Share

AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)
AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)
Penulis: Mentariz

BAB 1

“Siapa kamu?” tanya seorang lelaki dengan raut muka marah, memakai jubah mandi dan sedang menyeka rambutnya yang basah dengan handuk.

“Siapa kamu!?” ulangnya lagi dengan intonasi yang lebih dalam dan menyeramkan.

Gadis yang terperanjat akan kehadiran lelaki itu memegang erat tali tas selempangnya. Ia menelan saliva dengan susah payah.

‘Apa aku salah masuk kamar ya?’ batin gadis yang bernama Senja tersebut.

“Kamu siapa?” tanya Senja balik. “Bukankah ini kamar Nona Gauri?”

Lelaki itu membanting handuknya dengan keras ke lantai dan berjalan mendekati gadis yang dengan lancang masuk ke dalam kamarnya.

Setelah berjarak tiga langkah dari posisi Senja, lelaki itu membentak dengan menunjuk lantai kamar yang terbuat dari marmer bercorak abstrak. “Ini kamarku!”

Senja memegang dada dan menutup mata sesaat mendengar suara lelaki itu. Jantungnya berdegup sangat kencang. Keringat dingin mulai menyelimuti dahinya. Ia mencoba menyemangati dirinya dengan membatin ‘Tenang Senja! Semua akan  baik-baik saja.’

“Maaf,” ucap Senja berusaha terlihat tenang, “Saya salah masuk kamar. Saya pikir ini kamar Nona Gauri,” jelasnya. Lalu ia memberanikan diri untuk bertanya, “Apakah anda Tuan Dipta?”

Lelaki itu terlihat semakin marah, rahangnya mengeras, ia mengerutkan kedua alisnya, melangkah perlahan semakin mendekati Senja.

“Siapa kamu? Jawab pertanyaanku!” hardiknya.

Senja mundur selangkah demi selangkah saat lelaki itu terus maju mendekatinya. “Saya Bidari Senja,” sahutnya masih dengan intonasi yang tenang dengan mengulurkan tangan tanda perkenalan.

Lelaki itu menepis tangan Senja dengan kasar. “Sedang apa kamu dikamarku?” tanyanya dengan mengikis jarak diantara mereka berdua.

Senja tidak bisa melangkah mundur lagi, punggungnya sudah terantuk pada dinding marmer yang bercorak sama dengan lantai.

“Tadi sudah saya jawab,” kata Senja dengan nada sedikit bergetar. “Saya salah masuk kamar. Saya kira ini kamar Nona Gauri.”

Lelaki yang bernama Dipta R. Maheswara itu mengulurkan kedua lengannya mengunci pergerakan Senja.

‘Mainan baru,’ pikir Dipta dengan menunjukkan senyum miring, membuat Senja bergidik ngeri.

Dipta menundukkan wajahnya agar setara dengan wajah Senja. “Kamu tahu hukuman bagi orang yang terlibat denganku dan memancing kemarahanku? ”

Senja menatap kedua bola mata cokelat Dipta, lalu menggeleng pelan.

“Penderitaan tiada batas,” Dipta menjawab pertanyaannya sendiri dengan lirih, tapi begitu jelas terdengar ditelinga Senja.

Mendengar perkataan Dipta, mata Senja membelalak lebar.

“Apa maksudnya?” Senja menyuarakan isi hatinya.

Dengan gerakan cepat, sebelah tangan Dipta mencengkeram kerah baju kemeja Senja.

“Apa yang kamu lakukan!?” pekik Senja dengan memegang pergelangan tangan Dipta mencoba melepas cengkeramannya.

Dipta terkekeh pelan, “Awal penderitaanmu baru saja dimulai.”

Tenaga Senja tidak bisa melepas cengkeraman tangan Dipta pada kemejanya. “Saya minta maaf, saya tidak sengaja masuk kedalam kamar kamu.”

“Jika ingin hidup tenang…” Dipta memberi jeda sebentar. “Pergi dari rumah ini sekarang juga,” ancamnya.

“Tidak bisa,” Senja menggelengkan kepalanya. “Saya tidak bisa keluar dari rumah ini.”

Dipta semakin menguatkan cengkeramannya, mengangkat tubuh Senja, membuat kedua kaki Senja menjinjit.

“Kamu dibayar berapa sama kakek tua itu?” tanya Dipta.

‘Kakek tua? Siapa?’ Senja bergumam dalam hati.

Hanya satu orang yang Senja tahu berusia sudah sangat tua dan dipanggil dengan sebutan Eyang Chandra. ‘Bukankah itu kakeknya Tuan Dipta dan Nona Gauri?’

“Maksud kamu Eyang Chandra?” Senja balik bertanya.

Dipta menaikkan kedua alisnya. Tanpa menjawab pertanyaan Senja, Dipta berkata, “kamu akan menyesal masuk kedalam rumah ini.”

“Kenapa? Bukankah Eyang Chandra orang baik? Semua dirumah ini orang baik. Kamu juga baik, bukan?”

“Orang baik?” Dipta mendengus kesal mendengar kata ‘baik’ yang diucapkan oleh gadis didepannya. Seakan-akan ia sangat anti dengan satu kata itu. “Apa itu baik? Nama sebuah batu? Atau sejenis kayu?” ejek Dipta.

“Kenapa kamu melakukan ini? Kita bisa berbicara dengan baik, bukan dengan posisi seperti ini,” kata Senja menunjukkan tubuhnya yang terangkat karena cengkeraman tangan Dipta. Kaki Senja sudah mulai lemas karena menjinjit.

‘Aneh,’ pikir Dipta. Ia tersadar bahwa gadis dihadapannya ini tidak takut menatap dirinya. Padahal ia sudah menunjukkan wajah seramnya agar gadis dihadapannya ini ketakutan, tetapi gadis yang bernama Senja ini mampu menyembunyikan ketakutannya. Kedua mata gadis ini terlihat tenang dan menantang.

‘Bidari Senja,’ gumam Dipta dalam hati mengingat nama lengkap gadis dihadapannya.

“Aku tidak pernah bisa berbicara dengan baik,” sahut Dipta.

“Kalau tidak bisa bersikap baik, setidaknya jangan bersikap kasar,” ucap Senja.

Dipta mendecakkan lidah, “Ingat satu hal,” dengan melepaskan cengkeraman pada kerah baju kemeja Senja, ia beralih mencengkram wajah Senja. “Sekarang…Hidupmu ditanganku.” Lalu ia melepaskan cengkramannya.

Senja menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan, kemudian menutup mata sejenak dan mengatur debaran jantungnya. Ia membuka kedua matanya dan berkata, “sekali lagi saya minta maaf karena masuk kedalam kamar kamu. Sungguh, saya tidak sengaja masuk kedalam kamar kamu. Seharusnya saya masuk kedalam kamar Nona Gauri untuk mengajar les,” jelasnya panjang lebar.

Dipta bersedekap. “Aku tidak butuh penjelasanmu itu, yang aku butuhkan persetujuanmu untuk pergi dari rumah ini jika ingin hidupmu tenang.”

Senja menggeleng tegas, lalu menjawab, “Sudah saya katakan, saya tidak bisa keluar dari rumah ini.”

Dipta mengangguk pelan dengan tertawa kecil. “Baiklah…sudah kuperingatkan. Bersiaplah dengan segala penderitaanmu.”

Senja tidak gentar dengan ucapan Dipta. “Oke, akan kunikmati setiap penderitaan itu,” tantang Senja.

‘Boleh juga mainan barunya ini,’ batin Dipta.

“Keluar dari sini!” perintah Dipta dengan menunjuk pintu kamar.

Senja merapikan bajunya dan mulai beranjak dari kamar yang sangat megah itu, sebelum kakinya sampai ke pintu, ia mendengar perkataan itu, kata yang membuat ketenangan yang dibangun oleh Senja perlahan mulai runtuh.

“Hari ini aku mencengkeram pakaianmu, lain kali lehermu,” ucap Dipta melihat punggung Senja.

Senja yakin itu bukan ucapan main-main, ia tidak berani melihat Dipta maupun menanggapi ucapannya. Ia melanjutkan langkah keluar dari kamar itu. Satu hal yang ia tahu, hidupnya akan kembali menjadi kelabu.

*~*~*~*~*

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
menarik nih ceritanya.. pengen follow akun sosmed nya tp ga ketemu :( boleh kasih tau gaa?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status