“Siapa kamu?” tanya seorang lelaki dengan raut muka marah, memakai jubah mandi dan sedang menyeka rambutnya yang basah dengan handuk.
“Siapa kamu!?” ulangnya lagi dengan intonasi yang lebih dalam dan menyeramkan.
Gadis yang terperanjat akan kehadiran lelaki itu memegang erat tali tas selempangnya. Ia menelan saliva dengan susah payah.
‘Apa aku salah masuk kamar ya?’ batin gadis yang bernama Senja tersebut.
“Kamu siapa?” tanya Senja balik. “Bukankah ini kamar Nona Gauri?”
Lelaki itu membanting handuknya dengan keras ke lantai dan berjalan mendekati gadis yang dengan lancang masuk ke dalam kamarnya.
Setelah berjarak tiga langkah dari posisi Senja, lelaki itu membentak dengan menunjuk lantai kamar yang terbuat dari marmer bercorak abstrak. “Ini kamarku!”
Senja memegang dada dan menutup mata sesaat mendengar suara lelaki itu. Jantungnya berdegup sangat kencang. Keringat dingin mulai menyelimuti dahinya. Ia mencoba menyemangati dirinya dengan membatin ‘Tenang Senja! Semua akan baik-baik saja.’
“Maaf,” ucap Senja berusaha terlihat tenang, “Saya salah masuk kamar. Saya pikir ini kamar Nona Gauri,” jelasnya. Lalu ia memberanikan diri untuk bertanya, “Apakah anda Tuan Dipta?”
Lelaki itu terlihat semakin marah, rahangnya mengeras, ia mengerutkan kedua alisnya, melangkah perlahan semakin mendekati Senja.
“Siapa kamu? Jawab pertanyaanku!” hardiknya.
Senja mundur selangkah demi selangkah saat lelaki itu terus maju mendekatinya. “Saya Bidari Senja,” sahutnya masih dengan intonasi yang tenang dengan mengulurkan tangan tanda perkenalan.
Lelaki itu menepis tangan Senja dengan kasar. “Sedang apa kamu dikamarku?” tanyanya dengan mengikis jarak diantara mereka berdua.
Senja tidak bisa melangkah mundur lagi, punggungnya sudah terantuk pada dinding marmer yang bercorak sama dengan lantai.
“Tadi sudah saya jawab,” kata Senja dengan nada sedikit bergetar. “Saya salah masuk kamar. Saya kira ini kamar Nona Gauri.”
Lelaki yang bernama Dipta R. Maheswara itu mengulurkan kedua lengannya mengunci pergerakan Senja.
‘Mainan baru,’ pikir Dipta dengan menunjukkan senyum miring, membuat Senja bergidik ngeri.
Dipta menundukkan wajahnya agar setara dengan wajah Senja. “Kamu tahu hukuman bagi orang yang terlibat denganku dan memancing kemarahanku? ”
Senja menatap kedua bola mata cokelat Dipta, lalu menggeleng pelan.
“Penderitaan tiada batas,” Dipta menjawab pertanyaannya sendiri dengan lirih, tapi begitu jelas terdengar ditelinga Senja.
Mendengar perkataan Dipta, mata Senja membelalak lebar.
“Apa maksudnya?” Senja menyuarakan isi hatinya.
Dengan gerakan cepat, sebelah tangan Dipta mencengkeram kerah baju kemeja Senja.
“Apa yang kamu lakukan!?” pekik Senja dengan memegang pergelangan tangan Dipta mencoba melepas cengkeramannya.
Dipta terkekeh pelan, “Awal penderitaanmu baru saja dimulai.”
Tenaga Senja tidak bisa melepas cengkeraman tangan Dipta pada kemejanya. “Saya minta maaf, saya tidak sengaja masuk kedalam kamar kamu.”
“Jika ingin hidup tenang…” Dipta memberi jeda sebentar. “Pergi dari rumah ini sekarang juga,” ancamnya.
“Tidak bisa,” Senja menggelengkan kepalanya. “Saya tidak bisa keluar dari rumah ini.”
Dipta semakin menguatkan cengkeramannya, mengangkat tubuh Senja, membuat kedua kaki Senja menjinjit.
“Kamu dibayar berapa sama kakek tua itu?” tanya Dipta.
‘Kakek tua? Siapa?’ Senja bergumam dalam hati.
Hanya satu orang yang Senja tahu berusia sudah sangat tua dan dipanggil dengan sebutan Eyang Chandra. ‘Bukankah itu kakeknya Tuan Dipta dan Nona Gauri?’
“Maksud kamu Eyang Chandra?” Senja balik bertanya.
Dipta menaikkan kedua alisnya. Tanpa menjawab pertanyaan Senja, Dipta berkata, “kamu akan menyesal masuk kedalam rumah ini.”
“Kenapa? Bukankah Eyang Chandra orang baik? Semua dirumah ini orang baik. Kamu juga baik, bukan?”
“Orang baik?” Dipta mendengus kesal mendengar kata ‘baik’ yang diucapkan oleh gadis didepannya. Seakan-akan ia sangat anti dengan satu kata itu. “Apa itu baik? Nama sebuah batu? Atau sejenis kayu?” ejek Dipta.
“Kenapa kamu melakukan ini? Kita bisa berbicara dengan baik, bukan dengan posisi seperti ini,” kata Senja menunjukkan tubuhnya yang terangkat karena cengkeraman tangan Dipta. Kaki Senja sudah mulai lemas karena menjinjit.
‘Aneh,’ pikir Dipta. Ia tersadar bahwa gadis dihadapannya ini tidak takut menatap dirinya. Padahal ia sudah menunjukkan wajah seramnya agar gadis dihadapannya ini ketakutan, tetapi gadis yang bernama Senja ini mampu menyembunyikan ketakutannya. Kedua mata gadis ini terlihat tenang dan menantang.
‘Bidari Senja,’ gumam Dipta dalam hati mengingat nama lengkap gadis dihadapannya.
“Aku tidak pernah bisa berbicara dengan baik,” sahut Dipta.
“Kalau tidak bisa bersikap baik, setidaknya jangan bersikap kasar,” ucap Senja.
Dipta mendecakkan lidah, “Ingat satu hal,” dengan melepaskan cengkeraman pada kerah baju kemeja Senja, ia beralih mencengkram wajah Senja. “Sekarang…Hidupmu ditanganku.” Lalu ia melepaskan cengkramannya.
Senja menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan, kemudian menutup mata sejenak dan mengatur debaran jantungnya. Ia membuka kedua matanya dan berkata, “sekali lagi saya minta maaf karena masuk kedalam kamar kamu. Sungguh, saya tidak sengaja masuk kedalam kamar kamu. Seharusnya saya masuk kedalam kamar Nona Gauri untuk mengajar les,” jelasnya panjang lebar.
Dipta bersedekap. “Aku tidak butuh penjelasanmu itu, yang aku butuhkan persetujuanmu untuk pergi dari rumah ini jika ingin hidupmu tenang.”
Senja menggeleng tegas, lalu menjawab, “Sudah saya katakan, saya tidak bisa keluar dari rumah ini.”
Dipta mengangguk pelan dengan tertawa kecil. “Baiklah…sudah kuperingatkan. Bersiaplah dengan segala penderitaanmu.”
Senja tidak gentar dengan ucapan Dipta. “Oke, akan kunikmati setiap penderitaan itu,” tantang Senja.
‘Boleh juga mainan barunya ini,’ batin Dipta.
“Keluar dari sini!” perintah Dipta dengan menunjuk pintu kamar.
Senja merapikan bajunya dan mulai beranjak dari kamar yang sangat megah itu, sebelum kakinya sampai ke pintu, ia mendengar perkataan itu, kata yang membuat ketenangan yang dibangun oleh Senja perlahan mulai runtuh.
“Hari ini aku mencengkeram pakaianmu, lain kali lehermu,” ucap Dipta melihat punggung Senja.
Senja yakin itu bukan ucapan main-main, ia tidak berani melihat Dipta maupun menanggapi ucapannya. Ia melanjutkan langkah keluar dari kamar itu. Satu hal yang ia tahu, hidupnya akan kembali menjadi kelabu.
*~*~*~*~*
“Kamu masih sakit, Ta!” sergah Yohan.“Besok udah nggak, Han!” balas Dipta. “Kamu tahu penyebab sakitku karena siapa?”“Jangan menyalahkan orang lain, kamu terlihat sangat menyedihkan,” tandas Yohan.Rahang Dipta mengeras mendengar kalimat yang keluar dari mulut Yohan.Gerka langsung mengendalikan situasi. “Yohan nggak bermak—”“Bukan begini caranya membalas, Ta,” sela Yohan.“Han, diam dulu!” tegas Gerka. “Ta, sebaik—”“Sebaiknya kalian berdua pulang!” usir Dipta.“Jangan bawa Senja ke arena balap!” seru Yohan memperingati.“Aku akan membawanya!” tandas Dipta.Yohan menghela napas putus asa. “Baiklah, terserahmu saja!” lalu beranjak pergi keluar dari kamar Dipta tanpa berpamitan.Gerka bingung ingin memihak siapa. “Ta, aku rasa—”
Tanpa mengetuk pintu kamar Dipta, Gerka langsung masuk di ikuti oleh Yohan di belakangnya.“Hei, adik cantik!” sapa Gerka pada Gauri saat menyuapkan nasi ke dalam mulut Dipta.Gauri menoleh dan mendapati Gerka juga Yohan berdiri dengan gaya yang sangat berbeda.“Kak Yohan!” ucap Gauri disertai senyuman.Gerka langsung menampilkan muka masam. “Kakak nggak disapa?”“Apa kabar, Gauri,” ujar Yohan.“Baik, Kak!” sahut Gauri. “Kakak kabarnya gimana?”Gerka mengabaikan Yohan dan Gauri lalu menuju kasur Dipta. “Kamu sakit, Ta?”Gerka dapat melihat wajah pucat Dipta dan matanya yang sayu. Dipta mengangkat sebelah tangannya yang di infus. “Pertanyaan yang sangat berguna. Kamu punya mata kan?” sarkastis Dipta.Gerka berdecak lalu bergumam, “Basa-basi busuk, Bro!”“Gimana keadaanmu, Ta?” tanya Yohan yang sud
Yohan menyebutkan pesanannya pada Reno si pramusaji. “Sirloin Wagyu Beefnya satu, sama minumannya mojito juga.”Reno mencatat semua menu dan mengulangi pesanan pada Yohan dan Isma setelah mengatakan mohon menunggu pada kedua insan tersebut, Reno beranjak pergi.Yohan membuka MacBook Pro 24 Karatnya untuk melihat peninjauan ulang pembangunan Hotel Shunshine di Pulau Nusa Lembongan, Bali. Ia harus segera cepat merealisasikan pembangunan tersebut sebelum perusahaan asing merebutnya.“Kenapa buka laptop?” tanya Isma heran.“Ada kerjaan yang nggak bisa di tunda.” Lalu Yohan melirik Isma. “Kamu keberatan?”“Kalau saya bilang keberatan, kamu akan menutup laptopnya?”Yohan menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Iya.”“Memang benar ya, rumor yang beredar bahwa kamu itu gila kerja,” ucap Isma.Yohan mengedikkan bahunya kemudian menutup laptopnya. Ia tahu
Gauri baru saja menyelesaikan pelajarannya ketika melihat dr. Zendra dan dua perawat turun dari lantai dua. Gauri yang masih berada jauh dari anak tangga menyuruh Trisma mendorong kursi rodanya dengan cepat agar sampai di hadapan dr. Zendra. “Dokter!” panggil Gauri. Dokter Zendra menghentikan langkahnya saat mendengar panggilan itu. Ia menoleh dan mendapati Gauri sedang mengarah padanya. “Gauri, apa kabar?” sapa dr. Zendra saat Gauri sudah berada di hadapannya. “Pak Dokter sedang apa disini?” tanya Gauri heran. Dokter Zendra mengulas senyum tipis. “Bapak baru saja memeriksa kakakmu, kamu nggak tahu dia sedang sakit?” Gauri menggelengkan kepalanya. “Kak Dipta sakit apa?” “Demam tinggi, kadar alkohol dalam tubuhnya sangat tinggi, kondisi fisiknya sangat lemah, makanya kamu bilang sama kakakmu kurangin minum alkoholnya dan kalau bisa jangan minum-minum lagi, ya!” “Siap, Pak Dokter!” seru Gauri dengan sikap ala hormat bende
“Kamu lagi?” tanya Dipta. “Sehari saja wajahmu itu tidak muncul di hadapanku, bisa?” Mata Senja mengerjap heran. “Bukankah wajah Tuan Dipta yang muncul di hadapan saya?” balas Senja. Dipta terkekeh pelan. “Keberanianmu memang patut di acungi jempol.” Senja tersenyum tipis. “Nona Gauri juga mengatakan hal yang sama.” Dipta menaikkan alisnya. “Tapi apa kamu tahu, keberanianmu juga bisa menjadi bumerang untukmu?” “Kenapa menjadi bumerang?” tanya Senja. Dipta berjalan pelan mendekati Senja. “Kamu harus tahu tempat menggunakan keberanianmu itu.” “Keberanian itu tidak perlu tempat, tapi perlu usaha. Bukankah manusia memang memerlukan usaha untuk menciptakan keberanian dalam dirinya?” “Menarik!” sahut Dipta yang sudah berada tiga langkah di depan Senja. “Usaha apa yang di perlukan?” “Bangun rasa percaya diri, lawan rasa takut dan mencoba tegar.” Dipta bertepuk tangan tiga kali mendengar jawaban Senja. “Tiga usa
“Kamu yang menyuruhnya?” tanya Dipta dengan raut tidak senang.“Iya, kenapa? Kamu nggak senang?” balas Bima dengan tatapan tajam.“Brengsek!” maki Dipta. “Kenapa kamu menyuruhnya?”“Kenapa kamu merusak motornya?” tanya Bima dengan intonasi yang tinggi.Dipta menggeram marah dan mencoba bangkit dari kasurnya. Tubuhnya sempoyongan karena pusing yang mendera begitu hebat. Dunia seakan berputar di depan matanya.Melihat itu, Bima meraih sebelah lengan Dipta agar tubuhnya tidak terjatuh. Mendapat keseimbangannya kembali, Dipta segera mencengkram kerah kemeja Bima.“Apa hubunganmu dengan perempuan itu?”“Tidak ada.”“Jangan bohong! Kamu pasti tahu apa yang direncanakan Kakek Tua itu!” hardik Dipta.Bima terdiam dan tidak menjawab. Wajahnya menoleh ke samping, menghindari tatapan Dipta yang mengintimidasi.Dipta mengulas senyu
Senja terbangun pada pukul dua dini hari karena suara deringan ponselnya. Kak Bima adalah nama yang tertera pada layar ponsel Senja.‘Ada apa Kak Bima telepon jam segini?’ pikirnya.“Ha..lo, Kak?” sapa Senja dengan menguap lebar.“Senja, tolong keatas sekarang!” suruh Bima.Masih setengah sadar, Senja mengerutkan keningnya. “Ke atas mana, Kak?” tanyanya bingung.“Kamar Tuan Dipta!”Mendengar nama Dipta, membuat kedua mata Senja terbuka lebar dan rasa kantuknya hilang seketika.Senja duduk di kasurnya dan menoleh melihat kasur sebelah yang ditempati oleh Trisma.‘Syukurlah Trisma tidak bangun,’ batinnya.“Kenapa dengan Tuan Dipta?”“Cepatlah kesini dan bawa air hangat, handuk bersih juga kotak P3K.”“Tuan Dipta sakit?”Bima menggumam mengiyakan.Perlahan Senja beranjak pelan keluar kamar
“Gila, Bro! Kamu habis syuting film?” tanya Gerka saat melihat Dipta yang basah kuyup dan tangan kanan yang dibalut perban. “Udah kayak film india aja, Boss!”Dipta memasang tampang sangar pada Gerka yang membuat Gerka tersenyum kecut.“Ceritakanlah kronologis kenapa seorang Dipta Maheswara hujan-hujanan dan tangan terluka,” ucap Gerka. “Kenapa kondisimu mengenaskan begini, Ta?”“Yohan dimana? Nggak ikut balapan lagi?” tanya Dipta mengalihkan pembicaraan.Dipta tidak ingin membicarakan kejadian tadi pagi pada kedua temannya.“Tuh!” tunjuk Gerka dengan mengarahkan bola mata dari balik punggung Dipta.Dipta berbalik dan melihat Yohan mengendarai motor Aston Martinnya dengan menggunakan helm full face. Beberapa wanita disekitarnya terang-terangan berteriak pada Yohan, si CEO muda, kaya, gila kerja, tampan dan sopan.Yohan Bramasta, anak konglomerat dari keluarga Bram
“Kak Bima kemana aja sih seharian ini?” omel Trisma pada Bima yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam ruangan istirahat pegawai.“Ada urusan sebentar diluar,” jawab Bima sambil celingukan mencari Senja.“Sebentar?” Trisma berkacak pinggang. “Dari jam lima pagi sampai jam lima sore itu waktu yang sebentar?”“Ada yang harus saya kerjakan atas suruhan Eyang Chandra, dan ternyata ada kendala yang memakan waktu sedikit lebih lama,” jelas Bima.“Tapi nggak biasanya Kak Bima pergi pagi-pagi sekali dan pulang sore hari!” ujar Trisma. “Kak Bima bohong ya?”“Sejak kapan Bima bohong, Ris?” tanya Mbok Minah yang mendapat anggukan dari Pak Mahmud.“Bima itu nggak pernah bohong,” kata Pak Mahmud. “Yang sering bohong itu si Kasim.”“Kok aku dibawa-bawa?” tanya Pak Kasim pada Pak Mahmud.“Siapa yang bawa k