Share

BAB 7

Dipta menggenggam kuat tangan kanan Senja yang terluka. Ia tidak menyadari bahwa tangan mungil itu dibebat dengan perban. Senja merasakan tangannya berdenyut nyeri. Tubuhnya yang mungil begitu ringan dibawa paksa oleh Dipta menuruni tangga.

Tangan kirinya mencoba meraih lengan Dipta yang menggenggam tangan kanannya. “Tuan!” panggil Senja. “Lepaskan saya, Tuan.”

Dipta mendengar panggilan itu, tetapi tidak ia hiraukan. Ia terus berjalan cepat membawa paksa Senja melintasi ruang utama keluarga, keluar melewati pintu belakang, berbelok kearah kolam renang. Tidak ada satupun para pekerja rumah yang melihat mereka. Bahkan dua orang yang bertugas memonitor CCTV rumah, sedang tidur dengan pulas diruang kerjanya.

Sesampainya di depan kolam berenang, Dipta membanting keras tubuh Senja hampir mengenai dinding marmer. Senja tersentak kaget dan merintih kesakitan karena tangannya berdenyut nyeri.

Dipta bersedekap sambil memandang wajah sendu Bidari Senja. Ia mengamati wajah itu. Bola mata berwarna hitam pekat, hidung bangir yang kecil, bibir tipis merah muda, juga rambut panjangnya yang diikat kucir kuda.

Senja dengan berani memulai pembicaraan. “Kenapa saya mesti ditarik?” tanyanya sambil menatap wajah Dipta. “Kalau Tuan menyuruh saya kesini,” tunjukknya pada lantai, “Saya akan kesini dengan senang hati.”

Dipta menaikkan kedua alisnya dan bertanya, “Kamu tidur dirumah ini tadi malam?”

Senja mengangguk mengiyakan.

“Guru les Gauri tidak pernah tidur dirumah ini, mereka selalu pulang malam hari,” jelas Dipta.

“Saya tahu,” ujar Senja. “Tugas saya bukan hanya menjadi guru les saja.”

‘Guru les hanya sebagai selingan,’ batin Senja, ‘tugas utamanya adalah…’

Dipta tersenyum masam, ternyata dugaannya juga benar sejak pertama kali bertemu gadis ini.

“Apa lagi tugasmu? Mengawasiku? Mengikutiku? Menyuruhku melakukan ini dan itu? Atau melarangku untuk bertemu teman-temanku?” tebak Dipta tepat sasaran.

Senja terdiam dan mengatupkan bibirnya. Senja tidak menyangka semua tebakan Dipta itu benar. Mengawasi, Mengikuti, Menyuruh, Melarang dan satu lagi…Menjaga. Lima M, pikir Senja saat melihat lima poin utama pada kontrak kerja bersama Pak Handi, sang sekertaris dan orang kepercayaan Eyang Chandra.

Mendengar semua untaian perkataan yang keluar dari bibir Dipta, membuat Senja merasa bersalah karena bisa dikatakan tugasnya adalah mencampuri kehidupan orang lain.

“Jawab!” seru Dipta. “Benar ‘kan?”

Sebagai jawaban, Senja menganggukkan kepalanya dengan pelan.

Senja melihat kedua bola mata cokelat milik Dipta. Kedua mata itu membalas menatapnya dengan penuh amarah yang menggelora. Senja juga mendengar bunyi gigi menggeletuk.

Habis sudah kesabaran yang Dipta bangun sejak bertemu gadis ini untuk kedua kalinya. Dipta mencengkeram leher Senja dengan sebelah tangan dan menghentakkan punggungnya kedinding.

Senja menutup matanya sekejap dan merasakan cekikan pada lehernya yang tidak begitu kuat.

“Sudah pernah kukatakan,” seringai Dipta. “Aku tidak pernah bisa berbicara dengan baik.”

“Saya juga pernah mengatakan,” balas Senja. “Kalau tidak bisa bersikap baik, setidaknya jangan bersikap kasar.”

Mainan barunya memang tidak mengenal rasa takut. Ia akui, lawannya kali ini tidak lemah. Kakek tua itu sepertinya mendapat orang suruhan yang tepat, pikir Dipta.

“Masih tidak mau pergi dari rumah ini?” ancam Dipta.

Senja menggeleng tegas yang membuat Dipta semakin menguatkan cekikannya pada leher Senja.

Kedua telapak tangan Senja terulur memegang lengan Dipta. Dan saat itulah Dipta tersadar tangan kanan Senja dibalut dengan perban.

‘Tangannya kenapa?’ batin Dipta. Ia melihat ada bercak merah pada perbannya. Apakah darah? Ataukah obat merah? Seingatnya semalam sore tangan gadis itu masih baik-baik saja. Bukan Dipta yang melukainya. Tapi siapa?

Dipta menekan rasa penasarannya lalu mengendurkan cekikannya pada leher Senja, kemudian melepaskannya begitu saja. Senja terbatuk sebentar memegang lehernya, napasnya sedikit terengah-engah. Ia juga heran mengapa Dipta melepaskan cekikannya. Padahal ia menduga Dipta akan semakin marah dan menceburkan dirinya kedalam kolam renang. Ternyata tidak seburuk dugaannya.

“Teruslah bertahan,” kata Dipta dengan suara dingin. “Kali ini kulepaskan, lain kali kubuat penderitaanmu semakin mengenaskan.”

Dipta melangkah pergi meninggalkan Senja yang sedang berdiri mengasihani diri.

*~*~*~*~*

"Non, ada Tuan Dipta,” panggil Trisma pada Gauri yang sedang menonton televisi namun pikiranya bekelana. Gauri tidak mendengar panggilan Trisma.

“Non, ada Tuan Dipta,” Trisma mengulang perkataannya kembali.

Saat Trisma ingin melangkah mendekati Gauri, lengannya disentuh oleh Dipta. “Kamu keluar sebentar,” ucapnya yang langsung dibalas Trisma dengan anggukan kepala dan melangkah keluar dari kamar Gauri.

Dipta menutup pintu dan menguncinya, lalu berjalan menuju tempat Gauri berada. Saat melintasi meja disamping tempat tidur, ia melihat makanan yang masih utuh tak tersentuh.

Gauri menonton televisi dengan duduk dikursi rodanya. Dipta tahu Gauri tidak benar-benar menonton acara televisi. Ia tahu adiknya sedang melamun. Apa yang terjadi tadi malam? Apa yang sudah dilakukan kakek tua itu terhadap adiknya?

Dipta berlutut dihadapan adiknya yang menggunakan kursi roda, satu-satunya keluarga baginya, orang yang sangat disayanginya.

“Yelo,” panggil Dipta dengan suara lembutnya.

Gauri tersadar akan kehadiran kakaknya. Ia menoleh kearah Dipta yang sedang berlutut.

“Kakak…” Gauri memanggil Dipta dengan senyuman manis menghiasi wajahnya.

“Makanannya kenapa nggak disentuh?” tanya Dipta sambil mengelus rambut Gauri.

“Nggak selera,” jawab Gauri.

“Kamu mau apa? Seleranya makan apa?”

Gauri menggelengkan kepalanya. “Nggak mau apa-apa, nggak mau makan.”

Dipta menghela napasnya, ia tahu jika adiknya sudah banyak pikiran akan susah untuk makan. Dipta harus memberikan solusi untuk masalah yang dipikirkan oleh adiknya dan ia juga harus tahu apa yang terjadi tadi malam.

Dipta menatap wajah Gauri dan bertanya, “Apa yang kakek tua itu lakukan?”

Gauri terdiam enggan menjawab pertanyaan kakaknya.

“Yelo…bilang sama kakak,” ucap Dipta masih dengan suaranya yang lembut. “Apa yang terjadi tadi malam?”

Gauri menatap kakaknya dengan ragu, lalu berujar, “Guru les baru…”

Dipta mengerutkan keningnya bingung. “Guru les baru? Senja?”

Gauri mengangguk. “Kakak sudah bertemu dengannya?”

Dipta menganggukan kepalanya sebagai jawaban.

“Guru les baru itu,” ujar Gauri dengan suara lirih, “aku telah menusuk tangannya dengan garpu.”

Seketika tubuh Dipta membeku.

*~*~*~*~*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status