangat pandai berbicara? Bukankah ia hanya anak usia 15 tahun?

Senja ingin memuji Gauri kembali, tetapi ia urungkan karena sepertinya Gauri belum membuka hati untuk dirinya.

“Nona boleh beranggapan apapun, aku terima dan akui,” ucap Senja dengan cengiran. “Teman-temanku disekolah dulu juga sering mengatakan aku suka menggurui.”

Senja melanjutkan, “Kalau nona keberatan, aku akan lebih berhati-hati lagi supaya ucapanku tidak terkesan menggurui.”

Gauri menekan tombol di kursi rodanya dan mengarahkannya kedalam kamar. Senja baru sadar bahwa kursi roda itu adalah kursi roda elektrik.

“Kamu disitu aja? Nggak jadi mengajar? Mau makan gaji buta?”

Senja tersenyum lebar mendengar rentetan pertanyaan itu dan melangkah masuk kedalam kamar.

*~*~*~*~*

“Lama banget kamu, Ta,” omel Gerka saat Dipta berdiri dihadapannya.

“Tadi ada pertarungan kecil dulu,” jawab Dipta.

Gerka berdecak kecil, “Pertarungan atau pembantaian?”

Dipta tidak menanggapi pertanyaan Gerka. Ia melihat sekeliling arena balap.

The Bliss Racing adalah arena balap khusus yang dibuat oleh seorang anak konglomerat perusahaan rokok By Ji Ga (BJG) untuk anak konglomerat lainnya. Setiap malam hari selalu diadakan balapan mobil, motor, atau sepeda. Ketua panita dan penanggungjawab adalah anak konglomerat Bank Swastamar Indonesia (BSI).

Dipta melihat The Bliss Racing sudah dipadati oleh orang-orang yang ingin menonton pertandingan.

“Hari ini kamu bawa Lavo? Bukannya terakhir kali Lavo kalah dari Koje?”

Lavo adalah nama dari mobil Lamborghini Veneno milik Dipta. Sedangkan Koje adalah nama dari mobil Koenigsegg Jesko milik Pramestu anak konglomerat perusahaan petrokimia.

Dipta mengangguk mengiyakan, memang benar Lavonya pernah kalah dengan Koje milik Pramestu.

“Santai aja,” jawabnya penuh keyakinan. “Kamu bawa apa hari ini, Ka?”

Gerka meninju pelan bahu Dipta. “Memangnya aku punya pilihan lain? Kamu lupa mobilku dan motorku hanya ada satu?”

Dipta tertawa mengejek, ia memang tidak lupa. Gerka memang tidak sekaya dirinya dan Yohan Bramasta.

“Yohan kemana?” tanya Dipta menyadari temannya satu lagi tidak tampak.

“Dia udah datang duluan, katanya nggak ikut balapan. Lagi cari si Kadal sama Bobi.”

Bobi adalah anak konglomerat Bank Swastamar Indonesia (BSI) yang menjabat sebagai ketua panitia The BR (The Bliss Racing).

Dipta melihat waktu pada jam tangan Richard Millenya. “Jam berapa dimulai pertandingannya?”

“Lima belas menit lagi, Bro.”

“Yo! Dipta…Nggak salah kamu bawa Lavo?”

Sebuah suara yang sangat familier muncul dari balik punggung Dipta. Intonasi meremehkan sangat kentara pada pertanyaan itu.

Dipta membalikkan tubuhnya melihat orang itu. Orang yang ia sebut sebagai Kadal. Orang kedua yang dibenci oleh Dipta, karena yang pertama ditempati oleh Chandra Gunawan Maheswara yakni Eyangnya sendiri.

Dipta menyeringai, lalu mengedikkan bahunya. Menjawab acuh tak acuh, “Mungkin.”

“Sudah dengar kabar terbaru, sobat?”

Gerka tertawa mengejek. ‘Sobat, matamu!’ gumamnya dalam hati. Gerka tahu maksud pertanyaan si Kadal. Pasti mengenai dia yang  mendapat bekingan anak menteri pertahanan.

“Kabar itu? Punya pagar baru?” tanya Dipta malas-malasan.

Si Kadal tertawa lepas membuat ketiga teman Kadal ikut tertawa. “Kali ini pagarnya kokoh, Sob. Sekokoh persobatan kita.”

Dipta mengangguk pelan, “Sudah cukup basa-basinya.” Lalu ia melihat jam tangannya kembali. “This is time!” serunya sambil menjentikkan jari.

Dan yang terjadi selanjutnya adalah arena The BR menjadi gelap gulita.

*~*~*~*~*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status