Share

Gelang Pemberian

Pria berusia lima puluh enam tahun membetulkan letak kacamata sebelum memeriksa kotak musik berbentuk piano di tangannya. Benda cantik itu didominasi transparan dan berwarna putih pada bagian mesin.

"Di mana Rain?" tanya pria bernama Tino itu saat Gideon baru memasuki ruang reparasi.

"Keluar. Cari udara segar mungkin. Jika ada yang harus dikerjakan, katakan saja padaku."

"Aku cuma ini membicarakan hal penting dengannya. Tapi sudahlah, akan kutunggu dia kembali."

Gideon mengangguk dan keluar, meninggalkan Pak Tino yang kini menarik salah satu laci mejanya pada bagian bawah. Tangannya meraih bingkai foto yang berisi potret tiga pria muda. Potret itu diambil lebih dari satu abad yang lalu.

Paling kanan adalah mendiang kakeknya, sisi tengah diisi oleh pria tinggi yang posturnya sedikit berisi. Pak Tino tak pernah mengetahui siapa pria itu sampai hari ini. Sedangkan pada bagian kiri, adalah Rain. Ya, pria muda yang kini bekerja padanya.

Saat dikonfirmasi pada yang bersangkutan, pria yang masih tampak berusia dua puluh tahun itu mengaku tidak tahu menahu perihal foto tersebut. Tapi Pak Tino tak mau percaya begitu saja. Ia masih yakin jika Rain menyimpan suatu rahasia.

Selepas menemui Pak Tino, Gideon pergi untuk menutup toko barang antik tempatnya bekerja. Tiga puluh menit berlalu pria jangkung itu telah memasuki kamar berukuran tiga kali lima meter di mana ia dan Rain tidur.

Gideon menutup dan mengunci pintu tanpa menyentuh sama sekali. Suhu di kamar bernuansa klasik itu mendadak menurun. Pria itu mengangkat satu tangan dalam posisi menengadah. Bibirnya merapal mantra tanpa berbicara. Tak lama kemudian sebuah jam pasir muncul.

Jam pasir melayang dan diselimuti cahaya ungu keperakan. Gideon menatap pasir yang perlahan turun tanpa berkedip. Satu hari telah berlalu.

"Waktu kalian tidak lagi banyak," ucapnya pada ruang senyap.

**

Amy telah sampai di cafe dua lantai tempatnya bekerja setelah berjalan tergesa. Dahinya berkeringat. Wanita itu meletakkan tas dan jaket di loker lalu memakai apron merah yang selalu tergantung tak jauh dari loker.

"My, tumben tidak terlambat?" goda Tora, rekan satu shift yang bekerja pada bagian dapur.

"Aku gak pernah telat kok," ujar Amy sambil merapikan poni miringnya.

Tora tertawa kecil dan mengacak-acak rambut Amy yang sudah tampak rapi sebelum melesat menuju dapur cafe. Amy yang kesal sudah akan protes jika saja karyawan lain tidak menegurnya.

"My, gantiin sekarang ya. Aku ada janji setengah jam lagi," ujar Fani, wanita berlesung pipi yang merupakan kasir di shift pagi.

"Oke," jawab Amy ceria. Dengan cepat ia melupakan insiden rambut yang Tora ciptakan.

Aktifitas cafe berjalan seperti biasa. Pengunjung datang, beberapa menikmati pesanan di tempat dan yang lain memilih untuk membawa pulang menu andalan. Frappuccino Avocado dan roti panggang mozarella.

Pukul sepuluh malam, rolling door cafe telah diturunkan setengah. Karyawan cafe yang berjumlah tujuh orang masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tak terkecuali Amy, wanita muda itu menutup transaksi di hari itu lalu menghitung uang cash di mesin kasir. Wajahnya tampak lega saat mengetahui jumlah uang dan nominal yang tertera adalah sama.

"My, mau pulang bareng?" tawar Tora yang telah memakai hoodie biru tua untuk melapisi seragamnya.

"Gak deh, aku jalan kaki aja." Amy menggeleng saraya menoleh sekilas.

Belasan menit berlalu, tujuh orang yang terdiri dari empat pria dan tiga wanita bersiap pulang. Hanya Amy yang berjalan kaki.

"Benar tidak mau kuantar?" Tora kembali menawarkan dan lagi-lagi Amy menggeleng.

"Coba lagi besok ya, Tora," ejek Meta yang langsung disambut tawa yang lain.

"Ya udah, aku balik duluan." Amy melambaikan tangan. Tak lama kemudian ia sudah berjalan. Angin malam yang berhembus menerpa wajah dan rambutnya.

Langkah kaki itu melewati jalanan yang mulai sepi. Amy tidak merasa takut karena ini telah menjadi rutinitasnya selama enam bulan terakhir. Semua tampak baik-baik saja hingga ia sampai di area bekas pertokoan tak terpakai.

Amy melihat wanita tua yang duduk menyendiri. Rambutnya yang hampir semuanya memutih, tampak bersinar ditimpa cahaya bulan. Amy berjalan di depannya, memberi senyum manis nan ramah.

"Permisi, Nek," sapanya.

Si nenek tua yang semula diam dalam posisi duduk termangu tiba-tiba menatapnya. Lekat dan lama. Amy terus berjalan sampai suara serak memanggilnya.

"Tunggu. Bisa kau tolong aku sebentar?" tanyanya dan bangkit dari kursi beton.

Amy berhenti melangkah. Sekian detik, ia pun menghampiri wanita berusia senja yang ternyata memakai gelang gotik beraksen unik. Tanpa ragu Amy menanyakan apa yang bisa ia bantu.

"Apa yang bisa saya bantu? Nenek sendirian?" Amy mengawasi sekitar, mencari seseorang yang mungkin ada bersama si nenek.

"Kemarilah, duduk bersamaku. Apa kau punya makanan?"

Mendapat pertanyaan itu membuat Amy merogoh tasnya. Di dalam sana terdapat roti sandwich isi ayam hasil masakan Tora. Tanpa ragu Amy memberikannya, ia sudah tahu jika makanan buatan temannya itu tak pernah mengecewakan dalam hal rasa.

"Ini, Nek. Maaf sudah dingin. Tapi masih bisa dimakan."

Nenek tanpa nama itu menerima dan langsung makan dengan lahap seolah belum makan selama beberapa hari. Amy sampai terbengong dibuatnya. Ia bersyukur membawa air mineral berukuran sedang.

"Pelan-pelan, Nek. Ini diminum dulu," tutur wanita cantik berambut panjang itu sembari menyodorkan airnya.

Tangan keriput menerima botol yang isinya nyaris utuh. Usai menghabiskan sandwich dan meminum air, nenek itu menatap Amy lagi. Kali ini Amy menyadari ada yang tidak biasa dengan tatapan si nenek asing. Atmosfer di sekitarnya mendadak berubah jadi tidak nyaman.

"Terima kasih. Siapa namamu?" Suara serak kembali memasuki indra pendengaran Amy.

"Amy, Nek. Rumah Nenek di mana? Mari saya antar," ujar Amy dengan senyum sopan. Sebisa mungkin ia ingin menutupi rasa cemas yang perlahan hadir.

"Amy? Namamu sangat singkat," komentar si nenek dan Amy hanya mengangguk kecil.

"Rumahku di sini, di bumi. Sama sepertimu," lanjutnya

Jawaban aneh yang wanita tua itu lontarkan semakin membuat batin Amy tidak tenang. Ia kini bimbang. Saat ini ia harus pulang karena sebentar lagi Velia juga sudah sampai di rumah kontrakan mereka sedangkan kunci rumah masih ada di tangannya. Tapi haruskah ia meninggalkan nenek misterius itu seorang diri?

"Amy, kamu wanita baik tapi sayangnya kurang beruntung. Simpan ini," ucap wanita itu sembari memasrahkan gelang bertahta batu berkilau berwarna ungu.

Gelang itu terlihat berharga. Amy merasa tidak pantas untuk menerimanya jadi ia ingin menolak dengan halus. Namun tanpa aba-aba nenek itu memasangkan gelang pada pergelangan tangan Amy.

"Nek, tapi-"

"Simpanlah. Suatu saat kau akan membutuhkannya." Kali ini wanita renta tersenyum.

Amy memandangi gelang cantik itu. Entah karena suka dengan bentuknya atau sesuatu yang lain, saat ini hatinya terasa hangat. Ia menoleh, hendak mengucapkan terima kasih. Tapi sosok di sebelahnya telah menghilang.

"Terima kasih, Nek. Ini-"

Amy segera berdiri. Melihat sekitarnya yang tiba-tiba menimbulkan rasa mencekam. Wanita tua itu terlalu rapuh untuk bisa berlari secepat kilat.

'Siapa nenek itu?' Pertanyaan yang sama terus berkecamuk dalam hatinya. Amy melanjutkan langkah, tanpa menyadari ada sesuatu yang tengah mengikutinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status