Gauri menceritakan semua hal yang terjadi tadi malam, apa yang telah Eyang Chandra rencanakan, alasan Senja berada dimeja makan, tujuan Gauri ingin melukai tangan serta apa yang telah Senja lakukan. Dipta mendengar semua cerita itu dalam diam. Tidak menyanggah ataupun bertanya apa-apa. Ia hanya diam mendengarkan dan mengamati adiknya bercerita.
Setelah bercerita, Gauri melihat kakaknya mengepalkan tangan dan menahan segala emosi yang berkecamuk dikepala. Ia sangat mengetahui kakaknya, orang yang selalu dapat diandalkan dalam segala hal. Orang yang sangat menyayanginya, melakukan apapun untuknya, memprioritaskan adiknya tanpa diminta. Dipta mungkin bukan laki-laki yang baik, tetapi ia adalah kakak yang terbaik bagi Gauri.
“Kak, Yelo hanya ingin sekolah dirumah,” ujar Gauri.
Dipta menganggukkan kepalanya. “Pasti,” jawab Dipta dengan yakin, “Kamu hanya akan sekolah dirumah.”
‘Akan kubuat mereka berdua menanggung akibatnya,’ batin Dipta.
“Guru les baru itu—”
“Kakak akan mengurusnya, kamu tenang aja,” kata Dipta tersenyum menenangkan.
“Sepertinya dia bukan sekedar guru les, aku yakin tugasnya lebih dari itu,” ucap Gauri sangat yakin akan perkataanya.
“Memang benar, tugasnya lebih dari itu, tapi nggak usah dipikirkan. Itu jadi urusan kakak. Sekarang kamu makan, ya?”
Gauri tersenyum dan mengangguk.
*~*~*~*~*
Senja melihat surat kontrak kerja dengan Eyang Chandra yang di tandatanganinya dihadapan Pak Handi seminggu yang lalu.
Di selembar kertas itu tertulis : Pihak Pertama adalah Chandra Gunawan Maheswara dan Pihak Kedua adalah Bidari Senja.
Poin Pertama : Mengawasi setiap tindakan Dipta R. Maheswara.
Poin Kedua : Mengikuti Dipta R. Maheswara saat disuruh oleh Pihak Pertama.
Poin Ketiga : Melarang Dipta R. Maheswara untuk berpergian tanpa seizin Pihak Pertama.
Poin Keempat : Menyuruh Dipta R. Maheswara untuk bekerja di Perusahaan Keluarga Pihak Pertama.
Poin Kelima : Menjaga Dipta R. Maheswara dari ancaman berbahaya yang mengancam jiwa.
Poin Tambahan : Menjadi guru les Gauri Lestari Maheswara setiap dibutuhkan.
Surat perjanjian kerja ini berlaku selama sepuluh bulan. Selama kurun waktu tersebut Pihak Kedua akan tinggal dirumah Pihak Pertama dan menjadi orang suruhan Pihak Pertama.
Pihak Kedua tidak dapat membatalkan kontrak sebelum masa kontrak kerja itu habis.
Pihak Kedua dapat mengambil cuti libur lima hari dalam waktu satu bulan.
Pihak Pertama juga akan menerima upah sebesar Rp. 35.000.000 (Tiga Puluh Lima Juta Rupiah) setiap bulan.
Senja yakin ia menandatangani kontrak kerja ini secara sadar dan tanpa adanya paksaan. Ia juga telah membaca kontrak kerja sebanyak dua kali sebelum menandatanganinya. Tetapi ketika membaca kontrak kerja ini kembali setelah Dipta mengetahui tugas Senja yang sebenarnya dirumah ini, membuatnya berpikir apakah tindakannya patut dibenarkan untuk dilakukan?
Selama ini Senja yakin jika bekerja dengan Eyang Chandra sama dengan membantu Tuan Dipta. Tetapi sekarang ia meragukan hal itu. Bagimana jika bukannya Dipta terbantu malah semakin jadi membatu?
“Mbak, lagi ngapain?” tanya Trisma yang menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar.
Senja langsung melipat surat kontrak kerjanya. “Lagi baca surat,” jawab Senja. Lalu menyimpan suratnya kedalam kotak rahasianya yang digembok.
Trisma berjalan kedalam kamar dan bertanya dengan nada penasaran. “Hayo? Surat dari siapa? Pacar Mbak, ya?”
“Bukan,” jawab Senja.
“Jadi dari siapa?” tanya Trisma masih dengan tingkat penasaran yang akut.
Senja tersenyum, “Dari orang yang Mbak percaya,” balasnya dilematis.
“Orang yang Mbak percaya itu siapa? Pacar ‘kan?”
Senja tertawa kecil, “Memangnya orang yang dipercaya hanya pacar aja? Omong-omong soal pacar, kamu udah punya pacar?” tanya Senja mengalihkan pembicaraan.
Trisma menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Nggak ada, Mbak. Kalau Mbak sendiri?”
Senja juga menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Nggak punya juga.”
Lalu keduanya tertawa bersama, menertawakan nasib mereka, yang sama-sama belum menemukan laki-laki yang akan dicinta untuk keperluan asmara.
*~*~*~*~*
“Ketemuan ditempat biasa,” kata Dipta pada Gerka disambungan telepon.
Gerka yang sedang berada di lokasi pesta tidak begitu mendengar perkataan Dipta. “Halo? Ta?”
“Halo?” Dipta mendengar suara kebisingan yang menjadi latar keberadaan Gerka. “Keluar dari sana, cari tempat hening,” suruh Dipta.
Gerka berjalan mencari tempat yang sunyi. “Halo? Dipta? Aku lagi di Bali, Bro!” ucap Gerka memberitahu keberadaannya.
“Apa? Babi?” Dipta masih belum dapat mendengar dengan jelas.
“Iya! Bali,” begitu pun dengan Gerka, tidak dapat mendengar secara jelas ucapan Dipta.
“Kamu mengejekku?” tanya Dipta tidak senang.
“Mengejek?” ulang Gerka yang sudah mendapatkan ruangan sunyi.
“Apa maksudmu dengan kata babi?”
“Babi? Aku nggak ada bilang itu,” sanggah Gerka.
“Sudahlah lupakan. Bertemu ditempat biasa,” perintah Dipta.
“Aku lagi di Bali, Bro. Kakak dari sepupu calon iparku dari pihak Paman dan Bibi di Belanda menikah dengan adiknya sepupu silang yang sepupuan sama—”
“Berapa lama disana? Kenapa nggak ada kabar?” Dipta memotong ucapan ngawur Gerka.
“Cuma dua hari, Boss. Tadi ‘kan aku telepon, mau kasih tahu, tapi dirimu tak memedulikanku, sakit hatiku.”
Dipta teringat telepon dari Gerka pagi tadi saat ia baru terbangun dan kepalanya pusing karena mabuk.
“Makanya bicara itu langsung ke inti, jangan suka basa-basi.”
“Ada apa, Ta?” tanya Gerka serius. “Biasanya di hari minggu kamu jarang minta ketemu. Kamu nggak pergi dengan adikmu?”
“Dia nggak mau pergi. Lagi pula ada hal penting yang harus kuberitahu pada kalian berdua.”
“Hal penting apa?”
“Yohan ada dimana?”
“Si gila kerja itu pasti ada di kantor dihari minggu begini,” tebak Gerka. “Sebelum pergi, aku juga menghubunginya, dan katanya nggak akan ke kantor. Apa kamu percaya?”
Dipta terkekeh pelan lalu menjawab, “Mungkin aja, sekarang dia lagi tiduran sampai sore.”
“Mana mungkin, tiduran bukan jalan ninjanya, Bro!”
“Pesan tiket kepulanganmu untuk malam ini, aku juga akan menghubungi Yohan untuk bertemu di tempat biasa.”
“Nggak bisa, Ta. Keluargaku—”
“Hari ini juga nggak bisa ditunda, Ka! Sangat mendesak.”
“Sama Yohan dulu ceritanya, atau kalau nggak kita video call—”
“Nggak bisa! Kamu juga harus ada.”
“Tapi—”
“Beri tahu alamat lokasi pestanya. Aku akan mengirimkan Pesawat Maharaja dan mobil jemputan untuk kepulanganmu malam ini juga.”
Pesawat Maharaja adalah perusahaan pesawat nomor tiga terbaik di Indonesia, milik Maheswara Group.
“Apa!?” Gerka tercengang sampai ke tulang.
*~*~*~*~*
Senja berjalan menuju kamar Gauri untuk mengatakan sesuatu yang tidak sempat terucapkan saat pagi tadi karena Dipta menariknya menjauh dari kamar Gauri. Saat ini sudah pukul delapan malam, semoga waktu yang tepat, pikir Senja. Ia tidak ingin menunda membahas permasalahan yang terjadi. Ia ikut berandil didalamnya. Senja mengetuk pintu kamar dan pintu kamar terbuka menampakkan wajah Trisma. “Mbak Senja? Mbak mau—” Senja menganggukkan kepalanya. Sepertinya Senja dan Trisma memiliki ikatan telepati karena tanpa Trisma menyelesaikan kalimatnya, Senja sudah tahu apa maksudnya. “Sudah kamu sampaikan pada Gauri?” tanya Senja. Trisma langsung menganggukkan kepalanya, tersenyum lebar dan mengangkat jari jempol kanannya kearah Senja. “Non, Mbak Senjanya udah datang,” Trisma memberitahu kedatangan Senja pada Gauri. “Semoga berhasil, Mbak,” ucap Trisma sambil berlalu keluar kamar. Senja berjalan masuk kedalam kamar Gauri dan menemuk
“Kita mau kemana, Kak?” tanya Senja penasaran.“Ruang kerja Eyang Chandra,” jawab Bima sambil menuntun langkah Senja.Bima Ventura adalah ketua pengawal Dipta R. Maheswara. Bima memiliki lima rekan yang bekerja atas perintahnya dan Eyang Chandra.“Eyang Chandra sudah pulang?”Bima mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan dari Senja. “Belum. Kamu tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan dari Indonesia ke Italia?”Senja menggelengkan kepalanya.“17 Jam,” jawab Bima. “Apakah masuk akal kalau Eyang Chandra sudah pulang sekarang?”Senja kembali menggelengkan kepalanya. Ia merasa sangat bodoh karena pertanyaan tadi. Padahal ia hanya ingin basa-basi.“Jadi kenapa kita keruangan kerja Eyang Chandra?”“Nanti kamu akan tahu.”Selanjutnya tidak ada percakapan sama sekali. Mereka berdua berjalan dalam diam. Senja tahu Bima
“Kenapa Eyang nggak mau?” tanya Senja heran.“Eyang balik pertanyaannya ke kamu, kenapa kamu tidak mau membantu Eyang?” tanya Eyang Chandra. “Kenapa kamu menyerah sebelum berjuang? Bukankah kamu sudah berjanji untuk membantu Eyang?”Senja terdiam dan bergumam dalam hati, ‘Menyerah sebelum berjuang? Apakah aku sudah kalah sebelum melangkah?’“Nak Senja,” panggil Pak Handi. “Kenapa kamu tiba-tiba ingin membatalkan kontrak kerja?” tanyanya.“Kemarin sore, hari pertama Senja kerja, dan juga hari ini, Senja berpikir bukannya Senja membantu Eyang, Tuan Dipta dan Nona Gauri, tapi Senja malah membuat semuanya semakin kacau,” jawab Senja. “Dan satu lagi, mengenai Tuan Dipta, Senja takut dia semakin membangkang dan melakukan hal-hal yang sangat mengerikan.”Senja teringat saat Dipta memukuli dan menendang kelima pengawalnya. Lalu ia melirik Bima kembali untuk meli
Setelah mengetahui misinya yang mustahil untuk berhasil, Senja mengambil langkah tak tahu arah. Ia berjalan tanpa memikirkan tujuan. Apakah ia sudah membuat kesalahan dengan ikut campur dalam permasalahan yang tak ada penyelesaian? Bagaimana caranya ia bertahan? Saat dirinya tersadar dalam lamunan, ternyata kakinya membawanya kearah kolam renang. Ia jadi teringat peristiwa tadi pagi, saat Dipta mencekik lehernya. Ia juga teringat masa lalunya yang juga selalu mendapat penyiksaan serupa. Ia tidak mau mengalami itu untuk kedua kalinya. Bukankah ia juga berhak untuk bahagia? Senja duduk disalah satu kursi santai dan memandang air kolam renang yang berwarna biru langit dengan pantulan cahaya bulan yang indah. Kolam renang outdoor ini begitu luas dan dalam. Lebar kolamnya 10 meter sedangkan panjangnya 20 meter dengan kedalaman airnya lebih kurang tiga meter. Deringan ponsel membuyarkan lamunan Senja. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil handphonenya. Nama Yun
Senin pagi yang muram, pikir Senja saat menengadahkan kepala untuk melihat langit dipagi hari. Seperti suasana hatinya saat ini. Suram, buram dan kelam. Dua hari yang lalu adalah hari yang panjang baginya dan hari berikutnya tidak tahu akan bagaimana juga tidak tahu harus melakukan apa. Sama sekali tidak ada rencana. Sepertinya kepintaran yang dimilikinya tidak ada artinya. “Non, kepalanya nggak pegal?” tanya seseorang pada Senja yang sejak tadi memerhatikannya dari jauh. Senja tersentak kaget. Ia juga tidak tahu siapa orang yang sedang menyapanya ini. “Maaf, Pak. Bapak ini—” “Oh, Bapak tukang kebun dirumah ini, Non.” Senja tersenyum sopan, “Saya Senja, Pak. Orang baru suruhan Eyang Chandra,” ucap Senja memperkenalkan diri. “Oh, si orang baru, toh. Bapak juga udah dibilangin pas hari jum’at kemarin. Tapi kita belum ada jumpa ya, Non, karena Bapak ndak tinggal dirumah ini. Bapak itu kerja dari hari senin sampai hari jum’at aja,” jelasny
“Akh!” seru Trisma sambil menutup mulutnya dengan tangan. Sangat terkejut dengan pemandangan di depannya. Ia melihat sepeda motor Honda Scoopy milik Senja tergeletak dan diikat pada mobil Aston Martin One-77 yang sudah dimodifikasi milik Dipta. Senja menekan segala emosinya, ia melihat Dipta sedang duduk bersila dikursi dengan menikmati sebatang rokok di bibir. “Akhirnya datang juga,” ucap Dipta sambil mematikan puntung rokoknya. “Apa yang sedang Tuan lakukan?” tanya Senja dengan sabar. “Memberimu penawaran,” jawab Dipta lalu mengambil sebuah tongkat bisbol yang sejak tadi berada disamping kursi yang didudukinya. “Kalau kalian mau jadi penonton, tolong sedikit menjauh,” kata Dipta pada orang-orang yang berada disekitarnya. Orang-orang itu terdiri dari, Senja, Trisma, Mbok Minah, Pak Mahmud, dan Pak Kasim. “Kalian bisa terluka,” sambungnya dengan seringai khasnya yang mengerikan. Trisma dan Mbok Minah langsung meng
“Kenapa karena saya?” tanya Senja heran. “Bukankah Tuan Dipta melakukan itu atas kemauan sendiri?” “Kamu juga melakukan itu atas kemauanmu sendiri,” ujar Dipta sambil melihat tangan kanan Senja yang masih diperban. Senja mengangkat tangan kanannya yang diperban. “Ini bukan karena adik, Tuan,” ucapnya lalu melanjutkan, “ini karena saya sendiri, atas kemauan saya sendiri, sama seperti yang Tuan lakukan sekarang, tangan Tuan terluka karena diri Tuan Dipta sendiri, bukan karena saya.” “Memang atas kemauanku, tapi alasannya adalah karena dirimu ada sekitarku, dirumahku, dan juga—” “Biarkan saya mengobati tangan Tuan Dipta terlebih dahulu,” potong Senja. “Darahnya keluar semakin banyak.” Senja terlihat mencemaskan Dipta. “Trisma, tolong ambilkan kotak P3K!” Trisma langsung sigap mendengar perintah Senja. “Siap, Mbak.” Saat Trisma berbalik ingin kedalam rumah untuk mengambil kotak P3K, langkahnya terhenti karena Gauri. Mbok Asih berad
—UNIVERSITAS BINA SILA— Sebulan yang lalu… “Senja!” teriak Jeki memanggil Senja yang sedang berjalan keluar dari perpustakaan pusat Universitas Bina Sila. “Ja! Woi, Senja!” panggilnya lagi yang membuat beberapa mahasiswa dan mahasiswi melotot dan memasang muka kesal pada Jeki karena mengganggu konsentrasi mereka. “Sori, sori,” ucap Jeki tak enak hati. “Temanku itu memang agak budek,” katanya lagi dengan cengengesan. Lalu ia melangkah cepat untuk menggapai Senja berada. Saat sudah berada diluar perpustakaan, Jeki berlari kencang dan kembali memanggil Senja. “Senjaaa…” Senja tetap tidak menoleh pada Jeki. Ia terlihat sangat serius berjalan dengan menenteng buku-buku Ekonomi Industri. “Woi, Ja!” Jeki berhasil menggapai bahu Senja. Senja tersentak kaget karena tangan seseorang yang memegang bahunya dari belakang tubuhnya. Ia berbalik dan melihat Jeki yang bercucuran keringat. “Jeki,